Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK


KASUS MINGGU PERTAMA

Disusun Oleh :
Nia Kurniawati
2720190100

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
JAKARTA
2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
STROKE NON HEMORAGIK
A. Definisi
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit
neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragik sirkulasi saraf
otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan
infark serebrum (Nurarif & Hardhi, 2015).
Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak (GDPO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisit
neurologis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma, ataupun infeksi susunan
saraf pusat (Dewanto, 2009).
Stroke non hemoragik merupakan keadaan sementara atau temporer dari
disfungsi neurologik yang dimanifestasikan oleh kehilangan fungsi motorik,
sesorik atau visual secara tiba-tiba. Stroke iskemik atau stroke non hemoragik
terjadi akibat obstruksi atau bekuan (thrombus) yang terbentuk di dalam suatu
pembuluh otak atau pembuluh organ distal (Price & Wilson, 2006).
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli
dan trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun
tidur atau di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia
yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder
(Arif Muttaqin, 2008).

B. Anatomi Vaskularisasi Otak


Anatomi vaskularisasi otak dapat dibagi menjadi 2 bagian: anterior
(carotid system) dan posterior (Vertebrobasiler). Darah arteri yang ke otak
berasal dari arkus aorta. Di sisi kiri, arteri karotis komunis dan arteri
subklavia berasal langsung dari arkus aorta. Di kanan, arteri trunkus
brakiosefalika (inominata) berasal dari arkus aorta dan bercabang menjadi
arteri subklavia dextra dan arteri karotis komunis dextra. Di kedua sisi,
sirkulasi darah arteri ke otak di sebelah anterior dipasok oleh dua arteri
karotis interna dan di posterior oleh dua arteri vertebralis (Price, 2005).
Gambar 1. Anatomi vaskulrisasi otak
Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri serebri anterior dan
arteri serebri media setelah masuk ke kranium melalui kanalis karotikus,
berjalan dalam sinus kavernosus, kedua arteri tersebut memperdarahi lobus
frontalis, parietal, dan sebagian temporal (Price, 2005).
Arteri vertebralis berukuran lebih kecil dan berjalan melalui foramen
transversus vertebra servikalis kemudian masuk ke dalam kranium melalui
foramen magnum, arteri tersebut menyatu untuk membentuk arteri basilaris
(sistem vertebrobasiler) taut pons dan medulla di batang otak. Arteri basilaris
bercabang menjadi arteri serebellum superior kemudian arteri basilaris
berjalan ke otak tengah dan bercabang menjadi sepasang arteri serebri
posterior (Price, 2005).
Sirkulasi anterior bertemu dengan sirkulasi posterior membentuk
suatu arteri yang disebut sirkulus willisi. Sirkulus ini dibentuk oleh arteri
serebri anterior, arteri komunikantes anterior, arteri karotis interna, arteri
komunikantes posterior, dan arteri serebri posterior. Untuk menjamin
pemberian darah ke otak, setidaknya ada 3 sistem kolateral antara sistem
karotis dan sistem vertebrobasiler, yaitu (Price, 2005):
a. Sirkulus Willisi yang merupakan anyaman arteri dasar otak
b. Anastomosis arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna di daerah
orbital melalui arteri oftalmika
c. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis interna.
C. Klasifikasi Stroke
Stroke diklasifikasikan sebagai berikut (Israr, 2008):
1. Berdasarkan kelainan patologis
a. Stroke hemoragik, yaitu pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis
di sekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut
menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur
otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan
sekitarnya. Peningkatan tekanan intracranial pada gilirannya akan
menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak (Price,
2005).
1) Perdarahan intra serebral
2) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)

b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)


1) Stroke akibat trombosis serebri
2) Emboli serebri
3) Hipoperfusi sistemik

Gambar 2. Stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik


2. Berdasarkan waktu terjadinya
1) Transient Ischemic Attack (TIA)
2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke
4) Completed stroke
3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler
a. Sistem karotis
1) Motorik : hemiparese kontralateral, disartria
2) Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia
3) Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis
fugaks
4) Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
b. Sistem vertebrobasiler
1) Motorik: hemiparese alternans, disartria
2) Sensorik: hemihipestesi alternans, parestesia
3) Gangguan lain: gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

