Anda di halaman 1dari 42

ALAMAN JUDUL

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPARAWATAN KEPADA NY A DENGAN GANGGUAN
SISTEM NEUROLOGI STROKE NON HEMORAGIK
DI RUANG LAVENDER RSUD SULTAN FATAH DEMAK

Disusun Oleh :
Siti Yuliana

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO
SEMARANG
2022/2023
A. Konsep Dasar Stroke Non Hemoragic
a. Definisi
Stroke merupakan suatu penyakit akibat adanya gangguan sirkulasi
darah pada otaksebagai bagian dari kejadian iskemia maupun pendarahan pada
saraf. (Chugh, 2019). Stroke juga didefinisikan sebagai sindrom dengan
manifestasi klinis pada gangguan fungsi otak yang dapat menimbulkan
kematian dan cacat tetap pada penderita. (Anggriani, Zulkarnain, Sulaimani, &
Gunawan, 2018) Strike terjadi akibat terganggunya sirkulasi darah pada otak
(cerebrovascular accident) yang mengakibatkan suplai darah pada otak
terhenti sehingga mengakibatkan kelumpuan system saraf yang
menghilangkan kemampuan kognitif maupun psikomotorik (Luo, et al., 2018).

Stroke non Hemoragik yang kemudian dikenal sebagai strpoke iskemik


meripakan kejadian stroke yang disebabkan oleh penyumbatan saluran
pembuluh darah pada sistem saraf dalam hal ini merupakan otak yang
mengakibatkan terhentinya sirkulasi darah pada otak yang melumpuhkan
aktivitas saraf pasien. (AHA, 2019). Gangguan ini dapat terjadi karena adanya
obstruksi maupun pembentukan thrombus pada pembuluh darah otak (Saeed,
2019).

b. Anatomi Vaskularisasi Otak


Struktur anatomi vasukuler pada otak terdiri dari 4 pembuluh nadi
utama yang meliputi arteri karosis internal dengan satu arteri vertebral pada
setiap sisinya. Arteri karotis merupakan sirkulasi anterior sementara sistem
arteri vertebral memegang peran pada sirkulasi posterior (Winata, 2017).

Sirkulasi anteriordan dan posterior masing masing terhubung melalui


cincin anatomi yang kemudian dikenal dengan istilah lingkaran wills. (Winata,
2017). Arteri kartosis terbagi menajdi 3 cabang besar yakni ateri serebral
tengah, arteri sertebral anterior dan koroid anterior.
Gambar 1. Lingkaran Wilis dan Sirkulasi Vaskular otak

Pembuluh darah arteri memasok darah dari berbagai wilayah otak yang
berbeda seperti arteri koroid anterior yang memasok darah pada saluran optik,
ekstremitas poterial, batang otak dan lobus temporal medial. Arteri serebral
tengah memberikan vaskularisasi pada korteks lobus frontalis, parietalis dan
temporalis sementara arteri serebri anterior memberikan vaskularisasi pada
korteks frontalis, parietalis bagian tengah, korpus kalosum dan nucleus
kaudatus. (Gunnal, Farooqui, & Wabale, 2015).

c. Klasifikasi Stroke :
Menurut American Hearth Association (AHA) klasifikasi stroke
dibedakan menjadi 2 yakni stroke Non Hemoragik atau kemudian dikenal
dengan istilah stroke iskemik dan stroke hemoragik. (AHA, 2019).

Gambar 2. Klasifikasi Stroke menurut Parmar (2018)


Menutur Parmar (2018) stroke iskemik merupakan jenis stroke yang
diakibatkan oleh disfungsi neurologi karna adanya fokal pada infark otak,
tulang belakang maupun retina dengan durasi persisten selama lebih dari 24
jam. (Parmar, 2018). Secara lebih rinci Parmar mendefinisikan stroke iskemik
kedalam serangan stroke transisten sebagai stroke iskemik dengan gejala
sedang sementara, dapat berlangsung selama beberapa jam namun kurang dari
24 jam.

Stroke hemmoragic secara umum merupakan salah satu jenis stroke


yang diakibatkan oleh adanya pendarahan (bleeding) pada intrakanial yang
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah pada otak. Stroke hemoragic
dibedakan menjadi 2 berdasarkan etiologinya yang meliputi stroke hemoragic
subkranoic dan stroke hemoragic intracerebral. Stroke hemoragic subkranoic
berasal dari pendarahan akibat pecahnya pembuluh darah dalam ruang
subkranoic. Ruang subcranoic mengelilingi otak. Kondisi ini kemudian
menyebabkan terputusnya sirkulasi darah ke otak sehingga menyebabkan
disfungsi neurologis (Parmar, 2018).. reaksi seperti pusing dan muntah dengan
kondisi hilang kesadaran dan leher kaku merupakan manifestasi klinis yang
dapat terlihat pada kondisi stroke hemoragic subkranoic. Stroke hemoragc
intracerebral terjadi karena adanya gumpalan darah fokal pada parenkm otak
maupun sistem ventrikel. Kondisi ini deisertai dengan peningkatan intrakanial
yang memicu kerusakan sel otak yang dapat memicu kematian maupun cacat
permanen pada pasien dengan stroke ini, (Parmar, 2018).

Gambar 3. Stroke Non Hemoragic dan Stroke Hemoragik


d. Etiologi
Etiologi stroke iskemik disebabkan oleh peristiwa trombotik atau
emboli yang menyebabkan penurunan aliran darah ke otak. Pada kejadian
trombotik, aliran darah ke otak terhambat di dalam pembuluh darah karena
disfungsi di dalam pembuluh darah tersebut. (Ntaios, 2020)

Gambar 4. Etiologi Stroke non-hemoragic.


Peristiwa emboli yang terjadi pada kejadian stroke memiliki kedekatan
dengan jantung, arteri ekstrakranial. Berdasarkan peristiwa emboli pada sistem
kardiogenik seperti pada kejadian endokartitis,, atrial fibrilasi, kardiomopati
dilatasi dan gagal jantung kongestif. (Budianto, et al., 2021). Selain peristiwa
emboli stroke iskemik dapat terjadi karena adanya mekanisme thrombosis yang
diketahui sebagai proses terbentuknya thrombus yang menimbulkan plague
yang terjadi akibat keberadaan gumpalan lemak dalam pembuluh darah yang
kemudian dikenal dengan istilah arterossklerosis. Pada kondisi stroke akibat
thrombosis akut pasien dapat mengalami defisit neurologi secara progresif
dalam durasi waktu tertentu baik dalam kisaran jam hingga hari.

