Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN EPIDURAL

HEMATOMA (EDH)

A. Pengertian
Epidural hematom adalah salah satu jenis
perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak ditutupi olek
tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga
dikelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk
melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan
membentuk periosteum tabula interna. Epidural
hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural
yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang
tengkorak dan duramater Sadewo, (2011).

Sedangkan menurut Muttaqin, (2008) epidural


hematoma adalah pengumpulan darah di dalam ruang
epidural, terletak diantara tengkorak dan durameter.
Keadaan ini sering diakibatkan oleh fraktur tulang
tengkorak yang menyebabkan arteri maningeal tengah
putus atau rusak (laserasi).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
epidural hematoma adalah pengumpulan darah dalam
ruang epidural yang disebabkan oleh adanya benturan
yang keras pada kepala.

B. Etiologi

Epidural hematom terjadi karena laserasi atau


robekan pembuluh darah yang ada diantara durameter
dan tulang tengkorak akibat benturan yang
menyebabkan fraktur tengkorak seperti kecelakaan
kendaraan dan trauma.
Menurut Swasanti, (2014) penyebab cedera kepala
tersebut adalah:
1. Kecelakaan kerja.
2. Kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan bermotor.
3. Jatuh atau tertimpa benda berat (benda tumpul).

1
4. Serangan atau kejahatan (benda tajam).
5. Pukulan (kekerasan, akibat luka tembak).
6. Kecelakaan olahraga.
Dijelaskan juga oleh William dan Wikins (2013) bahwa
penyebab paling umum cedera kepala adalah jatuh
(28%), kecelakaan kendaraan bermotor(20%), tertabrak
benda(19%), perkelahian(11%). Kemudian kelompok
paling beresiko adalah usia 15 sampai 19 tahun dengan
perbandingan laki-laki dengan perempuan 2:1.

C. Manifestasi klinis
1. Penurunan kesadaran sampai koma
2. Keluarnya darah yang bercampur CSS/cairan
serebrospinal dari hidung
(rinorea) dan telinga (othorea)
3. Nyeri kepala yang berat
4. Susah bicara
5. Dilatasi pupil dan ptosis
6. Mual
7. Hemiparesis
8. Pernafasan dalam dan cepat kemudian dangkal
irregular
9. Battle sign
10. Peningkatan suhu
11. Lucid interval (mula-mula tidak sadar lalu sadar
dan kemudian tidak sadar).

D. Patofisiologi
Menurut Muttaqin, (2008) epidural hematom
secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau
trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan
laserasi pada pembuluh darah arteri, khususnya arteri
meningea media dimana arteri ini berada diantara
durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya
arteri menyebabkan perdarahan yang memenuhi
epidural. Apabila perdarahan terus mendesak
durameter, maka darah akan memotong atau
menjauhkan daerah durameter dengan tengkorak, hal
ini akan memperluas hematoma. Perluasan hematom
akan menekan hemisfer otak dibawahanya yaitu lobus
temporal ke dalam dan

2
ke bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan
memberikan efek yang cukup berat yakni isi otak akan
mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan penekanan
saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata
yang menyebabkan terjadinya penurunan hingga
hilangnya kesadaran. Pada bagian ini terdapat nervus
okulomotor yang menekan saraf sehingga
menyebabkan peningkatan TIK, akibatnya terjadi
penekanan saraf yang ada diotak.
3
E. Pathway

