Oleh:
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui oleh :
Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
REFERAT.........................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.............................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................................vi
BAB 1................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
BAB 2................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
2.1 Definisi..............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.....................................................................................................4
2.3 Patofisiologi.......................................................................................................4
2.4 Prinsip dari DCR..............................................................................................6
2.5 Tatalaksana DCR.............................................................................................7
2.6 Damage Control Surgery...............................................................................10
2.7 Pemberian Antibiotik pada Pasien Trauma.................................................13
2.8 Monitoring paska operasi..............................................................................16
BAB 3..............................................................................................................................26
KESIMPULAN..............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................27
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR SINGKATAN
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1
dengan jumlah kematian sebanyak 30-40% yang sebenarnya hal ini masih dapat
dicegah. Kematian akibat kehilangan darah paling banyak terjadi dalam 6 jam
pertama post trauma akibat syok hemoragik. Implementasi pada prinsip “Damage
Control” yang dilakukan lebih awal selama resusitasi dan pembedahan darurat
mampu mengontrol efek yang ditimbulkan oleh trauma dengan perdarahan yang
hebat.(4)
Oleh karena itu dalam referat ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai
Damage Control Resuscitation sehingga nantinya dapat dijalankan dengan baik
untuk mengatasi keadaan syok, asidosis, hipotermia dan koagulopati pada pasien
trauma agar kondisi pasien tidak menjadi lebih buruk dan dapat mengurangi
angka kematian.(5)
2
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Damage Control Resuscitation merupakan pendekatan terhadap penanganan
awal pasien dengan luka sangat berat. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan
pasien tetap hidup selagi menghindari situasi yang berisiko memperburuk situasi
mereka dengan mengendalikan triage kematian yang terdiri dari hipotermia,
koagulopati, dan asidosis, atau secara berlebihan merangsang sistem imun
inflamasi. Penting diketahui bahwa konsep dan kepraktisan pendekatan ini
dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam manajemen awal pasien trauma.(6)
2.2 Epidemiologi
Di seluruh dunia lebih dari 10.000 orang meninggal setiap hari akibat
cedera. Literatur pengendalian cedera menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas
jalan, jatuh dari ketinggian, dan kekerasan yang disengaja (termasuk melukai diri
sendiri) sebagai vektor utama cedera traumatis. Tidak diragukan lagi, beban utama
cedera semakin terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah
karena bekerja di sektor industri dan menggunakan transportasi bermotor.
Meskipun insiden populasi lebih rendah, cedera tetap menjadi penyebab kematian
dan kecacatan yang paling umum pada anak-anak dan dewasa muda di negara
maju.
2.3 Patofisiologi
Pasien dengan cedera berat yang mengalami perdarahan dalam jumlah yang
banyak sering mengalami “triage kematian” yaitu koagulopati, hipotermia, dan
asidosis metabolik.
6
Gambar 2.2 Hubungan asidosis, hipotermia dan koagulopati pada trauma (trias of death)
(3)
Skor Deskripsi
0 Tidak ada cedera
10
1 Cedera minor
2 Cedera sedang
3 Cedera serius, tidak mengancam nyawa
4 Cedera berat, survival expected
5 Cedera kritis, survival doubtful
6 Cedera fatal
Skor % Mortalitas
0-8 5%
9-15 8%
16-24 17%
25-40 64%
41-66 88%
75 100%
Revised Trauma Score (RTS) adalah sistem penilaian fisiologis yang paling
banyak digunakan. Sistem ini menggabungkan nilai GCS dengan laju respirasi
dan tekanan darah sistolik. Terdapat dua tipe, untuk triase dan penelitian. RTS
triase membantu memutuskan tingka respon yang diaktifkan. RTS ≤ 11
berhubungan dengan mortalitas 30% dan harus segera dibawa ke pusat trauma.
3. Antifibrinolitik
Karena hiperfibrinolisis diketahui berkontribusi pada koagulopati akut pada
trauma, pemberian agen antifibrinolitik memiliki manfaat secara teoritis.
