Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN INTRACEREBRAL HEMORRHAGE (ICH)

DISUSUN OLEH : MUH. IDRIS


NIM. PO71202200039

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI
MARET 2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN INTRACEREBRAL HEMORRHAGE (ICH)

A. Konsep ICH
1. Definisi
Intracerebral hemorrhage (ICH) didefinisikan sebagai perdarahan
nontraumatik ke dalam jaringan otak. Intracerebral hemorrhage (ICH)
adalah bentuk paling mematikan dari stroke dan mempengaruhi sekitar satu
juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Cedera otak sekunder dan
pembentukan edema dengan menghasilkan efek massa dianggap
berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas terkait intracerebral
hemorrhage (ICH) (Aksoy et.al, 2013).
Menurut World Heatlh Organization, stroke disebabkan oleh gangguan
suplai darah ke otak, biasanya karena semburan dari pembuluh darah atau
diblokir oleh gumpalan darah. Hal ini memotong pasokan oksigen dan
nutrisi, menyebabkan kerusakan pada jaringan otak. Gejala yang paling
umum dari stroke adalah kelemahan mendadak atau mati rasa pada wajah,
lengan atau kaki, paling sering pada satu sisi tubuh. Stroke atau yang dikenal
juga dengan istilah Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO), merupakan
suatu sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada
salah satu bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa
defisit neurologik atau kelumpuhan saraf selama 24 jam atau lebih (Dinata
CA et al., 2013).
Stroke secara klasik dicirikan sebagai defisit neurologik dikaitkan dengan
cedera fokal akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang dikarenakan sebab
vaskular, termasuk infark serebral, intracerebral hemorrhage (ICH) dan
subarachnoid hemorrhage (SAH), dan merupakan penyebab utama kecacatan
dan kematian di seluruh dunia (Sacco et al., 2013).
2. Klasifikai
Secara umum, stroke dapat diklasifikasikan sebagai iskemik atau hemoragik.
Stroke iskemik terjadi akibat dari adanya obstruksi atau penghalang dalam
pembuluh darah yang memasok darah ke otak. Obstruksi terbentuk karena
adanya penumpukan lemak yang beragregasi menjadi plak. Kondisi ini
disebut sebagai atherosklerosis (ASA, 2013).

2
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke area otak, akibat pecahnya
pembuluh darah atau struktur pembuluh darah abnormal pada otak. Stroke
hemoragik terbagi lagi menjadi dua, yaitu intracerebral hemorrhage (ICH)
biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh menembus kecil di otak dan
subarachnoid hemorrhage (SAH) yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma
intrakranial yang terkandung di dalam ruang subarachnoid sekitar otak. Pada
berbagai kasus stroke yang terjadi, stroke iskemik menjadi yang paling
banyak terjadi dengan presentasi 88%. Untuk stroke hemoragik hanya terjadi
dengan presentasi 12%, dengan terbagi lagi menjadi 9% untuk intracerebral
hemorrhage (ICH) dan 3% untuk subarachnoid hemorrhage (SAH)
(Boehringer Ingelheim, 2016).
3. Etiologi
Stroke hemoragik dapat terjadi karena pecahnya aneurisma pada otak atau
disebabkan oleh pembuluh darah yang bocor. Darah tumpahan masuk ke
dalam atau masuk ke sekitar otak sehingga terbentuk pembengkakan dan
tekanan, merusak sel dan jaringan otak. Ada dua jenis stroke hemoragik
yaitu intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage
(SAH).
Hipertensi adalah faktor resiko yang paling umum atau utama. Angiopati
amiloid serebral (CAA), kondisi yang meningkat dengan usia, adalah faktor
resiko yang paling umum kedua. Angiopati amiloid serebral merupakan
penyebab penting dari lobar intracerebral hemorrhage (ICH), terutama
padaorang lanjut usia. Kondisi ini hasil dari deposisi protein amyloid di
arteriol kortikal; deposisi seperti ini sangat jarang terjadi di basal ganglia dan
batang otak (lokasi lazim terjadi intracerebral hemorrhage (ICH) terkait
HTN dan lokasi yang tidak lazim dari intracerebral hemorrhage (ICH)
terkait CAA. Apolipoprotein E (ApoE) genotipe memainkan peran penting
dalam patogenesis CAA, tetapi tidak sensitif maupun spesifik untuk
diagnosis utama dari kondisi ini. Usia juga merupakan faktor resiko penting
untuk intracerebral hemorrhage (ICH); kemungkinan keseluruhan penderita
intracerebral hemorrhage (ICH) tertinggi pada usia ≥ 85 (Aguilar et al.,
2011).
4. Patofisilogi

