Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

DAMAGE CONTROL RESUSCITATION

Oleh:

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I


PROGRAM STUDI ILMU BEDAH UMUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA / RSU Dr. SOETOMO
SURABAYA
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah menyetujui dan mengesahkan karya ilmiah:


Judul : Damage Control Resuscitation
Jenis : Referat
Penyusun :

Disetujui oleh :

Pembimbing

ii
DAFTAR ISI

REFERAT.........................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.............................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................................vi
BAB 1................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
BAB 2................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
2.1 Definisi..............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.....................................................................................................4
2.3 Patofisiologi.......................................................................................................4
2.4 Prinsip dari DCR..............................................................................................6
2.5 Tatalaksana DCR.............................................................................................7
2.6 Damage Control Surgery...............................................................................10
2.7 Pemberian Antibiotik pada Pasien Trauma.................................................13
2.8 Monitoring paska operasi..............................................................................16
BAB 3..............................................................................................................................26
KESIMPULAN..............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................27

iii
DAFTAR GAMBAR

Triage Of Death pada Trauma ………………………………………….. 6


Hubungan Asidosis , Hipotermia dan Koagulopati pada trauma …….. 7
Prinsip DCR ……………………………………………………………….. 8
Patofiologi Koagulopati Trauma Akut…………………………………. 13

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sistem Penilaian Trauma AIS…………………….. ……… 9

Tabel 2.2. Hubungan nilai ISS dengan Angka Mortalitas…………… 10

Tabel 2.3 Sistem Penilaian Trauma RTS…………………………….. 11

Tabel 2.4 Parameter keparahan pasien trauma………………………. 23

v
DAFTAR SINGKATAN

DCR : Damage Control Resuscitation


DCS : Damage Control Surgery
WB : Whole Blood
AIS : Abbreviated Injury Scale
ISS : Injury Severity Score
SSP : Sistem Saraf Pusat

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma masih merupakan penyebab kematian paling sering pada kelompok


usia empat decade awal kehidupan, dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di setiap negara.(1) Kasus trauma merupakan penyebab kematian dan
kecacatan tersering diseluruh dunia, khususnya pada usia muda. Sepuluh persen
dari kematian di seluruh dunia disebabkan oleh trauma. Kematian akibat cedera
diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi 8,4 juta (9,2% dari kematian secara
keseluruhan) dan diestimasikan menempati peringkat ketiga Disability Adjusted
Life Years pada tahun 2020.

Di Indonesia tahun 2011 trauma yang disebabkan oleh jumlah kecelakaan


lalu lintas sebanyak 108.696 jiwa dengan korban meninggal sebanyak 31.195
jiwa.(2) Dari data RSUD Dr. Soetomo selama 5 tahun terakhir (tahun 2015-2019)
menunjukkan jumlah rata-rata pasien trauma yang datang ke IGD per tahun
mencapai 1475 orang. Tahun 2018 jumlah pasien trauma sebanyak 995 orang dan
mengalami kenaikan pada tahun 2019 menjadi sebanyak 1969 orang.

Penyebab utama kematian ini disebabkan karena perdarahan yang tidak


terkontrol pada 1 jam pertama setelah trauma dan 48 jam pertama setelah tindakan
operasi darurat akibat trauma. Lebih dari 25 persen dari semua kematian pada
kasus trauma disebabkan oleh perdarahan yang tidak terkontrol. Terlambatnya
mengenali tanda hipoperfusi jaringan pada awal pasien mengalami trauma dengan
perdarahan masif akan menyebabkan komplikasi yang berlanjut pada masalah
yang lebih kompleks dan berakhir dengan kegagalan organ dan kematian.

Penyebab utama kematian yang disebabkan karena trauma terjadi akibat


keadaan asidosis, koagulopati dan hipotermia yang dialami oleh penderita.
Kombinasi ini biasanya disebut sebagai lethal triad of trauma atau triage of death
yaitu tiga kondisi yang saling berkaitan yang menyebabkan kematian pada kasus
trauma. Perdarahan menempati urutan kedua setelah cidera sistem saraf pusat

1
dengan jumlah kematian sebanyak 30-40% yang sebenarnya hal ini masih dapat
dicegah. Kematian akibat kehilangan darah paling banyak terjadi dalam 6 jam
pertama post trauma akibat syok hemoragik. Implementasi pada prinsip “Damage
Control” yang dilakukan lebih awal selama resusitasi dan pembedahan darurat
mampu mengontrol efek yang ditimbulkan oleh trauma dengan perdarahan yang
hebat.(4)

Oleh karena itu dalam referat ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai
Damage Control Resuscitation sehingga nantinya dapat dijalankan dengan baik
untuk mengatasi keadaan syok, asidosis, hipotermia dan koagulopati pada pasien
trauma agar kondisi pasien tidak menjadi lebih buruk dan dapat mengurangi
angka kematian.(5)

2
4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Damage Control Resuscitation merupakan pendekatan terhadap penanganan
awal pasien dengan luka sangat berat. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan
pasien tetap hidup selagi menghindari situasi yang berisiko memperburuk situasi
mereka dengan mengendalikan triage kematian yang terdiri dari hipotermia,
koagulopati, dan asidosis, atau secara berlebihan merangsang sistem imun
inflamasi. Penting diketahui bahwa konsep dan kepraktisan pendekatan ini
dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam manajemen awal pasien trauma.(6)

Perdarahan adalah penyebab utama kematian yang dapat dicegah. Damage


Control Resuscitation (DCR) muncul sebagai perpanjangan dari prinsip yang
digunakan oleh para ahli bedah trauma yang disebut Damage Control Surgery
(DCS), yang memberikan batasan intervensi bedah pada pasien dengan cedera
yang mengancam jiwa dan menunda semua penanganan bedah lainnya hingga
gangguan metabolisme dan fisiologis berhasil ditangani. Setelah disadari bahwa
pendekatan ini mampu menyelamatkan nyawa pasien dengan cedera berat, DCR
dikembangkan untuk bekerja secara sinergis dengan DCS dan memprioritaskan
intervensi non-bedah yang dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
akibat trauma dan perdarahan.

Prinsip utama DCR adalah mengembalikan homeostasis dan mencegah atau


mengurangi bertambahnya jaringan hipoksia dan kekurangan oksigen serta
koagulopati. Hal ini dicapai melalui kontrol perdarahan yang agresif dan transfusi
darah, yang dapat mengembalikan oksigenasi jaringan dan tidak hanya mencegah
platelet dan pengenceran faktor koagulasi tetapi juga mengganti potensi
hemostatik yang hilang. Tindakan yang dilakukan adalah dengan fokus pada
pemberian transfusi produk darah yang mendukung fungsi whole blood (baik WB
maupun campuran kompenoen yang meliputi, sel darah merah, plasma darah, dan
platelet), penggunaan kristaloid yang terbatas bertujuan untuk menghindari
koagulopati dilusional dan tindakan tambahan lainnya yang digunakan untuk
5

mengurangi syok hemoragik dan koagulopati traumatik akut, termasuk: Resusitasi


hipotensi relatif dilakukan bertujuan untuk menghindari perdarahan ulang (target
tekanan darah sistolik 80-90 mmHg pada dewasa), Bebat tekan/ hemostasis dan
alat lainnya, Penggunaan empiris asam tranexamat yang telah terbukti
menurunkan mortalitas pada trauma, diduga karena berkurangnya fibrinolysis,
Pencegahan asidosis dan hipotermia; dan merujuk segera ke rumah sakit pusat
rujukan untuk tindakan bedah definitif.(7)

2.2 Epidemiologi
Di seluruh dunia lebih dari 10.000 orang meninggal setiap hari akibat
cedera. Literatur pengendalian cedera menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas
jalan, jatuh dari ketinggian, dan kekerasan yang disengaja (termasuk melukai diri
sendiri) sebagai vektor utama cedera traumatis. Tidak diragukan lagi, beban utama
cedera semakin terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah
karena bekerja di sektor industri dan menggunakan transportasi bermotor.
Meskipun insiden populasi lebih rendah, cedera tetap menjadi penyebab kematian
dan kecacatan yang paling umum pada anak-anak dan dewasa muda di negara
maju.

