Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Stroke atau cerebral vaskuler accident (CVA) adalah gangguan dalam sirkulasi
Intraserebral yang berkaitan vascular insuffisiency, trombosis, emboli, atau perdarahan
(Muliati, 2018).
Stroke non hemoragik adalah stroke yang di sebabkan karena penyumbatan
pembuluh darah di otak oleh thrombosis maupun emboli sehingga suplai glukosa dan
oksigen ke otak berkurang dan terjadi kematian sel atau jaringan otak yang disuplai
(Nggebu, 2019).
Stroke non hemoragik atau infark dalah cidera otak yang berkaitan dengan obstruksi
aliran darah otak terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau embolis yang
mengalir ke otak dan tempat lain tubuh (Ratnasari, 2020).

B. Klasifikasi

Menurut Lusiana (2019) klasifikasi stroke dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Stroke Iskemik

Stroke iskemik yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang
terbentuk didalam pembuluh darah otak atau pembukuh darah organ distal. Terdapat
beragam penyebab stroke trombotik dan embolik primer termasuk ateroslerosis,
arteritis, keadaan hiperkoagulasi dan penyakit jantung strukural. Penyebab lain stroke
iskemik adalah vasospasme yang sering merupakan respons vaskuler reaktif terhadap
perdarahan ke dalam ruang antara araknoid dan piameter meningen. Sebagian stroke
iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan otak tidak peka terhadap nyeri.
Namun, pembuluh darah besar dileher dan batang otak memiliki banyak reseptor nyeri
sehingga cedera pada pembuluh-pembuluh darah ini saat serangan iskemik dapat
menimbulkan nyeri kepala.
Menurut Prakasita (2015) berdasarkan perjalanan klinis, stroke iskemik
dikelompokkan menjadi :
a) TIA (Transient Ischemic Attack)
Pada TIA gejala neurologis timbul dan menghilang kurang dari 24 jam. Disebabkan
oleh gangguan akut fungsi fokal serebral, emboli maupun trombosis.
b) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)

Gejala neurologis pada RIND menghilang lebih dari 24 jam namun kurang dari 21
hari.
c) Stroke in Evolution

Stroke yang sedang berjalan dan semakin parah dari waktu ke waktu.

d) Completed Stroke

Kelainan neurologisnya bersifat menetap dan tidak berkembang lagi.

2. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik terjadi sekitar 20 % dari seluruh kasus stroke. Pada stroke ini,
lesi vaskuler intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan di
subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Perdarahan dapat secara cepat
menimbulkan gejala neurogenik karena tekanan pada struktur-struktur saraf di 12
dalam tengkorak. Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan kerusakan
fungsi otak dan kehilangan kesadaran.

C. Etiologi
Faktor risiko yang dapt menjadi penyebab stroke adalah sebagai berikut:
a. Trombosis (bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak)
b. Embolisme cerebral (bekuan darah atau material lain)
c. Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak)
d. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Akibatnya adalah penghentian suplai
darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan,
berpikir, memori , bicara atau sensasi .

1. Faktor Predisposisi

a) Jenis Kelamin

Stroke menyerang laki-laki 19% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal


ini dikarenakan perempuan memiliki hormon esterogen yang berperan dalam
mempertahankan kekebalan tubuh sampai menopause dan sebagai proteksi atau
pelindung pada proses ateroskerosis. Namun setelah perempuan tersebut
mengalami menopouse , besar risiko terkena stroke antara laki-laki dan perempuan
menjadi sama (Ummaroh, 2019).
b) Usia

Stroke dapat menyerang siapa saja, semakin tua usia seseorang maka semakin
besar kemungkinan orang tersebut terkena stroke. Penderita stroke lebih banyak
terjadi pada usia diatas 50 tahun dibandingkan dengan yang berusia dibawah 50
tahun. Dimana pada usia tersebut semua organ tubuh termasuk pembuluh darah
otak menjadi rapuh (Ratnasari, 2020).
c) Riwayat Stroke dalam Keluarga

Dari sekian banyak kasus stroke yang terjadi, sebagian besar penderita stroke
memiliki faktor riwayat stroke dalam keluarganya. Keturunan dari penderita stroke
diketahui menyebabkan perubahan penanda aterosklerosis awal, yaitu proses
terjadinya timbunan zat lemak dibawah lapisan dinding pembuluh darah yang dapat
memicu terjadinya stroke. Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan
mengesankan bahwa riwayat stroke dalam keluarga mencerminkan suatu hubungan
antara faktor genetis dengan tidak berfungsinya lapisan dinding pembuluh darah
dalam arteri koronaria (Ummaroh, 2019).
2. Faktor Presipitasi

a) Hipertensi

Hipertensi, merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting untuk


stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Pada keadaan hipertensi, pembuluh
darah mendapat tekanan yang cukup besar. Jika proses tekanan berlangsung lama,
dapat menyebabkan kelemahan pada dinding pembilih darah sehingga menjadi
rapuh dan mudah pecah. Hipertensi juga dapat menyebabkan arterosklerosis dan
penyempitan diameter pembuluh darah sehingga mengganggu aliran darah ke
jaringan otak (Nasution, 2013).
b) Penyakit Jantung