e. Faktor Resiko
Menurut Rendy, (2019) faktor risiko stroke terbagi menjadi 2 yaitu
faktor risiko yang dapat diubah dan faktor risiko yang tidak dapat diubah.
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
1) Faktor genetik/riwayat keluarga
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan
saling berkaitan. Dalam hal ini hipertensi, diabetes, dan cacat pada
pembuluh darah menjadi faktor genetik yang berperan.
2) Riwayat TIA atau stroke
Orang yang pernah mengalami stroke, berisiko tinggi
mengalami serangan berulang.
3) Usia
Resiko stroke memiliki hubungan yang linier dengan usia
seseorang. Ketika seseorang menginjak usia 55 tahun resiko
penyakit stroke dapat berakumulasi hingga 2 kali lipat dalam kurun
waktu setiap 10 tahun. 60% Kasus stroke pada umumnya juga
dialami oleh pasien dengan usia 65 tahun walaupun memiliki
hubungan yang linier dengan usia. Resiko stroke cenderung
bersifat universal dan dapat terjadi pada semua usia serta jenis
kelamin (Budianto, et al., 2021)
4) Jenis kelamin
Jenis kelamin Pria cenderung memiliki resiko stroke lebih
tinggi disbanding wanita. Wanita cenderung memiliki resiko kecil
terhadap resiko stroke karena keberadaan hormone estrogen yang
memiliki fungsi sebagai penjaga kekebalan tubuh dan membantu
proses pencegahan terbentuknya aterosklerosis. (Budianto, et al.,
2021)
5) Ras
Ada variasi yang cukup besar dalam insiden stroke antara
kelompok etnis yang berbeda. Orang-orang dari ras Afrika-
Amerika memiliki risiko lebih tinggi untuk semua jenis stroke
dibandingkan dengan orang-orang dari ras kaukasia. Karena orang
kulit hitam lebih banyak terkena hipertensi berkaitan dengan
konsumsi garam.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
1) Hipertensi
Hipertensi (tekanan darah tinggi) merupakan faktor risiko
utama. Hipertensi mempercepat terjadinya aterosklerosis, yaitu
dengan cara menyebabkan perlakuan secara mekanis pada sel
endotel (dinding pembuluh darah) di tempat yang mengalami
tekanan tinggi. Jika proses tekanan berlangsung lama, dapat
menyebabkan kelemahan pada dinding pembuluh darah sehingga
menjadi rapuh dan mudah pecah. Penderita hipertensi memiliki
faktor risiko stroke empat hingga enam kali lipat dibandingkan
orang yang tanpa hipertensi dan sekitar 40-90% pasien stroke
ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Secara
medis, tekanan darah di atas 140-90 mmHg tergolong dalam
penyakit hipertensi. (DiPiro, 2021)
2) Diabetes mellitus
Seorang yang mempunyai penyakit diabetes mellitus
mempunyai risiko serangan stroke 2 kali lipat dibandingkan
mereka yang tidak diabetes. Mekanisme yang medasari terjadinya
diabetes melitus pada stroke iskemik yaitu adanya proses
aterosklerosis. Kejadian orang dengan aterosklerosis otak yaitu
sebesar 30% pada orang dengan diabetes melitus. Diabetes melitus
bisa menyebabkan beberapa mekanisme diantaranya yaitu terjadi
kerusakan pada pembuluh darah yang besar ataupun pembuluh
darah perifer, kemudian terjadi peningkatan agregasi trombosit dan
terjadi peningkatan kekentalan (viskositas) di dalam darah
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang akhirnya
akan menyebabkan stroke iskemik (Saputra, (2019 dalam Faruqi
dkk, 2022).
3) Kenaikan kadar kolesterol/lemak darah
Hiperkolesterolemia dapat menyebabkan aterosklerosis.
Aterosklerosis berperan dalam menyebabkan penyakit jantung
koroner dan stroke itu sendiri. Karena kolesterol tidak dapat
langsung larut dalam darah dan cenderung menempel di pembuluh
darah, akibatnya kolesterol membentuk bekuan dan plak yang
menyumbat arteri dan akhirnya memutuskan aliran darah ke
jantung (menyebabkan serangan jantung) dan ke otak
(menyebabkan serangan stroke).
4) Merokok
Perokok lebih rentan mengalami stroke dibandingkan
dengan bukan perokok. Nikotin dalam rokok membuat jantung
bekerja keras karena frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
meningkat. Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah
oleh nikotin sehingga memungkinkan penumpukan ateroskelrosis
dan kemudian berakibat pada stroke.
5) Kebiasaan mengkonsumsi alkohol

Mengkonsumsi alkohol memiliki efek sekunder terhadap


peningkatan tekanan darah, penurunan aliran darah ke otak dan
cardiac aritmia serta kelainan motilitas pembuluh darah sehingga
terjadi emboli serebral.
6) Gaya Hidup

Life style atau gaya hidup seringkali dikaitkan sebagai


pemicu berbagai penyakit yang menyerang, baik pada usia
produktif maupun usia lanjut. Salah satu contoh life style yaitu
berkaitan dengan pola makan. Generasi muda biasanya sering
menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya
mengkonsumsi makanan siap saji yang serat lemak dan kolesterol
namun rendah sehat, mengonsumsi makanan yang digoreng atau
makanan dengan kadar gula tinggi dan berbagai jenis makanan
yang ditambah zat pewarna/penyedap/pemanis dan lain-lain. Faktor
gaya hidup lain yaitu sedentary life style atau kebiasaan hidup
santai dan malas berolah raga. Hal ini dapat mengakibatkan
kurangnya kemampuan metabolisme tubuh dalam pembakaran zat-
zat makanan yang dikonsumsi. Sehingga, berisiko membentuk
terjadinya tumpukan kadar lemak dan kolestrol dalam darah yang
berisiko membentuk ateroskelorosis (plak) yang dapat menyumbat
pembuluh darah yang dapat berakibat pada munculnya serangan
jantung dan stroke.
7) Obesitas
Makan berlebihan dapat menyebabkan kegemukan
(obesitas). Obesitas lebih cepat terjadi dengan pola hidup pasif
(kurang gerak dan olahraga). Jika makanan yang dimakan banyak
mengandung lemak jahat (seperti kolestrol), maka ini dapat
menyebabkan penimbunan lemak disepanjang pembuluh darah.
Penyempitan pembuluh darah ini menyebabkan aliran darah kurang
lancar dan memicu terjadinya aterosklerosis atau penyumbatan
dalam pembuluh darah yang pada akhirnya berisiko terserang
stroke. Penyumbatan tersebut biasanya diakibatkan oleh plak-plak
yang menempel pada dinding pembuluh darah.

f. Manifestasi Klinis
Menurut Literatur Dipiro (2021) manifestasi klinis yang sering
terjadi pada pasien stroke iskemik meliputi :
1. Pasien tidak mampu berbicara dan terjadi penurunan fungsi kognitif
pada pasien.
2. Terjadi kelemahan unilateral, kehilangan pengelihatan, vertigo maupun
jatuh. Kondisi ini biasanya akan disertai dengan keluhan sakit kepada
disertai nyeri hebat. (DiPiro, 2021).
Gejala stroke non hemoragic umumnya timbul karena adanya
disfungsi vaskuler pada otak berganting [ada berat ringannya disfungsi
pembuluh darah dan tempat gangguan peredaran darah terjadi, pada
umumnya penderita stroke non hemmoragic tidak mengalami penurunan
kesadaran,. Namun untuk identifikasi kesadaran pasien dapat digunakan
Glasgow coma scale (GCS). Adapun tabel GCS dapat diuraikan sebagai
berikut :

