Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SUB ARAKHNOID HEMORAGIK

Oleh :

Nama : Risa Hartati


NIM : P07120216083
Semester : VII
Prodi : Diploma IV

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BANJARMASIN
JURUSAN KEPERAWATAN
BANJARMASIN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Risa Hartati

NIM : P07120216083

Judul : Laporan Pendahuluan Sub Arakhnoid Hemoragik

(SAH)

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Akhmad Rizani, SKp, M.Kes Tarmidi, S.ST


LAPORAN PENDAHULUAN
SUB ARAKHNOID HEMORAGIK (SAH)

A. KONSEP PENYAKIT SUB ARAKHNOID HEMORAGIK


1. PENGERTIAN
Sub arakhnoid hemoragik (SAH) adalah perdarahan tiba – tiba ke
dalam rongga diantara otak dan selaput otak (Satyanegara, dkk. 2010).
Sub arakhnoid hemoragik (SAH) merupakan penemuan yang sering
pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya
pembuluh darah leptomeningeal pada vertex dimana terjadi pergerakan
otak yang besar sebagai dampak , atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya
pembuluh darah serebral major (Muttaqin A. 2014).
Berdasarkan uraian diatas maka Sub Arakhnoid Hemoragik secara
umum yaitu pendarahan di daerah antara otak dan jaringan tipis yang
menutupi otak yag sering di temukan pada trauma kepala akibat dari yang
paling sering adalah robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex
dimana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak, atau pada
sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah serebral major.

2. ETIOLOGI
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid
adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya
malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma
yang dapat terbentuk di arteri otak seperti (Baehr M dan Frotcsher M,
2012).
a. Aneurisma sakuler (berry)
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial.
Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior
(40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding
lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau
arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma
dapat menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur
disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri
komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius,
menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia)
(Baehr M dan Frotcsher M, 2012).
b. Anuerisma fusiformis
Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang
disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada
segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri
media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh
aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar
pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di
dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan
intra- aneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya
tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan
pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan
struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan
kontribusi pada suplai darah serebral (Baehr M dan Frotcsher M, 2012).
c. Anuerisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak.
Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal
ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang
mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan
subarachnoid (Baehr M dan Frotcsher M, 2012).
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang
terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena
terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan
langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya.
Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang
datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan
melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal
dari arteri. pPembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami
ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada
aneurisma (Zuccarello M, 2013). MAV dikelompokkan menjadi dua,
yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat
thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi (Setyopranoto, 2012).

3. PATOFISIOLOGI
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri
serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi
anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat
yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh arteri
communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi
posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri
basilar ke arterie otak posterior (Jones R dkk, 2014).

Gambar 1. Lokasi aneurisma

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi


orang dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma
intrakranial dan rupture tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa
aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan baik
pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap
stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi
menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya
lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya,
aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari
dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko
rupture menjadi rendah (Jones R dkk, 2014).
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran
dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat
ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar
daripada aneurisma yang tidak rupture (Jones R dkk, 2014).
Aneurisma yang pecah
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam
kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien
berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat
dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari,
dan aktivitas berat (Jones R dkk, 2014).
Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis
pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3
minggu sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan
berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada risiko hari-hari
berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture
dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian
pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70% (Jones R
dkk, 2014).
PATHWAY

Ruptur aneurisma sakular, Malformasi arteriovena, Ruptur aneurisma fusiform, Ruptur


aneurisma mikotik, Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan
pembekuan darah, infeksi, neoplasma, trauma

Pembuluh darah pecah

Ekstravasasi darah dari pembuluh darah arteri di otak

Masuk ke dalam ruang subarakhnoid

Menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis

Penekanan Edema serebri Infark serebri


jaringan otak

Penurunan perfusi jaringan serebral


CVA
Risiko peningkatan TIK
Defisit neurologis

Frontal Temporal Parietal Dominan Nondomnian Oksipital

 Disorientasi
Gangguan : Gangguan Afasia (tidak Gangguan Kemampuan
 Apraksia
memori mampu berbicara sensorik penglihatan
penilaian (kehilangan
Kejang dan menulis) bilateral berkurang dan
,penampilan kemampuan
Gangguan psikomotor Agrafia (kehilangan melakukan buta
Tuli kemampuan gerakan
afek&proses bertujuan)
pikir,fungsi Konfabulasi menulis)  Distorsi
(mengingat Agnosia (tidak Risiko
motorik konsep
pengalaman mampu mengenali ruang cidera
imajiner) strimuli sensori)  Hilang
Kehilangan kesadaran
kontrol pada sisi
volunter tubuh yang
da Kerusakan
berlawanan
komunikasi
verbal Penurunan
Hemiplegia n
kesadaran
hemiparese