Di Indonesia tahun 2011 trauma yang disebabkan oleh jumlah kecelakaan


lalu lintas sebanyak 108.696 jiwa dengan korban meninggal sebanyak 31.195
jiwa.(2) Dari data RSUD Dr. Soetomo selama 5 tahun terakhir (tahun 2015-2019)
menunjukkan jumlah rata-rata pasien trauma yang datang ke IGD per tahun
mencapai 1475 orang. Tahun 2018 jumlah pasien trauma sebanyak 995 orang dan
mengalami kenaikan pada tahun 2019 menjadi sebanyak 1969 orang.

2.3 Patofisiologi
Pasien dengan cedera berat yang mengalami perdarahan dalam jumlah yang
banyak sering mengalami “triage kematian” yaitu koagulopati, hipotermia, dan
asidosis metabolik.
6

Gambar 2.1 Triage of Death pada trauma(3)

Kehilangan darah yang signifikan, cedera jaringan, dan hipoperfusi


menyebabkan perburukan keaadaan pasien. Protein C aktif, peningkatan plasmin,
dan sejumlah molekul proinflamasi lainnya yang dilepaskan, menyebabkan
perubahan dalam DNA mitokondria dan pelepasan dari formil peptida.
Koagulopati traumatis akut akan menimbulkan perdarahan non-mekanis (Gbr.
2.1) Pada konsep Damage Control Resuscitation (DCR), disebutkan bahwa
kontrol perdarahan dengan pembedahan (Damage Control Surgery) dan resusitasi
harus dilakukan secara bersamaan untuk mendapatkan hasil terbaik. DCR
mencoba untuk mencegah, daripada mengobati koagulopati sebagai bagian dari
triage kematian yang paling "bisa diobati".
7

Gambar 2.2 Hubungan asidosis, hipotermia dan koagulopati pada trauma (trias of death)
(3)

2.4 Prinsip dari DCR


Dalam setting trauma, diperkenalkan istilah damage control resuscitation
untuk mencegah hipotermia, asidosis dan koagulopati yang komponennya terdiri
dari damage control surgery, resusitasi hemostasis (pemberian transfusi darah dan
menghindari penggunaan kristaloid terlalu banyak), dan resusitasi hipotensi
permisif sampai perdarahan terkontrol, yang dikaitkan dengan peningkatan angka
survival pasien trauma dengan hipovolemia berat.

Masalah fundamental yang dihadapi pada pasien trauma yang memerlukan


damage control resuscitation adalah syok. Syok ini disebabkan oleh hypovolemia
akibat perdarahan dan cidera jaringan oleh besarnya energi trauma yang
8

ditransmisikan ke organ yang terkena benturan trauma. Yang terjadi selanjutnya


adalah hipoperfusi dan aktivasi kaskade inflamasi. Asidosis metabolik dan
hipotermia menginduksi koagulopati atau mengurangi faktor koagulasi.
Koagulopati dapat membaik dengan kondisi pasien dihangatkan, meskipun pada
kasus yang jarang terjadi DIC. Hipotermia bertindak sebagai bone marrow
suppressant dan splenohepatic sequestration, kondisi demikian mengurangi
jumlah platelet dan leukopenia yang dapat dikoreksi dengan pasien dihangatkan.

Gambar 2.3 Prinsip dari DCR(3)

2.5 Tatalaksana DCR


1. Rapid Diagnosis
9

Penanganan trauma merupakan salah satu tantangan utama pelayanan


kesehatan saat ini. Dokter harus cepat menilai secara objektif keparahan cedera,
sehingga diperlukan sebuah sistem yang menyatukan deksripsi dan kuantifikasi
cedera. Penilaian cedera sebagai proses kuantifikasi dampak trauma menggunakan
sistem penilaian trauma yang terus berkembang. Sistem penilaian truama
mencoba menerjemahkan keparahan cedera menjadi angka, harus dapat digunakan
di lapangan sebelum pasien sampai ke rumah sakit unutk keputusan rujukan serta
untuk mengambil keputusan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pengukuran
tingkat keparahan cedera merupakan prasyarat penting terhadap penanganan
trauma yang efektif. Terdapat dua tipe sistem penilaian trauma yang kita gunakan
yaitu Injury Severity Score (ISS) dan Revised Trauma Score (RTS).
Injury Severity Score (ISS) adalah sistem penilaian anatomis yang sering
digunakan dan merupakan turunan dari AIS (Abbreviated Injury Scale). ISS
merangkum tingkat keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera.
Tubuh dibagi menjadi enam area : kepala dan leher, toraks, abdomen (termasuk
organ pelvis), dan permukaan tubuh. AIS setiap cedera dicatat, dan cedera yang
mempunyai nilai tertinggi di setiap area diutamakan. ISS adalah penjumlahan
kuadrat tiga nilai AIS tertinggi di setiap tiga area tubuh yang mendapat cedera
paling berat. Nilai AIS 6 setara dengan nilai ISS 75.
ISS mudah digunakan dan dapat menjadi prediktor kelangsungan hidup
yang baik, terutama pada pasien-pasien yang mempunyai cedera multipel.
Perkiraan ISS yang akurat membutuhkan pengumpulan informasi cedera yang
detail, sedangkan beberapa informasi ini hanya dapat diperoleh dengan
menggunakan alat penunjang, seperti MRI atau angiografi, yang mungkin tidak
tersedia atau tidak cocok pada keadaan akut.

Tabel 2.1 Sistem Penilaian Trauma AIS

Skor Deskripsi
0 Tidak ada cedera
10

1 Cedera minor
2 Cedera sedang
3 Cedera serius, tidak mengancam nyawa
4 Cedera berat, survival expected
5 Cedera kritis, survival doubtful
6 Cedera fatal

Tabel 2.2. Hubungan nilai ISS dengan Angka Mortalitas

Skor % Mortalitas
0-8 5%
9-15 8%
16-24 17%
25-40 64%
41-66 88%
75 100%

Revised Trauma Score (RTS) adalah sistem penilaian fisiologis yang paling
banyak digunakan. Sistem ini menggabungkan nilai GCS dengan laju respirasi
dan tekanan darah sistolik. Terdapat dua tipe, untuk triase dan penelitian. RTS
triase membantu memutuskan tingka respon yang diaktifkan. RTS ≤ 11
berhubungan dengan mortalitas 30% dan harus segera dibawa ke pusat trauma.

Tabel 2.3 Sistem Penilaian Trauma RTS

Tekanan Darah Laju Pernapasan


GCS Coded Value
Sistolik (mmHg) (kali/menit)
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0
2. Manajemen Koagulopati pada Pasien Trauma
DCR adalah strategi resusitasi yang dirancang untuk menghindari gangguan
fisiologis akibat triage of death. Ini terdiri dari tiga langkah: operasi singkat untuk
mengontrol perdarahan dan kontaminasi, resusitasi di unit perawatan intensif
(10)
(ICU), dan operasi ulang yang direncanakan dengan operasi definitif . Strategi
resusitasi DCR difokuskan pada pembalikan cepat asidosis dan pencegahan
11

hipotermia melalui dua langkah pertama. Namun, penanganan koagulopati bukan


merupakan luaran dari DCR.
Koagulopati traumatis akut bermanifestasi secara klinis sebagai perdarahan
non-mekanis. DCR mencoba untuk mencegah, bukan mengobati koagulopati,
karena koagulopati merupakan bagian dari trias yang paling bisa ditangani. DCR
menekankan strategi resusitasi baru yang mencoba membatasi kehilangan darah
sekunder dan mencegah perkembangan koagulopati. Ini dimulai saat pasien
datang dan berlanjut hingga seluruh fase resusitasi. Prinsip dari DCR tidak
menggantikan Damage Control Surgery. Kehilangan darah yang signifikan,
cedera jaringan dan hipoperfusi akan menghasilkan aliran kompleks gen imunitas
bawaan yang meningkat dan gen imunitas adaptif yang menurun. Protein C akan
teraktivasi, peningkatan plasmin, dan molekul proinflamasi lainnya dilepaskan
sehingga menyebabkan perubahan pada DNA mitokondria dan pelepasan peptida
formil.