Luka, trauma/ fraktur kepala



Rusaknya pembuluh darah arteri meningeal

Darah keluar dari vaskuler ← Darah memenuhi epidural →
Hematoma


Syok hipovolemik Naiknya volume intrakranial ←


Edema otak

↓ ↓

Hipoksis otak Herniasi


Peningkatan TIK

↓ ↓

Iskemik Penekanan N Batang Otak Gangguan Rasa


↓ Nyaman : Nyeri

Resiko Gangguan Perfusi


Jaringan Otak

Penurunan kesadaran Ganggu Pusat


Pernafasan
↓ ↓

Hiperventilasi
Hambatan mobilitas fisik ↓

Pola Nafas Tidak


Efektif

4
F. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada cedera kepala menurut
Wijaya (2013) yaitu :

1. Epilepsi Pasca Trauma


Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan
dimana kejang beberapa waktu setelah otak
mengalami cedera karena benturan di kepala.
Kejang ini terjadi sekitar 10℅ penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka
tembus dan pada sekitar 40℅ penderita yang
memiliki luka tembus di kepala.
2. Edema Paru
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada
pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini
mungkin terutama berasal dari gangguana
neurologis atau akibat dari sindrom distres
pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari
cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks
cushing. Peningkatan pada tekanan darah sistemik
terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis
pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi
tubuh umum ini menyebabkan lebih bnyak darah
dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas
pembuluh darah paru-paru berperan dalam proses
dengan memungkinkan cairan berpindah ke dalam
alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon
dioksida dari darah dapat menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut (Hudak dan Gallo
2010).
3. Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk
menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada
area bahasa dan otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian
otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah
Lobus Temprolis sebelah kiri dan bagian lobus
frontalis di sebelahnya.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien
dengan cedera kepala menurut Muttaqin (2008), yaitu :

5
1. CT-Scan atau MRI (tanpa kontras) :
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan
otak.

2. EEG (Elektroensefalografi) : melihat keberadaan


dan perkembangan gelombang patologis.

3. Foto rontgen : mendeteksi perubahan strukur tulang


(fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.

4. PET (Pasitron Emisson Tomography) : mendeteksi


perubahan aktifitas metabolisme otak.

5. Angiografi serebral : menunjukkan


kelainansirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan,
dan trauma.

6. Kadar elektrolit : mengoreksi keseimbangan


elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial
(TIK).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epidural hematom terdiri dari:
1. Terapi Operatif.
Terapi operatif bisa menjadi penanganan darurat
yaitu dengan melakukan kraniotomi. Terapi ini
dilakukan jika hasil CT Scan menunjukan volume
perdarahan/hematom sudah lebih dari 20 CC atau
tebal lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis
tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi
yang dilakukan adalah evakuasi hematom untuk
menghentikan sumber perdarahan sedangkan
tulang kepala dikembalikan. Jika saat operasi tidak
didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang
tidak dikembalikan.
2. Terapi Medikamentosa.
Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:

a. Mengelevasikan kepala pasien 30o setelah


memastikan tidak ada cedera spinal atau
posisikan trendelenburg terbalik untuk
mengurangi TIK.
b. Berikan dexametason (pemberian awal
dengan dosis 10 mg kemudian dilanjutkan
dengan dosis 4 mg setiap 6 jam).
c. Berikan manitol 20% untuk mengatasi edema
serebri.
d. Berikan barbiturat untuk mengatasi TIK yang
meninggi.

I. Teknik Instrumentasi

1. Pasien datang ke ruang premidikasi dan dilakukan serah


terima antara perawat ruangan dan petugas premedikasi dan
tim anastesi.
2. Pasien dibawa masuk tim anastesi ke ruang operasi dan
perawat sirkuler mengecek kelengkapan data pasien dan
melakukan sign in

3. Bantu memindakan pasien ke meja operasi yang sudah di


alasi perlak, doek bersih dan pad on steril dibagian bawah
puggung
4. Tim anastesi melakukan induksi dengan GA
5. .Perawat sirkuler memposisikan pasien dengan posisi supine
dengan kepala di miringkan ke sisi kiri untuk mengekspose
lapangan operasi daerah pariental dexstra dan mencuci area
operasi dengan sabun antiseptic dan dikeringkan dengan duk
kecil steril atau kassa kering kemudian memasang plat
diatermi dibagian betis pasien.

6. Perawat instrument melakukan scrubbing, gowning dan


gloving serta membantu operator dan asisten memakai gown
dan gloving
7. Berikan kepada operator desinfeksi klem dan cucing yang
berisi povidone iodine 10% dan deppers steril untuk
desinfeksi area operasi
8. Lakukan drapping dengan cara :

a. Berikan duk kecil 2 dan u-pad steril untuk bagian bawah kepala
dan fiksasi dengan doek klem

b. Berikan doek besar untuk bagian bawah dan doek sedang 2


untuk bagian samping kiri dan kanan lalu fiksasi dengan doek
klem
9. Berikan 2 opsite untuk ditempel di area operasi dan sebagai
tempat untuk mengalirkan perdarahan
7
10. Pasang cauter monopolar, bipolar dan selang suction kemudian
fiksasi dengan kassa dan doek klem serta cek fungsinya11.
11. Dekatkan meja mayo dan meja instrument pada area operasi

12. Perawat sirkuler membacakan membacakan time out

13. Berikan injeksi phacain 2 : 4 ( 2 ampul phacain di encerkan


dengan NS 4 cc hingga menjadi 8 cc ) ke operator untuk suntik
di daerah sekitar insisi, sebelumnya lapor kebagian anastesi