Faktor risiko berikutnya adalah penyakit jantung, terutama penyakit yang


disebut atrial fibrilation, yakni penyakit jantung dengan denyut jantung yang tidak
teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di atrium kiri ini mencapai empat kali lebih
cepat dibandingkan di bagian-bagian lain jantung. Ini menyebabkan aliran darah
menjadi tidak teratur dan secara insidentil terjadi pembentukan gumpalan darah.
Gumpalan-gumpalan inilah yang kemudian dapat mencapai otak dan menyebabkan
stroke. Pada orang-orang berusia di atas 80 tahun, atrial fibrilation merupakan
penyebab utama kematian pada satu di antara empat kasus stroke. Faktor lain dapat
terjadi pada pelaksanaan operasi jantung yang berupaya memperbaiki cacat bentuk
jantung atau penyakit jantung. Tanpa diduga, plak dapat terlepas dari dinding aorta
(batang nadi jantung), lalu hanyut mengikuti aliran darah ke leher dan ke otak yang
kemudian menyebabkan stroke (Juwani, 2013).
c) Diabetes Mellitus

Penyakit diabetes mellitus dapat mempercepat timbulnya plak pada pembuluh


darah yang dapat mengakibatkan resiko terjadinya stroke iskemik. Seseorang
dikatakan menderita diabetes mellitus jika pemeriksaan gula darah puasa > 140
mg/dL, atau pemeriksaan 2 jam post prandial > 200 mg/dL Penderita diabetes
cenderung menderita obesitas, obesitas dapat mengakibatkan hipertensi dan
tingginya kadar kolesterol, dimana keduanya merupakan faktor resiko stroke
(Ratnasari, 2020).
d) Obesitas

Stroke terkait dengan tingginya kadar lemak dan kolestrol dalam darah. Pada
orang dengan obesitas, biasanya kadar LDL yang (Low-Density Lipoprotein) lebih
tinggi dibandingkan kadar HDL (High-Density Lipoprotein).
e) Merokok

Merokok dapat mengakibatkan rusaknya pembuluh darah dan peningkatan


plak pada dinding pembuluh darah yang dapat menghambat sirkulasi darah.
Merokok meningkatkan resiko terkena stroke dua sampai empat kali ini berlaku
untuk semua jenis rokok dan untuk semua tipe stroke, terutama perdarahan
subaraknoid karena terbentuknya aneurisma dan stroke iskemik. Asap rokok
mengandung beberapa zat yang bahaya yang disebut dengan zat oksidator. Dimana
zat tersebut menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat penimbunan
lemak, sel trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri diseluruh tubuh
termasuk otak, jantung dan tungkai. Sehingga merokok dapat menyebabkan
terjadinya arteriosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah
menggumpal sehingga resiko terkena stroke (Ratnasari, 2020).
f) Dislipidemia

Kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat) dan kolesterol total yang tinggi
mengakibatkan resiko stroke sampai dua kali lipat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa angka kejadian stroke 23 meningkat pada pasien dengan kadar kolesterol
diatas 240 mg%. Setiap kenaikan kolesterol 38,7 mg% menaikkan angka stroke
25% sedangkan kenaikan HDL (High Density Lipoprotein) 1 mmol (38,7 mg%)
menurunkan angka stroke setinggi 47% (Ratnasari, 2020).
g) Life Style

Life style atau gaya hidup seringkali dikaitkan sebagai pemicu berbagai
penyakit yang menyerang, baik pada usia produktif maupun usia lanjut. Salah satu
contoh life style yaitu berkaitan dengan pola makan.Generasi muda biasanya sering
menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi
makanan siap saji yang serat lemak dan kolesterol namun rendah sehat. Kemudian,
seringnya mengonsumsi makanan yang digoreng atau makanan dengan kadar gula
tinggi dan berbagai jenis makanan yang ditambah zat pewarna/penyedap/pemanis
dan lain-lain. Faktor gaya hidup lain yang dapat beresiko terkena stroke yaitu
sedentary life style atau kebiasaan hidup santai dan malas berolah raga. Hal ini
dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan metabolisme tubuh dalam
pembakaran zat-zat makanan yang dikonsumsi. Sehingga, beresiko membentuk
terjadinya tumpukan kadar lemak dan kolestrol dalam darah yang beresiko
membentuk ateroskelorosis (plak) yang dapat menyumbat pembuluh darah yang
dapat berakibat pada munculnya serangan jantung dan stroke (Ummaroh, 2019).
h) Stress

Stres yang bersifat konstan dan terus menerus memengaruhi kerja kelenjar
adrenal dan tiroid dalam memproduksi hormon adrenalin, tiroksin, dan kortisol
sebagai hormon utama stres akan naik jumlahnya dan berpengaruh secara signifi
kan pada sistem homeostasis. Adrenalin yang bekerja secara sinergis dengan sistem
saraf simpatis berpengaruh terhadap kenaikan denyut jantung dan tekanan darah.
Tiroksin selain meningkatkan Basal Metabolism Rate (BMR) juga menaikkan
denyut jantung dan frekuensi nafas. Peningkatan denyut jantung inilah yang akan
memperberat aterosklerosis. Stress dapat merangsang pelepasan hormon adrenalin
dan memacu jantung untuk berdetak lebih cepat dan lebih kuat, sehingga tekanan
darah akan meningkat (Ramadhani & Adrian, 2015).
i) Cedera Kepala dan Leher

Cedera pada kepala atau cedera otak traumatik dapat menyebabkan


pendarahan di dalam otak dan menyebabkan kerusakan yang sama seperti pada
stroke hemoragik. Cedera pada leher, bila terkait dengan robeknya tulang punggung
atau pembuluh karotid akibat peregangan atau pemutaran leher secara
berlebihan atau adanya tekanan pada pembuluh merupakan penyebab stroke yang
cukup berperan, terutama pada orang dewasa usia muda (Juwani, 2013).
j) Konsumsi Kopi