3
Stroke hemoragik disebabkan karena adanya kematian sel pada jaringan otak
yang mana kematian sel tersebut disebabkan oleh inflamasi ataupun karena
terjadinya apoptosis. Pada saat terjadi perdarahan, terbentuk suatu massa
yang mana massa tersebut menyebabkan inflamasi dan memberikan efek
toksik sehingga terjadilah kematian sel pada otak. Sedangkan mekanisme
terjadinya apoptosis karena terbentuknya clotting oleh trombin. Trombin
menyebabkan lisisnya eritrosit yang dikarenakan adanya pelepasan
heme/besi sehingga terjadi aktivasi caspase yang mengakibatkan sel
melakukan apoptosis.
Patofisiologi stroke hemoragik tidak seperti stroke iskemik. Adanya darah
dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya
melalui efek mekanik menghasilkan massa dan neurotoksisitas dari
komponen darah dan produk degradasi. Sekitar 30% dari intracerebral
hemorrhage (ICH) terus membesar selama 24 jam pertama, paling cepat
dalam waktu 4 jam, dan volume gumpalan adalah prediktor yang paling
penting dari hasil perdarahan yang terlepas dari lokasi. Perdarahan dengan
volume > 60 mL berhubungan dengan 71% kematian pada 15 hari dan 93%
kematian pada 30 hari. Sebagian besar kematian dini stroke hemoragik
(hingga 50% pada 30 hari) disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan
intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi dan kematian (Dipiro et al.,
2014).
Sebagian besar kasus intracerebral hemorrhage (ICH) terjadi ketika adanya
bocoran kecil pada arteri (50-700 μm) yang kemudian darah masuk ke dalam
parenkim otak. Bagian dari cedera induksi intracerebral hemorrhage (ICH)
adalah karena gangguan fisik jaringan yang berdekatan dan efek massa
disebabkan sebagai bentuk intracerebral hemorrhage (ICH). Volume
intracerebral hemorrhage (ICH) sering dibagi menjadi tiga kategori: kecil
ketika < 30 mm, menengah antara 30 dan 60 mm, dan besar bila > 60 mm.
5. Faktor Risioko
American Stroke Association memperkirakan bahwa 80% dari stroke dapat
dicegah. pengetahuan medis tentang faktor resiko stroke berdasarkan
penelitian epidemiologi. Menurut AHA Guidelines 2011, menyatakan bahwa
faktor resiko stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: faktor resiko
yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang dapat diubah.

4
a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
1) Umur
Sebuah studi pada faktor-faktor resiko menunjukkan bahwa usia telah
diidentifikasi sebagai penanda resiko untuk stroke, tidak dapat
diubah. Usia merupakan faktor resiko yang paling penting untuk
stroke. Setiap 10 tahun setelah usia 55, resiko stroke menjadi lebih
dari dua kali lipat pada pria dan wanita. Yousef et al., menjelaskan
usia merupakan faktor resiko independen untuk perkembangan
atherosklerosis intrakranial. Prevalensi atherosklerosis intrakranial
ditunjukkan untuk menjelaskan peningkatan resiko setiap dekade
usia. Ditemukan di 23% dari usia 50-59 tahun, 43% dari usia 60-69
tahun, 65% dari usia 70-79 tahun dan 80% dari usia > 80 tahun
(Jahirul et al., 2015).
2) Jenis Kelamin
Tingkat insiden stroke 1,25 kali lebih besar pada pria, tapi karena
wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria, lebih banyak
perempuan yang meninggal karena stroke tiap tahun dibandingkan
laki-laki. Sebuah studi dari rumah sakit menunjukkan bahwa laki-laki
sedikit lebih dominan dibandingkan perempuan (51% vs 49%)
dengan usia berkisar 21-78 tahun dan usia rata-rata adalah 50 tahun.
Usia perempuan berkisar antara 24-83 tahun dengan usia rata-rata 53
tahun. Sebuah penelitian menunjukkan, stenosis intrakranial lebih
umum terjadi pada pria, terutama di kelompok usia muda dan di
lokasi tertentu, seperti arteri basilar (Jahirul et al., 2015).
3) Ras atau Etnis
Ras kulit hitam dan beberapa ras hispanik atau ras amerika latin,
memiliki insiden yang lebih tinggi dari semua jenis stroke dan tingkat
kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Hal
ini terutama berlaku untuk ras kulit hitam yang berusia muda dan
setengah baya, yang memiliki resiko jauh lebih tinggi terkena
subarachnoid hemorrhage (SAH) dan intracerebral hemorrhage
(ICH) dibandingkan ras kulit putih pada usia yang sama (Goldstein et
al., 2011).
4) Faktor Genetik