Kerusakan Defisit perawatan diri: Ketidakefektifan


mobilitas fisik Mandi dan eliminasi bersihan jalan nafas
4. MANIFESTASI KLINIS
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang
besar, meliputi :
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
b. Hilangnya kesadaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan
mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada
umumnya tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita
maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat
muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum
terjadinya perdarahan yang hebat (PERDOSSI, 2011).
Tanda-tanda peringatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak
dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai
mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita
mengalami serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu, aneurisma
yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala
sebagai berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata,
nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi (PERDOSSI,
2011).
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat
menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri
kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat
menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan,
penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada arteri
karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula
karotiko-kavernosus, dapat menimbbulkan sindrom sinus kavernosus
(PERDOSSI, 2011).
Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia,
kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris
dapat menimbulkan paresis okulomotorius (PERDOSSI, 2011).
Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan
lokasi perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau
kombinasi dengan hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular.
Dengan demikian tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari meningismus
ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Sementara
itu, reflek Babinski positif bilateral (PERDOSSI, 2011).
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma,
biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada
beberapa hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa
komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya hematom
intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia dan
labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai
akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior
(PERDOSSI, 2011).
Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a)
kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah
yang keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus
optikus seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri
kepala mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu
bersifat patognomik untuk PSA (PERDOSSI, 2011).
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup
luas atau besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari
munculnya vasospasme. Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak.
Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-aksial (PERDOSSI,
2011).
Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada
penderita PSA. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh
cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang terpapar darah akan mengalami
vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih lama lagi
(PERDOSSI, 2011).
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti
yang dijelaskan sebelumnya. Untuk menunjang diagnosis, dapat dilakukan
pemeriksan (Setyopranoto, 2012).
a. CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan
lebih akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12
jam pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah
serangan (Setyopranoto, 2012).
b. Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan
pungsi lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid
adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau
xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil
kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL.
xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya
degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di
cairan serebrospinal (Setyopranoto, 2012).
c. Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas
untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering
digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya
lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus
dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto
radiologic yang negative harus diulang 7-14 hari setelah onset
pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI
harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi
vascular di otak maupun batang otak (Setyopranoto, 2012).
Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk
intervensi dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa
digunakan.
Tabel Skala Hunt dan Hess (Setyopranoto, 2012)
Grade Gambaran Klinis
I Asimtomatik atau sakit kepala ringan dan iritasi meningeal
II Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat
seumur hidupnya), meningismus, deficit saraf
kranial (paresis nervus abdusen sering ditemukan)
III Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan
Stupor, deficit neurologis berat
IV (misalnya, hemiparesis),manifestasi otonom
V Koma, desebrasi

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah
di kepala pada pemeriksaan CT scan.
Tabel Skor Fisher (Setyopranoto, 2012)
Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala
1 Tidak terdeteksi adanya darah
2 Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat
darah ukuran
3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical
terdapat darah <1 mm, tidak ada jendalan
tebal
4 Terdapat jendalan pada intraserebral
dengansecara
atau intraventrikuler ukuran >1 mm

difus atau tidak ada darah


6. KOMPLIKASI
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering
pada perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa
status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan
iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal
tunggal dan lesi multiple luas (Setyopranoto, 2012).
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi
risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan
darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin,
norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi
(hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg
untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan
darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada
gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-
220 mmHg (Setyopranoto, 2012).
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi
(Setyopranoto, 2012).

7. PENATALAKSANAAN
a. Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktifitas berat
b. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat.
c. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi
tekanan.
d. Pembedahan untuk memperbaiki dinding arteri yang lemah, bisa
mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari.
e. Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan
dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan
sampai 10 hari atau lebih dapat memungkinkan terjadinya
perdarahan hebat.
f. Pasien dengan SAH memerlukan observasi neurologik ketat dalam
ruang perawatan intensif, kontrol tekanan darah dan tatalaksana nyeri
sementara menunggu perbaaikan aneurisma defisit.
g. Pasien pasien harus menerima profilaksis serangan kejang dan bloker
kanal kalsium untuk vasospasme.
h. Tatalaksana ditujukan pada resusitasi segera dan pencegahan
perdarahan ulang.
i. Tirah baring dan analgesik diberikan pada awal tatalaksana.
j. Antagonis kalsium nimodipin dapat menurunkan mor komplikasi dini
perdarahan subarachnoid meliputi hidrosefalus sebagai akibat obstruksi
aliran cairan serebrospinal oleh bekuaan darah.
k. Jika pasien sadar atau hanya terlihat mengantuk, maka pemeriksaan
sumber perdarahan dilakukan angiografi serebral.
l. Identifikasi aneurisma memunkinkan dilakukan sedini mungkin,
dilakukannya intervensi jepitan ( clipping ) leher aneurisma, atau jika
mungkin membungkus ( wropping ) aneurisma tersebut.
m. Malformasi arteriovenosa yang terjadi tanpa adanya perdarahan,
misalnya epilepsi biasanya tidak ditangani dengan pembedahan.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SUB ARAKHNOID