Penelitian dilakukan di 274 rumah sakit di 40 negara. Lebih dari 20.000 pasien
trauma dewasa diacak untuk menerima asam traneksamat atau plasebo dalam
waktu 8 jam setelah cedera. Semua penyebab kematian dan risiko kematian
karena perdarahan berkurang secara signifikan dengan pemberian asam
traneksamat. Efek menguntungkan yang maksimal dicapai jika diberikan dalam
yang pertama 3 jam cedera. Manfaat terbesar dari asam traneksamat mungkin
pada pasien yang menunjukkan peningkatan lisis gumpalan untuk menggunakan
tromboelastografi.
Pada fibrinolisis normal, plasminogen berikatan dengan lisin di permukaan
fibrin. Aktivator plasminogen jaringan kemudian mengubah plasminogen menjadi
bentuk enzimatik aktifnya, yaitu plasmin. Plasmin mendegradasi fibrin menjadi
fragmen yang tidak aktif, dan menurunkan bekuan yang terbentuk. Asam
Traneksamat (TXA) secara sintetis diturunkan dari asam amino lisin. Asam
Traneksamat memblokir situs pengikatan lisin pada permukaan plasminogen dan
secara reversibel menghambat interaksi fibrinolitik antara plasminogen, plasmin,
dan fibrin. Asam traneksamat sediaan intravena dan oral memiliki keamanan dan
kemanjuran yang baik dalam mencegah kehilangan darah. Penggunaannya
diterima dalam operasi jantung, perdarahan gastrointestinal bagian atas, hifema
traumatis, operasi mulut, operasi ginekologi, dan kehilangan darah akibat
menoragia.
Dengan banyaknya bukti yang mendukung penggunaan terapi
antifibrinolitik sebagai pencegahan kehilangan darah dari gangguan koagulasi,
penggunaan asam traneksamat menjadi berpengaruh pada trauma. Pada tahun
2010, uji coba CRASH-2, uji coba terkontrol acak yang besar di 40 negara dengan
13
5. Hipotensi permisif
16
6. Pembatasan Kristaloid
Respon pasien terhadap pemberian infus cairan isotonik atau darah
merupakan indikator perlunya pembedahan atau prosedur hemostatik intervensi.
Resusitasi cairan agresif merupakan terapi cairan awal yang direkomendasikan
17
7. Pencegahan Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai temperatur inti tubuh di bawah 35°C, mild
hypothermia antara 32–35°C, moderate hypothermia 28–32°C dan severe
hypothermia di bawah 28°C (Joint Royal Colleges Ambulance Liaison Committee
(JRCALC), 2016). Namun pada trauma berat temperatur di bawah 36°C sudah
dikategorikan hipotermia dengan temperatur di bawah 32°C termasuk severe
hypothermia (ATLS. 10th ed.2018). Pasien trauma dengan acute traumatic
coagulopathy (ATC) berhadapan dengan peningkatan 4 kali kematian
dibandingkan pasien dengan status koagulasi yang normal (Brohi et al, 2008).
ATC diperparah dengan penurunan temperatur pasien dan darah yang bersifat
asam (asidosis). Syok hipovolemik akibat perdarahan pada organ mayor, tulang,
serta jaringan sangat mempengaruhi sirkulasi volume darah, oxygen delivery,
mengurangi konsumsi oksigen dan mengarah pada ketidakmampuan tubuh untuk
mempertahankan temperatur inti dikarenakan suplai inadekuat darah kaya oksigen
ke jaringan vital.
cap, melapisi tubuh dan ekstremitas dengan selimut hangat atau warmer dengan
target temperatur 43°C, memberi infus kristaloid dan transfusi darah dengan
dihangatkan terlebih dahulu, atau irigasi rongga toraks dan abdomen
menggunakan kristaloid hangat hingga 39°C selama torakotomi maupun
laparotomi.
1. Menangani Asidosis
Pasien yang mengalami perdarahan hebat oleh karena trauma, kadar oksigen
yang ada di sirkulasi menurun sehingga ketersediaan oksigen untuk aktivitas
respirasi seluler yang menghasilkan molekul ATP terbatas. Normalnya
metabolism normal menghasilkan energi sebanyak 38 ATP melalui siklus Krebs
dengan hasil energi berupa air dan karbondioksida. Kurangnya persediaan oksigen
di tingkat sel akan mengarah ke hipoksia sehingga jumlah ATP yang dihasilkan
berkurang, metabolisme seluler akan beralih dari jalur respirasi aerob menjadi
anaerob melalui proses glikolisis. Metabolisme anaerob menghasilkan 2 molekul
ATP dengan hasil produknya selain energi adalah karbondioksida dan asam laktat.