14. Setelah 5 menit, berikan mess 1 ( handle mess 4 dan mess 24)
ke operator untuk
insisi kulir
15. Berikan cauter dan pinset cirugis ke operator untuk
memperdalam insisi sampai terlihat cranium dan asisten diberi
pinset cirugis dan kassa. Lalu rawat perdarahan dengan cauter
bipolar dengan cara di cess pada area yang perdarahan
16. Berikan hak tajam 2 untuk memegang kulit
17. Berikan dendi klem untuk hemostasis dan memegang
periostium dan fasia
18. Berikan raspatorium untuk membersihkan tulang dari
periostium yang masih menempel pada cranium, lalu beriakn
kassa basah untuk menutupi bagian dalam flap kemudian
dberikan doek klem untuk mengaitkan flap
19. berikan kassa dan cauter bipolar untuk rawat perdarahan
sambil di spooling dengan NS dalam spuit 10cc lalu di suction
20. setelah dipastikan tidak ada perdarahan, berikan cauter
monopolar untuk menandai tulang yang akan di bor.
21. Berikan Bor dan mata bor pada operator untuk membuat 4
lubang pada cranium, langen back narik skin flap sambil di
spooling NS dan di suction
22. Berikan Desector pada operator untuk menganmbil /
membersihkan serpihan tulang.
23. Setelah selesai dibersihkan, berikan penghantar gigli dan T-
Handle pada operator untuk gan cranium

8
9

24. Berikan knabel tang pada operator untuk meratakan tulang


yang tersisa pada area yang di potong dan tempatkan tulang
yang di potong di kom bersis NS

25. Berikan desector yang sudah di temple bone wax untuk di olesi
di cranium yang di potong 26. Berikan nald vouder dan pinset
anatomis beserta benang sikers 2-0 untuk jahit dura dan
periostium atau fasia
26. Operator mengevaluasi perdarahan di dura, kemudian
ditemukan perdarahan dibagian temporal
27. Berikan wouces untuk menghentikan perdarahan dan bone wax
yang di lapisi surgical untuk menghentikan perdarahan
28. Berikan spuit 10 cc berisi cairan NS ke oprator untuk
melakukan spooling dan asisten sambil melakukan suction,
lakukan sampai perdahan berhenti
29. Jika masih ada perdarahan, berikan lagi wouces dan bone wax
yang di lapisi surgical untuk menghentikan perdarahan
30. Jika perdarahan di daerah temporal sudah mulai berkurang,
berikan mess 3 ke operator untuk insisi dura dan setelah insisi
dura berikan gunting dura utuk memperlebar daerah insisi
untuk mengevaluasi perdarahan di subdural

31. Berikan spuit 10 cc yang berisi NS untuk dilakukan spooling

di bawah dura agar sisa-sisa perdarahan bisa keluar dan

asisten sambil melakukan suction

32. Setelah dipastikan sisa – sisa perdarahan keluar, berikan nald


vouder pinset anatomis dan benang silk 2-0 untuk jahit dura

33. Lakukan hil stich untuk mencegah sisa EDH meluas ke daerah
sekitar dengan silk 3-0 round

34. Wouces yang sudah di masukkan tadi di keluarkan dan


pastikan tidak ada yang tertinggal

35. Masukkan spongostan yang sudah di lapisi surgical untuk


memanipulasi perdarahan

36. Berikan raspotarium ke operator ke operator untuk membuka


atau memperdalam penyisihan periostium supaya bisa
memasukkan atau menyimpan kembali tulang yang di potong
10 tadi dibawah periostium.
37. sign out

38. Berikan ke operator chromic 2-0 untuk jahit fasia dan subcutis.

39. Berikan nald vouder, pinset cirugis, benang proline 3-0 untuk
jahit kulit, berikan ke asisten pinset cirugis dan benang.

40. Berikan nald vouder , gan kassa basah dan keringkan

41. Bersihkan luka dengan nacl 0,9 %

42. Berikan Sulfratul untuk menutup luka, kassa kemudian fiksasi


dengan hepafix

43. Operasi selesai, rapikan pasien dan bereskan semua instrumen


lalu kumpulkan jadi satu di dalam baskom
11
12

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah kelemahan anggota gerak badan,
gelisah, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan
tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya penurunan kesadaran, gelisah.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi,
antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya
riwayat merokok, penggunaan alkohol. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat
penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita
hipertensi, diabetes melitus, atau penyakit menurun
lainya.
6. Pengkajian Primer
a. Airway (Jalan Napas)
1) Sumbatan atau penumpukan secret.
2) Wheezing atau krekles.