5
Riwayat keluarga yang positif stroke meningkatkan resiko stroke
sekitar 30%. Pada wanita yang memiliki orang tua dengan riwayat
stroke lebih mungkin terkena stroke dibandingkan pria. Peningkatan
resiko stroke disampaikan dari riwayat keluarga yang positif dapat
dimediasi melalui berbagai mekanisme, meliputi heritabilitas genetik
faktor resiko stroke, warisan dari kerentanan terhadap efek dari faktor
resiko tersebut, budaya lingkungan dan gaya hidup, dan interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan (Goldstein et al., 2011).
b. Faktor yang dapat dimodifikasi
1) Hipertensi
Hipertensi & usia merupakan faktor resikoutama untuk gejala dan
penyakit serebrovaskular. Resiko pendarahan otak pada pasien
hipertensi 3,9 kali lebih tinggi dari pada pasien non hipertensi. Pada
aneurisma subarachnoid hemorrhage (SAH) resiko relatif 2.8 lebih
tinggi. Diagnosis dan kontrol hipertensi merupakan salah satu strategi
utama untuk pencegahan primer dan sekunder dari stroke. Pengaruh
hipertensi kronis pada pembuluh darah otak dan jaringan
(microhemorhages, silent infarctions, lesi materi putih dan atrofi)
juga mendukung mekanisme fisiopatologis untuk hubungan antara
hipertensi dan gangguan kognitif (Arboix A., 2015).
2) Diabetes Melitus
Diabetes melitus memiliki efek memperburuk keadaan pembuluh
darah arteri dan merupakan faktor resiko untuk stroke iskemik.
Diabetes juga meningkatkan resiko kekambuhan stroke. Infark
lakunar mungkin lebih umum terjadi pada pasien diabetes meskipun
hal ini tidak selalu dilaporkan. Pengaruh dari diabetes sebagian
dimediasi oleh faktor resiko lain seperti hipertensi dan perubahan
lipid (lipid alteration) dan merokok baik pada laki-laki maupun
wanita.
3) Merokok
Merokok merupakan faktor resiko stroke yang independen,
meningkatkan resiko stroke hingga 50%. Resiko meningkat secara
proporsional dengan jumlah rokok yang dihisap per hari dan perokok
pasif juga beresiko terkena stroke iskemik.Berhenti merokok

