1. BAB I. PENDAHULUAN
5. BAB V. DISFAGIA
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
1
PENDAHULUAN
modern saat ini. Dewasa ini, stroke semakin menjadi masalah serius yang
baik pada usia produktif maupun usia lanjut (Junaidi, 2011). Menurut WHO
(World Health Organization) tahun 2012, kematian akibat stroke sebesar 51%
glukosa darah dalam tubuh. Tingginya kadar gula darah dalam tubuh secara
BAB II
2
DEFINISI STROKE
DEFINISI
suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fokal atau global,
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat
iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
fungsi otak baik fokal maupun global yang terjadi mendadak, disebabkan oleh
aliran darah otak dan pecahnya pembuluh darah otak ( Anandita 2017 ).
A. KLASIFIKASI STROKE
1. Stroke Iskemik
b. Trombosisi serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
1. TIA
2. Stroke in volution
3. Complete Stroke
3
c. Berdasarkan sistim pembuluh darah
1. Sistim karotis
B. FAKTOR RESIKO
sumbatan. Secara umum faktor resiko stroke terbagi menjadi dua yaitu faktor
hiperkolesterol serta faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seprti usia,
1. Hipertensi
2. Diabetes melitus
3. Merokok
4
sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung,
4. Asam Urat
5. Dislepedemia
2017).
C. PATOFISIOLOGI
suplai darah, oksigen dan energi. Trombus terbentuk oleh adanya proses
aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis maupun pembuluh darah serebral.
Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang mengakibatkan
semakin lama semakin tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian akan melekat
Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal dan
bagian dari trombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah dibagian
5
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry Aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek
pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
BAB : III
6
KOMPLIKASI STROKE
b. Infeksi: infeksi saluran kemih (24%), infeksi dada (22%), lainnya (19%)
c. Terkait mobilitas: jatuh (25%), jatuh dengan cedera serius (5%), luka
(1%)
BAB IV
7
STRESS ULCER
Stress ulcer adalah kelainan yang bersifat akut pada mukosa saluran cerna
bagian atas, yang disebabkan oleh berbagai keadaan patologi atau dipicu stressor.
Kelaianan mukosa akut tersebut adapat berupa gambaran tukak lambing maupun
Stress ulcer merupakan luka berbentuk seperti kawah, yang terbentuk saat
asam lambung menyebabkan erosi pada dinding saluran pencernaan. Tukak ini
A. PATOFISIOLOGI
( asam lambung, pepsin, empedu, obat NSAID, Helicobacter pylory, dll ) dan factor
prostaglandin, dll )
Etiologi Patofisiologi
Psikis - Rangsangan dikortek serebri, diteruskan ke hipotalamus,
( hiperasiditas )
8
dan duodenum
hiperkortisolemia
dan duodenum.
Trauma kepala - Hiperasiditas dan hipergastrenemia yang menyebabkan
9
disebabkan oleh vasospasme di daerah splanknikus,
thalamus.
rendah.
B. DETEKSI
perlu diperhatikan tanda dan gejala yang ditimbulkan. Gejala kelainan saluran cerna
bagian atas akut yaitu rasa tidak nyaman atau nyeri di ulu hati, mual, muntah,
anoreksia, rasa terbakar di dada, kembung, sendawa, cepat kenyang, rasa penuh di
perut, hingga perdarahan saluran cerna bagian atas ( hematemesis dan melena ).
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tanda dan gejala stroke sebagai stressor
dan tukak peptik. Hasil pemeriksaan abdomen tidak khas, tetapi dapat ditemukan
nyeri epigastrium. Perdarahan lambung ditandai dengan muntah darah hitam atau
buang air besar darah hitam. Bila dilakukan pemasangan selang makan didapati
10
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
ganda
C. PREVENSI
inhibitor pompa proton tidak memberikan hasil yang berbeda. Pemberian antasida
yang bersifat iritatif terhadap lambung ( seperti obat anti inflamasi nonsteroid,
kortikosteroid, asam mefenamat, antalgin, cuka, alcohol, rokok, jamu pegal linu, dll)
perlu dihindari.
