Anda di halaman 1dari 54

DAFTAR ISI:

1. BAB I. PENDAHULUAN

2. BAB II. DEFINISI STROKE

3. BAB III. KOMPLIKASI STROKE

4. BAB IV. STRESS ULCER

5. BAB V. DISFAGIA

6. BAB VI. KEJANG PADA STROKE

7. BAB VII. SPASITISITAS PADA STROKE

8. BAB VIII. VASOSPASME

9. BAB IX. DEEP VEIN TROMBOSIS

10. BAB X. ULKUS DEKUBITUS

11. BAB XI. URINARY TRACT INFECTION

12. BAB XII. PNEUMONIA

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
1
PENDAHULUAN

Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi masyarakat

modern saat ini. Dewasa ini, stroke semakin menjadi masalah serius yang

dihadapi hampir di seluruh dunia. Hal tersebut dikarenakan serangan stroke

yang mendadak dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental

baik pada usia produktif maupun usia lanjut (Junaidi, 2011). Menurut WHO

(World Health Organization) tahun 2012, kematian akibat stroke sebesar 51%

di seluruh dunia disebabkan oleh tekanan darah tinggi. Selain itu,

diperkirakan sebesar 16% kematian stroke disebabkan tingginya kadar

glukosa darah dalam tubuh. Tingginya kadar gula darah dalam tubuh secara

patologis berperan dalam peningkatan konsentrasi glikoprotein, yang

merupakan pencetus beberapa penyakit vaskuler. Kadar glukosa darah yang

tinggi pada saat stroke akan memperbesar kemungkinan meluasnya area

infark karena terbentuknya asam laktat akibat metabolisme glukosa secara

anaerobik yang merusak jaringan otak (Rico dkk, 2008).

BAB II

2
DEFINISI STROKE

DEFINISI

Definisi Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah

suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fokal atau global,

dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat

menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain

vaskuler ( Frtzsimmons,2007 ). Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke

iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri

besar pada sirkulasi serebrum ( Price dan Wilson, 2002 ).

Stroke adalah kumpulan gejala defisit neurologs akibat gangguan

fungsi otak baik fokal maupun global yang terjadi mendadak, disebabkan oleh

berkurangnya aliran darah otak pada parenkim otak akibat penyumbatan

aliran darah otak dan pecahnya pembuluh darah otak ( Anandita 2017 ).

A. KLASIFIKASI STROKE

Menurut klasifikasi modifikasi stroke menurut Marshal dibagi:

a. Berdasarkan patologi anatomi

1. Stroke Iskemik

a. Serangan iskemik sepintas ( TIA )

b. Trombosisi serebri

c. Emboli serebri

2. Stroke Hemoragik

b. Berdasarkan stadium dan pertimbangan waktu

1. TIA

2. Stroke in volution

3. Complete Stroke

3
c. Berdasarkan sistim pembuluh darah

1. Sistim karotis

2. Sistim vertebrobasiler (Misbach 2011).

B. FAKTOR RESIKO

Pada dasarnya, proses terjadinya stroke iskemik diawali oleh adanya

sumbatan. Secara umum faktor resiko stroke terbagi menjadi dua yaitu faktor

resiko yang dapat dimodifikasi atau dilakukan tatalaksana, antara lain

hipertensi, diabetes militus (DM), merokok, obesitas, asam urat dan

hiperkolesterol serta faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seprti usia,

jenis kelamin, dan etnis

1. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko tersering, sebanyak 60%

penyandang hipertensi akan mengalami stroke.

2. Diabetes melitus

Sebanyak 10–30% penyandang DM dapat mengalami stroke.

Penelitian menunjukan peranan hiperglikemi dalam proses

aterosklerosis, yaitu gangguan metabolisme berupa akumulasi

sorbitol di dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan gangguan

osmotik dan bertambahnya kandungan air di dalam sel yang dapat

mengakibatkan kurangnya oksigenasi.

3. Merokok

Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan

serangan stroke sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan

banyaknya komsumsi rokok. Nikotin diduga berpengaruh pada

sistim saraf simpatis akan meningkatkan jalur sistim saraf simpatis

4
sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung,

dan meningkatnya aliran darah ke otak.

4. Asam Urat

Kondisi hiperuresemia diduga merupakan salah satu faktor yang

dapat meningkatkan agregasi trombosit.

5. Dislepedemia

Kadar LDL yang tinggi. Kedua hal tersebut mempercepat

aterosklerosis pembuluh darah koroner dan serebral (Anandita

2017).

C. PATOFISIOLOGI

Pada dasarnya, proses terjadinya stroke iskemik diawali oleh adanya

sumbatan pembuluh darah otak oleh trombus maupun embolus yang

mengakibatkan sel otak menglami ganggua metabolisme, karena tidak mendapat

suplai darah, oksigen dan energi. Trombus terbentuk oleh adanya proses

aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis maupun pembuluh darah serebral.

Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang mengakibatkan

terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah. Plak akan berkembang

semakin lama semakin tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian akan melekat

pada plak serta melepaskan faktor–faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi

dan pembentukan trombus ( Anandita 2017 ).

Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal dan

menyebabakan oklusi dalam pembuluh darah tersebut. Emboli merupakan

bagian dari trombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah dibagian

yang lebih distal (Misbach 2011).

5
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma

(Berry Aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah

subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan

pembuluh arteriola berdiameter 100–400 mikrometer mengalami perubahan

patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis

fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien,

peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating

arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek

penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat

pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin

besar ( Caplan, 2000 ).

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat

menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang

terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena

ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).

Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah di sekitar

permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang

subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya

aneurisma sakular atau perdarahan dari Arteriovenous Malformation (AVM)

BAB : III

6
KOMPLIKASI STROKE

Selama perawatan stroke di rumah sakit sering terjadi komplikasi. Namun

dengan perawatan yang baik akan mengurangi terjadinya kompikasi.

Komplikasi spesifik adalah sebagai berikut:

a. Neurologis: stroke berulang (9% pasien), kejang epilepsi (3%),

b. Infeksi: infeksi saluran kemih (24%), infeksi dada (22%), lainnya (19%)

c. Terkait mobilitas: jatuh (25%), jatuh dengan cedera serius (5%), luka

tekan (21%). Tromboemboli: trombosis vena dalam (2%), emboli paru

(1%)

d. Nyeri: nyeri bahu (9%), nyeri lain (34%)

e. Psikologis: depresi (16%), kecemasan (14%), emosionalisme (12%),

dan kebingungan (56%) (Langhorne 2000).

BAB IV

7
STRESS ULCER

Stress ulcer adalah kelainan yang bersifat akut pada mukosa saluran cerna

bagian atas, yang disebabkan oleh berbagai keadaan patologi atau dipicu stressor.

Kelaianan mukosa akut tersebut adapat berupa gambaran tukak lambing maupun

erosi dan dapat disertai perdarahan lambung( Rasyid, 2015).

Stress ulcer merupakan luka berbentuk seperti kawah, yang terbentuk saat

asam lambung menyebabkan erosi pada dinding saluran pencernaan. Tukak ini

dapat terbentuk di sepanjang lambung atau pada perbatasan dengan duedonum.

A. PATOFISIOLOGI

Stress ulcer secara umum terjadi karena ketidakseimbangan faktor agresif

( asam lambung, pepsin, empedu, obat NSAID, Helicobacter pylory, dll ) dan factor

defensive ( mucus, bicarbonate, keadaan mikrosirkulasi mukosa, lapisan epitel,

prostaglandin, dll )

Tabel 1: Etiologi dan Patofisiologi Stress ulcer

Etiologi Patofisiologi
Psikis - Rangsangan dikortek serebri, diteruskan ke hipotalamus,

dan akhirnya menimbulkan kelainan pada saluran

gastrointestinal ( stress ulcer )

- Timbulnya gangguan akibat faktor psikis melibatkan

perangsangan kelenjar adeno hipofisis, susunan saraf

simpatis, dan susunan saraf ortosimpatis


Luka bakar - Keasaman lambung normal atau meningkat

( hiperasiditas )

- Hiperasiditas dapat menyebakan kelainan mukosa gaster

8
dan duodenum

- Kadar gastris normal

- Pada luka bakar yang berat, juga terdapat hiperfungsi

kelenjar kortek adrenal, yang ditandai dengan

hiperkortisolemia

- Stress ulcer juga dapat disebabkan oleh iskemik mukosa

lambung, disebut juga curling’s ulcer.