Gambar 2.4 Patofisiologi Koagulopati Trauma Akut. APC, Activasi protein C

Koagulopati pada pasien yang mengalami trauma dengan perdarahan


dianggap sebagai akumulasi dari tindakan resusitasi, asidosis, dan hipotermia.
Dengan demikian, tujuan DCR adalah untuk menghindari asidosis dan hipotermia
12

akibat operasi agresif definitif. Sebaliknya, DCR secara langsung menangani


koagulopati yang diinduksi trauma segera setelah pasien masuk atau di pengaturan
pra-rumah sakit. DCR terdiri dari resusitasi seimbang, resusitasi hemostatik, dan
pencegahan asidosis, hipotermia, dan hipokalsemia.(11)

3. Antifibrinolitik
Karena hiperfibrinolisis diketahui berkontribusi pada koagulopati akut pada
trauma, pemberian agen antifibrinolitik memiliki manfaat secara teoritis.
Penelitian dilakukan di 274 rumah sakit di 40 negara. Lebih dari 20.000 pasien
trauma dewasa diacak untuk menerima asam traneksamat atau plasebo dalam
waktu 8 jam setelah cedera. Semua penyebab kematian dan risiko kematian
karena perdarahan berkurang secara signifikan dengan pemberian asam
traneksamat. Efek menguntungkan yang maksimal dicapai jika diberikan dalam
yang pertama 3 jam cedera. Manfaat terbesar dari asam traneksamat mungkin
pada pasien yang menunjukkan peningkatan lisis gumpalan untuk menggunakan
tromboelastografi.
Pada fibrinolisis normal, plasminogen berikatan dengan lisin di permukaan
fibrin. Aktivator plasminogen jaringan kemudian mengubah plasminogen menjadi
bentuk enzimatik aktifnya, yaitu plasmin. Plasmin mendegradasi fibrin menjadi
fragmen yang tidak aktif, dan menurunkan bekuan yang terbentuk. Asam
Traneksamat (TXA) secara sintetis diturunkan dari asam amino lisin. Asam
Traneksamat memblokir situs pengikatan lisin pada permukaan plasminogen dan
secara reversibel menghambat interaksi fibrinolitik antara plasminogen, plasmin,
dan fibrin. Asam traneksamat sediaan intravena dan oral memiliki keamanan dan
kemanjuran yang baik dalam mencegah kehilangan darah. Penggunaannya
diterima dalam operasi jantung, perdarahan gastrointestinal bagian atas, hifema
traumatis, operasi mulut, operasi ginekologi, dan kehilangan darah akibat
menoragia.
Dengan banyaknya bukti yang mendukung penggunaan terapi
antifibrinolitik sebagai pencegahan kehilangan darah dari gangguan koagulasi,
penggunaan asam traneksamat menjadi berpengaruh pada trauma. Pada tahun
2010, uji coba CRASH-2, uji coba terkontrol acak yang besar di 40 negara dengan
13

jumlah 20.211 pasien terdaftar, mempelajari pemberian 1 gram Asam traneksamat


selama 10 menit diikuti dengan infus 1 gram selama 8 jam, dalam waktu 8 jam
setelah cedera pada pasien trauma dan/atau yang berisiko mengalami perdarahan
yang signifikan. Didapatkan pemberian asam traneksamat dikaitkan dengan
penurunan semua penyebab kematian (14,5% vs 16,0%, P <0,001), dan penurunan
risiko kematian akibat perdarahan (4,9% vs 5,7% , P <0,001).

4. Rasio Transfusi 1:1:1


Perdarahan menjadi penyebab utama kematian akibat trauma. Sebanyak
80% kematian di kamar operasi dan 50% kematian dalam 24 jam pertama post
trauma disebabkan oleh koagulopati. Angka mortalitas ini meningkat karena
konsekuensi dari syok hemoragik yang merupakan akibat dari triage of death
asidosis, hipotermia dan koagulopati. Sebagian besar kematian akibat kehilangan
sejumlah besar darah terjadi dalam 6 jam pertama setelah trauma

Pasien yang mengalami kehilangan 20% total blood volume (TBV)


dikategorikan syok ringan, 20-40% syok sedang, dan lebih dari 40% sebagai syok
berat. Secara fisiologis, kompensasi hemodinamik tubuh mampu mempertahankan
perfusi organ vital hingga sampai 30% total blood volume loss, lebih dari itu
resiko terjadi hipoperfusi kritis dimana apabila pemberian resusitasi tidak adekuat
hipoperfusi ini akan berujung syok. Oleh karena itu, prioritas penanganan pasien
tidak sebatas penggantian cairan atau komponen darah, namun triage of death
yang menyertai (asidosis, hipotermia, koagulopati) dan syok hemoragik juga
harus menjadi perhatian. Mild hingga moderate blood loss dapat ditangani dengan
pemberian kristaloid atau koloid saja namun dengan ongoing bleeding, anemia
karena dilusi dan selanjutnya muncul koagulopati bisa saja terjadi. Cairan
kristaloid dapat menembus membran semipermeabel sehingga cairan dapat
berpindah dari intravaskular ke sel dan jaringan tubuh. Contoh kristaloid adalah
normal saline dan ringer laktat. Sedangkan koloid memiliki molekul lebh besar
yang terdispersi melalui media cair dan tidak menembus membran
semipermeabel. Ketika diinfus molekul-molekul tersebut menambah ruang
sirkulasi intravaskular.
14

Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai patofisiologi syok


hemoragik, resusitasi pada pasien dengan perdarahan masif telah berkembang dari
semula pemberian agresif kristaloid dan PRC dan pemeriksaan laboratorium
untuk menilai faktor koagulasi menjadi sebuah standarisasi sistem proaktif yang
disebut protokol transfusi masif. Tujuan protokol transfusi masif ini tidak sekedar
mengganti volume intravaskular namun juga untuk mencegah atau
meminimalisasi terjadinya triage of death yang berkembang akibat tindakan
resusitasi dan mengoreksi trauma induced coagulopathy. Intervensi dini dengan
implementasi protokol transfusi masif telah menunjukkan perbaikan survival rate
pasien yang signifikan.

Terdapat beberapa definisi transfusi darah masif pada dewasa di beberapa


literatur medis:

a. Penggantian seluruh volume darah dalam 24 jam


b. Transfusi ≥ 10 unit PRC dalam 24 jam
c. Transfusi > 20 unit PRC dalam 24 jam
d. Transfusi > 4 unit PRC dalam 1 jam dan diperkirakan masih memerlukan
tambahan transfusi
e. Penggantian 50% total blood volume dalam 3 jam

Sedangkan pada anak-anak :

a. Transfusi > 100% total blood volume dalam 24 jam


b. Transfusi untuk menggantikan ongoing hemorrhage > 10% total blood
volume tiap menit
c. Penggantian > 50% total blood volume oleh produk darah dalam 3 jam