D. TATA LAKSANA
Tata laksana stress ulcer tanpa perdarahan: tata laksana airway, breathing, dan
circulation yang adekuat, mengenali tanda gagal napas dan melakukan bantuan
11
- Diet lambung dan nutrisi enteral, hindari obat yang iritatif terhadap saluran
cerna,
- Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel, kecuali bila terdapat indikasi yang
jelas,
- Suportif: infus NaCl 0,9% atau ringer lactate atau plasma expander
- Pasien dipuasakan
- Pasang selang lambung dan dialirkan jika masih ada perdarahan. Lavage atau
lebih lanjut.
- Pemberian makanan per NGT dapat dilakukan apabila cairan maag slang < 150
cc dalam 2 jam.
12
dengan kadar serat yang tinggi dan tidak merangsang/menyebabkan iriatasi
lambung
- Pada perdarahan banyak ( lebih dari 30% dari volume sirkulasi ), perlu
- Tindakan bedah bila perdarahan sudah masuk gawat I dan II ( Al Rasyid, 2015
).
BAB V
DISFAGIA
13
Disfagia adalah kesulitan menelan cairan atau makanan yang disebabkan
gangguan pada proses menelan ( Rasyid & Soertidewi, 2011 ). Ditemukan sekitar
dilakukan rehabilitasi selama 14 hari pasca stroke, sekitar 90% pasien dapat
makanan dan minuman. Gejala disfagia dapat dijumpai dengan atau tanpa
disfonia atau disatria. Gangguan disfagia tanpa disatria atau disfonia bersifat
dehidrasi, infeksi saluran nafas, lamanya jumlah hari rawat, dan bahkan kematian
(Jenny, 2014). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan deteksi dini
adanya disfagia pada semua pasien stroke sejak pasien masuk rumah sakit.
penatalaksanaan pemasukan nutrisi yang tepat dan akurat bagi pasien (Rasyid &
Soertidewi, 2011).
Proses menelan makanan terdiri dari tiga fase yaitu fase oral, fase faringeal,
saliva pada fase oral, kemudian dikunyah dan terbentuk bolus. Bolus makanan
ini mencapai arkus faringeal pada fase faringeal, akibatnya palatum mole naik
14
Disfagia disebabkan oleh gangguan koordinasi otot, kelemahan otot atau
nuclear dari serabut saraf otak yang mempersarafi otot-otot penguhnya dan
menelan.
stroke infark, Disfagia yang bersifat sementara terjadi pada hampir 50% pasien
stroke. Pasien dengan stroke infark kortikal atau subkortikal, atau hemoragik
yang kecil pada hemisfer serebri biasanya tidak mengalami masalah menelan.
A. ETIOLOGI
B. PATOFISIOLOGI
motoris wajah, bibir dan lidah kontralateral. Lesi otak yang menyebabkan
proses menelan.
gangguan menelan yang lebih berat. Hal tersebut terutama disebabkan karena
kerusakan di batang otak menyebabkan perubahan sensasi dari mulut, lidah dan
pipi serta gangguan koordinasi menelan yang terdiri dari proses menelan pada
15
faring, elevasi laring, penutupan glottis. Relaksasi krikoparingeal dan esophagus
C. DETEKSI
Gangguan menelan pada pasien stroke sering terjadi pada fase oral dan fase
faringeal sehingga menyebabkan disfagia. Oleh karena itu saat awal masuk
rumah sakit, pada semua pasien stroke harus dilakukan skrining disfagia.
D. GEJALA KLINIS
Penderita stroke dengan disfagia dapat mengalami salah satu dari gejala
minuman.
- Jika makanan masuk ke saluran napas, dapat terjadi infeksi paru dengan
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
16
Diagnosis disfagia pada kasus stroke akut haruslah ditentukan secepat
mungkin sesaat setelah pasien masuk rumah sakit dan dilakukan oleh dokter
gangguan menelan.