Operasi otak - Stress ulcer terjadi karena hipersaliditas,

hipergastrenemia, dan hiperfungsi kelenjar kortek adrenal.


Tumor Otak - Hiperasiditas yang menimbulkan kelainan mukosa gaster

dan duodenum.
Trauma kepala - Hiperasiditas dan hipergastrenemia yang menyebabkan

kelainan mukosa gaster dan duodenum.

- Pada trauma kepala yang berat, juga terjadi hiperfungsi

kelenjar kortek adrnal, ditandai oleh hiperkortisolemia.

- Iskemik mukosa lambung juga berperan dalam

terbentuknya stress ulcer

- Disebut juga cushing’s ulcer


Penyakit berat di - Yang termasuk penyakit berat di ICU adalah trauma berat,

ICU sepsis, gagal napas, dan koagulopati

- Stress ulcer disebabkan oleh iskemia jaringan yang

menimbulkan difusi balik ion H+.

- Kegagalan mukosa dalam buffering juga menimbulkan

asidosis sintramural dan kematian sel.


Renjatan - Renjatan endotoksin dan sepsis: stress ulcer disebabkan

oleh adanya platelet activating factor ( PAF )

- Renjatan kardiogenik: iskemia mukosa lambung

9
disebabkan oleh vasospasme di daerah splanknikus,

Iskemik mukosa lambung dan faktor asam kemudian

menyebabkan stress ulcer.


Stroke - Kelainan gastrointestinal disebabkan oleh akselerasi

fungsi sistim otonom atau sistim adrenal ( aksis

hipotalamus – hipofisis ) akibat lesi traktus sentrifugal

thalamus.

- Pada stroke di korteks dan subkorteks: hiperkortisolemia

dan hipergastrinemia menyebabkan strees ulcer,

sedangkan keasaman lambung didapatkan dalam kadar

rendah.

- Pada stroke di batang otak atau dalam kondisi koma:

normo asiditas dan kadang-kadang hiperasiditas

B. DETEKSI

Untuk mengetahui adanya kelainan gastrointestinal yang menyertai stroke,

perlu diperhatikan tanda dan gejala yang ditimbulkan. Gejala kelainan saluran cerna

bagian atas akut yaitu rasa tidak nyaman atau nyeri di ulu hati, mual, muntah,

anoreksia, rasa terbakar di dada, kembung, sendawa, cepat kenyang, rasa penuh di

perut, hingga perdarahan saluran cerna bagian atas ( hematemesis dan melena ).

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tanda dan gejala stroke sebagai stressor

dan tukak peptik. Hasil pemeriksaan abdomen tidak khas, tetapi dapat ditemukan

nyeri epigastrium. Perdarahan lambung ditandai dengan muntah darah hitam atau

buang air besar darah hitam. Bila dilakukan pemasangan selang makan didapati

cairan lambung berwarna kecoklatan.

10
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

Darah: hemoglobin, hematrokit, lekosit, trombosit

Tinja: darah samar

2. Radiologi: rontgen barium meal atau Oesophagus Maag, Duodenum kontras

ganda

3. Endoskopi saluran cerna bagian atas

C. PREVENSI

Untuk mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke hemoragik dan

stroke batang otak, perlu diberikan antasida, sitoprotektor, atau penghambat

reseptor H2, pemberian penghambat reseptor Hα, agensitoprotektor, maupun

inhibitor pompa proton tidak memberikan hasil yang berbeda. Pemberian antasida

untuk profilaksis stress ulcer tidak diperlukan.

Untuk penderita stroke, konsumsi obat-obatan dan makanan atau minuman

yang bersifat iritatif terhadap lambung ( seperti obat anti inflamasi nonsteroid,

kortikosteroid, asam mefenamat, antalgin, cuka, alcohol, rokok, jamu pegal linu, dll)

perlu dihindari.

D. TATA LAKSANA

Tata laksana stress ulcer tanpa perdarahan: tata laksana airway, breathing, dan

circulation yang adekuat, mengenali tanda gagal napas dan melakukan bantuan

dasar untuk jalan napas apabila terdapat gangguan:

11
- Diet lambung dan nutrisi enteral, hindari obat yang iritatif terhadap saluran

cerna,

- Perbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit,

- Perbaiki keseimbangan antara faktor agresif dan defensif,

- Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel, kecuali bila terdapat indikasi yang

jelas,

- Medikamentosa: obat untuk menekan produksi asam lambung ( penghambat

reseptor H2 ), penghambat pompa ion proton pump inhibitor seperti:

omeprazole, esomeprazole, lansoprazol, atau pantoprazole secara intravena 80

mg bolus, diikuti infus 8 mg/jam selama 72 jam berikutnya.

Stress ulcer dengan perdarahan

- Suportif: infus NaCl 0,9% atau ringer lactate atau plasma expander

- Pasien dipuasakan

- Pasang selang lambung dan dialirkan jika masih ada perdarahan. Lavage atau

irigasi hanya dilakukan untuk menilai perdarahan dengan menggunakaan cairan

NaCl 0,9%. Lavage menggunakan air es tidak dianjurkan karena dapat

menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di lambung, sianosis, gangguan

metabolism dan energi, sehingga menyebabkan kerusakan mukosa lambung

lebih lanjut.

- Pemberian makanan per NGT dapat dilakukan apabila cairan maag slang < 150

cc dalam 2 jam.

- Pemberian nutrisi makanan cair jernih diet paska hematemesis dapat

mempercepat penyembuhan stress ulcer, nutrisi yang dipilih adalah nutrisi

12
dengan kadar serat yang tinggi dan tidak merangsang/menyebabkan iriatasi

lambung

- Pada perdarahan banyak ( lebih dari 30% dari volume sirkulasi ), perlu

dilakukan tranfusi darah, untuk mengganti kehilangan volume sirkulasi cairan

pengganti berupa koloid atau kristaloid dapat diberikan sebelum tranfusi.

- Pengobatan medik sama dengan stress ulcer tanpa perdarahan

- Pengobatan khusus hemoistatim endoskopi, embolisasi

- Tindakan bedah bila perdarahan sudah masuk gawat I dan II ( Al Rasyid, 2015

).

BAB V

DISFAGIA

13
Disfagia adalah kesulitan menelan cairan atau makanan yang disebabkan

gangguan pada proses menelan ( Rasyid & Soertidewi, 2011 ). Ditemukan sekitar

28-65% pasien yang mengalami disfagia setelah serangan stroke. Setelah

dilakukan rehabilitasi selama 14 hari pasca stroke, sekitar 90% pasien dapat

melakukan latihan menelan (Smithard, 2014).

Kisaran 50-60% pasien stroke akan mengalami kesulitan dalam menelan

makanan dan minuman. Gejala disfagia dapat dijumpai dengan atau tanpa

disfonia atau disatria. Gangguan disfagia tanpa disatria atau disfonia bersifat

subyektif, sehingga penilaian dengan obyektif, baik dengan pemeriksaan fisik

maupun pemeriksaan penunjang sangat diperlukan.

Pasien stroke dengan disfagia dapat mengkibatkan terjadinya malnutrisi,

dehidrasi, infeksi saluran nafas, lamanya jumlah hari rawat, dan bahkan kematian

(Jenny, 2014). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan deteksi dini

adanya disfagia pada semua pasien stroke sejak pasien masuk rumah sakit.

Selain untuk mencegah terjadinya aspirasi, juga untuk menetapkan

penatalaksanaan pemasukan nutrisi yang tepat dan akurat bagi pasien (Rasyid &

Soertidewi, 2011).

Proses menelan makanan terdiri dari tiga fase yaitu fase oral, fase faringeal,

dan fase esophageal. Pada awalnya terjadi pencampuran makanan dengan

saliva pada fase oral, kemudian dikunyah dan terbentuk bolus. Bolus makanan

ini mencapai arkus faringeal pada fase faringeal, akibatnya palatum mole naik

menutup nasofaring sehingga mencegah regurgitasi orofaringeal dan aspirasi.

Selanjutnya bolus makanan akan didorong menuju lambung pada fase

esophageal (Suwita 2018).

14
Disfagia disebabkan oleh gangguan koordinasi otot, kelemahan otot atau

tonus otot menelan yang dihubungkan dengan gangguan fungsi hemisfer,

nuclear dari serabut saraf otak yang mempersarafi otot-otot penguhnya dan

menelan.

Disfagia lebih banyak ditemukan pada pasien stroke hemoragik dibandingkan

stroke infark, Disfagia yang bersifat sementara terjadi pada hampir 50% pasien

stroke. Pasien dengan stroke infark kortikal atau subkortikal, atau hemoragik

yang kecil pada hemisfer serebri biasanya tidak mengalami masalah menelan.