6
merupakan langkah yang efektif untuk mengurangi resiko stroke.
Beberapa pilihan tersedia untuk berhenti merokok, yaitu pengobatan
dengan konseling, dan intervensi farmakologis seperti pengganti
nikotin, agen antidepresan nortriptyline atau bupropion, dan yang
terbaru saat ini adalah varenicicline (Romero et al., 2009).
4) Dislipidemia
Plasma lipid dan lipoprotein (kolesterol total, trigliserida, low-density
lipoprotein (LDL), high-density lipoprotein (HDL) dan lipoprotein)
memiliki pengaruh terhadap resiko infark serebral, tetapi hubungan
antara dislipidemia dan stroke belum konsisten dijelaskan.Data dari
studi prospektif pada pasien laki-laki telah menunjukkan bahwa
dengan adanya nilai total kolesterol serum > 240-270 mg / dL, ada
peningkatan dalam resiko stroke iskemik. Pada pria, kadar HDL yang
rendah merupakan faktor resiko untuk iskemia serebral namun data
pada wanita tidak dapat disimpulkan (Jahirul et al., 2015).
6. Tanda dan Gejala
Gejala yang paling umum dari stroke adalah kelemahan secara tiba-tiba atau
mati rasa pada wajah, lengan atau kaki, paling sering pada satu sisi tubuh.
Efek dari stroke tergantung pada bagian mana dari otak terluka dan seberapa
parah itu dipengaruhi. Stroke yang sangat parah dapat menyebabkan
kematian mendadak (WHO, 2016).
Gejala lain termasuk kelemahan unilateral, ketidakmampuan untuk
berbicara, penurunan penglihatan, vertigo, atau jatuh. Stroke iskemik
biasanya tidak mendapatkan sakit kepala, tapi mungkin terjadi pada stroke
hemoragik. Defisit neurologis pada pemeriksaan fisik tergantung pada
daerah otak yang terlibat. Umumnya adalah hemi- atau monoparesis dan
defisit hemisensori. Pasien dengan keterlibatan sirkulasi posterior mungkin
memiliki vertigo dan diplopia. Stroke sirkulasi anterior umumnya
mengakibatkan aphasia. Pasien mungkin mengalami disartria, gangguan
kemampuan melihat, dan tingkat kesadaran yang berubah (Fagan and Hess,
2008).
7. Penatalaksanaan Medis
Umumnya pemberian terapi pada stroke bertujuan untuk stabilisasi
pernapasan dan stabilisasi hemodinamik. Hal pertama yang dilakukan untuk

7
stabilisasi pernapasan yaitu dilakukan pemantauan secara terus menerus
terhadap status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi
oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis
yang nyata. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95% dan pasien hipoksia. Untuk pasien yang tidak sadar,
dilakukan perbaikan jalan napas dengan pemasangan pipa orofaring. Bantuan
ventilasi diberikan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau
disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas. Untuk stabilisasi
hemodinamik diberikan cairan kristaloid atau koloid intravena tetapi hindari
pemberian pemberian cairan hipotonik seperti glukosa. Pemasangan CVC
(Central Venous Catheter) dianjurkan untuk memantau kecukupan cairan
dan sebagai sarana untuk memasukkan cairan dan nutrisi. Hipotensi arterial
harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi
dengan pemberian larutan salin normal dan aritmia yang mengakibatkan
penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi (PERDOSSI, 2011).
Manajemen pasien dengan intracerebral hemorrhage (ICH) akut tergantung
pada penyebab dan tingkat keparahan perdarahan. Bantuan hidup dasar,
seperti kontrol: perdarahan, kejang, tekanan darah (BP), dan tekanan
intrakranial adalah hal-hal yang bersifat krusial. Saat ini masih belum ada
terapi yang efektif untuk stroke hemoragik. Evakuasi hematoma, baik
melalui kraniotomi atau endoskopi terbuka, dapat menjadi pengobatan awal
yang menjanjikan untuk intracerebral hemorrhage (ICH) yang dapat
meningkatkan prognosis jangka panjang (Liebeskind, 2016). Pada stroke
hemoragik, pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan
intrakranial. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan
untuk membantu mengidentifikasi pasien dengan resiko perluasan
hematoma. Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan yang
mengarah ke lesi struktural termasuk malformasi vaskuler dan tumor,
sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI
dengan kontras, MRA, dan venografi MR (PERDOSSI, 2011).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

8
Menurut Tarwoto (2013) pengkajian keperawatan pada pasien stroke
meliputi:
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
MRS, nomor register, diagnose medis.
b. Keluhan utama
Keluhan yang didapatkan biasanya gangguan motorik kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi, nyeri kepala, gangguan sensorik, kejang, penurunan
kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke infark biasanya didahului dengan serangan awal yang
tidak disadari oleh pasien, biasanya ditemukan gejala awal sering
kesemutan, rasa lemah pada salah satu anggota gerak. Pada serangan
stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat
pasien melakukan aktifitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-
obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun
diabetes mellitus.
f. Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan
keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi
dan pikiran pasien dan keluarga
g. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran

9
Biasanya pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran samnolen,
apatis, sopor, soporos coma, hingga coma dengan GCS < 12 pada
awal terserang stroke. Sedangkan pada saat pemulihan biasanya
memiliki tingkat kesadaran letargi dan compos metis dengan GCS
13-15
2) Tanda-tanda Vital
a) Tekanan darah
Biasanya pasien dengan stroke hemoragik memiliki riwayat
tekanan darah tinggi dengan tekanan systole > 140 dan diastole >
80
b) Nadi
Biasanya nadi normal
c) Pernafasan
Biasanya pasien stroke hemoragik mengalami gangguan pada
bersihan jalan napas
d) Suhu Biasanya tidak ada masalah suhu pada pasien dengan stroke
hemoragik
3) Rambut
Biasanya tidak ditemukan masalah
4) Wajah
Biasanya simetris, wajah pucat. Pada pemeriksaan Nervus V
(Trigeminal) : biasanya pasien bisa menyebutkan lokasi usapan dan
pada pasien koma, ketika diusap kornea mata dengan kapas halus,
klien akan menutup kelopak mata. Sedangkan pada Nervus VII
(facialis) : biasanya alis mata simetris, dapat mengangkat alis,
mengernyitkan dahi, mengernyitkan hidung, menggembungkan pipi,
saat pasien menggembungkan pipi tidak simetris kiri dan kanan
tergantung lokasi lemah dan saat diminta mengunyah pasien
kesulitan untuk mengunyah.
5) Mata
Biasanya konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor,
kelopak mata tidak oedema. Pada pemeriksaan nervus II (optikus) :
biasanya luas pandang baik 90°, visus 6/6. Pada nervus III
(okulomotoris) : biasanya diameter pupil 2mm/2mm, pupil kadang

10
isokor dan anisokor, palpebra dan reflek kedip dapat dinilai jika
pasien bisa membuka mata . Nervus IV (troklearis) : biasanya pasien
dapat mengikuti arah tangan perawat ke atas dan bawah. Nervus VI
(abdusen) : biasanya hasil nya pasien dapat mengikuti arah tangan
perawat ke kiri dan kanan
6) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan, terpasang oksigen, tidak ada
pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksan nervus I (olfaktorius) :
kadang ada yang bisa menyebutkan bau yang diberikan perawat
namun ada juga yang tidak, dan biasanya ketajaman penciuman
antara kiri dan kanan berbeda dan pada nervus VIII (akustikus) :
biasanya pada pasien yang tidak lemah anggota gerak atas, dapat
melakukan keseimbangan gerak tangan-hidung
7) Mulut dan gigi
Biasanya pada pasien apatis, sopor, soporos coma hingga coma akan
mengalami masalah bau mulut, gigi kotor, mukosa bibir kering. Pada
pemeriksaan nervus VII (facialis) : biasanya lidah dapat mendorong
pipi kiri dan kanan, bibir simetris, dan dapat menyebutkan rasa manis
dan asin. Pada nervus IX (glossofaringeal) : biasanya ovule yang
terangkat tidak simetris, mencong kearah bagian tubuh yang lemah
dan pasien dapat merasakan rasa asam dan pahit. Pada nervus XII
(hipoglasus) : biasanya pasien dapat menjulurkan lidah dan dapat
dipencongkan ke kiri dan kanan namun artikulasi kurang jelas saat
bicara
8) Telinga
Biasanya sejajar daun telinga kiri dan kanan. Pada pemeriksaan
nervus VIII (akustikus) : biasanya pasien kurang bisa mendengarkan
gesekan jari dari perawat tergantung dimana lokasi kelemahan dan
pasien hanya dapat mendengar jika suara keras dan dengan artikulasi
yang jelas
9) Leher
Pada pemeriksaan nervus X (vagus) : biasanya pasien stroke
hemragik mengalami gangguan menelan. Pada peemeriksaan kaku
kuduku biasanya (+) dan bludzensky 1 (+)