F. TATA LAKSANA
makanan dan menelan, serta mengoptimalkan status gizi. Strategi terapi menurut
Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ) antara lain sebagai berikut :
MODIFIKASI DIET
- Tehnik ini digunakan jika pasien mengalami aspirasi ketika menelan. Tes ini
- Pada pasien stroke dengan disfagia yang berat dan kemungkinan mengalami
kurang gizi atau dehidrasi, dapat digunakan NGT. Apabila pemasangan NGT
akan > 14 hari, perlu dilakukan gastro endoskopi perkutan. Yang dimasukkkan
melalui kulit secara langsung. Resiko pemasangan PEG lebih kecil daripada
pemasangan NGT, namun karena bersifat invasif dapat terjadi infeksi lokal dan
Terapi menelan
- Indirect swallow terapy: tehnik ini mengajarkan pasien untuk menjalani latihan
17
- Direct swallow terapy: tehnik ini mengajarkan pasien untuk melakukan latihan
menelan.
Jalur enteral atau tube feeding dapat digunakan untuk pemberian nutrisi jika
terjadi disfagia. Pemakaian tube feeding sering dirasakan kurang nyaman oleh
pasien, oleh karena itu sering digunakan tube feeding ukuran yang lebih kecil
pada orang dewasa dengan ukuran 8-Fr, 10-Fr, atau 12-Fr. Ukuran kecil ini juga
dibutuhkan pada saat akan weaning enteral nutrition. Apabila terdapat kontra
National Dysphagia Diet (NDD) merupakan tata laksana nutrisi pada pasien
tingkat makanan padat, yang dimulai dari bubur kemudian ditingkatkan secara
Tingkat satu NDD diberikan pada pasien dengan disfagia sedang sampai berat,
terdapat gangguan bicara, terjadi gangguan menelan pada fase oral dan
bubur, dan makanan yang memiliki tekstur seperti puding. Makanan dengan
tidak diizinkan. Cairan yang dapat diberikan dengan tingkat kekentalan ( spoon
thick ).
Tingkat dua NDD, diberikan makanan transisi dengan tekstur yang lebih padat
daripada bubur, tetapi masih memiliki tekstur yang lembut. Pasien memiliki
18
sampai sedang. Semua bentuk diet yang diberikan pada NDD tingkat satu
dapat juga diberikan pada tingkat ini. Cairan yang dapat diberikan sampai
BAB VI
19
Kejang simtomatik dilaporkan terjadi pada 2% pasien stroke akut. Hasil
beragam ini disebabkan oleh analisis terhadap beberapa penelitian yang bersifat
mengalami kejang, sedang pada psien iskemik sebanyak 8,6% mengalami kejang,
Kejadian kejang paska stroke diklasifikasikan menjadi early onset dan late
onset. Ditetapkan waktu 2 minggu setelah stroke sebagai batas early onset dan
late onset.
Kejang early onset terjadi 1-2 hari pertama setelah iskemik, kira-kira 43%
pasien termasuk dalam Seizure After Stroke Study group mengalami kejang 24 jam
menimbulkan depolarisasi trans membran dan efek lainnya yang diakibatkan oleh
Ensepalopati hipoksik iskemik adalah salah satu penyeabab umum dari status
kejang, hal ini disebabkan oleh iskemia hipokampus yang merupakan area alektrik.
20
Jaringan parut gliosis diduga merupakan nidus dari kejang late onset, sama
halnya dengan jaringan sikatrik pada daerah mingoserebral. Pada pasien dengan
stroke hemoragik, epilepsi terjadi pada 29% pasien dengan kejang early onset
Perdarahan lobar juga merupakan factor resiko terjadinya kejang pada stroke
B. MANIFESTASI KLINIS
Kejang paska stroke sering berupa kejang fokal karena sebagian besar
disebabkan oleh lesi fokal 61% studi lain menyebutkan 12% dengan status
epileptikus. Pada kasus status epileptikus juga ditemukan gejala klinis berupa
mortalitas, tipe stroke iskemik atau hemoragik, topografi, ukuran lesi, atau
C. DETEKSI
perubahan pola tertentu pada EEG dapat memprediksi terjadinya kejang late onset.