Namun, apabila sebelumnya sudah mengalami stroke berulang dan lesi

subkortikal bilateral dapat terjadi gangguan menelan.

A. ETIOLOGI

Lesi stroke di hemisfer dominan maupun bukan di hemisfer akan

menimbulkan manifestasi disfagia.

B. PATOFISIOLOGI

Stroke pada otak maupun batang otak dapat menyebabkan gangguan

menelan. Lesi pada otak menyebabkan gangguan mengunyah dan transportasi

bolus makanan. Lesi kortek pada girus presentralis menyebabkan gangguan

motoris wajah, bibir dan lidah kontralateral. Lesi otak yang menyebabkan

gangguan kognisi serta gangguan konsentrasi dan atensi, juga mengganggu

proses menelan.

Stroke pada batang otak lebih jarang dijumpai, namun menyebabkan

gangguan menelan yang lebih berat. Hal tersebut terutama disebabkan karena

kerusakan di batang otak menyebabkan perubahan sensasi dari mulut, lidah dan

pipi serta gangguan koordinasi menelan yang terdiri dari proses menelan pada

15
faring, elevasi laring, penutupan glottis. Relaksasi krikoparingeal dan esophagus

oleh karena terganggunya sistim persyarafan fagus.

C. DETEKSI

Gangguan menelan pada pasien stroke sering terjadi pada fase oral dan fase

faringeal sehingga menyebabkan disfagia. Oleh karena itu saat awal masuk

rumah sakit, pada semua pasien stroke harus dilakukan skrining disfagia.

Terdapat beberapa metode skrining disfagia seperti water swallowing test,

multiple consistency test, dan swallowing provocation test ( Suwita, 2018 ).

D. GEJALA KLINIS

Penderita stroke dengan disfagia dapat mengalami salah satu dari gejala

klinis sebagai berikut:

- Batuk dan tersedak ketika mencoba menelan makanan atau minuman.

- Makanan lengket di dalam mulut atau kerongkongan.

- Nyeri waktu menelan.

- Liur menetes atau drooling.

- Makanan maupun cairan tumpah ke hidung.

- Memerlukan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan makanan dan

minuman.

- Suara terdengar basah dan tersedak setelah makan atau minu.

- Jika makanan masuk ke saluran napas, dapat terjadi infeksi paru dengan

keluhan kesulitan bernapas dan deman.

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS

16
Diagnosis disfagia pada kasus stroke akut haruslah ditentukan secepat

mungkin sesaat setelah pasien masuk rumah sakit dan dilakukan oleh dokter

perawat stroke maupun speech therapist. Diagnosis lanjut ditegakkan dari

pemeriksaan fisik dan fluoroskopik yang dapat mengidentifikasi tingkat keparahan

gangguan menelan.

F. TATA LAKSANA

Terapi bertujuan untuk menurunkan resiko aspirasi, memperbaiki kemampuan

makanan dan menelan, serta mengoptimalkan status gizi. Strategi terapi menurut

Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ) antara lain sebagai berikut :

MODIFIKASI DIET

- Tehnik ini digunakan jika pasien mengalami aspirasi ketika menelan. Tes ini

bertujuan untuk menilai konsistensi makanan yang dapat ditoleransi.

- Pada pasien stroke dengan disfagia yang berat dan kemungkinan mengalami

kurang gizi atau dehidrasi, dapat digunakan NGT. Apabila pemasangan NGT

akan > 14 hari, perlu dilakukan gastro endoskopi perkutan. Yang dimasukkkan

melalui kulit secara langsung. Resiko pemasangan PEG lebih kecil daripada

pemasangan NGT, namun karena bersifat invasif dapat terjadi infeksi lokal dan

peritonitis ( Al Rasyid 2015 ).

Terapi menelan

- Compensatory technique: tehnik ini mengajarkan pasien untuk mengubah posisi

untuk mengimbangi kesulitan menelan.

- Indirect swallow terapy: tehnik ini mengajarkan pasien untuk menjalani latihan

untuk memperkuat otot yang lemah untuk mengtasi kesulitan menelan.

17
- Direct swallow terapy: tehnik ini mengajarkan pasien untuk melakukan latihan

menelan.

Jalur enteral atau tube feeding dapat digunakan untuk pemberian nutrisi jika

terjadi disfagia. Pemakaian tube feeding sering dirasakan kurang nyaman oleh

pasien, oleh karena itu sering digunakan tube feeding ukuran yang lebih kecil

pada orang dewasa dengan ukuran 8-Fr, 10-Fr, atau 12-Fr. Ukuran kecil ini juga

dibutuhkan pada saat akan weaning enteral nutrition. Apabila terdapat kontra

indikasi pemberian nutrisi enteral, dapat diberikan parenteral nutrisi.

National Dysphagia Diet (NDD) merupakan tata laksana nutrisi pada pasien

yang mengalami disfagia. Pemberian makanan dilakukan secara bertahap,

yang disesuaikan dengan tingkat keparahan disfagia pasien, yaitu terdapat 4

tingkat cairan (makanan cair) yang kekentalannya diturunkan bertahap dan 3

tingkat makanan padat, yang dimulai dari bubur kemudian ditingkatkan secara

bertahap. Cairan (makanan cair) dapat dikentalkan dengan menggunakan susu

bubuk tanpa lemak atau tepung maizena.

Tingkat satu NDD diberikan pada pasien dengan disfagia sedang sampai berat,

terdapat gangguan bicara, terjadi gangguan menelan pada fase oral dan

menurunnya kemampuan untuk melindungi jalan napas. Maka pasien diberikan

bubur, dan makanan yang memiliki tekstur seperti puding. Makanan dengan

tekstur kasar seperti kacang-kacangan, buah-buahan mentah, dan sayuran

tidak diizinkan. Cairan yang dapat diberikan dengan tingkat kekentalan ( spoon

thick ). 

Tingkat dua NDD, diberikan makanan transisi dengan tekstur yang lebih padat

daripada bubur, tetapi masih memiliki tekstur yang lembut. Pasien memiliki

kemampuan mengunyah dan mengalami disfagia oropharyngeal derajat ringan

18
sampai sedang. Semua bentuk diet yang diberikan pada NDD tingkat satu

dapat juga diberikan pada tingkat ini. Cairan yang dapat diberikan sampai

tingkat kekentalan nectar-thick ( Suwita, 2018 ).

BAB VI

KEJANG PADA STROKE

19
Kejang simtomatik dilaporkan terjadi pada 2% pasien stroke akut. Hasil

beragam ini disebabkan oleh analisis terhadap beberapa penelitian yang bersifat

retrospektif dan perbedaan tehnik analisis yang digunakan.

Kejang lebih sering terjadi pada stroke hemoragik dibandingkan stroke

iskemik (Bladin dkk), mendapatkan bahwa 10,6% dengan perdarahan intraserebral

mengalami kejang, sedang pada psien iskemik sebanyak 8,6% mengalami kejang,

A. KLASIFIKASI DAN PATOGENESIS

Kejadian kejang paska stroke diklasifikasikan menjadi early onset dan late

onset. Ditetapkan waktu 2 minggu setelah stroke sebagai batas early onset dan

late onset.

Kejang early onset terjadi 1-2 hari pertama setelah iskemik, kira-kira 43%

pasien termasuk dalam Seizure After Stroke Study group mengalami kejang 24 jam

pertama setelah stroke.

Mekanisme yang penting terhadap terjadinya kejang pada patofisiologi

meliputi penurunan peredaran darah otak, edema otak, perdarahan sitotosik,

gangguan metabolic seperti asidosis, gangguan elektrolit serta gangguan aktivitas

neurotransmitter akibat hipoksia, iskemia, perdarahan serta deposit Fe,

terbentuknya jaringan parut.

Selama fase iskemik akut, akumulasi kalsium dan natrium intraseluler

menimbulkan depolarisasi trans membran dan efek lainnya yang diakibatkan oleh

akumulasi kalsium dapat menurunkan ambang kejang.

Ensepalopati hipoksik iskemik adalah salah satu penyeabab umum dari status

kejang, hal ini disebabkan oleh iskemia hipokampus yang merupakan area alektrik.

20
Jaringan parut gliosis diduga merupakan nidus dari kejang late onset, sama

halnya dengan jaringan sikatrik pada daerah mingoserebral. Pada pasien dengan

stroke hemoragik, epilepsi terjadi pada 29% pasien dengan kejang early onset

pada 93% pasien dengan kejang late onset.