Mata (E) Respon Verbal (V) Respon Motorik (M)


1 = Tidak ada Respon 1 = Tidak ada Suara 1 = Tidak ada Gerakan
2 = Respon dengan 2 = Mengerang 2 = Ekstensi Abnormal
ransangan Nyeri
3 = Buka mata dengan 3 = Bicara Kacau 3 = Fleksi Abnormal
perintah
4 = Buka Mata 4 = Disorientasi 4 = Menghindari Nyeri
Spontan tempat dan waktu
5 = Orientasi baik 5 = Melokalisir Nyeri
dan sesuai 6 = mengikuti perintah
Interpretasi Skor GCS :
1. Koma (Skor<8)
2. Stupor (Skor 8-10)
3. Somnolent (11-12)
4. Apatis (12-13)
5. Compos Mentis (GCS = 14-15).
Selain menderita gangguan kesadaran ganggunan lain yang dialami
pasien adalah gangguan motoric, sensorik hingga gangguan koordinasi
yang meliputi :
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang
terlihat seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang
sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muscular seperti dekomposisi gerakan, dimetria
3. Tremor (gemetaar) yang biasanya terjadi diawal dan akhir Gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur
dan kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh
badan dalam hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat
memelihara sikap yang mantap sehingga bergoyang-goyang.
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana
pendeita stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer
otak kiri akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan,
dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks,
pendeita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks
akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh
sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
Penelitian yang dilakukan Sri Andriani Sinaga (2008) terhadap
281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan hemiparese
sinistra yaitu 46,3%, diikuti oleh hemiparese dekstra 31,7%, tidak tercatat
sebanyak 14,2% dan hemiparesese dupleks 7,8%. Gambaran klinis utama
yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin berkaitan
dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan
disebut sindrom neurovaskular (Price, 2008):
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
1) Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena,
akibat insufisiensi arteri retinalis
2) Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena
insufisiensi arteria serebri media
3) Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media
atau arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas
atas dan mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer
dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah
bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering)
1) Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai
lengan)
2) Kadang-kadang (kebutaan) kontralateral hemianopsia
3) Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua
fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
4) Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
1) Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
2) Defisit sensorik kontralateral
3) Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya
bilateral)
1) Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
2) Meningkatnya reflek tendon
3) Ataksia
4) Tanda Babinski bilateral
5) Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
6) Disfagia
7) Disartria
8) Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
9) Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
10) Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
1) Koma
2) Hemiparese kontralateral
3) Afasia visual atau buta kata (aleksia)
4) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.

g. Patofisiologi
Otak terdiri dari sel sel yang diketahui sebagai neuron, memiliki
beberapa sel penunjang seperti sel glia, cairan serebrospilan dan pembuluh
darah. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak mencapai 50-60 ml
setiap 100 gram jaringan otak per menit sementara jumlah darah yang
dibutuhkan oleh seluruh otak mencapai 700-840 ml/menit. Darah yang
disalurkan oleh menuju otak dihubungkan melalui pembuluh darah arteri karotis
interna dan jika terjadi gangguan suplai darah hal ini dapat menimbulkan infark
atau kematian jaringan.
Dipiro (2021) mengungkapkan bahwa stroke iskemik merupakan kasus
stroke yang paling sering ditemui dengan persentase 87% dari seluruh kasus
stroke yang ada. Gangguan ini terjadi akibat adanya oklusi pada arteri otak yang
mengurangi suplai aliran darah pada otak.
Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan trombus lokal atau emboli
dari tempat yang jauh. Aterosklerosis intrakranial atau ekstrakranial besar arteri
atau penyakit arteri kecil dapat menyebabkan stroke iskemik. Emboli dapat
timbul dari jantung pada pasien dengan fibrilasi atrium, penyakit katup jantung,
atau masalah jantung protrom botik lainnya dan menyebabkan sekitar 25%
stroke iskemik. (DiPiro, 2021).
Penurunan aliran darah serebral dapat menyebabkan infark jaringan
serebral dengan daerah sekitarnya yang iskemik tetapi dapat mempertahankan
integritas membran (iskemik penumbra). Penumbra ini adalah area jaringan
otak yang berpotensi diselamatkan dengan intervensi pengobatan farmakologis
dan endovaskular yang mendesak. (AHA, 2019)
Suplai oksigen yang tidak mencukupi pada jaringan iskemik
menyebabkan adenosine triphosphate (ATP) penipisan dengan penumpukan
laktat karena metabolisme anaerobik dan akumulasi natrium dan air intraseluler,
menyebabkan edema sitotoksik dan akhirnya lisis sel. Sebuah masuknya
kalsium intraseluler mengaktifkan lipase dan protease, menghasilkan protein
degradasi dan pelepasan asam lemak bebas dari membran sel. Pelepasan
rangsang asam amino (misalnya, glutamat, aspartat) dalam jaringan iskemik
melanggengkan usia kerusakan saraf dan menghasilkan prostaglandin,
leukotrien, dan spesies oksigen reaktif yang merusak. Proses ini terjadi dalam 2-
3 jam setelah onset iskemia dan akhirnya menyebabkan apoptosis seluler dan
nekrosis. Faktor risiko paling umum yang dapat dimodifikasi untuk stroke
iskemik meliputi hipertensi, merokok, diabetes, fibrilasi atrium, dan
dislipidemia. (DiPiro, 2021)
h. Pathway
i. Pemeriksanaan Diagnostik
Menurut literatur DiPiro (2021) pemeriksaan diagnosis yang dapat
dilakukan untuk mengetahui kondisi stroke dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Glukosa darah, jumlah trombosit, dan parameter koagulasi (misalnya,
waktu prothrombin (aPTT) digunakan dalam penilaian stroke untuk
menentukan kelayakan pengobatan.
2. Tes untuk keadaan hiperkoagulasi (defisiensi protein C dan S, antibodi
antifosfolipid) harus dilakukan hanya bila etiologi tidak dapat ditentukan
berdasarkan adanya faktor risiko yang diketahui.
3. Scan kepala dengan computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI). mengungkapkan daerah perdarahan dan
infark.
4. Pencitraan vaskular dengan computed tomography angiography (CTA)
direkomendasikan pada pasien dengan indikasi pengobatan
endovaskular. Carotid Doppler (CD), elektrokardiogram (EKG),
ekokardiogram transthoracic (TTE), dan studi Doppler transkranial
(TCD) masing-masing dapat memberikan diagnosis dan informasi yang
berharga.
Pemeriksaan diagnositik pencitraan seperti CT MRI dan laboratorium
dijelaskan berdasarkan PNPK stroke tahun 2019 dan diuraikan sebagai berikut :
1. CT Scan
Pemeriksanaan CT scan dilakukan unutk melihat pencitraan CT-
Kranial pada stroke akut dengan melibatkan beberapa parameter yang
meliputi :
1) Infark : area hipodens fokal, pada kortikal, subkortikal, sustantia
alba, grisea yang dalam, diikuti oleh teritoral vascular, distribusi
’watershed’, adanya kontras antara substansia alba dan grisea yang
kabur dan hilangnya sulkus atau pita insular.
2) Gambaran hiperdens dari arteri intrakranial yang besar : memberi
kesan adanya material embolik vaskular.
2. Magnetic resonance imaging (MRI)
1) Akut
Kategori Sroke akut dapat diperoleh apabila terdapat sinyal
rendah pada T1 dan sinyal tinggi pada densitas putaran. T2 weighed
dan densitas proton dimulai saat 8 jam setelah onset