Pemberian dini fresh frozen plasma (FFP) selama transfusi masif


mengurangi kejadian koagulopati dan meningkatkan survival rate penderita.
Transfusi fresh whole blood (WB) sebenarnya ideal namun mempunyai
kelemahan yaitu membutuhkan waktu dalam pengerjaannya (memastikan aman
15

digunakan) yang secara tidak langsung akan mengurangi faktor-faktor koagulasi,


oleh karena itu pemberian Packed Red Cell (PRC), faktor koagulasi seperti fresh
frozen plasma (FFP), dan Trombocyte Concentrate (TC) secara bersama-sama
dapat mempertahankan fungsi darah dan mencegah defisit dari komponen-
komponennya.
Kontribusi penelitian Trauma Militer dan Sipil diawal tahun 2000-an
menunjukkan manfaat dalam peningkatan rasio plasma: rasio pRBC dan platelet:
pRBC dalam protokol transfusi masif. Namun, rasio optimal komponen darah
belum ditentukan dengan jelas. Pada tahun 2013, kelompok studi PROMMTT
melakukan studi kohort prospektif yang menunjukkan bahwa rasio plasma: pRBC
dan trombosit: pRBC yang lebih tinggi memberikan manfaat kelangsungan hidup
dalam 6 jam pertama. Pasien dengan rasio di bawah 1:2 memiliki 3 sampai 4 kali
lebih berisiko meninggal dibandingkan pasien dengan rasio lebih dari 1: 1. Pada
tahun 2015, kelompok studi PROPPR melakukan uji coba kontrol acak yang
besar, multisenter, dan membandingkan rasio plasma, trombosit, dan pRBC dalam
rasio 1: 1: 1 versus 1: 1: 2. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
mortalitas pada 24 jam atau 30 hari. Lebih banyak pasien dalam kelompok 1: 1: 1
mencapai hemostasis, dan lebih sedikit yang meninggal karena exsanguination
dalam 24 jam pertama.
Kriopresipitat adalah produk darah manusia yang mengandung fibrinogen,
faktor VIII, faktor XIII, vWF, dan fibronektin. Hal ini dimasukkan dalam banyak
protokol transfusi masif saat ini. Kebanyakan pasien dalam uji coba PROMMTT
tidak menerima kriopresipitat, tetapi pada mereka yang menerima, tidak
menunjukkan adanya manfaat pada kematian di rumah sakit. Namun, dalam
tinjauan retrospektif dari Studi MATTER II, kriopresipitat ditemukan secara
independen menambah manfaat kelangsungan hidup dengan menggunakan asam
transeksamat pada trauma mayor. Mungkin juga ada peran penggunaan
tromboelastografi (TEG) atau tromboelastometri rotasi (ROTEM) untuk
memandu pemberian kriopresipitat pada trauma, tetapi studi lebih lanjut
diperlukan untuk membuat rekomendasi khusus.

5. Hipotensi permisif
16

Hipotensi permisif merupakan bagian dari DCR. Resusitasi hipotensif


membatasi penggunaan cairan kristaloid sehingga tekanan darah tetap lebih
rendah dari biasanya dan membatasi kehilangan darah sekunder sampai
hemostasis awal dapat dicapai. Menerima tekanan darah rendah selama resusitasi
trauma telah lama dianggap membantu. Namun, membiarkan tekanan darah
rendah seringkali berlawanan dengan intuisi dokter karena kesalahpahaman
bahwa tekanan darah selalu sama dengan perfusi organ.
Penelitian oleh Walter Cannon dan John Fraser, mengamati bahwa ketika
tekanan darah yang lebih tinggi ditargetkan dengan pemberian lebih banyak cairan
kristaloid maka "darah yang sangat dibutuhkan mungkin hilang”. Penelitian oleh
Henry Beecher; target tekanan darah sistolik (TDS) 80-90 mmHg dianggap
"menguntungkan" sebelum operasi. Serangkaian penelitian pada hewan juga
menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup ketika tekanan darah rendah, yaitu
tekanan arteri rata-rata (MAP) 50-60 mmHg menjadi sasaran dalam model syok
hemoragik. Pada kebanyakan model hewan, MAP 45 sampai 50 mmHg cukup
untuk mempertahankan perfusi otak dan jantung serta perfusi ginjal tampaknya
bertahan ketika MAP dipertahankan > 50 mmHg setelah kehilangan darah.
Meskipun target tekanan darah optimal belum ditentukan, berdasarkan data
yang tersedia saat ini, TDS 90-100 mmHg kemungkinan besar aman untuk
sebagian besar pasien. Pada pasien dengan cedera otak traumatis atau cedera
tulang belakang, tekanan darah yang lebih tinggi direkomendasikan dan resusitasi
hipotensif tidak boleh digunakan pada pasien ini. Menurut pedoman terbaru untuk
penatalaksanaan cedera otak traumatis, TDS > 100 mmHg direkomendasikan
untuk pasien berusia 50-69 tahun dan TDS > 110 mmHg direkomendasikan untuk
pasien berusia > 49 tahun atau > 70 tahun.

6. Pembatasan Kristaloid
Respon pasien terhadap pemberian infus cairan isotonik atau darah
merupakan indikator perlunya pembedahan atau prosedur hemostatik intervensi.
Resusitasi cairan agresif merupakan terapi cairan awal yang direkomendasikan
17

selama beberapa dekade. Namun, pendekatan ini mungkin berujung pada


terjadinya kehilangan darah dan kematian yang lebih tinggi (12)..
Pada tahun 1960-an resusitasi cairan kristaloid menunjukkan bahwa
perdarahan selalu dikaitkan dengan hilangnya cairan isotonik di ruang
ekstraseluler. Defisit cairan ini dapat segera diganti dengan kristaloid isotonik.
Namun, semakin banyak penelitian yang menyoroti bahaya cairan kristaloid
dalam keadaan syok, dan khususnya dalam trauma mayor. Cairan kristaloid
meningkatkan asidois, mengencerkan faktor koagulasi dan mengganggu mediator
inflamasi.
Bukti yang semakin banyak telah menunjukkan bahwa strategi resusitasi
agresif dengan kristaloid dikaitkan dengan komplikasi jantung dan paru, disfungsi
gastrointestinal, gangguan koagulasi, dan gangguan mediator imunologis dan
inflamasi. Pemberian cairan dalam jumlah besar menyebabkan ketidakseimbangan
osmolaritas intraseluler dan ekstraseluler yang mempengaruhi volume sel.
Gangguan dalam sel volume kemudian mengganggu berbagai mekanisme
pengaturan bertanggung jawab untuk mengendalikan kaskade inflamasi.(14)
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai bahaya resusitasi kristaloid
pada pasien trauma. Penelitian retrospektif oleh Ley et al., menunjukkan bahwa
penggunaan cairan kristaloid lebih dari 1,5 liter pada pasien trauma berhubungan
dengan peningkatan mortalitas. Penelitan retrospektif oleh Neal et al.,
menunjukkan bahwa perbandingan kristaloid (liter) : sel darah merah (unit) yaitu
1,5:1 pada pasien yang telah menerima transfusi masif lebih berisiko 70%
mengalami Multiple Organ Failure, dan lebih berisiko 2 kali lebih besar
mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome dan Abdominal Prospective
Syndrome.
Untuk alasan ini, pendekatan alternatif untuk penanganan pasien dengan
perdarahan baru-baru ini diusulkan dan diterapkan. Pendekatannya diperkenalkan
sebagai hipotensi permisif, resusitasi tertunda, atau terkontrol resusitasi. Tujuan
dari strategi resusitasi ini bukan untuk mengkoreksi hipotensi melainkan untuk
menyeimbangkan risiko penurunan perfusi jaringan dengan manfaat dari
pencegahan koagulopati.
18

Advanced Trauma Life Support edisi kesepuluh menekankan konsep


resusitasi seimbang, dan istilah "resusitasi agresif" telah dihilangkan. Penggunaan
standar resusitasi kristaloid 2 L sebagai titik awal untuk semua resusitasi telah
dimodifikasi menjadi inisiasi 1 liter infus kristaloid. Penggunaan awal darah dan
produk darah untuk pasien shock lebih ditekankan. Control trial secara random
sampling terbaru untuk mengevaluasi manfaat resusitasi dilaporkan pada 2015.
Studi multisenter ini dilakukan selama 19 tahun pada sistem layanan medis
darurat di AS dan Kanada. Resusitasi terkontrol menghasilkan penurunan volume
resusitasi kristaloid awal dan peningkatan transfusi awal produk darah. Meskipun
angka kematian pada 24 jam tidak berbeda di antara semua pasien, tapi resusitasi
terkontrol memberikan luaran yang lebih baik dalam subkelompok pasien dengan
trauma tumpul.