Perdarahan lobar juga merupakan factor resiko terjadinya kejang pada stroke

hemoragik. Keterlibatan ganglia basalis ( nucleus kaudatus ) dan lobus parietal

atau temporal merupakan prediktor untuk terjadinya kejang.

B. MANIFESTASI KLINIS

Kejang paska stroke sering berupa kejang fokal karena sebagian besar

disebabkan oleh lesi fokal 61% studi lain menyebutkan 12% dengan status

epileptikus. Pada kasus status epileptikus juga ditemukan gejala klinis berupa

disabilitias fungsional yang tidak berhubungan secara signifikan dengan angka

mortalitas, tipe stroke iskemik atau hemoragik, topografi, ukuran lesi, atau

gambaran elektro ensefalografi.

C. DETEKSI

Pemeriksaan EEG membantu mengidentifikasi lokasi fokus kejang. Selain itu

perubahan pola tertentu pada EEG dapat memprediksi terjadinya kejang late onset.

Pemeriksaan EEG sebaiknya secepat mungkin dari late onset terjadinya kejang

pertama. EEG yang paling sering ditemukan perlambatan umum sebanyak 39%,

perlambatan fokal 19,5%, gelombang fokal tajam dan lambat 9,8%, gelombang

faku fokal dan lambat 4,9%, periodic lateralize epileptiform discharge ( PLEDs)

sebanyak 2,4%. Gambaran EEG normal dapat ditemukan pada 17% kasus.

D. TATA LAKSANA

21
Pemilihan obat konvulsan diberikan secara individual, termasuk obat yang

dipakai bersamaan dan komorbiditas pengobatan.

Pada kejang fokal, pilihan utama adalah karmazepine dan fenitoin sodium.

Perlu diperhatikan sedasi obat, terutama untuk pada orang tua.

- Fenitoin dapat diberikan 15-20 mg/kgBB/hari oral atau intravena. Dosis inisial

100 mg oral atau iv 3 kali/hari. Dosis maintanence 300-400 mg oral/hari dengan

dosis terbagi. Dosis fenitoin sodium yang dianjurkan adalah sampai kadar

serum mencapai 14-23 ug/ml, dan pemberian dihentikan setelah 1 bulan bebas

kejang selama terapi. Fenitoin sodium parenteral juga bermanfaat dalam

perbaikan status mental dan proses menelan. Obat anti epilepsi ( OAD )

generasi baru disebutkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien usia lanjut

karena efektivitas yang bagus dan efek samping yang kurang.

- Lamotrigine dapat mempertahankan masa bebas kejang lebih lama atau dapat

digunakan bila kejang tidak terkontrol dengan karbamazepine.

- Okskarbamazepine secara klinis lebih aman daripada karbamazepine dan

efektif mengatasi kejang pada porfiria cutanea tarda.

- Topiramate dan leviteracetam yang biasa dipakai sebagai terapi adjunctive

pada kejang parsial refrakter, namun dapat digunakan sebagai monoterapi.

Dosis untuk dewasa berkisar antara 300-1600 mg/hari.

- Lorazepam merupakan pilihan pertama pada onset akut dan status epileptikus.

- Leviterasetam juga digunakan pada pasien dengan status epileptikus dan

pasien yang menderita porfiria. Dosis 1000-5000 mg/hari, jika obat ini diberikan

selama 4 hari pertama dengan dosis 3000 mg/hari, tingkat respons meningkat

sampai 43%.

22
- Gabapentin memiiki efikasi sebagai monoterapi pada kejang parsial. Dosis

gabapentin 9000 mg/hr. Gabapentin merupakan pilihan pada pasien dengan

gagal hati dan perferia.

- Profilaksis direkomendasikan untuk kejang pada fase akut setelah perdarahan

intraserebral dan sub araknoid. Lesi tunggal di sereberal atau subkortek

memiliki resiko sangat rendah untuk kejang, karena itu tidak memerlukan terapi

profilaksis. Aktivasi kejang dengan onset lebih dari 2 minggu berisiko tinggi

untuk rekuren dan perlu profilaksis jangka panjang ( Al Rasyid 2015 ).

BAB VII

SPASITISITAS PADA STROKE

23
Salah satu gangguan yang timbul setelah stroke adalah spastisitas.

Spastisitas adalah gangguan neuromuskuler yang ditandai dengan kontraksi

involunter group otot dalam menjawab rangsangan ( Louis, 2000 ).

Spastisitas sering berlanjut dan meningkatkan defisit fungsional dan

cenderung untuk meningkat. Spastisitas sering terjadi dan kerapkali

mengakibatkan gangguan mobilitas dan nyeri akibat spasme. Faktor yang

mencetuskan spastisitas adalah onset dari stroke, kecemasan, perubahan

temperatur panas atau dingin yang mencolok, rangsangan nyeri, infeksi,

dekubitus, ukuran/letak lesi, jenis stroke, cara pengobatan yang baik adalah

menghilangkan faktor spastisitas tersebut.

Gambaran utama kondisi spastik adalah meningkatnya refleks

regangan yang akan manifes sebagai hipertoni. Spastisitas merupakan

masalah yang perlu mendapat perhatian dan penanganan pada penderita

stroke. Patofisiologi terjadinya spastisitas sampai saat ini masih kontroversi.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa meningkatnya tonus fusimotor sebagai

penyebab terjadinya spastisitas (Price and Wilson, 2005).

Ketika tonus otot terganggu, kontrol gerakan akan hilang, kondisi ini

disebut juga flaksiditas atau hipertonus. Sebaliknya jika tonus otot meningkat

akan terjadi spastisitas atau hipertonusitas. Terhambatnya kontrol gerakan

menyebabkan keterbatasan kemampuan/pergerakan harian pasien, yang

akan menjadi masalah baru pada pasien bila tidak ditangani dengan segera,

karena menyebabkan ulkus dekubitus, infeksi paru, dan konstipasi.

Spastisitas merupakan suatu konsekuensi fisiologis, yang dapat

menurunkan kualitas hidup karena menimbulkan disabilitas, kontraktur, dan

menghabiskan biaya.

24
A. FAKTOR PENCENTUS

Faktor yang mencetuskan spastisitas adalah onset dari stroke, kecemasan,

perubahan temperatur panas atau dingin yang mencolok, rangsangan nyeri, infeksi,

dekubitus, ukuran/letak lesi, jenis stroke, cara pengobatan yang baik adalah

menghilangkan faktor spastisitas tersebut. Gambaran utama kondisi spastik adalah

meningkatnya refleks regangan yang akan manifes sebagai hipertoni. Spastisitas

merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian dan penanganan pada

penderita stroke. Patofisiologi terjadinya spastisitas sampai saat ini masih

kontroversi. Beberapa peneliti berpendapat bahwa meningkatnya tonus fusimotor

sebagai penyebab terjadinya spastisitas (Price and Wilson, 2005).

B. ETIOLOGI

- Spastisitas muncul akibat kerusakan pada otak dan medulla apinalis. Beberapa

penyakit yang menyebabkan sindrome UMN adalah stroke, multiple sclerosis,

trauma pada susunan saraf pusat ( SSP ), cerebral palsy, dan Parkinson.

- Lebih sering terjadi pada trauma medulla spinalis cervical dan thorakal atas

dibandingkan dengan trauma torakal bawah dan lumbosacral.

- Pada stroke iskemik, spastisitas mulai tampak pada beberapa hari hingga

beberapa minggu setelah serangan diikuti oleh pola fleksi ekstrimitas dan

ekstensor ekstrimitas bawah.

FAKTOR PENYEBAB SPASTISITAS PASCA STROKE

25
Spastisitas terjadi akibat hilangnya atau menurunnya eksitasi sistem inhibisi

interneuron, yaitu (Louis, 2000):

a. Menurunnya inhibisi pre sinaptik afferent I

b. Menurunnya eksitasi terhadap inhibisi respirokal atau reciprocal inhibition.

c. Menurunnya aktifitas sel renshaw, yaitu sistem autogenic (Suyono, 1992).

C. PATOFISIOLOGI

Pengendalian tonus pada manusia terdapat dua sistem penyeimbang

desenden utama yaitu, traktus retikulospinal dorsalis sebagai faktor inhibitorik dan

traktus vestibulospinal dan retikulospinal medial sebagai faktor fasilatorik. Tonus

normal terjadi karena adanya keseimbangan antara efek inhibitorik reflek regangan

yang diperantarai oleh traktus retikularis dorsalis dan efek fasilitatorik pada tonus

ekstensor yang diperantarai oleh traktus retikulospinal medial, dan pada tingkat

yang lebih kecil pada manusi, oleh traktus vestibulospinal (Amalia, 2011).