Konsumsi kopi dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke iskemik, di


sebabkan oleh denyut jantung yang meningkat beberapa saat setelah mengkonsumsi
segelas kopi, yang dapat terjadinya aliran darah ke otak tidak stabil akibatnya kerja
jantung yang meningkat sehingga kapasitas pembuluh darah bertambah dan akan
beresiko terjadinya penyumbatan didalam Arteri (Juwani, 2013).
k) Konsumsi Alkohol

Makin banyak konsumsi alkohol maka kemungkinan stroke. Makin tinggi


karena alkohol dapat menaikan tekanan darah, memperlemah jantung,
mengentalkan darah dan menyebabkan kejang arteri. konsumsi alkohol secara
berlebihan dapat mempengaruhi jumlah platelet sehingga mempengaruhi
kekentalan dan penggumpalan darah, yang menjurus ke perdarahan di otak serta
memperbesar risiko stroke iskemik (Udani, 2013).
D. Manifestasi Klinis

Menurut Ginting (2017) gejala umum yang sering terjadi dan mudah dilihat adalah
penderita merasakan lemah dan mati rasa atau bebal pada bagian wajah, tangan, atau kaki
terutama salah satu bagian tubuh. Gejala stroke dapat disingkat FAST untuk memudahkan
masyarakat dalam mengenali gejala tersebut:
1. F (face/wajah)

Minta orang tersebut untuk tersenyum. Wajah akan terlihat tidak simetris (asimetris),
sebelah sudut mulut tertarik ke bawah dan lekukan antara hidung ke sudut mulut
tampak mendatar.
2. A (arms drive/gerakan lengan)

Minta orang tersebut untuk mengangkat kedua lengan. Lengan diangkat lurus sejajar
kedepan dengan sudut 900 dan telapak tangan keatas selama 30 detik. Jika
kelumpuhan lengan ringan dan tanpa disadari penderita, maka lengan lumpuh akan
turun (menjadi tidak sejajar lagi) sedangkan kelumpuhan yang berat, lengan tersebut
tidak bisa diangkat lagi dan tidak dapat digerakkan.
3. S (speech/bicara)

Minta orang tersebut mengulangi kalimat sederhana. Maka akan terlihat gangguan
berbicara (artikulasi terganggu) atau sulit berbicara (gagu) atau bisa bicara tetapi
mengalami gangguan pemahaman atau sulit mengerti.
4. T (time/waktu )

Segera memanggil ambulans atau ke rumah sakit jika menemukan tiga gejala diatas
seperti perubahan wajah, kelumpuhan dan bicara atau disertai gejala seperti :
a. Kehilangan kesadaran (pingsan)

b. Pusing berputar (vertigo)

c. Kesemutan separuh badan

d. Penglihatan tiba-tiba kabur pada kedua atau salah satu mata.

Menurut Katrisnani (2019) Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik,


bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori).
Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
1. Kehilangan motorik

Disfungsi motorik paling umum adalah paralisis pada salah satu sisi atau
hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Diawal tahapan stroke,
gambaran klinis yang muncul adalah paralisis dan hilang atau menurunnya refleks
tendon dalam atau penurunan 30 kekuatan otot untuk melakukan pergerakkan, apabila
refleks tendon dalam ini muncul kembali biasanya dalam waktu 48 jam, peningkatan
tonus disertai dengan spastisitas atau peningkatan tonus otot abnormal pada ekstremitas
yang terkena dapat dilihat (Afandy, 2018).
2. Kehilangan Komunikasi

Menurut Katrisnani (2019) fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah
bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa
dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:

a) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti


yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
bicara.
b) Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama
ekspresif atau reseptif.
c) Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk
menyisir rambutnya.
3. Gangguan Persepsi

Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat


mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial
dan kehilangan sensori (Katrisnani, 2019).
4. Kerusakan Fungsi Kognitif dan Efek Psikologik

Menurut Afandy (2018) gangguan persepsi sensori merupakan ketidakmampuan


untuk menginterpretasikan sensasi. Gangguan persepsi sensori pada stroke meliputi:
a) Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan
korteks visual. Kehilangan setengah lapang pandang terjadi sementara atau
permanen (homonimus hemianopsia). Sisi visual yang terkena berkaitan dengan
sisi tubuh yang paralisis. Kepala penderita berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan
cendrung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut yang disebut
dengan amorfosintesis. Pada keadaan ini penderita hanya mampu melihat makanan
pada setengah nampan, dan hanya setengah ruangan yang terlihat.
b) Gangguan hubungan visual-spasial yaitu mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial sering terlihat pada penderita dengan hemiplegia kiri.
Penderita tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan
untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c) Kehilangan sensori, karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
berat dengan kehilangan propriosepsi yaitu kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual,
taktil, dan auditorius.
5. Disfungsi kandung kemih

Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara


karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan (Katrisnani, 2019).

E. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan pant dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor
penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi
turbulensi (Nggebu 2019).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah, terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis biasanya
tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh
embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau
jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat, menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika
aneurisma pecah atau ruptur. Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik
clan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih
sering menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai;
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial
dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat
foramen magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak,
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan
darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus,
talamus, dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-6 menit.
Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh
karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung (Nggebu, 2019).
F. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Murtiningsih (2019) pemeriksaan diagnostik pada pasien stroke, yaitu :

1. Radiologi
a) CT-Scan

Pemindaian yang memperlihatkan secara spesifik adanya edema,


adanya hematoma, iskemia dan adanya infark pada stroke. Hasil
pemeriksaan tersebut biasanya terdapat pemadatan di vertikel kiri dan
hiperdens lokal.

b) Elektroensefalogram (EEG)

Mengidentifikasi penyakit yang didasarkan pada pemeriksaan


pada gelombang otak dan memungkinkan memperlihatkan daerah lesi
yang spesifik. Pada pasien stroke biasanya dapat menunjukkan apakah
terdapat kejang yang menyerupai dengan gejala stroke dan perubahan
karakteristik EEG yang menyertai stroke yang sering mengalami
perubahan (Hello sehat, 2018).
c) Sinar X

Menggambarkan pada perubahan kelenjar lempeng pineal pada


daerah yang berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis
internal yang terdapat pada trombosis serebral.
d) Angiografi Serebral

Pemeriksaan ini membantu untuk menentukan penyebab stroke


secara spesifik antara lain perdarahan, obstruksi arteri, olkusi/rupture.
e) Fungsi Lumbal

Tekanan normal dan biasanya ada trombosis, emboli dan TIA


(Transient Ischaemia Attack). Sedangkan tekanan yang
meningkat dan
cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan
subarachnoid atau intrakranial. Kadar protein total meningkat pada
kasus trombosis berhubungandengan proses inflamasi.
f) Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan yang menggunakan gelombang magnetik dengan


menentukan besar atau luas perdarahan yang terjadi pada otak. Hasil
dari pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukan adanya daerah yang
mengalami infark, hemoragik, dan malinformasi arteriovena.
g) Ultrasonografi Doppler

Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri


karotis/ aliran darah/ muncul plaque/aterosklerosis).
h) Pemeriksaan Thorax

Memperlihatkan keadaan jantung dan menggambarkan perubahan


kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari masa yang meluas.
2. Laboratorium

a) Pemeriksaan Darah Lengkap

Seperti Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Eritrosit. Semua itu


berguna untuk mengetahui apakah pasien menderita anemia, sedangkan
leukosit untuk melihat sistem imun pasien. Jika kadar leukosit pada
pasien diatas normal, berarti ada penyakit infeksi yang sedang
menyerang.
b) Test Darah Koagulasi

Tes ini terdiri dari 4 pemeriksaan yaitu pothromin time, partial


thromboplastin (PTT), Internasional Normalized Ratio (INR) dan
agregasi trombosit. Keempat tes ini berguna untuk mengukur seberapa
cepat darah mengumpal. Pada pasien stroke biasanya ditemukan
PT/PTT dalam keadaan normal.
c) Tes Kimia Darah

Tes ini digunakan untuk melihat kandungan gula darah,


kolesterol, asam urat dll. Seseorang yang terindikasi penyakit stroke
biasanya memiliki yang gula darah yang tinggi. Apablia seseorang
memiliki riwayat penyakit diabetes yang tidak diobati maka hal
tersebut dapat menjadi faktor pemicu resiko stroke.

G. Penatalaksanaan Medis
Kematian dan deteriosasi neurologis minggu pertama stroke iskemia terjadi
karena adanya edema otak. Edema otak timbul dalam beberapa jam setelah
stroke iskemik dan mencapai puncaknya 24-96 jam. Edema otak mula-mula
cytofosic karena terjadi gangguan pada metabolisme seluler kemudian terdapat
edema vasogenik karena rusaknya sawar darah otak setempat. Untuk
menurunkan edema otak, dilakukan hal-hal sebagai berikit :
a. Naikkan posisi kepala dan badan bagian atas setinggi 20-30o
b. Hindarkan pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau cairan
hipotonik.

Adapun penatalaksanaan medis menurut (Nofitri) yaitu:


1. Penatalaksanaan Medis

a) Menurunkan kerusakan iskemik serebral Tindakan awal difokuskan


untuk menyelamatkan sebanyak mungkin area iskemik dengan
memberikan oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat
dengan mengontrol atau memperbaiki disritmia serta tekanan darah.
b) Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK Dengan
meninggikan kepala 15-30 derajat menghindari flexi dan rotasi
kepala yang berlebihan, pemberian dexamethason.
c) Pengobatan

1) Anti Koagulan : Heparin untuk menurunkan kecenderungan


perdarahan pada fase akut

2) Obat Anti Trombotik : Pemberian ini diharapkan mencegah


peristiwa trombolitik atau embolik

3) Diuretika : Untuk menurunkan edema serebral

4) Antikoagulan: Heparin

Untuk mencegah terjadinya bekuan darah embolisasi thrombus.

5) Antihipertensi: Catropil, antagonis kalsium.

6) Recombinant Tissue-Type Plasminogen Activator

Pemberian rtPA (recombinant tissue-type plasminogen


activator) atau alteplase merupakan pilihan dalam upaya
revaskularisasi pada stroke iskemik menggunakan agen
trombolisis. Pemberian trombolisis dengan rtPA pada stroke
iskemik. Pemberian rtPA harus segera dilakukan dalam 3 jam
sejak onset terjadinya stroke dan kemungkinan stroke
hemoragik telah disingkirkan. Dokter juga perlu menimbang
risiko komplikasi yang muncul akibat rtPA, seperti perdarahan
intrakranial dan reaksi alergi.

d) Pembedahan Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki


peredarandarah otak.
2. Penatalaksanaan Keperawatan

a) Posisi kepala dan badan 15-30 derajat. Posisi miring apabila


muntah dan boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika
stabil.
b) Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat.

c) Tanda-tanda vital usahakan stabil

d) Bedrest

e) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

f) Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction yang


berlebih

H. Komplikasi

Menurut Pratama (2019) komplikasi pada penderita stroke, yaitu :