7. Pencegahan Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai temperatur inti tubuh di bawah 35°C, mild
hypothermia antara 32–35°C, moderate hypothermia 28–32°C dan severe
hypothermia di bawah 28°C (Joint Royal Colleges Ambulance Liaison Committee
(JRCALC), 2016). Namun pada trauma berat temperatur di bawah 36°C sudah
dikategorikan hipotermia dengan temperatur di bawah 32°C termasuk severe
hypothermia (ATLS. 10th ed.2018). Pasien trauma dengan acute traumatic
coagulopathy (ATC) berhadapan dengan peningkatan 4 kali kematian
dibandingkan pasien dengan status koagulasi yang normal (Brohi et al, 2008).
ATC diperparah dengan penurunan temperatur pasien dan darah yang bersifat
asam (asidosis). Syok hipovolemik akibat perdarahan pada organ mayor, tulang,
serta jaringan sangat mempengaruhi sirkulasi volume darah, oxygen delivery,
mengurangi konsumsi oksigen dan mengarah pada ketidakmampuan tubuh untuk
mempertahankan temperatur inti dikarenakan suplai inadekuat darah kaya oksigen
ke jaringan vital.

Tim trauma harus memperhatikan jangan sampai pasien mengalami


kehilangan panas selama fase resusitasi awal di instalasi gawat darurat.
Hipotermia dapat dicegah dengan melakukan beberapa hal berikut:
menghangatkan ruangan resusitasi, menutup kepala pasien dengan turban/surgical
19

cap, melapisi tubuh dan ekstremitas dengan selimut hangat atau warmer dengan
target temperatur 43°C, memberi infus kristaloid dan transfusi darah dengan
dihangatkan terlebih dahulu, atau irigasi rongga toraks dan abdomen
menggunakan kristaloid hangat hingga 39°C selama torakotomi maupun
laparotomi.

Hipotermia berdampak pada aktivitas tingkat sel dimana terjadi perubahan


pemakaian energi (shifting) dari metabolism aerob menghasilkan adenosine
triphosphate (ATP) ke metabolism energi anaerob dengan menggunakan
adenosine triphosphate (ADP) akibat hipoperfusi sel karena trauma. Perlu
diketahui ATP lebih efisien dalam meregulasi panas dibandingkan ADP. Lebih
jauh lagi penurunan temperatur mengurangi produksi thrombin (faktor IIa) dan
sebagai konsekuensinya waktu pembekuan memanjang. Pada temperatur di bawah
33°C aktivitas koagulasi melibatkan tissue factor dan faktor VIIa berkurang
sehingga sintesis fibrinogen juga terganggu.
Sebuah studi skala besar pada 1245 pasien di 10 trauma centre Amerika
Serikat level 1 menyimpulkan temperature di bawah 35,8°C merupakan faktor
independent berkembangnya ATC. Hess et all mengemukakan kondisi moderate
hypothermia mengganggu agregasi dan adhesi platelet karena daya traksi faktor
von Willebrand pada permukaan reseptor glikoprotein platelet menurun
jumlahnya terlebih pada suhu lebih rendah dari 30°C interaksinya sangat
berkurang pada 75% dari seluruh kasus. Meng et all berpendapat terdapat
pengurangan efektivitas fungsi platelet dan aktivitas enzim sebanyak 20% pada
pasien trauma dengan temperatur di bawah 33°C
Pada DCR, hipotermia harus ditangani bersamaan dengan upaya untuk
memperbaiki koagulopati yang diinduksi trauma. Penting untuk menghangatkan
kembali seluruh bagian tubuh seperti dengan selimut, dan melepaskan pakaian
yang basah. Resusitasi cairan awal harus dilakukan dengan infus hangat pada
cairan suhu 40–42 ° C. Menghirup udara panas, lavage lambung atau rongga
tubuh dengan cairan hangat, dan radiasi panas dilakukan secara luas serta
penggunaan standar pengukuran pemanasan dengan infuser cepat. Suhu di ruang
gawat darurat dan ruang operasi harus dinaikkan, paling baik ke suhu netral
kisaran (28–29 ° C). Jika hipotermia berlanjut atau kambuh dengan cepat
20

meskipun pemanasan ulang maksimal ini upaya, perdarahan yang sedang


berlangsung dan hipoperfusi jaringan yang tidak terselesaikan dan hipoksia harus
dicurigai.

1. Menangani Asidosis
Pasien yang mengalami perdarahan hebat oleh karena trauma, kadar oksigen
yang ada di sirkulasi menurun sehingga ketersediaan oksigen untuk aktivitas
respirasi seluler yang menghasilkan molekul ATP terbatas. Normalnya
metabolism normal menghasilkan energi sebanyak 38 ATP melalui siklus Krebs
dengan hasil energi berupa air dan karbondioksida. Kurangnya persediaan oksigen
di tingkat sel akan mengarah ke hipoksia sehingga jumlah ATP yang dihasilkan
berkurang, metabolisme seluler akan beralih dari jalur respirasi aerob menjadi
anaerob melalui proses glikolisis. Metabolisme anaerob menghasilkan 2 molekul
ATP dengan hasil produknya selain energi adalah karbondioksida dan asam laktat.
Karbondioksida dan asam laktat ini dalam darah membentuk ion hidrogen dalam
darah dan sebagai konsekuensinya menurunkan PH darah. Memban sel menjadi
meningkat permeabilitasnya menyebabkan edema sel yang makin memperberat
oxygen delivery ke jaringan. Metabolisme anaerob dikombinasikan dengan efek
edema sel dan oksigenasi sel yang terbatas berakibat bertambah banyaknya
produksi asam laktat dan radikal bebas.
Asidosis terjadi karena tubuh tidak mampu mengeliminasi asam laktat untuk
mempertahankan nilai normal PH dalam rentang 7,35-7,45. Akibat hipoperfusi
ginjal, bikarbonat (HCO3-) melalui sistem buffer bekerja keras menyeimbangkan
peningkatan hidrogen (kondisi asam) dalam darah dengan cara mengikat ion
hidrogen membentuk ikatan asam lemah namun lama kelamaan akhirnya
bikarbonat menjadi kelelahan dalam mengkompensasi kelebihan asam tersebut
sehingga timbul asidosis.15 Penurunan PH menyebabkan kerusakan sel dan
aktivasi respon inflamasi dan rilis inotropic negative, menyebabkan vasodilatasi
dan pada pasien yang sudah mengalami gangguan sirkulasi menyebabkan
hipovolemik tak terkompensasi akhirnya berujung syok ireversibel.
Mekanisme koagulasi menjadi tidak efektif pada keadaan asidosis dimana
faktor pembekuan tidak bekerja semestinya pada PH di bawah 7,3. Martini et al
21

melakukan sebuah studi berapa lama waktu yang dibutuhkan faktor intrinsik dan
ekstrinsik koagulasi bekerja pada PH yang rendah, hasilnya partial
thromboplastin time sebagai pengukuran faktor intrinsik dan prothrombin time
pada faktor ekstrinsik waktu pembekuannya memanjang pada kondisi asidosis,
lebih jauh lagi PH di bawah 7,1 membuat kerja prothrombin time meningkat
hampir 50%, jumlah fibrinogen yang tersedia berkurang sebanyak 34%, hitung
platelet menurun sebanyak 51%. Meng et al menyimpulkan meskipun koagulopati
dikoreksi dengan pemberian faktor VIIa, waktu perdarahan tetap tidak membaik
dalam keadaan asidosis metabolik. Penelitian Darlington pada hewan coba babi
menyimpulkan koagulopati menetap meskipun asidosis sudah dikoreksi dengan
hipotesis kerusakan enzim pembekuan sudah terjadi selama fase asidosis. Oleh
karena itu harus diidentifikasi dini potensial asidosis metabolik yang dapat terjadi
kedepannya dan manajemen yang tepat untuk mencegahnya.
Buffering asidosis metabolik menggunakan obat-obatan tidak hanya
memperburuk asidosis intraseluler tetapi juga tidak membalikkan koagulopati.
Pengembalian metabolisme asidosis pada pasien trauma lebih baik diperoleh
melalui cairan dan resusitasi darah dan dukungan vasopressor dengan kontrol
bedah perdarahan. Karena tanda-tanda vital seperti tekanan darah dan detak
jantung tidak memadai untuk mengevaluasi perfusi jaringan perifer, beberapa titik
akhir resusitasi dibahas. Mendasarkan defisit dan tingkat laktat adalah indeks yang
dapat diandalkan yang untuk mengevaluasi kecukupan resusitasi dan perfusi organ
akhir. Bukan hanya nilai laktat awal saat masuk tetapi juga bersihan laktat dari
plasma dalam beberapa jam pertama berhubungan dengan resusitasi kematian
pasien trauma.