2) Sub Akut
Sub akut dapat dikenali apabila terdapat sinyal rendah pada T1
dan sinyal tinggi pada T2 yang mengikuti distribusi vascular.
Revaskularisasi dan rusaknya sawar darah otak akan membentuk adanya
enhancement pada parenkim otak dengan agen kontras. (Kemenkes,
2019).
Tabel 1. Pedoman diagnosa Stroke Non-Hemoragic (Kemenkes, 2019)

j. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan agar dapat mendeteksi penyebab stroke
ekstrakanial serta mampu memisahkan stroke dengan kelainan lain yang
menyerupai stroke serta menentukan beratnya deficit neurologi yang dialami.
Pemeriksaan neurologi terbagi dalam beberapa parameter yang meliputi :
1) Status Mental
Status mental merupakan suatu mekanisme pemeriksaanfisik
dengan tujuan utama untuk mengetahui kondisi status mental pasien
melalui beberapa parameter yaitu :
a) Tingkat kesadaran
b) Kemampuan Bicara
c) Orientasi
d) Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir
e) Pertimbangan
f) Abstraksi
g) Kosakata
h) Respons emosional .
i) Daya ingat
j) Berhitung
k) Pengenalan benda l
l) Praksis (integrasi aktivitas motorik)
2) Fungsi Motorik
a) Masa otot bisa dengan inspeksi.
b) Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif
melawan tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang
lazim digunakan yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit
kontraksi, 2: gerakan yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan
melawan gravitasi, 4: gerakan melawan gravitasi dengan sedikit
tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh
(normal).
c) Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu
bandingkan dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi
peningkatan tonus tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik
bawah menyebabkan penurunan tonus otot.
k. Penatalaksana
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non
hemoragik yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi
dari stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat
memegang peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan
(Mansjoer, 2000).
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a) Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam
pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan
tissueplasminogen activator). Ini hanya boleh di berikan dengan
waktu onset <3 jam dan hasil normal, tetapi obat ini sangat
mahal dan CT scan
b) hanya dapat di lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
2. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam
yang diantaranya yaitu :
a) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi
dengan manitol dan hindari cairan hipotonik.
b) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat
mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan
tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
c) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari , tiga CT scan
faktor utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan
hipertensi akut, ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72
jam pertama, bila ada hipertensi beri obat antihipertensi.
d) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala
stroke terapi dengan heparin.
3. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a) Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90
mg) 10% di berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip
dalam wakti 1 jam jika onset di pastikan <3 jam dan hasil tidak
CT scan memperlihatkan infrak yang luas.
b) Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung
atau iskemia miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat
maka dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau
verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam
12 jam.
c) Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat
memperluas infrak dan perburukan neurologis. Pedoman
penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah satu hal berikut :
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan
hipertensi neurologi seperti, iskemia miokard akut, edema
paru kardiogenik, hipertensi maligna (retinopati), nefropati
hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga
kali pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220
mmHg, diastolik >120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140
mmHg. 3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena
dengan rt-PA dimana tekanan darah sistolik >180 mmHg
dan diastolik >110 mmHg. Dengan obat-obat antihipertensi
labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin sublingual harus
dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya
sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih
sulit di turunkan maka harus diberikan nitroprusid
intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200
mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan
dititrasi sampai tekanan darah yang di inginkan. Alternatif
lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila
di jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka
harus di naikkan dengan dopamin atau debutamin drips.
d) Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien
dengan tanda klinis atau radiologis adanya infrak yang masif,
kesadaran menurun, gangguan pernafasan atau stroke dalam
evolusi.
e) Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f) Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke
vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata
pada CT scan.
g) Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800
unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan
kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial
mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura Heparin merupakan kontraindikasi relatif
pada infrak yang luas. Pasien stroke non hemoragik dengan
infrak miokard baru, fibrilasi atrium,
l. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin muncul, antara lain:
a. Deep vein thrombosis
Sebagian orang akan mengalami penggumpalan darah di tungkai yang
mengalami kelumpuhan. Kondisi tersebut dikenal sebagai deep vein
thrombosis. Kondisi ini terjadi akibat terhentinya gerakan otot tungkai,
sehingga aliran didalam pembuluh darah vena tungkai terganggu. Hal
ini meningkatkan risiko untuk terjadinya prnggumpalan darah. Deep
vein thrombosis dapat diobati dengan obat antikoagulan.
b. Hidrosefalus
Sebagian besar pengidap stoke hemoragik dapat mengalami
hidrosefalus, yaitu menumpuknya cairan otak di dalam rongga jauh di
dalam otak (ventrikel), dokter bedah saraf akan memasang sebuah
selang ke dalam otak untuk membuang cairan yang menumpuk
tersebut.
c. Kesulitan menelan (Disfagia)
Kerusakan yang disebabkan oleh stroke dapat menganggu refleks
menelan, akibatnya makanan dan minuman berisiko masuk ke dalam
saluran pernapasan. Masalah dalam menelan tersebut dikenal sebagai
disfagia. Disfagia dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.
d. Pneumonia
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan secara sempurna, hal ini
mengakibatkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya
menimbulkan pneumonia.
Sedangkan menurut Taufan, (2018) komplikasi Stroke Non Hemoragik
adalah sebagai berikut:
a. Hipoksia serebral.
b. Penurunan aliran darah serebral.
c. Embolisme serebral.
d. Pneumonia aspirasi.
e. ISK, inkontinensia.
f. Kontraktur.
g. Abrasi kornea.
h. Dekubitus.
i. Enchephalitis.
j. CHF.
k. Disritmia, hidrosephalus, vasospasme.
l. Gangguan daily life activity.
m. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Penatalaksanaan stroke non hemoragik menurut Harsono, (2019) adalah
sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan keperawatan
1) Bedrest total dengan posisi kepala head up 15-30º.
2) Berikan terapi oksigen 2-3 L/menit dengan nassal kanul.
3) Pasang infus IV sesuai kebutuhan.
4) Monitor ketat kelainan-kelainan neurologis yang timbul.
5) Berikan posisi miring kanan dan kiri per 2 jam dan observasi pasca
pemberian posisi.
6) Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG.