HEMORAGIK
1. PENGKAJIAN
a. Anamnesis
1) Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah terjadi
disfungsi neurologis. Keluhan yang sering didapatkan meliputi:
Nyeri kepala mendadak, adanya tanda rangsang meningeal
(mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk),
penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis
fokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya
ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh).
3) Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi
adanya riwayat trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak
lumpuh pada saat klien melakukan aktivitas, keluhan pada
gastrointestinal seperti mual, muntah, bahkan kejang sampai
tidak sadar, di samping gejala kelumpuhan separuh badan atau
ganggguan fungsi otak yang lain, selisah, letargi, lelah, apatis,
perubahan pupil.
4) Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan obat-obatan
(analgesik, sedatif, antidepresan, atau perangsang syaraf),
keluhan sakit kepala terdahulu, riwayat trauma kepala, kelainan
kongenital, peningkatan kadar gula darah dan hipertensi.
5) Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan tentang adanya
keluarga yang menderita hipertensi atau diabetes.
6) Pengkajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, dan
perilaku klien.
7) Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai
dampak yang timbul pada klien seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
8) Pengkajian sosioekonomispiritual mencakup pengkajian
terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis
yang akan terjadi pada gaya hidup individu.

b. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran
Tingkat Klinis
Responsivitas
Terjaga Normal
Sadar Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit
bingung saat pertama kali terjaga, tetapi
berorientasi sempurna ketika terbangun.
Letargi Mengantuk tetapi dapat mengikuti
perintah sederhana ketika dirangsang.
Stupor Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak
konsisten dalam mengikuti perintah
sederhana atau berbicara satu kata atau
Semikomatosa frase pendek.
Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak
Koma mengikuti perintah, atau berbicara
koheren.
Dapat berespon dengan postur secara
refleks ketika distimulasi atau dapat tidak
beresepon pada setiap stimulus.

Respon motorik Respon verbal Membuka mata


Menurut 6 Orientasi 5 Spontan 4
Terlokalisasi 5 Bingung 4 Terhadap 3
Menghindar 4 Kata tidak 3 panggilan
Fleksi 3 dimengerti Terhadap nyeri 2
abnormal 2 Hanya suara 2 Tidak dapat 1
Ekstensi Tidak ada 1
abnormal 1
Tidak ada

2) Keadaaan umum
Pasien dalam kesadaran menurun atau terganggu postur
tubuh mengalami ganguan akibat adanya kelemahan pada sisi
tubuh sebelah atau keseluruhan lemah adanya gangguan dalam
berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda vital
(hiprtensi).
a) Sistem Integumen
Kulit tergantung pada keadaan penderita apabila
kekurangan O2 kulit akan kebiruan kekurangan cairan turgor
jelek berbaring terlalu lama atau ada penekanan pada kulit
yang lama akan timbul dekubitus. Kuku jika penderita
kekurangan O2 akan tampak kebiruan
1. Pemeriksaan Kepala atau Leher
Bentuk normal simetris
Bentuk kadang tidak simetris karena adanya kelumpuhan
otot daerah muka tampak gangguan pada mata kadaan
rongga mulut kotor karena kuang perawatan diri
Bentuk normal pembesaran kelenjar thyroid tidak ada.
2. Sistem pernafasan
Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta
obstrusi jalan nafas, kelumpuhan otot pernafasan
penggunaan otot-otot bantu pernafasan, terdapat suara
nafas ronchi dan whezing.
3. Sistem kardio vaskuler
Bila penderita tidak sadar dapat terjadi hipertensi atau
hipotensi, tekanan intrakranial meningkat serta
tromboflebitis, nadi bradikardi, takikardi atau normal .
4. Sistem pencernaan
Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan
peristaltik usus, gangguan BAB baik konstipasi atau diare
5. Ekstrimitas
Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan nilai
ROM : 2, serta kelumpuhan.
6. Pemeriksaan urologis
Pada penderita dapat terjadi retensi urine, incontinensia
infeksi kandung kencing, serta didapatkannya nyeri tekan
kandung kencing.