2.6 Damage Control Surgery


Operasi pada DCR adalah untuk meminimalkan jumlah waktu dan prosedur
awal yang dilakukan di ruang operasi dan hanya untuk intervensi kritis. Teknik
seperti balutan perut, penggunaan agen hemostatik, vaskuler shunting, dan
penggunaan stenting endovaskular dan embolisasi dapat membantu. Tujuannya
adalah untuk meminimalkan waktu di ruang operasi, membatasi pendarahan dan
kehilangan panas lebih lanjut untuk memberikan waktu bagi pasien untuk
22

diresusitasi di unit perawatan intensif untuk memperbaiki gangguan fisiologis dan


metabolik sebelum rencana kembali ke ruang operasi. Operasi ulangan dapat
direncanakan antara 6 sampai 48 jam setelah operasi pertama. Tindakan operasi
selanjutnya bertujuan untuk tindakan definitif (3).

Kecepatan pencapaian pengendalian perdarahan sangat penting. Fokus


protokol trauma utama pada pengiriman cepat pasien ke fasilitas yang
memungkinkan. Intervensi sederhana untuk mengurangi perdarahan sebelum
perawatan definitif tersedia harus menjadi bagian dari protokol perawatan trauma.
Contohnya termasuk penggunaan pengikat panggul, aplikasi pembalut tekan
untuk luka yang berdarah secara aktif dan penggunaan torniket pada luka yang
lebih parah di mana hal ini tidak efektif. Torniket menyebabkan iskemik
ekstremitas dan dapat menyebabkan cedera saraf, oleh karena itu harus digunakan
dengan hati-hati.(6)

Dalam kasus cedera ekstremitas yang parah, penanganan perdarahan yang


mengancam jiwa harus lebih besar daripada kekhawatiran tentang penyelamatan
ekstremitas. Tamponade kateter balon aorta temporer dapat digunakan pada
pasien dengan perdarahan perut, panggul, dan ekstremitas bawah yang parah.
Meskipun terdapat potensi komplikasi dan konsekuensi yang signifikan ketika
intervensi sederhana gagal atau tidak memungkinkan, tapi tindakan ini
memberikan alternatif yang valid.

Pendekatan DCR harus dipertimbangkan pada semua pasien yang cedera


karena menempatkan mereka pada risiko perdarahan yang signifikan atau
gangguan fisiologis. Ini termasuk pasien yang dengan atau dicurigai mengalami
cedera visceral abdomen atau cedera toraks mayor, trauma pelvis yang signifikan,
amputasi yang signifikan, patah tulang panjang, dan cedera kepala.

Tabel 2.4 Parameter keparahan pasien trauma(6)

Parameter Anatomi Parameter fisiologi Parameter laboratorium


Menghitung ISS >36 Laktat >2.5 mmol/L
Luka tembus abdomen Pulsasi arteri radialis hilang Hitung platelet <90.000/ml
atau lemah
Luka tembus thorax Temperature tubuh pusat <35C Fibrinogen >1g/dl
23

Open fraktur pelvis TDS <100mmHg PT >16 detik


Fraktur tulang Panjang dan HR >100 INR >1.5
cedera kepala
Fraktur tulang Panjang dengan PaO2/FIO2 <250 Hb <11
kontusio paru
Perdarahan tungkai dengan Urine output <50ml/jam pH <7.2, Defisit Base <6
amputasi

Mengingat sifat cedera dan status fisiologis pasien yang menjalani Damage
Controle Surgery, tidak mengherankan jika komplikasi dan mortalitasnya tinggi.
Komplikasi meliputi angka infeksi luka 50-100%, abses intra abdominal 25-8%,
fistula enterokutan 20-25% dan hipertensi abdominal pada 20% pasien. Angka
kematian berkisar antara 12-67% dalam berbagai penelitian. Mengingat hal ini,
penting bahwa ahli bedah trauma harus mengikuti pedoman yang
direkomendasikan untuk penerapan Damage Controle Surgery. Penggunaan
prinsip Damage Controle Surgery pada waktu yang tepat akan menyelamatkan
nyawa pasien trauma yang sakit kritis. Terlepas dari peningkatan morbiditas,
prinsip pengendalian kerusakan tetap ada, dan pada kenyataannya diperluas ke
trauma ortopedi dan toraks.

Kesimpulannya, Damage Controle Surgery telah berkembang selama dua


dekade terakhir sebagai sebuah konsep dalam manajemen pasien dengan cedera
perut yang parah. Ini bukanlah prosedur bailout atau pengabaian teknik bedah
yang tepat. Hal ini adalah pendekatan bedah yang diperhitungkan membutuhkan
penilaian secara matang. Hal ini juga telah terbukti mengurangi angka kematian
secara signifikan bila diterapkan pada cedera yang sebelumnya tidak dapat
bertahan hidup.

2.7 Pemberian Antibiotik pada Pasien Trauma


Pemberian antibiotik pada pasien trauma mayor perlu ditinjau kembali.
Ulasan ini dibagi menjadi empat bagian berdasarkan lokasi anatomi trauma seperti
(1) trauma kepala, (2) trauma toraks, (3) trauma abdomen, dan (4) fraktur terbuka,
termasuk patah tulang.

2.7.1 Trauma Kepala


24

Trauma kepala atau cedera otak traumatis secara signifikan meningkatkan


risiko pasien terhadap infeksi melalui berbagai mekanisme. Sekitar 4% dari semua
cedera kepala termasuk patah tulang dasar tengkorak, dan 90% dari patah tulang
ini adalah akibat trauma kepala tertutup. Penderita fraktur dasar tengkorak
berisiko tinggi mengalami meningitis karena adanya potensi kontak bakteri antara
sinus paranasal, nasofaring, atau telinga tengah dengan sistem saraf pusat. Risiko
tertular meningitis lebih tinggi dengan adanya kebocoran cairan serebrospinal
(CSF).
Ventilator-related pneumonia (VAP) adalah penyebab lain infeksi pada
pasien TBI (Traumatic Brain Injury). Karena kemampuan perlindungan jalan
nafas yang terganggu setelah TBI dan kebutuhan oksigenasi jaringan yang kuat,
ventilasi mekanis sering direkomendasikan pada pasien dengan TBI, dan oleh
karena itu VAP sering ditemukan setelah TBI. Sirvent dkk. melakukan uji coba
terkontrol secara acak yang melibatkan 86 pasien dengan TBI parah dengan
membagi pasien ini secara merata ke dalam kelompok pengobatan (pemberian
cefuroxime [1,5 g] untuk dua dosis dalam 6 jam setelah intubasi) dan kelompok
kontrol (tanpa pemberian antibiotik setelah intubasi) dan mengungkapkan bahwa
kejadian pneumonia secara signifikan menurun.
Infeksi umum terjadi setelah cedera otak tembus (Penetrating Brain Injury)
karena adanya benda asing yang terkontaminasi di jaringan otak di sepanjang jalur
luka tembus dan berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.Staphylococcus aureus adalah organisme penyebab infeksi yang paling
sering; namun, bakteri gram negatif lainnya juga menyebabkan infeksi
intrakranial setelah PBI. Komplikasi infeksi pada PBI kira-kira 58,8% pada era
pra antibiotik; namun, sekarang diperkirakan menjadi 1– 5% dengan penggunaan
antibiotik spektrum luas. Antibiotik spektrum luas (misalnya, IVco-amoxiclav
[1,2 g per 8 jam] atau IV cefuroxime [1,5 g diikuti 750 mg per 8 jam] dengan
metronidazol IV [500 mg per 8 jam]) harus diresepkan untuk semua pasien
dengan PBI sesegera mungkin dan berlanjut setidaknya selama 7–14 hari.(16)

