Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KRITIS PADA TN.

A
DENGAN DIAGNOSA MEDIS CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)
DI RUANG INTENSIF CARE UNIT (ICU) RS EMANUEL
KLAMPOK BANJARNEGARA

Disusun Oleh :
Okta Trianti
P1337420217089
3C

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SEMARANG
PRODI DIII KEPERAWATAN PURWOKERTO
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KRITIS DENGAN
DIAGNOSA MEDIS CEDERA KEPALA RINGAN (CKR) DI RUANG ICU
RS EMANUEL KLAMPOK BANJARNEGARA

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pendahuluan
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hamper
1.500.000 kasus cedera kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 diantaranya
mengalami kecacatan dan 50.000 orang meninggal dunia. Saat ini di
Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan kecacatan akibat
cedera kepala (Moore&Argur, 2012). Di Indonesia, cedera kepala
berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menunjukan insiden cedera kepala
dengan CFR sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia (Depkes RI,
2013). Di Jawa Tengah terdapat kasus cedera kepala yang sebagian besar
disebabkan oleh kecelakaan lalulintas dengan jumlah kasus 23.628 dan
604 kasus diantaranya meninggal dunia.
2. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat
kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif , psikososial,
bersifat temporer atau permanen (Riskesdas,2013).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala , bukan bersifat congenital ataupun
degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Snell,2010).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Hudak&Gallo,2010).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma
tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do
sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008, hal
270-271).
3. Etiologi
a) Trauma tajam adalah trauma yang
disebabkan oleh benda tajam yang dapat mengakibatkan cedera
setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local meliputi
Contosio serebral,hematom serebral,kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi , pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma tumpul trauma oleh benda tumpul
dan menyebabkan cedera menyeluruh menyebabkan kerusakan
secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, multiple pada otak
koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,cerebral,batang
otak atau keduanya (Wijaya,2013).
4. Klasifikasi
Cedera Kepala menurut dewantoro, dkk (2007) di
klasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasglow
Coma Scale) adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1. Kategori penentuan keparahan cedera kepala
berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS)
Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/ringan GCS 13-15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral, dan
hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah
yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
Berat GCS 3-8
Kehilangan kesdaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi,
atau hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS
sebagai berikut :
 Eye : nilai 1 atau 2
 Motorik : nilai 5 taau <5
 Verbal : nilai 2 atau 1

Tabel 4.2. Kategori nilai Glasgow Coma Scale (GCS)


1. Membuka mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
TOTAL 3-15

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat


ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai
klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat kepala.
Sedangkan menurut Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis
cedera kepala dapat dibedakan menjadi :
a) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang
tengkorak dan jaringan otak. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala
pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini
ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan
otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel
otak akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman/pathogen memiliki akses masuk langsung ke
otak.
b) Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak
ringan dan oedem serebral yang luas.
5. Manifestasi klinis
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara
lain :
a) Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani
perobital ecimos (brill haematoma), memar di daerah mastoid (battle
sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra
penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan vertigo.
b) Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang
dari 5 menit, amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan
muntah. Contusion dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion,
brainsteam contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai berikut :
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan
atau cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai
batang otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan
keabnormalam pupil.
6. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam
proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap
karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative
baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.
Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus
frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30
tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex
adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik
berat.
a) Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi.
Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas
akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang
diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan
tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses
primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung
pada daerah yang terkena.
b) Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma
menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab
sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia
dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi
menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan
terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak
sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan
hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal
bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan
gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian
belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi
lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui
setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan
dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada
lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera
kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus.
Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi
di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi
sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari
pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya
hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan
dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga
disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat
mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat
fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang
terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus,
regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber,
lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan
kaku dalam fleksi pada siku  terjadi bila hubungan batang otak
dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion
basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus
panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak
teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan
menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang
terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan
alkalosisi respiratorik.