D. Etiologi
Stroke non-hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari tiga mekanisme
patogenik yaitu trombosis serebri atau emboli serebri dan hipoperfusion
sistemik (Sabiston, 1994; Nurarif, 2013).
1. Trombosis serebri merupakan proses terbentuknya thrombus yang
membuat penggumpalan. Trombosis serebri menunjukkan oklusi
trombotik arteri karotis atau cabangnya, biasanya karena arterosklerosis
yang mendasari. Proses ini sering timbul selama tidur dan bisa
menyebabkan stroke mendadak dan lengkap. Defisit neurologi bisa timbul
progresif dalam beberapa jam atau intermiten dalam beberapa jam atau
hari.
2. Emboli serebri merupakan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau
cabangnya oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber
proksimal, seperti bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari
bifurkasio karotis biasanya akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi
di atasnya di sertai trombus yang tumpang tindih atau pelepasan materi
ateromatosa dari plak sendiri. Embolisme serebri sering di mulai
mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri kepala berdenyut.
3. Hipoperfusion sistemik adalah berkurangnya aliran darah ke seluruh
bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.
E. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada
stroke non hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di
modifikasi dan yang dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto
(2006) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokertomengenai gambaran
faktor-faktor risiko penderita stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah
hipertensi 57,24%, diikuti dengan diabetes melitus 19,31% dan
hiperkolesterol 8,97% (Rismanto, 2006; Madiyono, 2003).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Rismanto; Madiyono,
2003):
1. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan
meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan
hampir 13% berumur di bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan
(2002), dari penelitianya terhadap 45 kasus stroke didapatkan yang
mengalami stroke non hemoragik lebih banyak pada tentan umur 45-65
tahun (Madiyono, 2003; Ritarwan, 2003).
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria
lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan
perbedaan angka kematianya masih belum jelas.Penelitian yang di lakukan
oleh Indah Manutsih Utami (2002) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai
gambaran faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita stroke
menunjukan bahwa jumlah kasus terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4%
dari penelitianya terhadap 197 pasien stroke non hemoragik tahun
(Madiyono , 2003; Utami, 2002).
3. Herediter
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh
darah, dan riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih
anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun,
meningkatkan risiko terkena stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di
Taiwan pada tahun 1997-2001 riwayat stroke pada keluarga meningkatkan
risiko terkena stroke sebesar 29,3% (Madiyono, 2003; Sinaga, 2008).
4. Ras atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih.
Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari
pada suku Jawa (khususnya Yogyakarta).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Madiyono, 2003):


1. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu
lima tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35%
sampai 42%
2. Hipertensi
Hipertensimeningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai
enam kali ini sering di sebut the silent killer danmerupakan risiko utama
terjadinya stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Berdasarkan
Klasifikasi menurut JNC 7 yang dimaksud dengan tekanan darah tinggai
apabila tekanan darah lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin tinggi
tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena mempermudah
terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah, sehingga
mempermudah terjadinya penyumbatan atau perdarahan otak (Madiyono,
2003; Sudoyo, 2006).
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung,
paska oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering
menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan
terjadinya pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga
menyumbat pembuluh darah otak.
4. (DM) Diabetes melitus
Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan
endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif.Menurut
penelitian Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan dengan
desain case control, penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena
stroke 3,39 kali dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes
mellitus (Madiyono, 2003; Sinaga, 2008).
5. TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan
singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan
kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tapi biasanya 24 jam.Satu
dari seratus orang dewasa di perkirakan akan mengalami paling sedikit
satu kali TIA seumur hidup mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10
dari para pasien ini akan mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah
serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun
setelah serangan pertama (Price, 2005).
6. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak
bebas. Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai
makna klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut
dalam plasma sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme
transpor dalam serum, ikatan ini menghasilkan empat kelas utama
lipuprotein yaitu kilomikron, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL),
lipoprotein densitas rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL).
Dari keempat lipo protein LDL yang paling tinggi kadar kolesterolnya,
VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya, kadar protein tertinggi terdapat
pada HDL. Hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan atau
trigliserida serum di atas batas normal, kondisi ini secara langsung atau
tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak dinding pembuluh
darah dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar kolesterol
total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL <40mg/dl, dan trigliserida
>150mg/dl akan membentuk plak di dalam pembuluh darah baik di
jantung maupun di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010), dari penelitianya
43 pasien, di dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%, hipertrigliserida 4,7%,
HDL yang rendah 53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8% (Price, 2005).
7. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes
melitus. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Obesitas
merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke. Mengukur
adanya obesitas dengan cara mencari body mass index (BMI) yaitu berat
badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan.
Normal BMI antara 18,50-24,99 kg/m2, overweight BMI antara 25-29,99
kg/m2 selebihnya adalah obesitas.
8. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan
perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan
karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding
pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah
sehingga mempermudah terjadinya proses gumpalan darah.Berdasarkan
penelitian Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan kebiasaan
merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar empat kali (Sinaga,
2008).