1. Peningkatan tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial merupakan kumpulan sejumlah volume darah
intrakranial dan cairan serebrospinal di dalam tengkorak.
2. Hermiasi otak
Apabila jaringan otak bergeser dari daerah tekanan tinggi ke tekanan
rendah maka akan terjadi herniasi otak.
3. Gagal nafas
Salah satu gejala dari stroke adalah penurunan kesadaran, yang dapat
mengakibatkan obstruksi jalan nafas karena epiglotis dan lidah mungkin
rileks yang menyumbat orofaring sehingga terjadi gagal nafas, hemoragik
pada area medulla oblongata.
4. Iskemik cerebri
Stroke yang paling sering terjadi (85%), yang disebabkan karena adanya
gangguan aliran darah yang disebabkan karena sumbatan pembuluh darah
otak yang mengakibatkan adanya hipoperfusi jaringan otak yang
signifikan.
5. Malnutrisi
Salah satu manifestasi klinis dari stroke adalah disfagia (sulit menelan).
Dengan adanya gejala ini mengakibatkan terjadinya anoreksia yang
menyebabkan intake tidak adekuat, sehingga menimbulkan malnutrisi
6. Bekuan Darah (trombosis)
Mudah terbentuk pada kaku yang lumpuh menyebabkan penimbunan
cairan, pembengkakan (odema) selain itu juga dapat menyebabkan
embolismen paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri
yang mengalirkan darah ke paru.
7. Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi
kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan
terjadi ulkus dekubitus dan infeksi.
8. Pneumonia
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan
pneumoni.
9. Atrofi dan Kontraktur (Kekakuan Sendi)
Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi.

I. Rehabilitasi Pasca Stroke

Menurut Kurniawan (2017) mengklasifikasikan fase dalam rehabilitasi


stroke, sebagai berikut :
1. Fase Akut

Pasien stroke mendapatkan perawatan di ruang perawatan biasa


maupun unit stroke, dikarenakan kondisi hemodinamik pasien belum
stabil. Rehabilitasi fase akut dilakukan pada 2 minggu pertama pasca
serangan stroke. Tujuan rehabilitasi fase akut ini adalah untuk
mempertahankan integritas kulit, mencegah pola postur, mencegah otot
mengalami pemendekan dan kaku sendi, mengatasi gangguan fungsi
menelan dan gangguan komunikasi. Manajemen rehabilitasi fase akut
meliputi manajemen menelan, manajemen berkomunikasi, pencegahan
pressure ulcer, pencegahan jatuh, pencegahan nyeri serta DVT. Yang
harus dilakukan pada fase akut stroke adalah sebagai berikut :
a. Pertahankan fungsi vital seperti jalan napas, pernapasan oksigen dan
sirkulasi

b. Monitor TIK

c. Monitor pernapasan fungsi AGD

d. Monitor jantung dan TTV, pemeriksaan EKG

e. Evaluasi status cairan dan elektrolit

f. Kontrol kejang, jika ada dengan pemberian anti konvulsan dan cegah
resiko injuri

g. Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi lambung dan


pemberian makanan

h. Cegah emboli paru dan tromboplebitis dan antikoagulan

i. Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran, keadaan


pupil , fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial dan reflex

2. Fase Sub-akut

Pasien stroke fase sub-akut pada umumnya kondisi


hemodinamiknya mulai stabil dan dibolehkan untuk pulang ke rumah.
Apabila pasien masih memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif
maka belum boleh untuk dipulangkan. Fase rehabilitasi ini dilakukan
antara 2 minggu hingga 6 bulan setelah stroke. Tujuan pemberian
rehabilitasi yaitu untuk mengoptimalkan pemulihan neurologis dan
reorganisasi saraf, meningkatkan kualitas hidup dan konsep diri. Latihan
pada fase sub-akut ini yaitu meliputi latihan berdiri dan berjalan, latihan
ketahanan, terapi kognitif, terapi berbicara, dan terapi dengan modalitas,
dan juga terapi yang telah dilakukan pada fase akut dapat dilanjutkan
3. Fase Kronis

Program latihan atau rehabilitasi untuk fase kronis berlangsung


diatas 6 bulan setelah terjadi stroke. Pada fase ini latihan endurasi dan
penguatan otot dilakukan secara bertahap dan terus ditingkatkan hingga
pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang optimal. Tujuan dari program
latihan fase kronis adalah mengoptimalkan dan mempertahankan
kemampuan fungsional yang telah dicapai, mengoptimalkan kualitas
hidup pasien, dan mencegah terjadinya komplikasi. Latihan fase kronis
meliputi latihan berjalan, latihan kekuatan dan latihan keseimbangan.
Menurut Hariandja (2013), peningkatan kualitas hidup penderita
stroke melalui rehabilitasi. Rehabilitasi dilakukan segera mungkin dan
secara rutin, hal ini menyebabkan kembalinya kemampuan motorik
penderita stroke secara bertahap. Rehabilitas pada ekstremitas atas
sangatlah penting bagi penderita stroke. Ekstremitas atas sangat berperan
penting dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari seperti makan, minum,
mandi, berpakaian, dan lain sebagainya.
Menurut Sari (2020), penatalaksanaan rehabilitasi yang dapat
dilakukan pada pasien stroke dengan gangguan mobilitas fisik yaitu
melakukan mobilisasi sesegera mungkin saat kondisi neurologis dan
hemodinamik penderita stroke telah membaik atau stabil. Mobilisasi harus
dilakukan secara berskala.
Beberapa jenis tindakan atau terapi yang diberikan pada pasien pasca
stroke adalah sebagai berikut :
1. Terapi Rehabilitasi