7. Pathway

Trauma Kepala
Cedera primer (langsung) Cedera sekunder (tak langsung)

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya Terputusnya Kerusakan saraf


kontinuitus jaringan kontinuitus jaringan otak (contusio,
kulit, otot dan

Perdarahan Produl ATP


Perubahan
Gangguan hematoma menurun
sirkulasi CSS
autoregulasi

Kekurangan
Edema Nyeri akut energi
cerebral

Proses dalam fatig


metabolisme
otak terganggu
Peningkatan TIK
Defisit
Resiko perawatan diri
Penurunan suplai ketidakefektifan
Mual dan muntah
darah dan oksigen perfusi jaringan
serebral

Anoreksia
Perubahan pola
nafas Sesak

Ketidakseimbangan
Ketidakefektifan nutrisi kurang dari
pola nafas kebutuhan tubuh
8. Pemeriksaan Penunjang
a) CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
d) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
f) MRI (Magnetic Resonance Imaging) : untuk mengevaluasi cedera
vascular serebral dengan cara noninvasive.
g) EEG (elektro ensefalogram) : mengukur aktivitas gelombang otak
disemua regio korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta
mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal.
h) BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP
(Somatosensory Evoked Potensial) : pemeriksaan prognostic yang
bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah satu
pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakan diagnosis disfungsi
batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional
yang bermakna.
9. Komplikasi
a) Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera
kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari
gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distress pernapasan
dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing.
b) Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan
fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau
hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang
temporal
c) Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial
disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita
anosmia.
2) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah
mengalami cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola
mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak
ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa
gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.

5) Gangguan pendengaran
6) Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera
yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d) Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan
untuk memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit
system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang
lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
e) Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
f) Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala,
vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan
daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
g) Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal
antara arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya
disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar pemeriksa dengan
menggunakan stetoskop,  disertai hyperemia  dan pembengkakan
konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
h) Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul
dalam minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
9. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya
memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah
cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang
sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced
Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan
berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei
primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-
hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C
(circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control)
yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera
kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak skunder dan menjaga homeostasis otak. Bila hembusan napas
tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke
mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang
dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan
perfusi ke otak yang adekuat. Bila ada perdarahan eksterna, segera
hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah survei primer, hal
selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah
head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan
apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan
keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala
meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks
cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks
okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler)
dan refleks kornea.

b. Penatalaksanaan Khusus:
1) Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya
dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan
CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan
gaya berjalan) dalam batas normal
 Foto servikal jelas normal
 Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien
selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali
ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
 Kriteria perawatan di rumah sakit:
 Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT
Scan
 Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
 Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
 Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati
pasien di rumah
c. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio
otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak
pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia.
Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien
dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
d. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi
intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika
ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan
operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di
unit rawat intensif.
 Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
 Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift
atau jaw trust.
 Monitor tekanan darah
 Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan
skor GCS < 8, bila memungkinkan.
 Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau
larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera
kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa
5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema
serebri.
 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik
dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
 Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus
diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
 Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian
300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin
harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti
mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain.
Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada
herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam
selama 48-72 jam).
 Profilaksis trombosis vena dalam
 Profilaksis ulkus peptic
 Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan
otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi
dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih
virulen.
 CT Scan lanjutan
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan pengkajian psikososial. (Muttaqin, 2008)
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Biasanya klien merasakan pusing, vertigo, penurunan kesadaran,
penurunan tekanan intrakranial.
c. Riwayat penyakit
sekarang
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai
tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan lain perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan konia.
d. Riwayat penyakit
dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat
kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
e. Riwayat penyakit
keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososio
spiritual
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma
kepala dapat dilakukan primary dan secondary survei. Yaitu sebagai
berikut :
1) Primary Survey
(a) Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada,
adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan
menggunakan pipi perawat
(b) Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya
dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga
apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling,
rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.
(c) Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan
detak jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada
tidaknya sianosis dan  capilarrefil.Kaji juga kondisi akral
dan nadi pasien.
(d) Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi
dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran
dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri
atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat
dengan metode AVPU. Namun sebelum melakukan
pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan
berbicara keras di telinga korban, pada tahap ini jangan
sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika
tidak merespon lanjut ke P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang
paling mudah adalah menekan bagian putih dari kuku
tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan
menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga
areal diatas mata (supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi
pasien masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam
keadaan unresponsive.
(e) Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien,
adanya deformitas, laserasi, contusio, bullae, atau abrasi.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
b) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
penurunan suplai darah dan oksigen ke jaringan oksigen.
c) Risiko Jatuh b.d gangguan mobilitas
3. Perencanaan Tindakan
Dx NOC NIC
I Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (1400)
selama 3 x 6 jam diharapkan nyeri berkurang 1. Lakukan pengkajian
dengan kriteria hasil : nyeri komprehensif yang
Tingkat Nyeri (2102) meliputi lokasi,
Indikator Skala karakteristik, onset/durasi,
Awal Tujuan frekuensi, kualitas,
Nyeri yang 3 4
dilaporkan intensitas atau beratnya
Panjangnya 3 4 nyeri dan faktor pencetus
episode nyeri
Keterangan : 2. Berikan individu
1. Berat penurun nyeri yang
2. Cukup berat optimal dengan peresepan
3. Sedang analgesik.
4. Ringan 3. Dukung istirahat/tidur
5. Tidak ada yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri
II Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitor Tekanan
selama 3 x 6 jam diharapkan jaringan otak Intrakranial (TIK) (2590) :
berfungsi, seseuai dengan kriteria hasil : 1. Jelaskan pada pasien
Perfusi Jaringan : Serebral (0406) tindakan yang akan
Indikator Skala dilakukan.
Awal Tujuan 2. Bantu pasien untuk
Sakit kepala 3 4
Keterangan : berkemih
1. Berat 3. Kolaborasi dengan
2. Besar dokter dalam pemberian
3. Sedang obat
4. Ringan 4. Monitor TTV
5. Tidak ada