2.7.2 Trauma Thorax


Trauma dada sering terjadi pada pasien yang mengalami trauma tumpul atau
tembus. Luka toraks mencapai 20-25% dari semua kematian akibat trauma, dan
25

hampir 10% memerlukan torakotomi, sedangkan 85% sisanya dapat ditangani


melalui torakostomi tabung tertutup. Empiema pascatrauma merupakan perhatian
utama pada cedera dada tumpul dan tembus. Penyebab potensial termasuk (1)
infeksi iatrogenik selama penempatan chest tube, (2) kontaminasi langsung akibat
luka tembus, (3) infeksi sekunder pada rongga pleura yang disebabkan oleh cedera
organ intra-abdominal terkait dengan gangguan diafragma, (4) infeksi sekunder
pada hemotoraks yang tidak dievakuasi seluruhnya atau tidak secara adekuat, (5)
penyebaran hematogen atau limfatik infeksi subdiafragma ke ruang pleura, dan (6)
empiema parapneumonik yang rumit dari pneumonia pasca trauma atau memar
paru.
Kesimpulannya, pengobatan antibiotik profilaksis dengan menggunakan
sefalosporin generasi pertama tidak lebih dari 24 jam cukup diindikasikan pada
pasien dengan trauma tembus dada yang dilakukan insersi chest tube karena
beberapa bukti telah mendukung bahwa praktik ini mengurangi kejadian
empiema. Namun, penggunaan antibiotik profilaksis tidak diindikasikan pada
pasien dengan trauma dada tumpul.(16)

2.7.3 Trauma Abdomen


Trauma abdomen biasanya sangat rumit karena melibatkan cedera tumpul
atau tembus serta cedera organ padat atau berongga. Penggunaan antibiotik
profilaksis untuk pengobatan trauma abdomen memiliki banyak pertimbangan,
termasuk pilihan antibiotik, waktu pemberian, dan lamanya pemakaian. Faktor
penting lainnya termasuk usia pasien, lokasi cedera, keterlibatan organ berongga,
dan pilihan pengobatan (nonoperatif atau operatif).
Penggunaan antibiotik profilaksis tidak diperlukan pada pasien dengan
trauma tumpul abdomen tanpa cedera organ berongga dan tidak ada indikasi lain
untuk laparotomi. Selain itu, pasien dengan trauma tumpul abdomen yang
menjalani damage control laparatomy hanya memerlukan pemberian antibiotik
sebelum operasi. Perut sering dibiarkan terbuka selama beberapa waktu setelah
damage control laparatomy, terutama pada pasien dengan koagulopati atau
asidosis atau mereka yang berisiko mengalami sindrom kompartemen abdomen.(17)

2.7.4 Fraktur Terbuka


26

Fraktur terbuka merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada


trauma dewasa, dan infeksi luka merupakan salah satu komplikasi parah yang
terkait dengan fraktur terbuka. Fraktur terbuka di ekstremitas bawah setelah
cedera energi tinggi sangat meningkatkan risiko infeksi daripada yang terjadi di
ekstremitas atas. Corpus tibia adalah tempat paling umum dari patah tulang
panjang terbuka dan juga rentan terhadap infeksi karena cakupan jaringan lunak
yang terbatas dan suplai darah yang buruk. Penggunaan antibiotik merupakan
pengobatan tambahan yang penting. Antibiotik telah menjadi bagian dari protokol
manajemen standar, termasuk pencucian luka (irigasi), pembersihan luka dan
patah tulang (debridemen bedah), dan stabilisasi patah tulang. Namun, efek
antibiotik masih belum pasti.(16)
Risiko infeksi berbeda dengan jenis patah tulang terbuka. Dengan
menggunakan pembagian Gustilo, metode yang paling umum digunakan untuk
mengklasifikasikan patah tulang terbuka, sebuah penelitian melaporkan tingkat
infeksi berikut — tipe I 0–2%, tipe II 2-7%, tipe IIIA 7%, tipe IIIB 10–50%, dan
tipe IIIC 25- 50% [25]. Fraktur terbuka Gustilo tipe III melibatkan kerusakan
jaringan lunak yang luas; oleh karena itu, antibiotik terapeutik daripada antibiotik
profilaksis digunakan. Selain itu, hanya sedikit penelitian terkontrol pada pasien
dengan fraktur terbuka yang telah dilaporkan [26, 27], dan antibiotik pencegahan
dengan durasi sekitar 10 hari daripada antibiotik profilaksis digunakan dalam
penelitian ini.(16)
Pada tahun 2011, Asosiasi Timur untuk Bedah Trauma menerbitkan
pedoman praktik tentang penggunaan antibiotik profilaksis pada fraktur terbuka
dan memberikan beberapa rekomendasi level I dan level II.
 Level I:
1. Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan pada organisme gram positif
harus dimulai secepat mungkin setelah cedera.
2. Cakupan gram negatif tambahan harus disediakan untuk fraktur tipe III.
3. Terapi penisilin dosis tinggi harus disediakan untuk luka kotor atau potensi
kontaminasi klostridial (misalnya, cedera yang berhubungan dengan
peternakan).
27

4. Dibandingkan dengan sefalosporin dan aminoglikosida, fluoroquinolon


tidak menguntungkan, mungkin memiliki efek merugikan pada
penyembuhan patah tulang, dan mengakibatkan tingkat infeksi yang lebih
tinggi pada patah tulang terbuka tipe III.

 Level II:
1. Pada fraktur tipe III, antibiotik harus dilanjutkan selama 72 jam setelah
cedera atau tidak lebih dari 24 jam setelah cakupan jaringan lunak tercapai.
2. Dosis aminoglikosida sekali sehari aman dan efektif untuk patah tulang tipe
II dan III.(17)

2.8 Monitoring paska operasi


Fase ini biasa disebut dengan DC II, merupakan fase resusitasi secara
fisiologis dan biokimia di unit perawatan intensif (ICU). Tujuan DC II adalah
untuk mengembalikan gejala sisa hipotensi terkait kegagalan metabolisme dan
mendukung pemulihan fisiologis dan biokimia. Perawatan simultan untuk semua
kelainan fisiologis sangat penting dan sebagai hasilnya, beberapa jam pertama di
ICU sangat menetukan dan seringkali membutuhkan upaya kolaboratif dari
beberapa dokter perawatan kritis, perawat, dan staf tambahan.(11)
Salah satu kunci pemulihan fisiologis adalah pengiriman oksigen yang
memadai ke jaringan tubuh. Mesin pemantauan secara invasif umumnya
digunakan untuk memandu pemberian cairan dan menormalkan hemodinamik.
Metode pemantauan yang tepat yang digunakan akan bervariasi sesuai dengan
protokol dan preferensi lokal tetapi beberapa opsi tersedia (misalnya Doppler
trans-esofagus, ekokardiografi trans-toraks, pengenceran litium, kateter arteri
pulmonalis, dll.). Sebagian besar memperkirakan curah jantung dan responsnya
terhadap pemberian cairan. Semua teknik memiliki kelebihan dan kekurangan
dan, pada umumnya, akan memberikan akurasi pengukuran untuk tingkat invasif.
(18)

Sampai saat ini, titik akhir hemodinamik yang harus dicapai setelah cedera
parah agar pasien bisa bertahan hidup masih menjadi kontroversial. Selain itu,
28

resusitasi pasien untuk hemodinamik normal atau supranormal dan variabel


transpor oksigen belum terbukti memprediksi bertahannya hidup pasien. Namun,
Abramson dan rekannya menunjukkan penanganan untuk mengurangi serum
laktat berkorelasi baik dengan kelangsungan hidup pasien dan pengembalian
laktat ke tingkat normal dalam 24 jam sangat penting untuk kelangsungan hidup
pasien.

Penghangatan tubuh secara cepat dan agresif tidak hanya meningkatkan


perfusi, tetapi juga membantu membalikkan koagulopati. Tindakan ini dimulai di
ruang trauma dan ruang operasi harus diduplikasi di ICU. Gentilello menunjukkan
kegagalan untuk mengoreksi pasien hipotermia setelah operasi DCR merupakan
penanda resusitasi yang tidak adekuat atau syok yang ireversibel.(18)

Perlakuan yang agresif untuk koreksi koagulopati sangat penting di DC II.