Pada lesi kapsuler dan kortikal akan terjadi hilangnya beberapa pengendalian

pusat inhibitorik pada batang otak kaudal sehingga mengakibatkan hemiplegi

spastik. Kerusakan traktus kortikospinal akan mengakibatkan paresis, sedangkan

pengaruh hilangnya inhibitorik dari traktus retikospinal dorsal akan berakibat traktus

vestibulospinal dan retikulospinal tidak ada yang menghambat. Pada kondisi ini

sering terjadi spastisitas (Amalia, 2011).

Spastisitas adalah suatu keadaan akibat kerusakan UMN, yang terjadi bila

lesi mempengaruhi area premotorik danarea motoric tambahan pada SSP, baik di

intrakranial maupun medulla spinalis. Sindroma UMN dapat terjadi karena trauma

medulla spinalis dan kerusakan system saraf pusat, yang dapat mempengaruhi

26
traktus medulla spinalis, retikulospinal, dan traktus desenden lainnya yang akan

bersinggungan dengan sel-sel di karnu anterior.

Kerusakan pada kortek serebri dan medulla spinalis akan mengubah sinyal

inhibisi dan eksitasi terhadap motor neuron alpa dengan mekanisme predominan

yaitu penurunan hambatan pada motor neuron alfa dan gamma. Motor neuron alfa

bereaksi secara berlebihan terhadap input proprioseptik dari reseptor regangan ( di

tendon ) merupakan penyebab hampir semua gejala sindroma UMN. Patofisiologi ini

memberikan manifestasi hipertoni, klonus, hiperrefleks, tanda Babinski, dan rigiditas

dengan fenomena pisau lipat ( Al Rasyid 2015).

D. METODE PENGUKURAN SPASTISITAS

Metode pengukuran spastisitas adalah dengan skala Asworth, dimana skala

Asworth memiliki 5 tingkatan skala yaitu:

0 = tonus normal

1 = ada sedikit tonus, ada kenaikan tonus ketika anggota gerak yang terkena

digerakkan

2 = Ada kenaikan tonus ringan, anggota gerak yang terkena dapat

digerakkan dengan mudah

3 = kenaikan tonus sedang, gerakan pasif anggota gerak yang terkena sulit

dilakukan

4 = kenaikan tonus berat, anggota gerak terkena kaku

E. TATA LAKSANA

27
Spastisitas perlu ditangani segera untuk menghindarkan terjadinya hal-hal

berikut :

- Pemendekan otot

- Kontraktur

- Deformitas badan, berubahnya mekanisme tubuh dan body image

- Ulkus dekubitus

- Nyeri akibat spasme otot

- Penyakit sendi degenerative

- Kehilangan fungsi tubuh

- Gangguan mood dan ketidakmampuan untuk rehabilitasi

- Ketergantungan alat bantu

- Segera setelah terjadi serangan stroke, anggota gerak secara total menjadi

paralisis dan arefleksi yang disebut sebagai fleksid. Dalam waktu 48 jam,

refleksi tendon biasanya akan kembali. Pada stadium akut sering terlihat tonus

otot berubah menjadi spastik, dimana pada fase selanjutnya akan bertambah

spastik, terutama waktu penderita mulai aktif. Pada umumnya spastik menjadi

stabil dalam waktu 12 sampai 18 bulan, dimana kemudian berangsur-angsur

spastisitas akan menghilang sesuai dengan fase pemulihan dari Brunnstrom

(Steven, 2008). Brunnstrom mengklasifikasikan pemulihan motorik pada

penderita hemiplegi dewasa karena stroke ke dalam 6 fase/tahapan.

Tahap 1 = Periode setelah fase akut, fleksid, penderita tidak dapat

menggerakkan anggota badan yang lumpuh.

28
Tahap 2 = Spastisitas dan pola sinergis mulai timbul, penderita mulai dapat

menggerakkan anggota badannya yang lumpuh secara volunter meskipun

baru minimal.

Tahap 3 = Spastisitas menjadi semakin nyata. Penderita mulai mengontrol

gerak sinergis.

Tahap 4 = Spastisitas mulai menurun. Penderita dapat menggerakkan

anggota tubuhnya diluar pola sinergis.

Tahap 5 = Spastisitas minimal, penderita dapat melakukan gerakan kombinasi

yang lebih kompleks diluar pengaruh sinergis.

Tahap 6 = Penderita sudah dapat melakukan banyak kombinasi gerakan

dengan koordinasi yang cukup baik yang jika dilihat sepintas tampak normal.

Spastisitas menghilang.

Stadium pertama merupakan periode fleksid yang biasanya berlangsung 7

hari. Pada minggu kedua spastisitas mulai timbul. Akibat dari spastisitas pada

penderita stroke, sering menyulitkan program rehabilitasi yang diberikan.

Akibat lanjut dari spastisitas yang berat adalah kontraktur, nyeri dan

gangguan AKS dan ambulasi (Steven, 2008).

TERAPI SPASTISITAS

Tabel beberapa jenis tindakan pada spastisitas,

Indikasi Contoh
Perbaikan fungsi - Mobilitas: meningkatkan kecepatan, kualitas

atau ketahanan saat berjalan atau menjalankan

kursi roda

29
- Mampu bergerak, mampu, terampil dan

tangkas

- Memperbaiki fungsi seksual


Mengurangi gejala - Mengurangi nyeri dan vasospasmeotot

- Pemakaian splint orthose

- Meningkatkan higiene

- Mencegah kontraktur
Perbaikan postur Memperbaiki postur tubuh
Mengurangi Bisa memakai baju sendiri, merawat diri, dan

ketergantungan kebersihan, cara makan yang benar


Mengurangi biaya - Mencegah untuk pengobatan dan terapi lain

perawatan yang tidak perlu

- Menfasilitasi terapi

- Menunda atau mencegah operasi

Tabel pilihan obat untuk spastisitas,

Generik Dosis awal Dosis maksimal


Baclofen 3x5 mg 80 mg/hari

Diazepam 2x5 mg 60 mg/hari

Tizanidine 3x2 mg 36 mg/hari

Dantrolen 3x25 mg 400 mg/hari

Clonidine 2x1 mg 2,4 mg/hari


( Al Rasyid 2015).

Terapi spastisitas ekstrimitas bawah

- Memasang bidai tangan ( hand splinting ) mengurangi kekakuan,

30
- Program regangan yang dibimbing oleh fisioterapi dapat meningkatkan range

of motion ( ROM ) pada ekstrimitas atas dan mengurangi nyeri pada stroke

lama,

- Terapi batulinum toksin, tunggal atau kombinasi dapat mengurangi spastisitas

pada ekstrimitas atas pada pasien post stroke. Batulinum toksin mengurangi

spastisitas dan meningkatkan range of motion, tetapi tidak diikuti dengan

perbaikan fungsi ekstrimitas atas,

- Terapi dengan etil alcohol meningkatkkan ROM siku dan jari serta dapat

mengurangi spastisitas pasca stroke,

- Fisioterapi tidak mengurangi spastisitas ekstrimitas atas.

- Tolperison mengurangi spastisitas yang menyertai stroke.

Terapi spastisitas pada ekstrimitas bawah

- Tilt table dan night splint mencegah kontraktur engkel

- Botolinum toksin mengurangi spastisitas ekstrimitas bawah

- Botulinum tidak meningkatkan fungsi ekstrimitas bawah

- Deinervasi otot pada hemiparese ekstrimitas bawah mengurangi spastisitas

tetapi tidak meningkatkan fungsi

- Dantrolen sodium efektif menyembuhkan spastisitas post stroke dibanding

placebo

- Ketazolam, diazepam, dan tolperisone lebih efektif dibandingkan placebo

dalam terapi post stroke

- Tizanidine tidak lebih baik daripada baclofem oral

- Tolpwerison mengurangi spastisitas

- Baclofen intratekal mengurangi spastisitas pada tahap kronik stroke

31
- Stimulus elektrik mengurangi spastisitas plantar fleksi kaki pasien stroke

- Terapi ultrasound mengurangi ekstabilitas alfa motor neuron yang berkaitan

dengan spastisitas plantar fleksi kaki ( Perdosi 2011, Rasyid 2015 ).

BAB VIII

VASOSPASME

32
Vasospasme serebral pada penderita perdarahan sub araknoid menjadi

penyebab timbulnya delayed ischemia yang pada akhirnya meningkatkan angka

kecacatan, kesakitan, dan kematian. Vasospasme terjadi disekitar bekuan darah.