Pemeriksaan EEG sebaiknya secepat mungkin dari late onset terjadinya kejang
pertama. EEG yang paling sering ditemukan perlambatan umum sebanyak 39%,
perlambatan fokal 19,5%, gelombang fokal tajam dan lambat 9,8%, gelombang
faku fokal dan lambat 4,9%, periodic lateralize epileptiform discharge ( PLEDs)
sebanyak 2,4%. Gambaran EEG normal dapat ditemukan pada 17% kasus.
D. TATA LAKSANA
21
Pemilihan obat konvulsan diberikan secara individual, termasuk obat yang
Pada kejang fokal, pilihan utama adalah karmazepine dan fenitoin sodium.
- Fenitoin dapat diberikan 15-20 mg/kgBB/hari oral atau intravena. Dosis inisial
dosis terbagi. Dosis fenitoin sodium yang dianjurkan adalah sampai kadar
serum mencapai 14-23 ug/ml, dan pemberian dihentikan setelah 1 bulan bebas
perbaikan status mental dan proses menelan. Obat anti epilepsi ( OAD )
generasi baru disebutkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien usia lanjut
- Lamotrigine dapat mempertahankan masa bebas kejang lebih lama atau dapat
- Lorazepam merupakan pilihan pertama pada onset akut dan status epileptikus.
pasien yang menderita porfiria. Dosis 1000-5000 mg/hari, jika obat ini diberikan
selama 4 hari pertama dengan dosis 3000 mg/hari, tingkat respons meningkat
sampai 43%.
22
- Gabapentin memiiki efikasi sebagai monoterapi pada kejang parsial. Dosis
memiliki resiko sangat rendah untuk kejang, karena itu tidak memerlukan terapi
profilaksis. Aktivasi kejang dengan onset lebih dari 2 minggu berisiko tinggi
BAB VII
23
Salah satu gangguan yang timbul setelah stroke adalah spastisitas.
dekubitus, ukuran/letak lesi, jenis stroke, cara pengobatan yang baik adalah
Ketika tonus otot terganggu, kontrol gerakan akan hilang, kondisi ini
disebut juga flaksiditas atau hipertonus. Sebaliknya jika tonus otot meningkat
akan menjadi masalah baru pada pasien bila tidak ditangani dengan segera,
menghabiskan biaya.
24
A. FAKTOR PENCENTUS
perubahan temperatur panas atau dingin yang mencolok, rangsangan nyeri, infeksi,
dekubitus, ukuran/letak lesi, jenis stroke, cara pengobatan yang baik adalah
B. ETIOLOGI
- Spastisitas muncul akibat kerusakan pada otak dan medulla apinalis. Beberapa
trauma pada susunan saraf pusat ( SSP ), cerebral palsy, dan Parkinson.
- Lebih sering terjadi pada trauma medulla spinalis cervical dan thorakal atas
- Pada stroke iskemik, spastisitas mulai tampak pada beberapa hari hingga
beberapa minggu setelah serangan diikuti oleh pola fleksi ekstrimitas dan
25
Spastisitas terjadi akibat hilangnya atau menurunnya eksitasi sistem inhibisi
C. PATOFISIOLOGI
desenden utama yaitu, traktus retikulospinal dorsalis sebagai faktor inhibitorik dan
normal terjadi karena adanya keseimbangan antara efek inhibitorik reflek regangan
yang diperantarai oleh traktus retikularis dorsalis dan efek fasilitatorik pada tonus
ekstensor yang diperantarai oleh traktus retikulospinal medial, dan pada tingkat
yang lebih kecil pada manusi, oleh traktus vestibulospinal (Amalia, 2011).