Tujuan
a. Mengoptimalkan kemampuan fungsi yang ada
b. Memberikan edukasi cara2 modifikasi sehingga pasien pasca
stroke mampu beradaptasi mandiri dengan kondisi yang ada saat
ini
c. Mencegah terjadi komplikasi / kecacatan
d. Apabila sudah terjadi kecacatan  mencegah kecacatan lebih berat

Program Rehabilitasi
Dimulai saat penderita stabil
a. tidak ada komplikasi dan tak pada kondisi medis yang
membahayakan jiwa.
1) Progam rehabilitasi medik aktif sesudah serangan stroke :
 Stroke penyumbatan : 3-5 hari
 Stroke perdarahan : 2 – 3 minggu
2) Dilakukan secara komprehensif melibatkan
 Terapi fisik, okupasi, wicara, dan ortotik/ penyangga
 Peran aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat Periode
emas terapi rehabilitasi adalah dalam waktu 6 bln setelah
serangan stroke
b. kemampuan fungsional akan kembali sd 80% dari kondisi sebelum
stroke :
 Mampu berjalan mandiri / dengan alat bantu jalan secara
mandiri
 Mampu melakukan aktifitas harian secara mandir
2. Terapi Fisik

Tujuan :
a. Mempertahankan posisi yang benar saat pasien baring / duduk
b. Mempertahankan kemampuan fungsi mobilisasi : berguling,
berubah posisi, pindah tempat, berjalan dengan/ tanpa alat
bantu jalan
c. Mempertahankan kemampuan dalam melakukan aktivitas
harian melakukan aktivitas fungsional

ROM AKTIF / PASIF


a. Definisi
Rentang pergerakan sendi (Range of Motion/ROM) adalah
pergerakan maksimal yang mungkin dilakukan oleh sendi tersebut.
Rentang pergerakan sendi bervariasi dari individu ke individu yang
lain dan ditentukan oleh susunan genetik, pola perkembangan, ada atau
tidak adanya penyakit, dan jumlah aktivitas fisik yang normalnya
dilakukan seseorang.

b. Indikasi
1. Meningkatkan kemampuan tonus otot.
2. Melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh
dan mencegahterbentuknya decubitus.
3. Mencegah terjadinya kontraktur.

c. Tujuan
1. Pasien yang mengalami penurunan kemampuan tonus otot
(Hemiparese).
2. Pasien Stroke yang telah melewati fase akut.

*Tidak dianjurkan dilakukan pada pasien-pasien dengan yang


mengalami
Shoulder Pain.
d. Langkah-langkah
No. BagianTubuh-Tipe Sendi/Pergerakan
1. Leher-Sendi Putar:
 Fleksi. Gerakkan kepala dari posisi tegak di garis
tengah kearah depan sehingga dagu klien
menyentuh dada.
 Ekstensi. Gerakkan kepala dari posisi fleksi keposisi
tegak.
 Hiperekstensi. Gerakkan kepala dari posisi tegak
kearah belakang sejauhmungkin.
 Fleksi lateral. Gerakkan kepala kearah lateral kanan
dan kiri bahu.
 Rotasi. Palingkan wajah sejauh mungkin kearah
kanan dan kiri.
2. Bahu-Sendi Peluru:
 Fleksi. Angkat setiap lengan dari posisi di samping
tubuh kearah depan dan keatas keposisi di samping
kepala.
 Ekstensi. Gerakkan setiap lengan dari posisi
vertikal di samping kepala menuju kearah depan
dan kebawah keposisi istirahat di samping tubuh.
 Hiperekstensi. Gerakkan setiap lengan dari posisi
istirahat di samping tubuhkebelakang tubuh.

 Abduksi. Gerakkan setiap lengan kearah lateral


dari posisi istirahat di samping tubuh keposisi
samping di atas kepala, telapak tangan menjauh dari
kepala.