Adanya produk lisis dari bekuan darah akan memicu timbulnya vasospasme.

Bekuan darah tersebut merupakan akibat dari pecahnya aneurisma di rongga sub

araknoid. Oleh karena itu, vasospasme tidak terjadi pada seluruh arteri basal kranial.

Vasospasme serebral merupakan penyebab kematian dan disabilitas yang

tinggi pada perdarahan sub araknoid. Pada autopsi pasien dengan perdarahan sub

araknoid ditemukan adanya vasospasme pada pembuluh darah yang iskemik.

Patologi yang jelas mengenai vasospasme masih sedikit diketahui, namun dari

beberapa penelitian menyebutkan peran hasil pemecahan eritrosit.

A. DEFINISI

Vasospasme adalah penurunan lumen pembuluh darah pada arteri di sirkulasi

wilisi atau cabang-cabangnya yang terjadi pada perdarahan sub arknoid karena

pecahnya aneurisma.

B. ETIOLOGI

- Etiologi belum diketahui secara pasti

- Beberapa teori menyebutkan peran oksihemoglobin yang terbentuk akibat

lisis perdarahan akibat ruptur aneurisma

C. EPIDEMIOLOGI

33
Vasospasme dapat terjadi pada hari ke 4 dan mencapai vasospasme maksimal

pada hari ke 10, kemudian menurun sampai hari ke 21 setelah perdarahan sub

arknoid.

D. PATOFISIOLOGI

- Terjadinya vasospasme belum dipahami secara keseluruhan

- Setelah pecahnya aneurisma, bekuan darah terperangkat dalam sistem sub

araknoid dan mengalami hemolisis secara perlahan, melepaskan

oksihemoglobin dan produk-produk lainnya seperti bilirubin dan

methemoglobin. Oksihemoglobin menstimulasi sekresi senyawa vasodilator

kuat endoteli ( ET ) -1 dan menghambat sekresi vasodilator nitrid oxide

( NO ), serta memproduksi radikal bebas oksigen aktif. Radikal bebas ini

dipercaya memainkan peran dalam peroksidasi membran lipid yang

menyebabkan perubahan struktur dinding pembuluh darah, meningkatkan

refluk kalsium ke dalam sel otot polos dinding pembuluh darah, mengubah

fungsi miosit, dan menyebabkan perpanjangan kontraksi dan kontriksi sel

- Oksihemoglobin juga berkontribusi dalam pelepasan radikal bebas dan lipid

peroksidase. Perubahan ini meningkatkan sintesa eiksonoid vasoaktif dan

endotelin dan menghambat relaksasi endotelium dinding arteri.

DETEKSI

- Vasospasme bisa simpatometik atau asimptomatik.

- Penegakan diagnosis lebih ditekankan berddasarkan gejala klinis.

- Gejala klinis: sakit kepala dapat bertambah berat bersamaan dengan

peningkatan takanan darah, dapat juga disertai dengan penurunan kesadaran

serta terlihat defisit neurologi fokal yang abru.

34
- Lesi fokal yang ditemukan: hemiparesis atau hemiplegi, abulia, gangguan

bahasa, gangguan lapang pandang. Gejala-gejala ini juga dapat ditemukan

pada keadaan lain, seperti perdarahan ulang, kejang dan hidrosepalus.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat mendeteksi vasospasme antara lain

1. Angiografi

Sampai saat ini angiografi masih merupakan gold standard untuk melihat dan

mempelajari arteri serebral yang menyempit. Namun angiografi harus

dilakukan sedini mungkin untuk menghasilkan perbaikan klinis yang lebih

baik.

2. Ultrasonografi Doppler Transkranial

Ultrasonografi Doppler Transkranial dapat menujukkan ada tidaknya

vasospasme dengan mendeteksi kecepatan aliran darah di basal kranial

3. Pencitraan

Perfussion computed tomografi

Xenon computed tomografi

Tehnik pencitraan ini mampu mengukur perfusi regional, bukan diameter arteri

atau kecepatan aliran darah

F. TATA LAKSANA

- Telah terbukti dapat mencegah dan memulihkan vasospasme lumen arteri

- Sebuah literatur menyebutkan bahwa nimodipin dapat diberikan secara

intravena selama 2 mingggu sebanyak 2 mg/kg/jam. Apabila tidak dapat

tanda – tanda vasospasme nimodipin dapat dilanjutkan secara oral 60 mg/4

jam selama seminggu. Namun apabila terdapat tanda-tanda vasospasme,

pemberian nimodipine intravena tetap dilanjutkan selama 3 minggu.

35
- Food and Drug Administration ( 2006) menyatakan bahwa pemberian

nimodipine intravena tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kolaps

kardiovaskular hingga kematian.

- Magnesium sulfat ( MgSO4 ).

Sebanyak 38 % pasien dengan perdarahan subarknoid mengalami hipo

magnesia Terapi masih kontroversial beberapa penelitian binatang coba

membuktikan bahwa MgSO4, menurunkan kejadian vasospasme dan iskemia.

Untuk menjaga kadar magnesium dalam darah tetap normal, dapat diberikan

MgSO4 20 meq/L dalam 0,9 normal salin, untuk mencapai nilai magnesium

dua kali kadar normal selama 10 – 40 hari.

- Statin

Disamping merupakan cholesterol lowering gent, statin memiliki efek

pleiotropik. Statin mengurangi inflamasi dan proliferasi sel, meningkatkan

sintesis NO pada tubuh dengan cara meregulasi sintesa NO, mencegah

trombogenesis, yang sangat bermanfaat untuk mencegah vasospasme.

- Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan anti inflamasi

Terapi fibrinolitik, antioksidan, dan anti inflamasi tidak terlalu bermakna dalam

terapi vasospasme. Terapi fibrinolitik juga sangat beresiko menimbulkan

hidrosepalus pada penderita perdarahan subaraknoid.

TERAPI AGRESIF PADA VASOSPASME

- Vasodilator intra vena

- Terapi ini bermakna apabila diberikan bersamaan dengan terapi tripel H

36
- Terapi dilakukan dengan memasukkan obat (biasanya papaverin sebagai

relaksan otot) ke dalam arteri dengan menggunakan mikrokateter

- Transluminal balon therapy digunakan apabila terapi konvensional gagal

mencegah atau memperbaiki vasospasme.

- Lumbar drainage of cerebro spinal fluid dan intraisisternal trombolisis karena

jumlah darah yang banyak di ruang sub-araknoid diduga sebagai penyebab

vasospasme dapat dilakukan drainase lumbal ( Perdosi, 2011, Rasyid 2015 ).

37
BAB IX

DEEP VEIN TROMBOSIS

Deep vein trombosis ( DVT ) merupakan bagian dari spektrum trombo

embolik vena. Imobilitas yang sering pada pasien stroke merupakan faktor resiko

terjadinya DVT. Insiden DVT menyertai kasus stroke akut mencapai 40-50%.

A. GEJALA KLINIS

Deteksi dini DVT sangat penting mengingat resiko terjadinya emboli paru dan

konskuensi fatal lainnya. Namun gambaran klinis awal DVT sangat spesifik

kecuali setelah berlangsung beberapa waktu. Nyeri atau pembengkakan tungkai

merupakan keluhan yang sering dijumpai.

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Venografi kontras, pemeriksaan ini sangat mahal dan menyebabkan

ketidaknyamanan penderita

- Ultrasonografi kompresi

- D-dimer

C. TATA LAKSANA

- Pemberian LMWH diberikan sebagai profilaksis pada pasien stroke iskemik

akut yang beresiko tinggi mencegah DVT.

- Penggunaaan New Oral Anticoagulan ( NOAC ) terbukti bermanfaat dalam

terapi DVT dan emboli paru. Beberpa jenis NOAC yang dapat digunakan

antara lain rivaroxoban, dabigatran , epixaban, dan edoxaban.

38
- Pemakaian stoking ketat sampai diatas lutut tidak bermanfaat pada pasien

stroke iskemik akut, dan tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin

mencegah DVT.

- Mobilisasi segera dapat membantu mencegah DVT

D. PREVENSI DVT

- Mobilisasi dininpada pasien denagan perawatan dan tirah baring lama

- Rutin menggunakan stocking kompresi tungkai bentuk yang panjang

- Kombinasi stocking dengan heparin lebih efektif dibanding dengan pemberian

hanya heparin saja. ( Perdosi 2011,Al Rasyid 2015 )

39
BAB X

ULKUS DEKUBITUS

Pressure ulcer disebut juga dengan pressure sores, ulkus dekubitus, dan

bedsores, yang berarti kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit,

bahkan menembus otot hingga tulang pada daerah tertentu. Ulkus dekubitus

disebabakan oleh penekanan, perlukaan, gesekan atau kombinasi ketiganya.