11
10) Thorak
a) Paru-paru
Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan
Palpasi : biasanya fremitus sam aantara kiri dan kanan.
Perkusi : biasanya bunyi normal (sonor)
Auskultasi: biasanya suara normal (vesikuler)
b) Jantung
Isnpeksi : biasanya iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : biasanya ictus cordis teraba
Perkusi : biasanya batas jantung normal
Auskultasi: biasanya suara vesikuler
c) Abdomen
Inspeksi : biasanya simetris, tidak ada asites
Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : biasanya terdapat suara tympani
Auskultasi: biasanya biasanya bising usus pasien tidak terdengar.
Pada pemeriksaan reflek dinding perut, pada saat perut pasien
digores biasanya pasien tidak merasakan apa-apa.
11) Ekstremitas
a) Atas
Biasanya terpasang infuse bagian dextra / sinistra. CRT biasanya
normal yaitu < 2 detik. Pada pemeriksaan nervus XI (aksesorius) :
biasanya pasien stroke hemoragik tidak dapat melawan tahanan
pada bahu yang diberikan perawat. Pada pemeriksaan reflek,
biasanya saat siku diketuk tidak ada respon apa-apa dari siku,
tidak fleksi maupun ekstensi (reflek bicep (-)) dan pada
pemeriksaan tricep respon tidak ada fleksi dan supinasi (reflek
bicep (-)). Sedangkan pada pemeriksaan reflek hoffman tromer
biasanya jari tidak mengembang ketika diberi reflek (reflek
Hoffman tromer (+)).
b) Bawah
Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat pemeriksaan bluedzensky
I kaki kiri pasien fleksi ( bluedzensky (+)). Pada saat telapak kaki
digores biasanya jari tidak mengembang (reflek babinsky (+)).

12
Pada saat dorsum pedis digores biasanya jari kaki juga tidak
beresponn (reflek caddok (+)). Pada saat tulang kering digurut
dari atas ke bawah biasanya tidak ada respon fleksi atau ekstensi
(reflek openheim (+)) dan pada saat betis diremas dengan kuat
biasanya pasien tidak merasakan apa-apa (reflek gordon (+)).
Pada saat dilakukan reflek patella biasanya femur tidak bereaksi
saat di ketukkan (reflek patella (+)).

Tabel. Nilai Kekuatan Otot


Respon Nilai
Tidak dapat sedikitpun 0
kontraksi otot, lumpuh total
Terdapat sedikit kontraksi otot, 1
namun tidak didapatkan
gerakan pada persendian yang
harus digerakkan oleh otot
tersebut
Didapatkan gerakan , tapi 2
gerakan tidak mampu melawan
gaya berat (gravitasi)
Dapat mengadakan gerakan 3
melawan gaya berat
Disamping dapat melawan 4
gaya berat ia dapat pula
mengatasi sedikit tahanan yang
diberikan
Tidak ada kelumpuhan 5
(normal)
Sumber: Debora, 2013
h. Test Diagnostik
1) Radiologi
a) Angiografi serebri
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
sperti stroke perdarahan arteriovena atau adanya ruptur. Biasanya
pada stroke perdarahan akan ditemukan adanya aneurisma
b) Lumbal pungsi
Biasanya pada pasien stroke hemoragik, saat pemeriksaan cairan
lumbal maka terdapat tekanan yang meningkat disertai bercak
darah. Hal itu akan menunjukkkan adanya hemoragik pada
subarachnoid atau pada intrakranial

13
c) CT-Scan
Memperhatikan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya
secara pasti. Hasil pemerksaan biasanya didapatkan hiperdens
fokal, kadang masuk ke ventrikel atau menyebar ke permukaan
otak
d) Macnetic Resonance Imaging (MRI)
Menentukan posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan otak.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi
dan infark akibat dari heemoragik
e) USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis)
f) EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul
dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya
impuls listrik dalam jaringan otak.
2) Laboratorium
a) Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, Leukosit, Trombosit,
Eritrosit. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah pasien
menderita anemia. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem imun
pasien. Bila kadar leukosit diatas normal, berarti ada penyakit
infeksi yang sedang menyerang pasien.
b) Test darah koagulasi Test darah ini terdiri dari 4 pemeriksaan,
yaitu: prothrombin time, partial thromboplastin (PTT),
International Normalized Ratio (INR) dan agregasi trombosit.
Keempat test ini gunanya mengukur seberapa cepat darah pasien
menggumpal. Gangguan penggumpalan bisa menyebabkan
perdarahan atau pembekuan darah. Jika pasien sebelumnya sudah
menerima obat pengencer darah seperti warfarin, INR digunakan
untuk mengecek apakah obat itu diberikan dalam dosis yang
benar. Begitu pun bila sebelumnya sudah diobati heparin, PTT
bermanfaat untuk melihat dosis yang diberikan benar atau tidak.