Kontrol Infeksi (6540)


1. Pastikan penanganan
Keparahan Cedera Fisik (1913) perawatan luka yang
Indikator Skala tepat
Awal Tujuan 2. Gunakan kateterisasi
Luka gores 3 4
Gangguan 3 4 intermiten untuk
mobilitas mengurangi kejadian
Perdarahan 2 4
Keterangan : infeksi kandung kemih
1. Berat
2. Cukup berat Pencegahan Perdarahan
3. Sedang (4010)
4. Ringan 1. Lindungi pasien dari
5. Tidak ada trauma yang dapat
menyebabkan
perdarahan
2. Berikan obat-obatan, jika
diperlukan
3. Intruksikan pasien dan
keluarga untuk
memonitor tanda-tanda
perdarahan dan
mengambil tindakan
yang tepat jika terjadi
perdarahan (misalnya
lapor pada perawat)
4. Monitor tanda dan gejala
pendarahan menetap.
4. Evaluasi
a. Diharapkan nyeri
pasien berkurang dengan kriteria hasil nyeri berkurang, napsu makan
bertambah serta tekanan darah stabil.
b. Diharapkan jaringan
otak pasien berfungsi dengan baik dengan kriteria hasil tidak ada
pendarahan, luka gores terobati, sakit kepala hilang, gangguan
mobilitas berkurang.
c. Diharapkan pasien
terhindar dari risiko jatuh dengan kriteria hasil pasien tidak
menunjukan perilaku pencegahan jatuh.

C. Daftar Pustaka
Adams, et al., (2007). American of Academy of Neurology affirms the value
of this guidelineasan Quality of Care Outcames in Research
Interdiciplinary Working. Groups. Stroke,;38:16655-1771. Journal Of
Nursing 1(1).
Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda.
(2009). Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: ECG.
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan
intrakranial & gangguan peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Emergency Nurses Association. (2007). Sheehy`s manual of emergency care
6th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby. 
Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume
II. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kementerian Kesehatan RI, (2013), Pusat Data dan Informasi Kesehatan,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafa. Jakarta : Salemba Medika.
Musliha.(2010). Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika.
RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Satyanegara.2010.  Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4.
Jakarta : Media Aescupius.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah
2.Yogyakarta : Salemba Medika.
Wilkinson, M. Judith. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA
NIC NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC Medikal Publisher.

Anda mungkin juga menyukai