A. ETIOLOGI

Ulkus Dekubitus disebabkan oleh penyumbatan aliran darah akibat penekanan

mekanik pada kulit dan jaringan diatas tulang untuk waktu yang lama. Apabila aliran

darah terhenti pada daerah kulit tersebut lebih dari 2-3 jam, kulit akan mengalami

kehilangan oksigen dan mati. Ketika terjadi geseran tempat tidur akan terjadi

gesekan pada permukaan kulit oleh baju dan tempat tidur, dapat terjadi luka pada

kulit hingga terbentuk ulkus. Paparan keringat, darah, urin, feses akan

mengakibatkan resiko terjadinya ulkus dekubitus.

B. GEJALA:

- Perubahan warna atau tekstur kulit yang tidak biasa.

- Pembengkakan.

- Pengeringan seperti pus.

- Area kulit terasa lebih dingin atau lebih hangat saat disentuh dbandingkan

area lain.

- Tingkat kerusakan kulit dari kemerahan, sampai luka di otot dan tulang.

PREDISPOSISI LUKA

Bagi orang yang memakai kusri roda luka sering pada:

40
- Tulang ekor dan bokong

- Bahu dan tulang belakang

- Punggung , lengan dan kaki dimana tempat bersandar

Untuk orang yang berbaring di tempat tidur:

- Bagian belakang atau samping kepala

- Bahu

- Pinggul, punggung bagian bawah atau ekor

- Tumit, pergelangan kaki dan kulit dibelakang tumit.

C. PENYEBAB :

- Tekanan, tekanan yang terus menerus pada tubuh menyebabkan

berkurangnya aliran darah.

- Gesekan, ketika kutiot bergesekan dengan pakaian atau tempat tidur

membuat kulit rapuh.

- Mencukur, terjadi ketika permukaaan bergeser berlawanan/mayo klinik.

D. FAKTOR RESIKO

- Pasien tirah baring lama beresiko terjadi ulkus dekubitus karena mobilitas

kurang, usia semakin berambah, nutrisi kurang adekuat.

- Kontraktur, spastisitas, dan hilangnya rasa raba akan menyebabkan

terjadinya ulkus decubitus.

- Malnutrisi, hiponatremia, dan anemia meningkatkan resiko terjadinya ulkus

dekubitus.

E. PREVENSI

- Memposisikan dan mereposisi tubuh untuk menghindari tekanan langsung

pada tonjolan tulang dan permukaan tubuh.

41
- Melakukan penilaian resiko dengan protokol yang akurat pada awal masuk

rumah sakit.

- Mengatasi malnutrisi.

- Mengunakan bantal untuk melindungi kaki, punggung, tangan dari tekanan.

- Menjaga kebersihan kulit dan menjaga agar pakaian selalu kering bebas dari

keringat, urine, dan feces.

- Reposisi pasien secara berkala ( setiap 2 jam ).

- Gunakan bantal khusus atau fiber untuk mengurangi tekanan

- Pada pasien dengan perawatan yang lama perlu diberikan diet khusus dan

digunakan kasur dekubitus.

- Memberikan program edukasi keluarga mengenai prevensi dan tata laksana

ulkus dekubitus.

F. TATA LAKSANA

- Manajemen optimal yang komprehensif dan akurat dalam menentukan

riwayat luka, penyebab lokasi, derajat, ukuran, eksudat, dan kondidi sekitar

ulkus.

- Menyusun jadwal reposisi dan menghindarkan pasien dari posisi yang

menyebabkan dekubitus.

- Pasien dengan ulkus derajat 1-2 ( eritema dan kehilangan kulit parsial ),

diposisikan pada matras dan bantal dengan menurunkan tekanan.

- Pasien dengan ulkus derajat 3-4 ( kehilangan seluruh jaringan kulit dan

kerusakan luas ), diposisikan pada keadaan dengan tekanan rendah yang

konstan.

- Posisi kepala tempat tidur dipertahankan agar tetap elevasi serendah

mungkin, dengan memperhatikan kebutuhan medis dan batasan lainnya.

42
- Permukaan dengan kondisi statuis cocok digunakan untuk pasien dengan

ulkus dekubitus yang dapat mengubah posisi tanpa adanya tekanan pada

ulkus.

- Permukaan dengan kondisi dinamis mungkin cocok untuk pasien dengan

ulkus dekubitus yang tidak dapat mengubah posisi di tempat tidur.

- Mobilisasi aktif, perubahan posisi secara mandiri atau reposisi dengan

indikasi klinis.

- Asupan makanan atau suplemen perlu ditingkatkan pada pasien kurang gizi

dengan resiko ulkus dekubitus

- Penanganan infeksi: mengobati infeksi–infeksi primer dengan antibiotik yang

tepat, mengatasi jaringan nekrotik dan devitalisasi jaringan yang rusak

( Perdosi 2011, Al Rasyid 2015 ).

43
BAB XI

URINARY TRACT INFECTION ( UTI )

Resiko peningkatan insiden UTI pada stroke tergantung beratnya stroke,

tingkatan penurunan kesadaran, meningkatnya volume residu urine dan terdapat

diabetus melitus.

Pada keadaan akut UTI menginduksi inflamasi sistemik, yang ditandai

dengan demam yang dapat merusak jaringan otak yang rentan di daerah

penumbra. Terjadi pula respon katabolik dengan hilangnya masa otot skeletal,

hal tersebut berkaitan dengan pelepasan sitokin dan aksisi simpato adrenal .

A. ETIOLOGI

Mikroorganisme yang dapat menyebabkan UTI antara lain :

- E Colli

- Klesiela

- Proteus marganelal

- Pseudomonas aeruginosa

- Stapilococcus epidermidis

- Candida albicans

- Stapilokakus aureus

Faktor resiko yang berhubungan dengan timbulnya UTI antara lain:

- Pemakaian folley cateter

- Disabilitas paska stroke

- Usia tua

- Status imunitas rendah

44
DETEKSI

- Monitor temperatur tubuh sekurang kurangnya 6 jam selama beberapa hari

pertama

- Demam tidak selalu disertai infeksi bisa karena orang tua yang asupannya

kurang

- Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari tanda-tanda infeksi.

B. GEJALA KLINIS

- Urine berbau, keruh, terdapat darah, dan sedimen

- Disuria ( rasa terbakar ketika buang air kecil atau di sekitar kateter )

- Demam dan menggigil

- Kram di perut bagian bawah

- Sakit kepala punggung bawah

- Polakisuria

- Nokturnia karena kapasitas kandung kemih yang menurun

C. DIAGNOSIS

- Demam, lesu urin berbau

- Sering kencing

D. PREVENSI

- Mengatur input dan output cairan secara adekuat

- Menghindari pemasangan kateter urine bila tidak ada indikasi yang kuat

- Asupan nutrisi yang cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuh

- Pengasaman urin yaitu menambah cairan yang banyak mengandung vit C

- Antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan.

E. TATA LAKSANA

45
- Mengatasi demam dengan pemberian anti piretik

- Pemberian antibiotik spektrum luas atau sesuai hasil laboratorium yang

didapat

- Pemberian antibiotik tidak lebih dari 1 minggu

- Pilihan antibiotik

Lower UTI:

o Cefixime, Cotrimoxazol, Ofloksasin, Nitrofurantoin

Upper UTI

o Ciprofloksasin,

o Pivmecillinam ( Perdosi 2011, Al Rasyid 2015 )

46
BAB XII

PNEUMONIA

Pneumonia adalah komplikasi medis umum yang menjadi penyebab

kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Pneumonia umum

ditemukan pada pasien stroke dan menyulitkan penanganannya. Lima belas

juta stroke terjadi di seluruh dunia setiap tahun dengan dua pertiga

melibatkan cacat permanen atau kematian. Hal ini meningkatkan morbiditas

dan mortalitas populasi pasien ini. Pneumonia menyebabkan mortalitas tinggi.

Kegagalan pernafasan dari stroke menyebabkan intubasi pada hingga 6%

pasien yang menderita stroke iskemik dan 30% pasien dengan stroke

hemoragik. Memiliki risiko pneumonia independen. Pneumonia menyumbang

sekitar sepertiga dari infeksi nosokomial di unit perawatan kritis menurut

sistem pengawasan infeksi nosokomial nasional. Tingkat kematian akibat

Ventilator-Related Pneumonia (VAP, didefinisikan sebagai pneumonia yang

dikembangkan saat menggunakan ventilator) diperkirakan 20% hingga 30%.