14
c) Test kimia darah Cek darah ini untuk melihat kandungan gula
darah, kolesterol, asam urat, dll. Apabila kadar gula darah atau
kolesterol berlebih, bisa menjadi pertanda pasien sudah menderita
diabetes dan jantung. Kedua penyakit ini termasuk ke dalam salah
satu pemicu stroke (Robinson, 2014)
i. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Pola kebiasaan
Biasanya pada pasien yang pria, adanya kebiasaan merokok dan
penggunaan minumana beralkhohol
2) Pola makan
Biasanya terjadi gangguan nutrisi karena adanya gangguan menelan
pada pasien stroke hemoragik sehingga menyebabkan penurunan
berat badan.
3) Pola tidur dan istirahat
Biasanya pasien mengalami kesukaran untuk istirahat karena adanya
kejang otot/ nyeri otot
4) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien tidak dapat beraktifitas karena mengalami
kelemahan, kehilangan sensori , hemiplegi atau kelumpuhan
5) Pola eliminasi
Biasanya terjadi inkontinensia urin dan pada pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus
6) Pola hubungan dan peran
Biasanya adanya perubahan hubungan dan peran karena pasien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara
7) Pola persepsi dan konsep diri Biasanya pasien merasa tidak berdaya,
tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif (Batticaca,
2008)
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang muncul menurut North American Nursing
Diagnosa Association, 2015-2017 (T.H. Herdman, Nic Noc 2015) yaitu:
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebal yang berhubungan dengan
gangguan oklusi, hemoragik, faso spasme serebal, dan edema serebal,

15
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan keterlibatan
neurotaransmeter, kelemahan dan paralisis,
c. Kerusakan komunikasi verbal dan tertulis berhubungan dengan
kerusakan neuro transmeter, kehilangan tonus, kerusakan dan sirkulasi
serebral,
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan intake peroral dan penurunan kesadaran,
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keursakan neuromuskuler,
penurunan kekuatan dan ketahan, dan kehilangan kontrol, dan
koordinasi otot dan nyeri.
3. Rencana Keperawatan
Tabel. Rencana Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Kaji status neurologic
perfusi jaringan tindakan setiap jam
serebral keperawatan 2. Kaji tingkat kesadaran
Definisi : rentan diharapkan perfusi dengan GCS
mengalami jaringan serebral 3. Kaji pupil, ukuran,
oenurunan sirkulasi pasien menjadi respon terhadap cahaya,
jaringan otak yang efektif dengan gerakan mata
dapat menganggu kriteria hasil : 4. Kaji reflek kornea
kesehatan a. Tanda-tanda vital 5. Evaluasi keadaan
Batasan normal motorik dan sensori pasien
karaketristik : b. Status sirkulasi 6. Monitor tanda vital
1. Tanda-tanda vital lancer setiap 1 jam
2. Status sirkulasi c. Pasien 7. Hitung irama denyut
Faktor yang mengatakan nyaman nadi, auskultasi adanya
berhubungan : dan tidak sakit murmur
1. Hipertensi kepala 8. Pertahankan pasien
2. Embolisme d. Peningkatan kerja bedrest, beri lingkungan
3. Tumor otak pupil tenang,
(missal: gangguan e. Kemampuan
serebrovaskul ar, komunikasi baik
penyakit neurologis,
trauma, tumor)
Hambatan mobilitas Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan
fisik tindakan motorik 2. Ajarkan pasien
Definisi : keperawatan untuk melakukan ROM
keterbatasan dalam diharapkan mobilitas minimal 4x perhari bila
gerakan fisik atau fisik tidak terganggu mungkin
satu atau lebih kriteria hasil : 3. Bila pasien di tempat
ekstremitas secara 1. Peningkatan tidur, lakukan tindakan
mandiri dan terarah aktifitas fisik untuk meluruskan postur