Pada lesi kapsuler dan kortikal akan terjadi hilangnya beberapa pengendalian
pengaruh hilangnya inhibitorik dari traktus retikospinal dorsal akan berakibat traktus
vestibulospinal dan retikulospinal tidak ada yang menghambat. Pada kondisi ini
Spastisitas adalah suatu keadaan akibat kerusakan UMN, yang terjadi bila
lesi mempengaruhi area premotorik danarea motoric tambahan pada SSP, baik di
intrakranial maupun medulla spinalis. Sindroma UMN dapat terjadi karena trauma
medulla spinalis dan kerusakan system saraf pusat, yang dapat mempengaruhi
26
traktus medulla spinalis, retikulospinal, dan traktus desenden lainnya yang akan
Kerusakan pada kortek serebri dan medulla spinalis akan mengubah sinyal
inhibisi dan eksitasi terhadap motor neuron alpa dengan mekanisme predominan
yaitu penurunan hambatan pada motor neuron alfa dan gamma. Motor neuron alfa
tendon ) merupakan penyebab hampir semua gejala sindroma UMN. Patofisiologi ini
0 = tonus normal
1 = ada sedikit tonus, ada kenaikan tonus ketika anggota gerak yang terkena
digerakkan
3 = kenaikan tonus sedang, gerakan pasif anggota gerak yang terkena sulit
dilakukan
E. TATA LAKSANA
27
Spastisitas perlu ditangani segera untuk menghindarkan terjadinya hal-hal
berikut :
- Pemendekan otot
- Kontraktur
- Ulkus dekubitus
- Segera setelah terjadi serangan stroke, anggota gerak secara total menjadi
paralisis dan arefleksi yang disebut sebagai fleksid. Dalam waktu 48 jam,
refleksi tendon biasanya akan kembali. Pada stadium akut sering terlihat tonus
otot berubah menjadi spastik, dimana pada fase selanjutnya akan bertambah
spastik, terutama waktu penderita mulai aktif. Pada umumnya spastik menjadi
28
Tahap 2 = Spastisitas dan pola sinergis mulai timbul, penderita mulai dapat
baru minimal.
gerak sinergis.
dengan koordinasi yang cukup baik yang jika dilihat sepintas tampak normal.
Spastisitas menghilang.
hari. Pada minggu kedua spastisitas mulai timbul. Akibat dari spastisitas pada
Akibat lanjut dari spastisitas yang berat adalah kontraktur, nyeri dan
TERAPI SPASTISITAS
Indikasi Contoh
Perbaikan fungsi - Mobilitas: meningkatkan kecepatan, kualitas
kursi roda
29
- Mampu bergerak, mampu, terampil dan
tangkas
- Meningkatkan higiene
- Mencegah kontraktur
Perbaikan postur Memperbaiki postur tubuh
Mengurangi Bisa memakai baju sendiri, merawat diri, dan
- Menfasilitasi terapi
30
- Program regangan yang dibimbing oleh fisioterapi dapat meningkatkan range
of motion ( ROM ) pada ekstrimitas atas dan mengurangi nyeri pada stroke
lama,
pada ekstrimitas atas pada pasien post stroke. Batulinum toksin mengurangi
- Terapi dengan etil alcohol meningkatkkan ROM siku dan jari serta dapat
placebo
31
- Stimulus elektrik mengurangi spastisitas plantar fleksi kaki pasien stroke
BAB VIII
VASOSPASME
32
Vasospasme serebral pada penderita perdarahan sub araknoid menjadi
Adanya produk lisis dari bekuan darah akan memicu timbulnya vasospasme.
Bekuan darah tersebut merupakan akibat dari pecahnya aneurisma di rongga sub
araknoid. Oleh karena itu, vasospasme tidak terjadi pada seluruh arteri basal kranial.
tinggi pada perdarahan sub araknoid. Pada autopsi pasien dengan perdarahan sub
Patologi yang jelas mengenai vasospasme masih sedikit diketahui, namun dari
A. DEFINISI
wilisi atau cabang-cabangnya yang terjadi pada perdarahan sub arknoid karena
pecahnya aneurisma.