 Aduksi (anterior). Gerakkan setiap lengan dari


posisi di samping tubuh menyilang bagian depan
tubuh sejauh mungkin. Siku dapat diluruskan atau
ditekuk.
 Sirkumduksi. Gerakkan setiap lengan kedepan,
keatas, kebelakang dan kebawah dalam gerakan
lingkaran penuh.
 Rotasi eksternal. Letakkan lengan disamping tubuh
setinggi bahu dan siku ditekuk membentuk sudut
siku-siku, jari-jari menunjuk kebawah, gerakkan
lengan kearah atas sehingga jari-jari menunjuk
keatas.
 Rotasi internal. Letakkan lengan di samping tubuh
setinggi bahu dan siku ditekuk membentuk sudut
siku-siku, jari-jari menunjuk keatas, gerakkan
lengan kearah depan dan bawah sehingga jari-jari
menunjuk kebawah.
3. Siku-Sendi Engsel:
 Fleksi. Gerakkan setiap lengan bawah kearah
depan dan keatas sehingga tanganberada di bahu.
 Ekstensi. Gerakkan setiap lengan bawah
kearahdepan dan kebawah, luruskanlengan.
 Rotasi untuk supinasi. Gerakkan setiap tangan
dan lengan bawah sehingga telapak tangan
menghadap keatas.
 Rotasi untuk pronasi. Gerakkan setiap tangan
dan lengan bawah sehingga telapak tangan
menghadap kebawah.
4.
PergelanganTangan-Sendi Kondiloid:
 Fleksi. Gerakkan jari setiap tangan kearah dalam
lengan bawah.
 Ekstensi. Luruskan setiap tangan kepermukaan yang
sama seperti lengan.
 Hiperekstensi. Tekuk jari-jari setiap tangan
kebelakang sejauh mungkin.
 Fleksi radialis (abduksi). Tekuk setiap
pergelangan tangan kearah lateral menujukesamping
ibu jari dengan tangan supinasi.
 Fleksi ulnaris (aduksi). Tekuk setiap pergelangan
tangan kearah lateral menuju jari kelingking dengan
tangan supinasi.
5. Tangan dan Jari: Sendi Metakarpofalangeal-
Kondiloid; Sendi Inferfalangeal- Engsel:
 Fleksi. Buat sebuah kepalan pada setiap tangan.
 Ekstensi. Lurus kanjari-jari di setiap tangan.
 Hiperekstensi. Tekukjari-jari di setiap tangan kearah
belakang sejauh mungkin.
 Abduksi. Renggangkan jari-jari tangan.
 Aduksi. Rapatkan jari-jari tangan.
6. Ibu Jari-Sendi Pelana:
 Fleksi. Gerakkan setiap ibu jari menyilang
permukaan telapak tangan kearah jarikelingking.
 Ekstensi. Gerakkan setiap ibu jari menjauhi tangan.
 Abduksi. Gerakkan setiap ibu jari kearah lateral.
 Aduksi. Gerakkan setiap ibu jari kembali ketangan.
 Oposisi. Sentuhkan ibujarikebagianatasjari di tangan
yang sama. Pergerakan sendi ibu jari terdiri atas
abduksi, rotasi dan fleksi.
7. Panggul-Sendi Peluru:
 Fleksi. Gerakkan setiap tungkai kedepan dan
keatas. Lutut dapat diekstensikanatau difleksikan.
 Ekstensi. Gerakkan setiap tungkai kembali kesamping
tungkai yang lain.
 Hiperekstensi. Gerakkansetiap kaki kembali
kebelakang tubuh.
 Abduksi. Gerakkan setiap tungkai kearah luar sisi
tubuh.
 Aduksi. Gerakkan setiap tungkai ketungkai yang
lain sampai melebihi bagiandepan tungkai tersebut.
 Sirkumduksi. Gerakkan setiap tungkai kebelakang,
keatas, kesamping, dan kebawah membentuk sebuah
lingkaran.
 Rotasi internal. Gerakkan setiap kaki dan tungkai
kearah dalam sehingga ibu jari kaki mengarah sejauh
mungkin kearah tungkai yang lain.
 Rotasieksternal. Gerakkan setiap kaki dan tungkai
kearah luar sehingga ibu jari kaki mengarah sejauh
mungkin menjauhi tungkai yang lain.
8.
Lutut-Sendi Engsel:
 Fleksi. Tekuk setiap tungkai, gerakkan tumit kebagian
belakang paha.
 Ekstensi. Luruskan setiap tungkai, kembalikan kaki
keposisnya di samping kaki yang lain.
9. Tungkai dan Sendi Engsel:
 Ekstensi (plantar fleksi). Arahkan jari kaki pada setiap
kaki kearah bawah.
 Fleksi (dorsofleksi). Arahkan jari kaki pada setiap kaki
kearah atas.
10. Kaki-Geser:
 Eversi. Gerakkan telapak kaki setiap kaki kearah
lateral.
 Inversi. Gerakkan telapak kaki setiap kaki kearah
medial.
11. Jari Kaki: Sendi Inferfalangeal-Engsel; Sendi
Metatarsofalangeal-Engsel; Sendi Intertarsal-Geser:
 Fleksi. Lekukkan sendijari kaki pada setiap kaki kearah
bawah.
 Ekstensi. Luruskan jari kaki di setiap kaki.
12. Batang Tubuh-Sendi Geser:
TIPE PERGERAKAN SENDI
Fleksi Menurunkan sudut sendi (mis,.menekuk siku)
Ekstensi Meningkatkan sudut sendi (mis., meluruskan lengan di
bagiansiku).
Hiperekstensi Ekstensi yang lebih jauh atau pelurusan sendi
(mis., menekuk kepala kebelakang).

Abduksi Pergerakan tulang menjauhi garis tengah tubuh.


Aduksi Pergerakan tubuh menuju garis tengah tubuh.
Rotasi Pergerkan tulang mengelilingi sumbu pusatnya.
Sirkumduksi Pergerakan bagian distal tulang bentuk sebuah
lingkaran sementara ujung proksimal tetap
Eversi Menggerakkan telapak kaki kearah luar
dengan menggerakkan sendi pergelangan kaki.
Inversi Menggerakkan telapak kaki kearah dalam
dengan menggerakkan sendi pergelangan kaki.
Pronasi Menggerakkan tulang lengan bawah sehingga
telapak tangan menghadap kebawah saat diletakkan
didepan tubuh.
Supinasi Menggerakkan tulang lengan bawah sehingga
telapak tangan menghadap keatas saat diletakkan di
depan tubuh.
3. Terapi Rehabilitas Lain
a. Terapi Gangguan Komunikasi (Pemahaman, kemampuan Berbicara,
Membaca, Menulis, Pengucapan)
Tujuan:
 Memperbaiki fungsi berbahasa dan berbicara