F. Patofisiologi dan Web of Caution


Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang
yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah.
Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi
koneksi di antara berbagai neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak
membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi
mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam
darah arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak
50-60 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Jumlah darah yang
diperlukan untuk seluruh otak  adalah 700-840 ml/menit, dari jumlah darah
itu disalurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis
(dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut
sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler,
yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri
serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu
dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus Willisi
(Sinaga, 2008; Mardjono, 2010).
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara
umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit,
akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di
suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi
oleh arteri tersebut dikarenakan masih  terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai ke daerah tersebut.Proses patologik yang sering mendasari dari
berbagi proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahai
otak diantaranya berupa (Price, 2005):
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada
aterosklerosis dan thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok
atau hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal
dari jantung atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat
menjadikan terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak
mana yang tidak mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi
kelainan di system motorik, sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya
tergantung saraf bagian mana yang terkena.
G. PATHWAY STROKE NON HEMORAGIK
H. Manifestasi Klinis
Gejala stroke non-hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan
lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya tidak
mengalami penurunan, menurut penelitian Rusdi Lamsudi pada tahun 1989-
1991 stroke non hemoragik tidak terdapat hubungan dengan terjadinya
penurunan kesadaran, kesadaran seseorang dapat di nilai dengan
menggunakan skala koma Glasgow yaitu (Mansjoer, 2000; Sinaga, 2008):
Tabel 1. Skala koma Glasgow (Mansjoer, 2000).
Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik
(M)
1.   Tidak ada respons 1. Tidak ada suara 1.  Tidak ada gerakan
2. Respons dengan 2. Mengerang 2.  Ekstensi abnormal
rangsangan nyeri
3. Buka mata dengan 3.  Bicara kacau 3. Fleksi abnormal
perintah
4. Buka mata spontan 4.  Disorientasi tempat dan 4. Menghindari nyeri
waktu
5.  Orientasi baik dan sesuai 5. Melokalisir nyeri
6. Mengikuti perintah
Penilaian skor GCS :
a. Koma (skor < 8)
b. Stupor (skor 8 -10)
c. Somnolent (skor 11-12)
d. Apatis ( skor 12-13)
e. Compes mentis (GCS = 14-15)
Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik
(hemiparese), sensorik (anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan,
gerakan yang canggung serta simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf
otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi,
memori, emosi)  yang merupakan sifat khas manusia, dan gangguan
koordinasi (sidrom serebelar) (Sinaga, 2008; Mardjono, 2010):
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat
seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan
seterusnya. Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam
mewujudkan suatu corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan
lokomotorik dimana dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik
secara volunter atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis
tidak biasa gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan
supinasi.Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan
kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan
dalam hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap
yang mantap sehingga bergoyang-goyang.
Tabel 2. Gangguan nervus kranial (Swartz, 2002).
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan
lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi pupil; Diplopia (penglihatan
akomodasi kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan
pada platum dan telinga luar; mengecap pada dua pertiga
sekresi kelenjar lakrimalis, anterior lidah; mulut kering;
submandibula dan sublingual; hilangnya lakrimasi; paralisis
ekspresi wajah otot wajah
VIII: Pendengaran; keseimbangan Tuli; tinitus(berdenging terus
Vestibulokoklearis menerus); vertigo;nitagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya pengecapan
pada faring dan telinga; pada sepertiga posterior
mengangkat palatum; sekresi lidah; anestesi pada farings;
kelenjar parotis mulut kering sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan menelan)
pada farings, laring dan suara parau; paralisis palatum
telinga; menelan; fonasi;
parasimpatis untuk jantung
dan visera abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; leher Suara parau; kelemahan otot
dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana
pendeita stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak
kiri  akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan
begitu pula sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks,
pendeita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks akan
mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus
bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
Penelitian yang dilakukan Sri Andriani Sinaga (2008) terhadap 281
pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan  di dapatkan hemiparese sinistra
yaitu 46,3%, diikuti oleh hemiparese dekstra 31,7%, tidak tercatat sebanyak
14,2% dan hemiparesese dupleks 7,8%.Gambaran klinis utama yang
berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin berkaitan dengan
pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut sindrom
neurovaskular (Price, 2008):
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena,
akibat insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena
insufisiensi arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media
atau arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas
dan mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka
terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering)
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua
fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya
bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis

I. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai
stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami,pemeriksaan
neurologik terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini (Swartz, 2002):
1. Status mental
a. Tingkat kesadaran
b. Bicara
c. Orientasi
d. Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir
e. Pertimbangan
f. Abstraksi
g. Kosakata
h. Respons emosional
i. Daya ingat
j. Berhitung
k. Pengenalan benda
l. Praksis (integrasi aktivitas motorik).
2. Nervus kranial
a. Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu lubang
hidung pasien ditutup, sementara bahan penciuman diletakan pada
lubang hidung kemudian di suruh membedakan bau.
b. Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan
pemeriksaan oftalmoskopi.
c. Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan
akomodasi.
d. Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas,
bawah, kiri, kanan, lateral, diagonal.
e. Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek kornea
dengan menempelkan benang tipis ke kornea yang normalnya pasien
akan menutup mata, Pemeriksaan cabang sensoris pasa bagian pipi,
pemeriksaan cabang motorik pada pipi.
f. Nervus abdusen dengan cara pasien di suruh menggerakan sisi mata ke
samping kiri dan kanan.
g. Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada dua
pertiga anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah.
h. Nervus vestibulokoklearis yang di periksa adalah pendengaran,
keseimbangan, dan pengetahuan tentang posisi tubuh.
i. Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga
posterior lidah anestesi pada farings mulut kering sebagian.
j. Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.
k. Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus
sternokleudomastoideus, pasien di suruh memutar kepala sesuai tahanan
yang di berikan si pemeriksa.
l. Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di julurkan
ke luar jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke sisi lesi.
3. Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan
tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim
digunakan yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi,
2: gerakan yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi, 4:
gerakan melawan gravitasi dengan sedikit tahanan, 5: gerakan melawan
gravitasi dengan tahanan penuh (normal).
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu
bandingkan dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi
peningkatan tonus tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah
menyebabkan penurunan tonus otot.
4. Reflek
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo
profunda, dan reflek superfisial.  Reflek renggang diantaranya yaitu reflek
biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan
sekala 0-4+  yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+:
meningkat, 4+: hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit
traktus ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidisme dan kelainan
metabolik, sedangkan jika reflek berkurangnya reflek merupakan ciri
kelainan sel kornu anterior dan miopati. Reflek superfisial yang abnormal
yaitu reflek babinski, reflek chaddock, reflek openheim. Reflek babinski
untuk menguji radiks saraf pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan
menggores bagian telapak kaki bagian lateral dari tumit  ke arah pangkal
jari-jari kaki melengkung ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari
kakai dengan penyebaran jari-jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi
dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di gores. Reflek openheim dengan
penekanan tulang kering yang akan menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki.
5. Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan d. Propriosepsis (sensasi posisi)
b. Sensasi nyeri e. Lokalisasi takti
c. Sensasi getar
6. Fungsi serebelar
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan
melewati sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu
ekstremitas bawah menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya
dengan dimulai dari lutut, dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya
bergoyang-goyang dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa,
dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling
bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan
harus memindahkan kakinya untuk keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. parkinson
cenderung berjalan dengan langkah pendek, diseret, kepala
membungkuk dengan punggung membungkuk dan tergesa-gesa.
Ataksia serebelum berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua
kakinya sangat jauh terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan gaya
berjalan seperti menampar yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan
dengan langkah-langkah yang tinggi.