b. Penatalaksanaan medis
1) Pemberian alteplase dengan dosis 0.6-0.9 ,g/kkBB dengan onset <6
jam sebagai trombosis intravena.
2) Trombektomi mekanik dengan oklusi karotis interna atau pembuluh
darah intracranial dengan onset <8 jam sebagai terapi endovasculer.
3) Pemberian obat-obatan seperti nicardipin, ACE inhibitor, Beta
blocker, Diuretik, calcium antagonist sebagai manajemen hipertensi.
4) Pemberian obat-obatan seperti anti diabetik oral maupun insulin
sebagai manajemen gula darah.
5) Trombolitik merupakan penggunaan obat-obatan untuk melarutkan
gumpalan darah yang merupakan penyebab utama serangan stroke
non hemoragik.
6) Pemberian obat-obatan antikoagulan, terapi antikoagulan ini untuk
mengurangi pembentukkan bekuan darah dan mengurangi emboli
seperti dabigatran, warfarin, dll.
7) Antiplatelet Golongan obat ini sering digunakan pada pasien stroke
untuk pencegahan stroke ulangan dengan mencegah terjadinya
agregasi platelet. Aspirin merupakan salah satu antiplatelet yang
direkomendasikan penggunaannya untuk pasien stroke.
8) Pemberian obat-obatan neuroprotektor seperti citicholin, piracetam,
pentoxyfiline, dll.