Total biaya per kejadian adalah $ 50 (Amstrong 2011).

Peristiwa berisiko tinggi, berbiaya tinggi, dan bervolume tinggi ini

menghadirkan tantangan besar bagi masyarakat kita, sistem kesehatan

masyarakat, dan penyedia layanan.

Ada banyak penyebab pneumonia. Penyebab-penyebab ini dapat

dikelompokkan ke dalam kategori yang luas: pneumonia yang didapat

masyarakat, pneumonia yang didapat di rumah sakit, pneumonia yang terkait

dengan perawatan, pneumonia terkait ventilator, pneumonia aspirasi,

47
pneumonia yang disebabkan oleh organisme oportunistik, dan lain lain.

Sebagian besar data yang tersedia menunjukkan pneumonia pasca stroke

sering karena aspirasi. Pasien rawat inap yang sakit secara rutin disedot dan

pasien dengan gangguan mekanisme menelan akibat cedera neurologis

berada pada risiko yang sangat tinggi. Meskipun keberadaan tabung

endotrakeal dapat memberikan perlindungan terhadap aspirasi volume besar,

tabung endotrakeal juga mengganggu mekanisme pertahanan normal dan

tidak tidak mencegah aspirasi isi faring atau lambung yang lebih kecil (

Amstrong 2011 ).

Beberapa faktor predisposisi infeksi paru pada awal stroke adalah:

- Keparahan gangguan neurologis

- Usia tua

- Diabetus melitus

A. DETEKSI

- Pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan.

- Pneumonia akibat disfagia atau gangguan reflek menelan, erat hubungannya

dengan aspirasi pneumonia. Oleh karena itu tes reflek menelan perlu

dilakukan untuk mengidentifikasi resiko pneumonia.

- Pemberian pipa nasograstik segera dianjurkan bagi penderita dengan

gangguan menelan.

B. PENCEGAHAN

- Elevasi kepala 30- 45 derajat

- Menghindari sedasi berlebihan

- Mempertahankan tekanan endotrakeal cuff yang tepat pada pasien dengan

intubasi dan trakeostomi

48
- Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan enteral

- Menghindari pemakaian pipa nasogastri yang lama

- Seleksi diet yang tepat untuk pasien dengan disfagia

- Rehabilitsi fungsi menelan

C. PENATALAKSANAAN

- Fisioterapi ( chest terapi ) dengan spirometri, inhalasi ritmik, dan menepuk-

nepuk dada

- Pemberian antibiotik sesuai indikasi

a. Tanpa komorbid

Macrolide ( Azitromicini, Eritromycin, Doxyxycline )

b. Disertai penyakit diabetes melitus, alkoholisme, keganasan,

penyakit jantung, paru, liver, ginjal kronik, serta penyakit

imunosupresan:

 Fluoroquinolon: Moxifloxacin, Levofloxacin

 B–laktam dengan Makrolide : Amoxcicilin Clavulanat

 Ceftriaxon, Ciprofloxacin, Cefuroxin dan Doxycycline

(Perdosi)

49
DAFTAR PUSTAKA

Adams HP, Et al. 2003. Guidelines for the early management of patients with

ischemic stroke :The American stroke Association, Stroke.

Adams RD, Victor M, Rapper AH. 2003. Cerebrovasculer Disease, Principles of

Neurology. New York City.-Hill Book.

Aliah A, Kuswara F.F, Limoa RA, Wuysang. 2003. Gangguan Peredaran Darah

Otak. Dalam: Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Becker JU. 2006. Stroke Ischemic. Available in www.emedicine.com.

Bederson Jb, et al. 2009. Guidelines for the Management of Aneurysmal

Subarachnoid Hemorage : American Heart Association, Stoke.

Broderick J. 2007. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral

Hemorrhage. A Guideline From The American Heart Association.

Brott T, Bogousslavsky J. 2000. Treatment of Acute Stroke. The New England

Journal Of Medicine.

Djuanda, Adhi. Azwar. Sofyanm, Ismael. Rianto, Setiabudy. 2010. MIMS

Indonesia. Medidata. Jakarta.

Doenges. Marilyn E. 2008. Nursing Diagnosis Manual. F. A. Davis Company.

Philadelphia.

50
Elizabeth, Corwin. 2000. Patofisiologis. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.

Jakarta.

FIK UI. 2005. Kumpulan Materi Keperawatan Neurologi. Jakarta.

Gensini. 2005. http://www.nursingcenter.com. Diakses Tanggal 25 Januari

2012/20.00 WIB.

Gofir, Abdul. 2009. Evidence Base Medicine ; Manajemen Stroke. Pustaka

Cendekia Press. Yogyakarta.

Gonzalez RG, Hirsch JA, Koroshetz WJ, Schaefer MH. 2006. Acute Ischemic

Stroke : Imaging and Intervention. Springer Berlin Heidelberg New York.

Harsono. 2004. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Hodgkinson et al. 2000. The Management of Raised Intracrania Pressure. The

Royal College of Anaesthetics.

Hudak C.M.,Gallo B.M. 2004. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi

VI, Volume II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Jorgensen, et al. 2002. Treatment and Rehabilitation On A Stroke Unit Improves

5-years survival. Community-Based Study Stroke.

Labovitz DL, Sacco Rl. 2001. Intracerebral Hemorragic : Curr Opin Neurol.

Lamsudin R, 2005. Konsep Baru Manajemen Stroke Akut. BKM.

Levever, Joyce. 2009. Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Penerbit Buku

51
Kedokteran EGC. Jakarta.

Lewis. 2000. Medical Surgical Nursing ; Assesment and Management of Clinical

Problems, Mosby, Philadelphia.

NANDA. 2008. Nursing Diagnosis ; Prinsip and Clasification. Philadelphia.

Newfield, Susan A. 2007. Clinical Application of Nursing Diagnosis. F. A. Davis

Company. Philadelphia.

Pahria, dkk. 2003. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem

Persyarafan.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.

Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan. 2006. Asuhan

Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Depkes. Jakarta.

Rochani, Siti. 2001. Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat

Bedah Saraf Indonesia. Surabaya.

Scott, Jeffrey, M.C. 2012. Master Plan Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara.

Tangerang.

Sedlak, Ingram, Stacey R. 2002. Emergency Nursing ; New Age In Stroke

Treatment. Regional Medical Center.

Shuaib, Ashfaq. 2010. Introduction of Portable Computed Tomography Scanners,

in The Treatment of Acute Stroke Patients Via Telemedicine in Remote

52
39

Communities. World Stroke Organization International Journal of Stroke

Vol. 5. Canada.

Smeltzer., Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth Vol 2.

Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Sorenson’s, Lukman. 2003. Medical Surgical Nursing, A Psychophisiologic

Approach, WB Sounder. Philadelphia.

Sugiono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Pt. Alfabeta bandung. Bandung.

Susilo, Hendro. 2007. Simposium Stroke, Patofisiologi Dan Penanganan Stroke,

Suatu Pendekatan Baru. Bangkalan.

Thurman, R. Jason. 2002. Acut Ischemic Stroke : Emergent Evaluation And

Management. Emergency Medicine Clinics Of North America. University

of Cincinnati.

Treib, Graur MT, Woessner R. 2000. Treatment of Stroke on an Intensive Stroke

Unit ; Intensive Care Medic.

Tuhrim S. 2008. Intracerebral Hemoragic-Improving Outcome by Reducing

Volume. NEJM.

Wardlaw J. 2004. The Acute Cerebral CT Evaluation Stroke Study. Emerg Med.

Widagdo, Wahyu. 2006. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persyarafan.

WK. Jakarta.

53
Widjaja D. 2006. Perdarahan Intraserebral Primer : Patofisiologi, Diagnosis,

dan Penatalaksanaan. Surabaya.

Wihartono W, Gofir A, Wibowo S., 2006. Gambaran Klinis dan CT Scan

perdarahan intraserebral pada penderita hipertensi dan non hipertensi.

Yogyakarta.

Wilkins, Williams. 2011. Nursing : Menafsirkan Tanda-tanda dan Gejala

Penyakit. Pt. Indeks. Jakarta.

Woods. 2005/www.stroke.org/Diakses Tanggal 23 Januari 2012/06.00 WIB.

Xavier Ar, Qureshi Al, Kirmani JF, Yahia AM, Bakhsi R. 2003. Neuroimaging of

Stroke. South Med J.

54

Anda mungkin juga menyukai