Karbondioksida dan asam laktat ini dalam darah membentuk ion hidrogen dalam
darah dan sebagai konsekuensinya menurunkan PH darah. Memban sel menjadi
meningkat permeabilitasnya menyebabkan edema sel yang makin memperberat
oxygen delivery ke jaringan. Metabolisme anaerob dikombinasikan dengan efek
edema sel dan oksigenasi sel yang terbatas berakibat bertambah banyaknya
produksi asam laktat dan radikal bebas.
Asidosis terjadi karena tubuh tidak mampu mengeliminasi asam laktat untuk
mempertahankan nilai normal PH dalam rentang 7,35-7,45. Akibat hipoperfusi
ginjal, bikarbonat (HCO3-) melalui sistem buffer bekerja keras menyeimbangkan
peningkatan hidrogen (kondisi asam) dalam darah dengan cara mengikat ion
hidrogen membentuk ikatan asam lemah namun lama kelamaan akhirnya
bikarbonat menjadi kelelahan dalam mengkompensasi kelebihan asam tersebut
sehingga timbul asidosis.15 Penurunan PH menyebabkan kerusakan sel dan
aktivasi respon inflamasi dan rilis inotropic negative, menyebabkan vasodilatasi
dan pada pasien yang sudah mengalami gangguan sirkulasi menyebabkan
hipovolemik tak terkompensasi akhirnya berujung syok ireversibel.
Mekanisme koagulasi menjadi tidak efektif pada keadaan asidosis dimana
faktor pembekuan tidak bekerja semestinya pada PH di bawah 7,3. Martini et al
21
melakukan sebuah studi berapa lama waktu yang dibutuhkan faktor intrinsik dan
ekstrinsik koagulasi bekerja pada PH yang rendah, hasilnya partial
thromboplastin time sebagai pengukuran faktor intrinsik dan prothrombin time
pada faktor ekstrinsik waktu pembekuannya memanjang pada kondisi asidosis,
lebih jauh lagi PH di bawah 7,1 membuat kerja prothrombin time meningkat
hampir 50%, jumlah fibrinogen yang tersedia berkurang sebanyak 34%, hitung
platelet menurun sebanyak 51%. Meng et al menyimpulkan meskipun koagulopati
dikoreksi dengan pemberian faktor VIIa, waktu perdarahan tetap tidak membaik
dalam keadaan asidosis metabolik. Penelitian Darlington pada hewan coba babi
menyimpulkan koagulopati menetap meskipun asidosis sudah dikoreksi dengan
hipotesis kerusakan enzim pembekuan sudah terjadi selama fase asidosis. Oleh
karena itu harus diidentifikasi dini potensial asidosis metabolik yang dapat terjadi
kedepannya dan manajemen yang tepat untuk mencegahnya.
Buffering asidosis metabolik menggunakan obat-obatan tidak hanya
memperburuk asidosis intraseluler tetapi juga tidak membalikkan koagulopati.
Pengembalian metabolisme asidosis pada pasien trauma lebih baik diperoleh
melalui cairan dan resusitasi darah dan dukungan vasopressor dengan kontrol
bedah perdarahan. Karena tanda-tanda vital seperti tekanan darah dan detak
jantung tidak memadai untuk mengevaluasi perfusi jaringan perifer, beberapa titik
akhir resusitasi dibahas. Mendasarkan defisit dan tingkat laktat adalah indeks yang
dapat diandalkan yang untuk mengevaluasi kecukupan resusitasi dan perfusi organ
akhir. Bukan hanya nilai laktat awal saat masuk tetapi juga bersihan laktat dari
plasma dalam beberapa jam pertama berhubungan dengan resusitasi kematian
pasien trauma.
Mengingat sifat cedera dan status fisiologis pasien yang menjalani Damage
Controle Surgery, tidak mengherankan jika komplikasi dan mortalitasnya tinggi.
Komplikasi meliputi angka infeksi luka 50-100%, abses intra abdominal 25-8%,
fistula enterokutan 20-25% dan hipertensi abdominal pada 20% pasien. Angka
kematian berkisar antara 12-67% dalam berbagai penelitian. Mengingat hal ini,
penting bahwa ahli bedah trauma harus mengikuti pedoman yang
direkomendasikan untuk penerapan Damage Controle Surgery. Penggunaan
prinsip Damage Controle Surgery pada waktu yang tepat akan menyelamatkan
nyawa pasien trauma yang sakit kritis. Terlepas dari peningkatan morbiditas,
prinsip pengendalian kerusakan tetap ada, dan pada kenyataannya diperluas ke
trauma ortopedi dan toraks.