c. Fase rehabilitasi
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat.
2) Program manajemen Bladder dan bowel.
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak Range Of
Motion (ROM).
4) Terapi latihan genggam bola karet.
5) Pertahankan integritas kulit.
6) Pertahankan komunikasi yang efektif.
7) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
8) Persiapan pasien pulang.
n. Konsep Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan merupakan suatu proses keperawatan yaitu suatu metode
sistematis dan ilmiah yang digunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan
klien dalam mencapai atau mempertahankan keadaan biologis, psikologis,
sosial dan spiritual yang optimal melalui tahapan pengkajian keperawatan,
identifikasi diagnosis keperawatan, penentuan perencanaan keperawatan,
melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasinya (Suarli, 2019).
Asuhan keperawatan pada pasien Stroke Non Hemoragik, yang meliputi
pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.
Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap
ini akan menentukan diagnosis keperawatan (Nikmatul & Saiful, 2016).
Hal-hal yang perlu dikaji antara lain:
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register dan diagnosis
medis.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
2) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam
intrakranial.
3) Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien mempunyai riwayat penyakit dahulu atau tidak, seperti
riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia,
penghambat beta dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan
alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
4) Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit menurun atau
menular. Riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus,
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran
Pasien stroke mengalami tingkat kesadaran pasien mengantuk namun
dapat sadar saat dirangsang (samnolen), pasien acuh tak acuh terhadap
lingkungan (apatis), mengantuk yang dalam (sopor), sopor coma,
hingga penurunan kesadaran (coma), dengan GCS <12 pada awal
terserang stroke. Sedangkan pada saat pemulihan biasanya memiliki
tingkat kesadaran letargi dan compos mentis dengan GCS 13-15.
2) Tanda-tanda Vital
Meliputi tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu.
3) Status gizi
Pada pasien stroke non hemoragik didapatkan adanya keluhan kesulitan
menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Pada
pemeriksaan bowel juga diperlukan adanya pemeriksaan nutrisi berupa
ABCD nutrisi.
a) Antropometri: tinggi badan, berat badan, berat badan ideal, berat
badan biasa, indeks masa tubuh.
b) Biokimia: hemoglobin, albumin serum, hitung limfosit total.
c) Clinical: kulit, rambut dan kuku, membran mukosa, tingkat
aktivitas.
d) Dietary: ingatan makanan dalam 24 jam, catatan frekuensi
makanan.
4) Pemeriksaan Head to toe
a) Rambut
b) Wajah
Inspeksi wajah simetris atau asimetris.
c) Mata
Inspeksi konjungtiva, sklera, pupil, kaji pergerakan bola mata, lihat
ada massa/lesi tidak.
d) Hidung
Inspeksi hidung simetris/asimetris, kaji penggunaan alat bantu
napas, kaji adanya nafas tambahan, ada pernafasan cuping hidung
atau tidak, kaji adanya lesi atau massa.
e) Mulut dan gigi
Inspeksi mulut simetris atau asimetris, kaji keadaan gigi, kaji
mukosa mulut pasien.
f) Telinga
Inspkesi telinga simetris atau asimetris, kaji ada cairan yang keluar
dari telinga pasien atau tidak, pasien mengalami gangguan
pendengaran atau tidak.
g) Leher
Leher bersih atau tidak, kaji adanya pembesaran tiroid atau tidak,
terdapat nyeri tekan atau tidak.
h) Dada/Thorax
(1)Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada simetris atau asimetris, irama pernapasan,
nyeri dada, kaji kedalaman dan juga suara nafas atau adanya
kelainan suara nafas, tambahan atau adanya penggunaan otot bantu
pernapasan.
Palpasi : periksa adanya nyeri tekan atau adanya massa. Perkusi :
rasakan suara paru sonor atau hipersonor.
Auskultasi : dengarkan suara paru vesikuler atau
bronkovesikuler.
(2)Jantung
Inspeksi : iktus kordis tampak atau tak tampak. Palpasi : iktus
kordis teraba atau tak teraba.
Perkusi : batas jantung normal. Auskultasi : suara vesikuler atau
murmur.
i) Abdomen
Inspeksi : amati bentuk abdomen simetris atau asimetris.
Auskultasi : dengarkan bising usus di keempat kuadran abdomen.
Palpasi : periksa adanya massa atau adanya nyeri tekan. Perkusi :
dengarkan thympany atau hiperthympany.
j) Ekstremitas
(1)Atas
Terpasang infus bagian dextra atau sinistra. Capillary Refill Time
(CRT) biasanya normal yaitu <2 detik. Pada pemeriksaan nervus
XI (aksesorius) : biasanya pasien stroke non hemoragik tidak dapat
melawan tahanan pada bahu yang diberikan perawat. Pada
pemeriksaan reflek saat siku diketuk tidak ada respon apa-apa dari
siku, tidak fleksi maupun ekstensi (reflek bicep (-)). Sedangkan
pada pemeriksaan reflek Hoffman tromner jari tidak mengembang
ketika di beri reflek (reflek Hoffman tromner (+)).
(2)Bawah
Pada pemeriksaan reflek, pada saat pemeriksaan bluedzensky 1
kaki kiri pasien fleksi (bluedzensky (+)). Pada saat telapak kaki
digores biasanya jari tidak mengembang (reflek babinsky (+)).
Pada saat dorsal pedis digores jari kaki juga tidak berespon (reflek
Caddok (+)). Pada saat betis di remas dengan kuat biasanya pasien
tidak merasakan apa-apa (reflek Gordon (+)). Pada saat dilakukan
treflek patella biasanya femur tidak bereaksi saat diketukkan (reflek
patella (+).
5) Pemeriksaan 12 saraf kranial
Menurut Sudarta, (2020) pengkajian pemeriksaan fisik fungsi saraf
kranial, adalah :
a) Nervus I (Olfactory) Fungsi : Penciuman.
Pemeriksaan : meminta pasien memejamkan mata, meminta
pasien untuk menutup salah satu lubang hidungnya,
mendekatkan bau-bauan yang telah dikenal pasien dan
meminta pasien untuk menyebutkan jenis bau-bauan tersebut,
melakukan test yang sama pada hidung yang satunya.
b) Nervus II (Opticus)
Fungsi : penglihatan (aktifitas visual dan lapang pandang).
Pemeriksaan : memasang snellen pada jarak 6 m didepan
pasien, meminta pasien untuk membaca tulisan yang ada pada
kartu snellen sampai mata tidak mampu untuk membaca, bila
pasien menggunakan kaca mata, minta untuk membaca 2x, 1x
memakai kaca mata dan 1x tanpa memakai kaca mata.
c) Nervus III, IV dan VI (Occulomotoris, throclearis, abducent)
Fungsi : Reaksi pupil, pergerakan mata, fungsi motorik.
Pemeriksaan : mengatur posisi pasien senyaman mungkin,
meminta pasien melihat kedepan, mata mengikuti cahaya,
menyalakan pen light, gerakan dari samping mata pasien
kearah tengah, mengikuti reaksi pupil pasien, apakah bersama-
sama bereaksi dengan stimulus cahaya, apakah reaksi
cepat/lambat, apakah besarnya pupil ka/ki sama. Selanjutnya
gerakan jari petugas dari jarak 30 cm didepan hidung pasien
menuju kesamping ka/ki atas dan bawah. Kemudian, mata
pasien tetap melihat lurus kedepan leher pasien tetap dalam
posisi lurus tanpa menoleh, meminta pasien untuk
menggerakan bola mata ke posisi 6 kardinal yaitu medial
superior, lateral inferior, lateral dan medial dan daya
akomodasi, mengamati adanya stabismus atau tidak.
d) Nervus V (Trigeminus)
Fungsi : sensasi dan pergerakan wajah.
Pemeriksaan : (Cabang sensori) meminta pasien untuk
menutup matanya, sentuhkan kapas, kuas, pangkal hamer di
daerah dahi, dagu dan pipi pasien. (Cabang motorik) meminta
pasien untuk menggigit, mengamati tonus muskulus masseter
dan palpasi adakah penyimpangan tonus.
e) Nervus VII (Facialis)
Fungsi : otot wajah, pengecapan dan pergerakan wajah.
Pemeriksaan : meminta pasien untuk menutup matanya,
kemudian sentuhkan pada lidah bahan asin, manis, pahit, minta
pasien untuk menyatakan sensasinya. Meminta pasien untuk
mengangkat alis, mengkerutkan dahi, mencucurkan bibir,
tersenyum, meringis, bersiul dan menggembungkan pipi,
meminta pasien untuk menutup mata dengan kuat dan
membuka mata, mengamati ketidaksimetrisan respons indikasi
kelumpuhan saraf facialis.
f) Nervus VIII (Auditory/vestibulochoclearis) Fungsi :
pendengaran dan keseimbangan. Pemeriksaan : Fungsi
keseimbangan : meminta pasien berdiri tegak dengan mata
tertutup, mengamati pasien apakah terhuyung-huyung atau
doyong seperti mau jatuh, meminta pasien untuk berdiri dan
mengangkat satu kaki dengan menutup mata, amati respon
pasien, meminta pasien untuk berjalan dalam satu garis lurus
dengan mata tertutup amati apakah pasien seimbang/tidak.
Fungsi pendengaran : Tes rinne, test weber, test swabbach.
g) Nervus IX dan X ( Glossofararingeus dan Vagus) Fungsi :
menelan dan bersuara, refleks muntah
Pemeriksaan : meminta pasien untuk membuka mulut lebar-
lebar dengan mengatakah “Ahhh...ahh”, mengamati letak
ovula apakah simetris pada garis tengah mulut atau deviasi.
Sentuh bagian sepertiga superior lidah, palatum mole dengan
sudip lidah amati refleks muntah, meminta pasien untuk
menelan, amati respon menelan.
h) Nervus IX (Accesorius)
Fungsi: pergerakan leher dan bahu.
Pemeriksaan : meminta pasien untuk menoleh ke salah satu
posisi, tangan petugas menahan arah berlawanan dengan posisi
menoleh, pasien diminta untuk melawan tahanan tangan
petugas, amati respon gerakan otot sternoclaudimastoideus.
Yang kedua, pasien mengangkat kedua bahu, petugas memberi
tekanan dari atas, pasien diminta tetap mengangat bahunya
untuk melawan tekanan tangan petugas.
i) Nervus XII (Hipoglosus) Fungsi : pergerakan lidah.
Pemeriksaan : meminta pasien untuk menjulurkan lidahnya,
anjurkan untuk menggerakan lidahnya ke atas dan ke bawah,
meminta pasien menggerakan lidahnya mendorong pipi ka/ki
bergantian, amati adanya deviasi bentuk dan fungsi lidah.
j) Universal self care requisites
Menurut Orem, (2018) dalam Ernawati, (2020) Universal self
care requisites menggambarkan tipe-tipe kebutuhan self care,
yaitu:
1) Pemenuhan kebutuhan oksigen
Pasien stroke pada fase akut memiliki risiko untuk
mengalami infeksi baik infeksi saluran pernapasan akibat
perdarahan serebral yang dapat menurunkan trasportasi
oksigen. Pengkajian keseimbangan pemasukan udara pasien
stroke meliputi frekuensi pernapasan, bunyi napas, kadar
analisis gas darah.
2) Pemenuhan kebutuhan cairan
Pengkajian keseimbangan cairan dan elektrolit meliputi
keadaan cairan tubuh, kebutuhan mendapatkan cairan, jenis
cairan, tanda- tanda dehidrasi, dan hasil laboratorium
berkaitan dengan pemeriksaan cairan dan elektrolit
(hemoglobin, hematokrit, dan elektrolit).
3) Pemenuhan kebutuhan nutrisi
Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang perlu dikaji meliputi
nafsu makan pasien, mual, muntah, penurunan berat badan,
kepatuhan pasien dalam diet, pengetahuan pasien tentang diet
dan hasil laboratorium beraitan dengan pemenuhan
kebutuhan nutrisi (glukosa darah, hemoglobin, dan kadar
albumin).
4) Pemenuhan kebutuhan eliminasi
Pengkajian eliminasi meliputi, perubahan pola, retensio urin
dan inkontinensia urin atau alvi. Protein urin, ureum darah
dan kreatinin darah dapat menggambarkan kemampuan
filtrasi glomerulus pasien stroke akibat tekanan darah tinggi.
5) Keseimbangan aktivitas & istirahat
Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan dan kelemahan
otot sehingga tidak mampu mobilisasi dan melaksanakan
aktifitas sehari- hari dengan optimal. Pengkajian meliputi
kemampuan mobilisasi, beraktivitas, gangguan tidur, tingkat
nyeri, penurunan tonus dan kekuatan otot.
6) Pencegahan
Komplikasi stroke dapat menyebabkan risiko yang
mengancam kehidupan. Pengkajian yang harus dilakukan
meliputi risiko terjadinya cedera, risiko teradinya dekubitus,
penurunan kekuatan otot.
7) Promosi
Faktor-faktor risiko keluarga seperti hipertensi,
aterosklerosis, penyakit jantung, diabetes mellitus, dan
penyakit serebrovaskular atau ginjal. Penggunaan pil KB atau
hormon dan penggunaan obat atau alkohol.
2. Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon
klien tentang masalah atau status kesehatan klien, baik aktual maupun
potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisis data hasil pengkajian.
Diagnosis keperawatan berfungsi untuk mengidentifikasi, memfokuskan dan
menentukan inervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan atau
mencegah masalah kesehatan klien. Diagnosis keperawatan yang mungkin
muncul pada kasus stroke non hemoragik menurut Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, (2017) yaitu:
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan faktor risiko
hipertensi (D.0017).
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemia)
(D.0077).
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskular (D.0054).
d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi
serebral (D.0119).
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
(D.0019).
f. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakmampuan
menghidu dan melihat (D.0085).
g. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan
penurunan mobilitas (D.0139).
h. Risiko jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun (D.0143).