B. ETIOLOGI
C. EPIDEMIOLOGI
33
Vasospasme dapat terjadi pada hari ke 4 dan mencapai vasospasme maksimal
pada hari ke 10, kemudian menurun sampai hari ke 21 setelah perdarahan sub
arknoid.
D. PATOFISIOLOGI
refluk kalsium ke dalam sel otot polos dinding pembuluh darah, mengubah
DETEKSI
34
- Lesi fokal yang ditemukan: hemiparesis atau hemiplegi, abulia, gangguan
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Angiografi
Sampai saat ini angiografi masih merupakan gold standard untuk melihat dan
baik.
3. Pencitraan
Tehnik pencitraan ini mampu mengukur perfusi regional, bukan diameter arteri
F. TATA LAKSANA
35
- Food and Drug Administration ( 2006) menyatakan bahwa pemberian
Untuk menjaga kadar magnesium dalam darah tetap normal, dapat diberikan
MgSO4 20 meq/L dalam 0,9 normal salin, untuk mencapai nilai magnesium
- Statin
Terapi fibrinolitik, antioksidan, dan anti inflamasi tidak terlalu bermakna dalam
36
- Terapi dilakukan dengan memasukkan obat (biasanya papaverin sebagai
37
BAB IX
embolik vena. Imobilitas yang sering pada pasien stroke merupakan faktor resiko
terjadinya DVT. Insiden DVT menyertai kasus stroke akut mencapai 40-50%.
A. GEJALA KLINIS
Deteksi dini DVT sangat penting mengingat resiko terjadinya emboli paru dan
konskuensi fatal lainnya. Namun gambaran klinis awal DVT sangat spesifik
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
ketidaknyamanan penderita
- Ultrasonografi kompresi
- D-dimer
C. TATA LAKSANA
terapi DVT dan emboli paru. Beberpa jenis NOAC yang dapat digunakan
38
- Pemakaian stoking ketat sampai diatas lutut tidak bermanfaat pada pasien
stroke iskemik akut, dan tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
mencegah DVT.
D. PREVENSI DVT
39
BAB X
ULKUS DEKUBITUS
Pressure ulcer disebut juga dengan pressure sores, ulkus dekubitus, dan
bedsores, yang berarti kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit,
bahkan menembus otot hingga tulang pada daerah tertentu. Ulkus dekubitus
A. ETIOLOGI
mekanik pada kulit dan jaringan diatas tulang untuk waktu yang lama. Apabila aliran
darah terhenti pada daerah kulit tersebut lebih dari 2-3 jam, kulit akan mengalami
kehilangan oksigen dan mati. Ketika terjadi geseran tempat tidur akan terjadi
gesekan pada permukaan kulit oleh baju dan tempat tidur, dapat terjadi luka pada
kulit hingga terbentuk ulkus. Paparan keringat, darah, urin, feses akan
B. GEJALA:
- Pembengkakan.
- Area kulit terasa lebih dingin atau lebih hangat saat disentuh dbandingkan
area lain.
- Tingkat kerusakan kulit dari kemerahan, sampai luka di otot dan tulang.
PREDISPOSISI LUKA
40
- Tulang ekor dan bokong
- Bahu
C. PENYEBAB :
D. FAKTOR RESIKO
- Pasien tirah baring lama beresiko terjadi ulkus dekubitus karena mobilitas
dekubitus.
E. PREVENSI
41
- Melakukan penilaian resiko dengan protokol yang akurat pada awal masuk
rumah sakit.
- Mengatasi malnutrisi.
- Menjaga kebersihan kulit dan menjaga agar pakaian selalu kering bebas dari
- Pada pasien dengan perawatan yang lama perlu diberikan diet khusus dan
ulkus dekubitus.
F. TATA LAKSANA
riwayat luka, penyebab lokasi, derajat, ukuran, eksudat, dan kondidi sekitar
ulkus.
menyebabkan dekubitus.