13
3) Kepatenan jalan nafas.
b. Breathing (Pernapasan)
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler
dangkal.
3) Ronchi, krekles.
4) Ekspansi dada tidak penuh.
5) Penggunaan otot bantu nafas.
c. Circulation
1) Nadi lemah, tidak teratur.
2) Capillary refill.
3) Takikardi.
4) TD meningkat / menurun.
5) Edema.
6) Gelisah.
7) Akral dingin.
8) Kulit pucat, sianosis.
9) Output urine menurun.
d. Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif
dengan Glascow Coma Scale (GCS) dan secara
kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan
kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
kehidupan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja.
Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi
jatuh tidur lagi. Delirium : keadaan kacau motorik
yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan
tidak sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu.
Sopor/semi koma : keadaan kesadaran yang
menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan
dengan rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran
yang hilang sama sekali dan tidak dapat
dibangunkan dengan rangsang apapun.
e. Exposure

14
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn
keadaan ketidaknyamanan (nyeri) dengan pengkajian
PQRST.

7. Pemeriksaan Sekunder
a. B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk apa tidak,
peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret ataupun adanya
sumbatan. Pada klien dengan tingkat kesadaran
compos mends, pengkajian inspeksi pernapasannya
tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak
didapatkan bunyi napas tambahan.
b. B2 (Blood/ Kardiovaskuler)
Pengkajian tekanan darah biasanya terjadi
peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif
(tekanan darah >200 mmHg). Kaji adanya nyeri
dada dengan pengkajian P, Q, R, S, T. Raba akral
klien apakah teraba dingin atau hangat, lakukan
pemeriksaan EKG, auskultasi suara jantung apakah
ada kelainan.
c. B3 (Brain/ Sistem Persyarafan)
Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan yang terfokus dan harus lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
d. B4 (Bladder/ Sistem Pencernaan)
Setelah cedera otak klien mungkin mengalami
inkontinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan,
dan ketidakmampuan untuk mengendalikan
kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Kadang kontrol sfingter urine
eksternal hilang atau berkurang. Selama periode
ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.

15
e. B5 (Bowel/ Sistem Pencernaan)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual muntah pada fase
akut, adanya perdarahan. Mual sampai muntah
disebabkan oleh peningkatan produksi asam
lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
f. B6 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan
tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka
turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji
tanda-tanda dekubitus. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, gangguan
mobilitas, serta masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
8. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang
paling mendasar dan parameter yang paling penting
yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan
klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.
Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Jika
klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS
sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien
dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian
asuhan.
9. Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi
intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan
hemisfer. a. Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
b. Fungsi Intelektual

16
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori,
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage
yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan
perbedaan yang tidak begitu nyata.
c. Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah
lesi yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi
pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian
posterior dari girus temporalis superior (area
Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien
tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa
tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari
girus frontalis inferior (Area Broca) didapatkan
disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi
tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya
tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti
yang disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
10. Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi
pemeriksaan saraf kranial IXII :

a. Saraf I: Kaji adanya kelainan pada fungsi


penciuman.
b. Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan
jarak sensori primer di antara mata dan korteks
visual.
c. Saraf III, IV, dan VI: Adakah kelainan pada pupil,
lapang pandang klien.
d. Saraf V: Pada beberapa keadaan EDH menyebabkan
paralisis saraf trigenimus, penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan
rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan
satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus.

17
e. Saraf VII: Persepsi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian
sisi yang sehat.
f. Saraf VIII: Tidak ditemukan adanya tuli konduktif
dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X: Kemampuan menelan kurang baik
dan kesulitan membuka mulut.
h. Saraf XI: Tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
i. Saraf XII: Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu
sisi dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
11. Pengkajian Sistem Motorik
a. Inspeksi Umum
b. Fasikulasi
Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c. Tonus Otot

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman (2011), diagnosa yang mungkin muncul pada
klien dengan epidural hematom sebagai berikut:
1. Pola nafas tidak efektif bd hiperventilasi.
2. Nyeri akut bd peningkatan TIK.
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral bd
iskemik.
4. Hambatan mobilitas fisik bd penurunan kesadaran.

18
Daftar Pustaka

Sadewo, Wismaji. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf : FKUI


RSCM, Jakarta
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal
Bedah 2, Yogyakarta : Nuha
Medika
Heardman, 2011. Diagnosa Keperawatan. Jakarta. EGC

19

Anda mungkin juga menyukai