I. Pemeriksaan Laboratoriumdan Teknik Pencitraan


Pemeriksaan laboratorium standar biasanya digunakan untuk
menentukan etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah,
dan serologi. Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menentukan etiologi
yaitu pemeriksaan kadar gula darah, dan pemeriksaan lipid untuk melihat
faktor risiko dislipidemia :
1. Gula darah
Tabel 3. Kadar glukosa darah (Mansjoer, 2000).
Kriteria diagnostik DM
Bukan DM Belum pasti DM DM (mg/dl)
(mg/dl) (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma Vena <110 110 – 199  >200
Darah kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena <110 110 – 125 >126
Darah <90 90 – 109 >110
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak
sekuat hipertensi. Gatler menyatakan bahwa penderita stroke aterotrombotik
di jumpai 30% dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus mampu
menebalkan pembuluh darah otak yang besar, menebalnya pembuluh darah
otak akan mempersempit diameter pembuluh darah otak dan akan
mengganggu kelancaran aliran darah otak di samping itu, diabetes melitus
dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah)
yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke (Sinaga,
2008).
2. Profil lipid
Tabel 4. Kadar Lipid Serum Normal (Kristofer, 2010).
Kolesterol Total (mg/dl)
Optimal < 200
Diinginkan 200 –239
Tinggi ≥240
LDL
Optimal < 100
Mendekati optimal 100 –129
Diinginkan 130 –159
Tinggi 160 –189
Sangat tinggi ≥190
HDL
Rendah < 40
Tinggi ≥ 60
Trigliserida
Optimal < 150
Diinginkan 150 –199
Tinggi 200 –449
Sangat tinggi ≥500
LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol.
LDL merupakan komponen utama kolesterol serum yang menyebabkan
peningkatan risiko aterosklerosis, HDL berperan memobilisasi kolesterol dari
ateroma yang sudah ada dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke
empedu , oleh karena itu kadar HDL yang tinggi mempunyai efek protektif
dan dengan cara inilah kolesterol dapat di turunkan, namun penurunan kadar
HDL merupakan faktor yang meningkatkan terjadinya aterosklerosis dan
stroke.
Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan menggunakan
teknik pencitraan diantaranya yaitu (Rubenstein, 2005; Price, 2005):
1. CT scan
Untuk mendeteksi perdarahan intra kranium, tapi kurang peka untuk
mendeteksi stroke non hemoragik ringan, terutama pada tahap paling awal.
CT scan dapat memberi hasil tidak memperlihatkan adanya kerusakan
hingga separuh dari semua kasus stroke non hemoragik.
2. MRI (magnetic resonance imaging)
Lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi stroke non
hemoragik rigan, bahkan pada stadium dini, meskipun tidak pada setiap
kasus. Alat ini kurang peka dibandingkan dengan CT scan dalam
mendeteksi perdarahan intrakranium ringan.
3. Ultrasonografi dan MRA (magnetic resonance angiography)
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan
gelombang suara untuk menciptakan citra), MRA digunakan untuk
mencari kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di arteri utama,
MRA khususnya bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma
intrakranium dan malformasi pembuluh darah otak.
4. Angiografi otak
Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X ke
dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat
memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di leher dan kepala.

J. Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non 
hemoragik yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi
dari stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat
memegang peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan
(Mansjoer, 2000).
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-
plasminogen activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset
<3 jam dan hasil CT scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan
hanya dapat di lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam
yang diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi
dengan manitol dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat
mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan
tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga
faktor utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan
hipertensi akut, ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam
pertama, bila ada hipertensi beri obat antihipertensi.
4) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala
stroke terapi dengan heparin.
2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg)
10% di berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti
1 jam jika onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak
memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau
iskemia miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat
diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg
intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat
memperluas infrak dan perburukan neurologis. Pedoman
penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah satu hal berikut :
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi
neurologis seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik,
hipertensi maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik
>120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana
tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan
darahnya sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit
di turunkan maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml
dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10
mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di inginkan.
Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di
jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka harus di naikkan
dengan dopamin atau debutamin drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan
tanda klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran
menurun, gangguan pernafasan atau stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke
vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada
CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800
unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20
ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada
kondisi :
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas.
Pasien stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium,
penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan
antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.
Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas
yang adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman
dan jaga pasien agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus di
nilai (perhatikan saat pasien mencoba untuk minum, dan jika terdapat
kesulitan cairan harus di berikan melalui selang lambung atau intravena.
Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan penyakit
serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga kelompok
yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan trombolitika
(Rubenstein, 2005):
1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di
gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk
membeku. Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin
(Rambe, 2002).
2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi
trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus
yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk
golongan ini adalah aspirin, dipiridamol, tiklopidin, idobufen,
epoprostenol, clopidogrel (Rambe, 2002).
3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus
diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan
perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase,
alteplase, urokinase, dan reteplase (Rambe, 2002).
4. Pengobatan juga ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi
yang  muncul sesuai kebutuhan. Sebagian besar pasien stroke perlu
melakukan pengontrolan perkembangn kesehatan di rumah sakit kembali,
di samping melakukan pemulihan dan rehabilitasi sendiri di rumah dengan
bantuan anggota keluarga dan ahli terapi. Penelitian yang dilakukan Sri
Andriani (2008) terhadap 281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan 
di dapatkan 60% berobat jalan, 23,8% meninggal dan sisanya pulang atas
permintaan sendiri (Rambe, 2002).

K. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji


Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan
keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan
yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari pengkajian
yang diambil adalah merupakan respon pasien, baik respon biopsikososial
maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan
untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan pasien,
diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana perawatan
pasien dengan stroke non hemoragik.
Adapun pengkajian pada pasien dengan stroke adalah:
a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah,
susah untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot).
Tanda: gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi
kelemahan umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.
b. Sirkulasi
Gejala: adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi
postural.
Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme/
malformasi vaskuler, frekuensi nadi bervariasi, dan disritmia.
c. Integritas Ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan
gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih
Tanda: distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.
e. Makanan/ Cairan
Gejala: nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan
sensasi pada lidah, dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes,
peningkatan lemak dalam darah.
Tanda: kesulitan menelan, obesitas.
f. Neurosensori
Gejala: sakit kepala, kelemahan/ kesemutan, hilangnya rangsang
sensorik kontralateral pada ekstremitas, penglihatan menurun, gangguan
rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental/ tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada
tahap awal hemoragis, gangguan fungsi kognitif, pada wajah terjadi
paralisis, afasia, ukuran/ reaksi pupil tidak sama, kekakuan, kejang.
g. Kenyamanan / Nyeri
Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot
h. Pernapasan
Gejala: merokok
Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas,
timbulnya pernafasan sulit, suara nafas terdengar ronchi.
i. Keamanan
Tanda: masalah dengan penglihatan, perubahan sensori persepsi
terhadap orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek,
gangguan berespons terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam
menelan, gangguan dalam memutuskan.
j. Interaksi Sosial
Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
k. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian
kontrasepsi oral, kecanduan alkohol.
L. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan
Hipertensi dibuktikan dengan TD : 160/80 mmHg (D.0017)
2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan kekuatan
otot dibuktikan dengan sulit menggerakkan tangan dan kaki kanan
(D.0054)
3. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan dibuktikan dengan klien
tampak berbaring ditempat tidur (D.0139)
M. Rencana Tindakan Keperawatan (secara teoritis)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FIKES UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