- Pasien dengan ulkus derajat 1-2 ( eritema dan kehilangan kulit parsial ),
- Pasien dengan ulkus derajat 3-4 ( kehilangan seluruh jaringan kulit dan
konstan.
42
- Permukaan dengan kondisi statuis cocok digunakan untuk pasien dengan
ulkus dekubitus yang dapat mengubah posisi tanpa adanya tekanan pada
ulkus.
indikasi klinis.
- Asupan makanan atau suplemen perlu ditingkatkan pada pasien kurang gizi
43
BAB XI
diabetus melitus.
dengan demam yang dapat merusak jaringan otak yang rentan di daerah
penumbra. Terjadi pula respon katabolik dengan hilangnya masa otot skeletal,
hal tersebut berkaitan dengan pelepasan sitokin dan aksisi simpato adrenal .
A. ETIOLOGI
- E Colli
- Klesiela
- Proteus marganelal
- Pseudomonas aeruginosa
- Stapilococcus epidermidis
- Candida albicans
- Stapilokakus aureus
- Usia tua
44
DETEKSI
pertama
- Demam tidak selalu disertai infeksi bisa karena orang tua yang asupannya
kurang
B. GEJALA KLINIS
- Disuria ( rasa terbakar ketika buang air kecil atau di sekitar kateter )
- Polakisuria
C. DIAGNOSIS
- Sering kencing
D. PREVENSI
- Menghindari pemasangan kateter urine bila tidak ada indikasi yang kuat
E. TATA LAKSANA
45
- Mengatasi demam dengan pemberian anti piretik
didapat
- Pilihan antibiotik
Lower UTI:
Upper UTI
o Ciprofloksasin,
46
BAB XII
PNEUMONIA
juta stroke terjadi di seluruh dunia setiap tahun dengan dua pertiga
pasien yang menderita stroke iskemik dan 30% pasien dengan stroke
47
pneumonia yang disebabkan oleh organisme oportunistik, dan lain lain.
sering karena aspirasi. Pasien rawat inap yang sakit secara rutin disedot dan
tidak tidak mencegah aspirasi isi faring atau lambung yang lebih kecil (
Amstrong 2011 ).
- Usia tua
- Diabetus melitus
A. DETEKSI
dengan aspirasi pneumonia. Oleh karena itu tes reflek menelan perlu
gangguan menelan.
B. PENCEGAHAN
48
- Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan enteral
C. PENATALAKSANAAN
nepuk dada
a. Tanpa komorbid
imunosupresan:
(Perdosi)
49
DAFTAR PUSTAKA
Adams HP, Et al. 2003. Guidelines for the early management of patients with
Aliah A, Kuswara F.F, Limoa RA, Wuysang. 2003. Gangguan Peredaran Darah
Yogyakarta.
Journal Of Medicine.
Philadelphia.
50
Elizabeth, Corwin. 2000. Patofisiologis. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Jakarta.
2012/20.00 WIB.
Gonzalez RG, Hirsch JA, Koroshetz WJ, Schaefer MH. 2006. Acute Ischemic
Harsono. 2004. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Labovitz DL, Sacco Rl. 2001. Intracerebral Hemorragic : Curr Opin Neurol.
51
Kedokteran EGC. Jakarta.
Company. Philadelphia.
Pahria, dkk. 2003. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem
Scott, Jeffrey, M.C. 2012. Master Plan Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara.
Tangerang.
52
39
Vol. 5. Canada.
Smeltzer., Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth Vol 2.
of Cincinnati.
Volume. NEJM.
Wardlaw J. 2004. The Acute Cerebral CT Evaluation Stroke Study. Emerg Med.
WK. Jakarta.
53
Widjaja D. 2006. Perdarahan Intraserebral Primer : Patofisiologi, Diagnosis,
Yogyakarta.
Xavier Ar, Qureshi Al, Kirmani JF, Yahia AM, Bakhsi R. 2003. Neuroimaging of
54