3) Saraf kranial
a) Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman)
Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman
b) Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan)
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik
primer di antara mata dan korteks visual.
c) Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/ mengangkat
kelopak mata, troklearis, dan abdusens)
Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi otot-otot
okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d) Saraf Kranial V (trigeminus)
Paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan
kemampuan koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan
rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-
otot pterigoideus internus dan eksternus.
e) Saraf Kranial VII (fasialis)
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris,
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f) Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis)
Tidak dietmukan tuli konduktif dan tuli perseptif.
g) Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus)
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut.
h) Saraf Kranial XI (aksesoris)
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapesius.
i) Saraf Kranial XII (hipoglosus)
Tidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi.
Indra pengecap normal.

4) Sistem motorik
a) Refleks
Pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
b) Gerakan involunter
Pada umumnya kejang.

5) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat
kesadaran.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplegia, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
e. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas
lapang pandang.
f. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan
kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran,
kehilangan koordinasi otot.
g. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
tidak terjadi peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, penyebab Memperioritaskan intervensi, status
koma/ penurnan perfusi jaringan neurologis/ tanda-tanda kegagalan
dan kemungkinan penyebab untuk menentukan kegawatan atau
peningkatan TIK tindakan pembedahan.
Memonitor TTV tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebri terpelihara dengan baik.
Peningkatan TD, bradikardi,
disritmia, dispnea merupakan tanda
peningkatan TIK. Peningkatan
kebutuhan metabolisme dan O2
akan meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan
kembali bola mata merupakan tanda
dari gangguan saraf jika batang otak
terkoyak. Keseimbangansaraf antara
simpatis dan parasimpatis
merupakan respons refleks saraf
kranial.
Kaji peningkatan istirahat dan Tingkah laku non verbal merupakan
tingkah laku pada pgi hari. indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri dimana
klien tidak mampu mengungkapkan
keluha secara verbal.
Palpasi pembesaran bladder dan Dapat meningkatkan respon
monitor adanya konstipasi. otomatis yang potensial menaikkan
TIK.
Obaservasi kesadaran dengan GCS Perubahan kesadaran menunjukkan
peningkatan TIK dan berguna untuk
menentukan lokasi dan
perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid (deksametason) Menurunkan inflamasi dan edema.
Analgesik Mengurangi nyeri
Antihipertensi Mengurangi kerusakan jaringan.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala , mual, kejang tidak ada
- GCS 456
- Pupil isokor
- Refleks cahaya +
- TTV dalam rentang normal (TD: 110-120/80-90 mmHg; nadi: 60-
100 x/menit; suhu: 36,5-37,50C; RR: 16-20 x/menit)

Intervensi Rasional
Tirah baring tanpa bantal. Menurunkan resiko terjadinya
herniasi otak.
Monitor asupan dan keluaran. Mencegah terjadinya dehidrasi.
Batasi pengunjung. Rangsangan aktivitas dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
Kolaborasi:
Cairan perinfus dengan ketat. Meminimalkan fluktuasi pada
beban vaskuler dan TIK, restriksi
cairan dan cairan dapat menurunkan
Monitor AGD bila perlu O2 edema.
tambahan. Adanya asidosis disertai pelepasan
O2 pada tingkat sel dapat
menyebabkan iskemia serebri.
Steroid Menurunkan permeabilitas kapiler
Aminofel. Menurunkan edema serebri
Antibiotik Menurunkan konsumsi sel/
metabolik dan kejang.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, penurunan mobilitas fisik, dan penurunan
tingkat kesadaran
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam klien mampu
meningkatkan dan mempertahankan jalan nafas tetap bersih dan
mencegah aspirasi.
Kriteriahasil:
- Bunyi nafas bersih
- Tidak ada penumpukan sekrest di saluran nafas
- Dapat melakukan batuk efektif
- RR 16-20 x/menit
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan nafas Obstuksi dapat terjadi karena akumulasi
sekret ata sisa cairan mukus, perdarahan.
Evaluasi pergerakan dada Pergerakan dada simetris dengan suara nafas
dan auskultasi kedua dari paru-paru mengindikasikan tidak ada
lapang paru. sumbatan.
Ubah posisi setap 2 jam Mengurangi risiko atelektasis.
dengan teratur.
Kolaborasikan: Mengatur venstilasi dan melepaskan sekret
Aminofisil, alupen, dan karena relaksasi otot.
bronkosol.
DAFTAR PUSTAKA

Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,


Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2012.
Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid
Hemorrhage. Netter's Neurology2014. p. 526-37.
Muttaqin A. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada
University Pres; 2011.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid.
Continuing Medical Education. 2012;39
Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM).
Mayfield Clinic. 2013

Anda mungkin juga menyukai