Cara:
 Mendorong pasien tetap aktif berkomunikasi verbal/ menggunakan
berbagai modalitas dalam berkomunikasi (bahasa tubuh, menggambar,
menulis dll)
 Mengajarkan keluarga untuk menerima dan beradaptasi dengan
kondisi pasien
 Memberikan dorongan psikologis pada pasien dan keluarga
b. Gangguan menelan
 Identifikasi kelainan dan derajat :
 kemampuan menelan ludah, cairan, makanan padat
 Mengumpul di mulut? tersedak? batuk?
o derajat berat
 Selang nasogastric
o Derajat ringan
o Sedang
 Latihan menelan
o Diperlukan teknik2 khusus untuk menelan yang benar dan
aman untuk mencegah masuknya makanan/ minuman ke
jalan nafas
 Terapi Gg. Menelan :
o Posisi badan tegak
o Modifikasi tekstur makanan / minuman : dimulai dari
puding, makanan yg dihakuskan, bubur – cairan kental –
cairan encer ~ target / makanan biasa
 Teknik/ maneuver menelan
o Latihan menutup mulut
o Menekan lidah, latihan menelan
o Penguatan otot rahang
o Latihan pernafasan
o Manuver kepala : menunduk, menoleh, memiringkan
c. Gangguan intelektual, daya ingat, perhatian, penyelesaian masalah sd
depresi yang diperlukan untuk penanganan khusus, peran serta keluarga
dan orang disekitar
 Rehabilitasi pekerjaan pada penderita stroke usia produktif yang
ingin kembali bekerja dengan melibatkan tenaga multidisiplin
DAFTAR PUSTAKA

Afandy, I. (2018). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Tn.B dengan Diagnosa Stroke Non
Hemoragik (SNH) dengan Inovasi Pemberian Pelatihan Pemasangan Puzzle Jigsaw
Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Di Ruang Stroke Center RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

Ginting, M. W. (2017). Hubungan Faktor Risiko dengan Tipe Stroke di RSUP H. Adam
Malik Medan. Universitas Sumatera Utara Medan..

Hariandja, J. R. O. (2013). Identifikasi Kebutuhan Akan Sistem Rehabilitasi Berbasis


Teknologi Terjangkau Untuk Penderita Stroke Di Indonesia. Universitas Katolik
Parahyangan

juwani. (2013). Hubungan Kebiasaan Minum Kopi dengan Kejadian Stroke Pada Pasien yang
Di Rawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Cut NByak Dhien Meulaboh. Universitas
Teuku Umar Aceh Barat. http://repository.utu.ac.id/431/1/BAB I_V.pdf

Katrisnani, R. (2019). Asuhan Keperawatan Keluaraga Tn. NG dengan Salah Satu Anggota
Keluarga Ny. T Mengalami Post Stroke Haemorhagic Di Wilayah Kerja Puskesmas
Mantrijeron Kota Yogyakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia POoliteknik
Kesehatan Yogyakarta Jurusan Keperawatan.

Kurniawan, W. S. (2017). Asuhan Keperawatan Klien Stroke Non Hemoragic Dengan


Masalah Program Studi Diploma Iii Keperawatan Asuhan Keperawatan Klien Stroke.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.

Lusiana, N. (2019). Asuhan Keperawatan Pasien Stroke Iskemik Pada Ny. D Dan Tn. K
Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik Di Ruang Melati RSUD dr.
Haryoto Lumajang Tahun2019. Universitas Jember.

Murtiningsih, D. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke dengan Masalah


Keperawatan Defisit Perawatan diri, Mandi Di RSUD Dr Hardjono Ponorogo.
Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Nasution, L. F. (2013). Stroke Non Hemoragik Pada Laki-laki Usia 65 Tahun. Universitas
Lampung.
Nggebu. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Non Hemoragik. In Journal of
Chemical Information and Modeling. Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.

Nofitri. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Ny. S dengan Stroke Non Hemoragik Dalam
Penerapan Inovasi Intervensi Terapi Vokal "AIUEO" dengan Masalah Gangguan
Komunikasi Verbal Di Ruangan Neurologi RSUD Dr. Achmad Mochtar BukitTinggi.
Stikes Perintis Padang.

Prakasita, M. (2015). Hubungan Antara Lama Pembacaan CT Scan Terhadap Outcome


Penderita Stroke Non Hemoragik. Universitas Diponegoro.

Pratama, W. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke dengan Masalah


Keperawatan Kerusakan Membran Muklosa Oral Di Ruang Aster RSUD Dr. Harjono
Ponorogo [Universitas Muhammadiyah Ponorogo.].
http://eprints.umpo.ac.id/id/eprint/5392

Ramadhani, P. A., & Adrian, M. (2015). Hubungan Tingkat Stres, Asupan Natrium, dan
Riwayat Makan dengan Kejadian Stroke. Media Gizi Indonesia, 10(2), 104–110.
https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/download/3313/2357

Ratnasari, S. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Non Hemoragik dengan
Masalah Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik. Universitas Muhammadiyah
Ponorogo.

Sandina, D. (2011). 9 Penyakit Mematikan Mengenali Tanda & Pengobatannya (L. Roselina
(ed.)). Smart Pustaka.

Sari, N. M. M. S. (2020). Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Non


Hemoragik Dengan Gangguan Mobilitas Fisik Di Ruang Sahadewa RSUD Sanjiwani
Gianyar Tahun 2020. Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar.

Udani, G. (2013). Faktor Resiko Kejadian Stroke. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai, VI(1).
https://doi.org/10.26630/jkep.v14i1.1006

Ummaroh, E. N. (2019). Pasien CVA (Cerebro Vaskuler Accident) dengan gangguan


komunikasi verbal Di Ruang Aster RSUD Dr. Harjono [Universitas Muhammadiyah
Ponogoro]. http://eprints.umpo.ac.id/id/eprint/5088
39

Anda mungkin juga menyukai