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi merupakan suatu petunjuk tertulis yang menggambarkan secara
tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai
kebutuhannya berdasarkan diagnosis keperawatan. Intervensi keperawatan
merupakan segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan
pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan. Berikut ini adalah intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan
menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) dan kriteria hasil menurut (Tim
Pokja SLKI DPP PPNI, 2018) untuk memberikan tindakan keperawatan pada
klien dengan gangguan Stroke Non Hemoragik.
Diagnosa keperawatan Kriteria hasil Intervensi
a. Risiko perfusi Manajemen Peningkatan
serebral tidak Setelah dilakukan Tekanan Intrakranial
efektif intervensi (I.06194)
berhubungan keperawatan
dengan faktor selama 3 x 24 Observasi
risiko hipertensi jam, maka perfusi
serebral  Identifikasi penyebab
(D.0017).
meningkat, peningkatan TIK
dengan kriteria (misalnya: lesi,
hasil: gangguan metabolism,
edema serebral)
1. Tingkat  Monitor tanda/gejala
kesadaran peningkatan TIK
meningkat (misalnya: tekanan darah
2. Sakit kepala meningkat, tekanan nadi
menurun melebar, bradikardia,
3. Gelisah pola napas ireguler,
menurun kesadaran menurun)
4. Tekanan arteri  Monitor MAP (mean
rata-rata (mean arterial pressure)
arterial (LIHAT: Kalkulator
pressure/MAP) MAP)
membaik  Monitor CVP (central
5. Tekanan intra venous pressure)
kranial  Monitor PAWP, jika
membaik perlu
 Monitor PAP, jika perlu
 Monitor ICP (intra
cranial pressure)
 Monitor gelombang ICP
 Monitor status
pernapasan
 Monitor intake dan
output cairan
 Monitor cairan serebro-
spinalis (mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik

 Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi
fowler
 Hindari manuver valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari penggunaan
PEEP
 Hindari pemberian
cairan IV hipotonik
 Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
 Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
sedasi dan
antikonvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu

b. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


berhubungan intervensi (I.08238)
dengan agen keperawatan Observasi
pencedera selama 3 x 24  Identifikasi lokasi,
fisiologis jam, maka tingkat karakteristik,
(iskemia) nyeri menurun, durasi, frekuensi,
(D.0077). dengan kriteria kualitas, intensitas
hasil: nyeri
1. Keluhan  Identifikasi skala
nyeri nyeri
menurun  Idenfitikasi respon
2. Meringis nyeri non verbal
menurun  Identifikasi faktor
3. Sikap yang memperberat
protektif dan memperingan
menurun nyeri
4. Gelisah  Identifikasi
menurun pengetahuan dan
5. Kesulitan keyakinan tentang
tidur nyeri
menurun  Identifikasi
6. Frekuensi pengaruh budaya
nadi terhadap respon
membaik nyeri
 Identifikasi
pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
 Monitor
keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
 Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
 Berikan Teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri (mis: TENS,
hypnosis,
akupresur, terapi
music, biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi, Teknik
imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin,
terapi bermain)
 Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis:
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat
dan tidur
 Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
 Anjurkan
menggunakan
analgesik secara
tepat
 Ajarkan Teknik
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika perlu

c. Gangguan Dukungan Ambulasi


mobilitas fisik Setelah dilakukan (I.06171)
intervensi Observasi
berhubungan keperawatan  Identifikasi adanya
dengan gangguan selama 3 x 24 nyeri atau keluhan
neuromuskular jam, maka fisik lainnya
(D.0054). mobilitas fisik  Identifikasi
meningkat, toleransi fisik
dengan kriteria melakukan
hasil: ambulasi
 Monitor frekuensi
1. Pergerakan
jantung dan tekanan
ekstremitas
darah sebelum
meningkat
memulai ambulasi
2. Kekuatan otot
 Monitor kondisi
meningkat
umum selama
3. Rentang gerak
melakukan
(ROM)
ambulasi
meningkat
Terapeutik
 Fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan
alat bantu (mis:
tongkat, kruk)
 Fasilitasi
melakukan
mobilisasi fisik, jika
perlu
 Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
 Anjurkan
melakukan
ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis: berjalan dari
tempat tidur ke
kursi roda, berjalan
dari tempat tidur ke
kamar mandi,
berjalan sesuai
toleransi)

d. Gangguan Promosi Komunikasi:


komunikasi Setelah dilakukan Defisit Bicara (I.13492)
verbal intervensi Observasi
berhubungan keperawatan  Monitor kecepatan,
dengan selama 3 x 24 tekanan, kuantitias,
penurunan jam, maka volume, dan diksi
sirkulasi serebral komunikasi bicara
(D.0119). verbalmeningkat,  Monitor progress
dengan kriteria kognitif, anatomis,
hasil: dan fisiologis yang
berkaitan dengan
1. Kemampuan
bicara (mis:
berbicara
memori,
meningkat
pendengaran, dan
2. Kesesuaian
Bahasa)
ekspresi
 Monitor frustasi,
wajah/tubuh
marah, depresi, atau
meningkat
hal lain yang
mengganggu bicara
 Identifikasi perilaku
emosional dan fisik
sebagai bentuk
komunikasi
Terapeutik
 Gunakan metode
komunikasi
alternatif (mis:
menulis, mata
berkedip, papan
komunikasi dengan
gambar dan huruf,
isyarat tangan, dan
komputer)
 Sesuaikan gaya
komunikasi dengan
kebutuhan (mis:
berdiri di depan
pasien, dengarkan
dengan seksama,
tunjukkan satu
gagasan atau
pemikiran
sekaligus,  bicaralah
dengan perlahan
sambal menghindari
teriakan, gunakan
komunikasi tertulis,
atau meminta
bantuan keluarga
untuk memahami
ucapan pasien)
 Modifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan
bantuan
 Ulangi apa yang
disampaikan pasien
 Berikan dukungan
psikologis
 Gunakan juru
bicara, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan berbicara
perlahan
 Ajarkan pasien dan
keluarga proses
kognitif, anatomis,
dan fisiologis yang
berhubungan
dengan kemampuan
bicara
Kolaborasi
 Rujuk ke ahli
patologi bicara atau
terapis

e. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


berhubungan intervensi (I.03119)
dengan keperawatan Observasi
ketidakmampuan selama 3 x 24  Identifikasi status
menelan jam, maka status nutrisi
makanan nutrisi membaik,  Identifikasi alergi
(D.0019). dengan kriteria dan intoleransi
hasil: makanan
1. Porsi  Identifikasi
makan makanan yang
yang disukai
dihabiskan  Identifikasi
meningkat kebutuhan kalori
2. Berat dan jenis nutrien
badan  Identifikasi
membaik perlunya
3. Indeks penggunaan selang
massa nasogastrik
tubuh  Monitor asupan
(IMT) makanan
membaik  Monitor berat badan
 Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
 Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu
 Fasilitasi
menentukan
pedoman diet (mis:
piramida makanan)
 Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
 Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
 Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian
makan melalui
selang nasogastik
jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
 Ajarkan posisi
duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian medikasi
sebelum makan
(mis: Pereda nyeri,
antiemetik), jika
perlu
 Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika
perlu

f. Risiko gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit


integritas intervensi (I.11353)
kulit/jaringan keperawatan Observasi
berhubungan selama 3 x 24  Identifikasi
dengan jam, maka penyebab gangguan
penurunan integritas integritas kulit (mis:
mobilitas kulitmeningkat, perubahan sirkulasi,
(D.0139). dengan kriteria perubahan status
hasil: nutrisi, penurunan
1. Kerusakan kelembaban, suhu
lapisan lingkungan ekstrim,
kulit penurunan
menurun mobilitas)
Terapeutik
 Ubah posisi setiap 2
jam jika tirah baring
 Lakukan pemijatan
pada area
penonjolan tulang,
jika perlu
 Bersihkan perineal
dengan air hangat,
terutama selama
periode diare
 Gunakan produk
berbahan petroleum
atau minyak pada
kulit kering
 Gunakan produk
berbahan
ringan/alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitive
 Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering
Edukasi
 Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis:
lotion, serum)
 Anjurkan minum air
yang cukup
 Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
 Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrim
 Anjurkan
menggunakan tabir
surya SPF minimal
30 saat berada
diluar rumah
 Anjurkan mandi
dan menggunakan
sabun secukupnya

g. Risiko jatuh Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh (I.14540)


berhubungan intervensi Observasi
dengan kekuatan keperawatan  Identifikasi faktor
otot menurun selama 3 x 24 jatuh (mis: usia >
(D.0143). jam, maka tingkat 65 tahun,
jatuh menurun, penurunan tingkat
dengan kriteria kesadaran, defisit
hasil: kognitif, hipotensi
1. Jatuh dari ortostatik, gangguan
tempat keseimbangan,
tidur gangguan
menurun penglihatan,
2. Jatuh saat neuropati)
berdiri  Identifikasi risiko
menurun jatuh setidaknya
3. Jatuh saat sekali setiap shift
duduk atau sesuai dengan
menurun kebijakan institusi
4. Jatuh saat  Identifikasi faktor
berjalan lingkungan yang
menurun meningkatkan
risiko jatuh (mis:
lantai licin,
penerangan kurang)
 Hitung risiko jatuh
dengan
menggunakan skala
(mis: fall morse
scale, humpty
dumpty scale), jika
perlu
 Monitor
kemampuan
berpindah dari
tempat tidur ke
kursi roda dan
sebaliknya
Terapeutik
 Orientasikan
ruangan pada pasien
dan keluarga
 Pastikan roda
tempat tidur dan
kursi roda selalu
dalam kondisi
terkunci
 Pasang handrail
tempat tidur
 Atur tempat tidur
mekanis pada posisi
terendah
 Tempatkan pasien
berisiko tinggi jatuh
dekat dengan
pantauan perawat
dari nurse station
 Gunakan alat bantu
berjalan (mis: kursi
roda, walker)
 Dekatkan bel
pemanggil dalam
jangkauan pasien
Edukasi
 Anjurkan
memanggil perawat
jika membutuhkan
bantuan untuk
berpindah
 Anjurkan
menggunakan alas
kaki yang tidak
licin
 Anjurkan
berkonsentrasi
untuk menjaga
keseimbangan
tubuh
 Anjurkan
melebarkan jarak
kedua kaki untuk
meningkatkan
keseimbangan saat
berdiri
 Ajarkan cara
menggunakan bel
pemanggil untuk
memanggil perawat

DAFTAR PUSTAKA
AHA. (2019). Guidelines for the Early Management of Patients With Acute
Ischemic Stroke: 2019 Update to the 2018 Guidelines for the Early
Management of Acute Ischemic Stroke: A Guideline for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American Stroke .
American Health Journal, 344-418.
Anggriani, Zulkarnain, Sulaimani, & Gunawan, R. (2018). Pengaruh Rom (Range
of Motion) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke Non
Hemoragic. Jurnal Riset Hesti Medan, 64-72.
Budianto, P., Mirawati, D. K., Prabaningtyas, H. R., Putra, S. E., Muhammad, F.,
& Hafizhan, M. (2021). Sroke Iskemik Akut : Dasar dan Klinis. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret .
Chugh, C. (2019). Acute Ischemic Stroke : Management Approach. Indian
Journal of Critical Care Medicine , 140-146.
DiPiro. (2021). Pharmacotheraphy Handbook eleven edition. London: London
Pharmaceutical Press.
Gunnal, S., Farooqui, M., & Wabale, R. (2015). Anatomical Variability in the
Termination of the Basilar Artery in the Human Cadaveric Brain . journal
Turckey Neurosurgery, 596-594.
Kemenkes. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Stroke. Jakarta: Kementroan Kesejatan Republik Indonesia.
Luo, Y., Li, H., Huang, F. F., H-Lutterboth, N. V., Xu, Q., Wang, A., . . . Yang,
X. (2018). The cold effect of ambient temperature on ischemic and
hemorrhagic stroke hospital admissions: A large database study in Beijing,
China between years 2013 and 2014 Utilizing a distributed lag non-linear
Analysis. Enviromental Pollution, 90-96.
Ntaios, G. (2020). Embolic Stroke of Undetermined Source: JACC Review Topic
of the Week . J Am Coll Cardiol, 333-340.
Parmar, P. (2018). Stroke : Classification and Diagnosis. Pharmaceutical, 1-15.
Saeed, O. (2019). Hemolysis and Non-Hemorrhagic Stroke during Venoarterial
Extracorporeal Membrane Oxygenation. Ann Thorac Surg, 756-763.
Winata, H. (2017). Variasi Anatomi Circullus Arteiosus Willis. Jurnal
Kedokteran Medotek, 74-85.

Anda mungkin juga menyukai