Terapi standar untuk memperbaiki koagulopati termasuk kembalinya hipotermia
dan pemberian FFP, yang kaya akan Faktor V dan VIII. Pemberian faktor
pembekuan darah dengan FFP berlanjut sampai pengukuran laboratorium
koagulasi normal. Kadar trombosit juga harus dievaluasi dan dikoreksi. Demikian
juga kadar fibrinogen seharusnya dinilai dan jika perlu kriopresipitat diinfuskan.
Semua produk darah harus dihangatkan sebelum ditransfusikan.

Selama DC II, pemeriksaan fisik lengkap atau 'survei tersier' pasien harus
dilakukan. Ini harus mencakup studi pencitraan yang relevan jika sesuai dan
pasien juga harus melanjutkan ke CT scan untuk mendeteksi cedera tersembunyi
jika kondisi hemodinamik cukup stabil. Dalam kasus trauma tumpul, pemeriksaan
tulang belakang sangat penting. Luka perifer ditangani dan integritas vaskular dari
semua anggota tubuh yang cedera sering dinilai.(19)

Waktu yang tepat untuk rekonstruksi dan penutupan abdomen (DC III)
bergantung pada masing-masing pasien. Tujuannya adalah untuk meresusitasi
pasien ke dalam parameter fisiologis normal; untuk beberapa pasien, ini mungkin
hanya membutuhkan 12 jam, sementara pada pasien lain akan membutuhkan 24 -
36 jam. Harus diingat bahwa jika pasien tidak menjadi normal secara
hemodinamik atau turunnya kadar asam laktat atau asidosis gagal membaik,
29

pasien harus dibawa kembali ke ruang operasi lebih awal untuk eksplorasi ulang.
(19)
BAB 3
KESIMPULAN

Prinsip-prinsipnya telah diadaptasi oleh komisi trauma berbagai


negara untuk digunakan pada pasien yang mengalami cedera hebat. DCR
lebih dari satu teknik atau pengobatan tetapi lebih banyak strategi yang
menggabungkan resusitasi dan perawatan bedah. Ini berfokus pada
resusitasi cepat dengan darah, kontrol perdarahan cepat, dan koreksi
gangguan metabolisme. Ketika digunakan dengan benar, ini telah terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup, mengurangi lama tinggal, dan
meningkatkan hasil.
Resusitasi DCR saat ini mencakup transfusi produk darah sedini
mungkin sejak terjadinya trauma, penghentian segera dan / atau
temporisasi dari perdarahan yang sedang berlangsung (yaitu dengan TIVS
dan tamponade balon), dan pengisian volume darah dan stabilisasi
fisiologis / hematologis. Dilakukannya DCR dapat mengatasi koagulopati
awal pada pasien trauma dan juga menghindari resusitasi kristaloid masif.
Evolusi masa depan dari konsep DCR akan mencakup penjelasan lebih
lanjut tentang resusitasi yang dipersonalisasi (rasio produk darah individu
berdasarkan pengujian titik perawatan) serta pengenalan rangkaian operasi
angiografi hibrid di pusat-pusat dengan ketersediaan sumber daya.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Simmons JW, Pittet J-F, Pierce B. Trauma-Induced Coagulopathy. Curr


Anesthesiol Rep. 2014;4(3):189–99.
2. Riyadina W. Kecelakaan Kerja Dan Cedera Yang Dialami Oleh Pekerja
Industri Di Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta. Makara, Kesehat.
2007;11(1):25–31.
3. Leibner E, Andreae M, Galvagno SM, Scalea T. Damage control
resuscitation. Clin Exp Emerg Med. 2020;7(1):5–13.
4. Thorsen K, Ringdal KG, Strand K, Søreide E, Hagemo J, Søreide K.
Clinical and cellular effects of hypothermia, acidosis and coagulopathy in
major injury. Br J Surg. 2011;98(7):894–907.
5. De Waele JJ, Vermassen FEG. Coagulopathy, hypothermia and acidosis in
trauma patients : The rationale for damage control surgery. Acta Chir
Belg. 2002;102(5):313–6.
6. Giannoudi M, Harwood P. Damage control resuscitation: lessons learned.
Eur J Trauma Emerg Surg. 2016;42(3):273–82.
7. Pape H-C. Damage control management in the polytrauma patient.
[recurso electrónico] [Internet]. 2010. Available from:
http://ezproxy.uniandes.edu.co:8080/login?
url=http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=cat00683a&AN=udla.460135&lang=es&site=eds-
live&scope=site%5Cnhttp://ezproxy.uniandes.edu.co:8080/login?
url=http://dx.doi.org/10.1007/978-0-387-89508-6
8. David B. Hoyt, MD F. Advanced Trauma Life Support. 10th ed. Merrick
C, editor. Chicago: American College of Surgeons; 2018. 474 p.
9. Cap AP, Pidcoke HF, Spinella P, Strandenes G, Borgman MA, Schreiber
M, et al. Damage control resuscitation. Mil Med. 2018;183:36–43.
10. Holcomb JB, Tilley BC, Baraniuk S, Fox EE, Wade CE, Podbielski JM, et
al. Transfusion of plasma, platelets, and red blood cells in a 1:1:1 vs a
1:1:2 ratio and mortality in patients with severe trauma: The PROPPR
randomized clinical trial. JAMA - J Am Med Assoc. 2015;313(5):471–82.

33
11. Mizobata Y. Damage control resuscitation: A practical approach for

33
34

severely hemorrhagic patients and its effects on trauma surgery. J Intensive Care
[Internet]. 2017;5(1):1–9. Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s40560-016-
0197-5
12. Roberts I, Shakur H, Coats T, Hunt B, Balogun E, Barnetson L, et al. The
CRASH-2 trial: A randomised controlled trial and economic evaluation of
the effects of tranexamic acid on death, vascular occlusive events and
transfusion requirement in bleeding trauma patients. Health Technol
Assess (Rockv). 2013;17(10):1–80.
13. Morrison JJ, Dubose JJ, Rasmussen TE, Midwinter MJ. Military
application of tranexamic acid in trauma emergency resuscitation
(MATTERs) study. Arch Surg. 2012;147(2):113–9.
14. Dries DJ. Results of the CONTROL Trial: Efficacy and Safety of
Recombinant Activated Factor VII in the Management of Refractory
Traumatic Hemorrhage. Yearb Crit Care Med [Internet]. 2011;2011:266–
8. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.yccm.2010.12.019
15. Olldashi F, Kerçi M, Zhurda T, Ruçi K, Banushi A, Traverso MS, et al.
Effects of tranexamic acid on death, vascular occlusive events, and blood
transfusion in trauma patients with significant haemorrhage (CRASH-2):
A randomised, placebo-controlled trial. Lancet [Internet].
2010;376(9734):23–32. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-
6736(10)60835-5
16. Yuan KC, Huang HC. Antimicrobial Prophylaxis in Patients with Major
Trauma. Curr Trauma Reports. 2017;3(4):292–9.
17. Lane JC, Mabvuure NT, Hindocha S, Khan W. Current Concepts of
Prophylactic Antibiotics in Trauma: A Review. Open Orthop J.
2012;6(1):511–7.
18. Ball CG. Damage control resuscitation: History, theory and technique. Can
J Surg. 2014;57(1):55–60.
19. Lamb CM, Macgoey P, Navarro AP, Brooks AJ. Damage control surgery
in the era of damage control resuscitation. Br J Anaesth. 2014;113(2):242–
9.
20. Raza S, Baig MA, Chang C, et al. A Prospective Study on Red Blood Cell
35

Transfusion Related Hyperkalemia in Critically Ill Patients. J Clin Med


Res.2015;7(6):417-421 DOI : http://dx.doi.org/10.14740/jocmr2123w.
21. Patil V, Shetmahajan M. Massive transfusion and massive transfusion
protocol. Indian J Anaesth 2014;58:590-5. DOI : 10.4103/0019-
5049.144662
22. Simmons JW, Pittet JF, Pierce B. Trauma-Induced Coagulopathy. Curr Anesthesiol
Rep. 2014 Sep 1;4(3):189-199. doi: 10.1007/s40140-014-0063-8. PMID:
25587242

Anda mungkin juga menyukai