Level II:
1. Pada fraktur tipe III, antibiotik harus dilanjutkan selama 72 jam setelah
cedera atau tidak lebih dari 24 jam setelah cakupan jaringan lunak tercapai.
2. Dosis aminoglikosida sekali sehari aman dan efektif untuk patah tulang tipe
II dan III.(17)
Sampai saat ini, titik akhir hemodinamik yang harus dicapai setelah cedera
parah agar pasien bisa bertahan hidup masih menjadi kontroversial. Selain itu,
28
Selama DC II, pemeriksaan fisik lengkap atau 'survei tersier' pasien harus
dilakukan. Ini harus mencakup studi pencitraan yang relevan jika sesuai dan
pasien juga harus melanjutkan ke CT scan untuk mendeteksi cedera tersembunyi
jika kondisi hemodinamik cukup stabil. Dalam kasus trauma tumpul, pemeriksaan
tulang belakang sangat penting. Luka perifer ditangani dan integritas vaskular dari
semua anggota tubuh yang cedera sering dinilai.(19)
Waktu yang tepat untuk rekonstruksi dan penutupan abdomen (DC III)
bergantung pada masing-masing pasien. Tujuannya adalah untuk meresusitasi
pasien ke dalam parameter fisiologis normal; untuk beberapa pasien, ini mungkin
hanya membutuhkan 12 jam, sementara pada pasien lain akan membutuhkan 24 -
36 jam. Harus diingat bahwa jika pasien tidak menjadi normal secara
hemodinamik atau turunnya kadar asam laktat atau asidosis gagal membaik,
29
pasien harus dibawa kembali ke ruang operasi lebih awal untuk eksplorasi ulang.
(19)
BAB 3
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
11. Mizobata Y. Damage control resuscitation: A practical approach for
33
34
severely hemorrhagic patients and its effects on trauma surgery. J Intensive Care
[Internet]. 2017;5(1):1–9. Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s40560-016-
0197-5
12. Roberts I, Shakur H, Coats T, Hunt B, Balogun E, Barnetson L, et al. The
CRASH-2 trial: A randomised controlled trial and economic evaluation of
the effects of tranexamic acid on death, vascular occlusive events and
transfusion requirement in bleeding trauma patients. Health Technol
Assess (Rockv). 2013;17(10):1–80.
13. Morrison JJ, Dubose JJ, Rasmussen TE, Midwinter MJ. Military
application of tranexamic acid in trauma emergency resuscitation
(MATTERs) study. Arch Surg. 2012;147(2):113–9.
14. Dries DJ. Results of the CONTROL Trial: Efficacy and Safety of
Recombinant Activated Factor VII in the Management of Refractory
Traumatic Hemorrhage. Yearb Crit Care Med [Internet]. 2011;2011:266–
8. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.yccm.2010.12.019
15. Olldashi F, Kerçi M, Zhurda T, Ruçi K, Banushi A, Traverso MS, et al.
Effects of tranexamic acid on death, vascular occlusive events, and blood
transfusion in trauma patients with significant haemorrhage (CRASH-2):
A randomised, placebo-controlled trial. Lancet [Internet].
2010;376(9734):23–32. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-
6736(10)60835-5
16. Yuan KC, Huang HC. Antimicrobial Prophylaxis in Patients with Major
Trauma. Curr Trauma Reports. 2017;3(4):292–9.
17. Lane JC, Mabvuure NT, Hindocha S, Khan W. Current Concepts of
Prophylactic Antibiotics in Trauma: A Review. Open Orthop J.
2012;6(1):511–7.
18. Ball CG. Damage control resuscitation: History, theory and technique. Can
J Surg. 2014;57(1):55–60.
19. Lamb CM, Macgoey P, Navarro AP, Brooks AJ. Damage control surgery
in the era of damage control resuscitation. Br J Anaesth. 2014;113(2):242–
9.
20. Raza S, Baig MA, Chang C, et al. A Prospective Study on Red Blood Cell
35