16
Batasan 2. Tidak ada tubuh
karakteristik : 1. kontraktur otot a. Gunakan papan kaki
Penurunan 3. Tidak ada b. Ubah posisi sendi bahu
kemampuan ankilosis pada sendi tiap 2-4 jam
melakukan 4. Tidak terjadi c. Sanggah tangan dan
keterampilan motorik penyusutan otot pergelangan pada
halus kelurusan alamiah
2. Penurunan 4. Observasi daerah yang
kemampuan tertekan, termasuk warna,
melakukan edema atau tanda lain
keterampilan motorik gangguan sirkulasi
kasar 5. Inspeksi kulit terutama
Faktor yang pada daerah tertekan, beri
berhubungan : bantalan lunak
1. Gangguan 6. Lakukan massage pada
neuromuskular daerah tertekan
2. Gangguan 7. Konsultasikan dengan
sensoriporsept ua ahli fisioterapi
8. Kolaborasi stimulasi
elektrik
9. Kolaborasi dalam
penggunaan tempat tidur
anti dekubitus
Sumber:
Bulecheck, et.al 2016; Moorhead, et.al. 2016l; NANDA International, 2015

17
DAFTAR PUSTAKA

Aguilar, M. I., & Brott, T. G. (2011). Update in intracerebral hemorrhage. The


Neurohospitalist, 1(3), 148–59. https://doi.org/10.1177/1941875211409050

Aksoy, D., Bammer, R., Mlynash, M., Venkatasubramanian, C., Eyngorn, I., Snider,
R. W., … Wijman, C. A. C. (2013). Magnetic resonance imaging profile of
blood-brain barrier injury in patients with acute intracerebral hemorrhage.
Journal of the American Heart Association, 2(3), e000161.
https://doi.org/10.1161/JAHA.113.000161

Arboix, A. (2015). Cardiovascular risk factors for acute stroke: Risk profiles in the
different subtypes of ischemic stroke. World Journal of Clinical Cases, 3(5),
418–29. https://doi.org/10.12998/wjcc.v3.i5.418

American Stroke Association. (2013). Guideline for early management of patient


stroke ischemic. Amerika: ASA.

Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Boehringer Ingelheim. (2016). Classification of stroke. Amerika: Strokeforum.

Bulecheck, G.M., Butcher, H.K., Docthterman, J.M., & Wagner, C.M. 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC), 6th edition. United State Of America:
Mosby Elsevier, Inc

Debora, O. 2013. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Salemba


Medika

Dipiro et al. (2014). Pharmacotherapy Handbook ed.9. New york: The McGraw
Hills.

18
Fagan, S.C., & Hess, D.C. (2008). Pharmacotherapy : A Phatophysiology approach
seventh edition. New York: Appleton and Lange.

Goldstein, L. B., Bushnell, C. D., Adams, R. J., Appel, L. J., Braun, L. T.,
Chaturvedi, S., … Pearson, T. A. (2011). Guidelines for the primary prevention
of stroke: A Guideline for Healthcare Professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke, 42(2), 517–584.
https://doi.org/10.1161/STR.0b013e3181fcb238

Jahirul, M. S., Choudhury, H., Chowdhury, T. I., & Nayeem, A. (2015). Modifiable
and Non-Modifiable Risk Factors of Stroke : A Review Update, 1(1), 22–26.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th edition. United State Of America: Mosby Elsevier,
Inc

NANDA International. 2015. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-


2017, edisi 10. Jakarta: EGC

Perdossi. (2011). Guideline Stroke. Jakarta: Perdossi.

Robinson, J.M., & Saputra, L. 2014. Visual Nursing (Medikal-Bedah) Jilid 1 (Martha
Ardiaria, Penerjemah). Tangerang: Binarupa Aksara

Romero, J. R., Morris, J., & Pikula, A. (2008). Stroke prevention: modifying risk
factors. Ther.Adv.Cardiovasc.Dis., 2(1753–9447 (Print)), 287–303.
https://doi.org/10.1177/1753944708093847.Stroke

Safrita, Y., Dinata, C.A., and Sastri, S. (2013). Gambaran Faktor Resiko dan Tipe
Stroke Pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten
Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 – 31 Juni 2012.Artikel Penelitian : Jurnal
Kesehatan Andalas. 2 (2) : 57-61

Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al.
(2013). An updated definition of stroke for the 21st century: A statement for
healthcare professionals from the American heart association/American stroke
association;44(7):2064–89

WHO. (2016). Stroke, Cerebrovascular accident. World Health Organization


http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/ (Diakses pada tanggal
22 Maret 2021).

Tarwoto. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, gangguan sistem persarafan. Jakarta:


CV.Sagung Seto.

19

Anda mungkin juga menyukai