RENCANA INTERVENSI
Hari/ DIAGNOSA
NO Tgl/Jam KEPERAWAT TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
AN
1 Sabtu Gangguan perfusi serebral Setelah dilakukan tindakan 3x24 Pemantauan Tekanan Intrakranial
28/05/22 jam maka diharapkan perfusi (I.06198)
tidak efektif berhubungan
16.00 serebral meningkat dengan kriteria
WIB dengan Hipertensi dibuktikan hasil :
a. Observasi (Tindakan)
dengan TD : 160/80 mmHg Observasi
Perfusi Serebral (L.02014) 1. Identifikasi penyebab peningkatan
(D.0017) 1. Tingkat kesadaran TIK (mis, lesi menempati ruang, 1. Mengetahui potensial
meningkat (5)
DS : gangguan metabolisme, edema peningkatan tekanan
2. Tekanan Intra kranial
- Klien mengatakan pusing serebral, hipertensi) intra kranial
dan lemas meningkat (5)
- klien mengatakan pusing 3. Sakit kepala menurun (5) 2. Monitor peningkatan Tekanan 2. Variasi mungkin terjadi
yang dirasa seperti kepala Darah oleh karena tekanan atau
4. Nilai rata-rata tekanan darah
nya berat 3. Monitor frekuensi jantung trauma serebral pada
- Klien mengatakan pusing membaik (5)
4. Monitor irreguleritas irama nafas daerah vasomotor otak.
di sekitar bagian atas 5. Tekanan darah sistolik
kepala membaik (5) 5. Monitor penurunan tingkat Hipertensi atau hipotensi
- Klien mengatakan Skala 6. Tekanan darah diastolik kesadaran dapat menjadi faktor
pusing 5 ( sedang )
membaik (5) 6. Monitor perlambatan atau pencetus gangguan
- Klien mengatakan pusing
yang dirasa tidak ketidakseimbangan respon pupil perfusi serebral tidak
menentu efektif
- Klien mengatakan sulit
3. Reaksi pupil dapat
menggerakan tangan dan
kaki kanan nya menentukan apakah
- Klien mengatakan sudah batang otak masih baik
menderita hipertensi 6
tahun yang lalu b. Terapeutik
1. Pertahankan posisi kepala dan Terapeutik
DO :
- Klien tampak lemas leher netral 1. Menurunkan tekanan
- Kesadaran Compos Mentis 2. Dokumentasikan hasil arteri dengan
- GCS : GCS E4 V6 M5 pemantauan meningkatkan sirkulasi
- TTV :
atau perfusi serebral
TD : 160/80 mmHg
N : 80 x/mnt c. Edukasi Edukasi
S : 36 °C 1. Jelaskan tujuan dan prosedur 1. Agar klien dapat
RR : 20 x/mnt
pemantauan mengetahuan
- Kolesterol : 200 mg/dl
- Kekuatan otot menurun 2. Informasikan hasil pemantauan keadaaan umum nya
3 5 dan dapat mengetahui
tanda dan gejala
3 5 Kolaborasi
peningkatan
1. Kolaborasi dalam pemberian obat
- Amlodipine 10 mg 1x1 intrakranial
darah tinggi
Malam 2. Untuk catatan
- Simvastatin 1x20 mg
pendokumentasian
malam
- Klopidogrel 1 x 75 mg Kolaborasi
1. Membantu proses
penyembuhan

PROGRAM STUDI ILMU KEPEREWATAN


FIKES UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

RENCANA INTERVENSI
NO Hari/Tgl/ DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
Jam KEPERAWATAN
2 Sabtu Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi (I.05173)
28/05/22 keperawatan selama 3 x 24 jam a. Observasi (tindakan) Observasi
berhubungan dengan
16.00 WIB
Penurunan kekuatan otot diharapkan mobilitas fisik 1. Identifikasi adanya nyeri atau 1. Mengetahui derajat
dibuktikan dengan sulit meningkat dengan kriteria keluhan fisik lainnya kerusakan dan
menggerakkan tangan dan hasil : 2. Monitor frekuensi jantung dan kesulitan untuk
kaki kanan (D.0054) Mobilitas Fisik (L.05042) tekanan darah sebelum melakukan mobilisasi
DS : 1. Pergerakan ekstremitas mobilisasi 2. Tekanan darah tinggi
- Klien mengatakan sulit meningkat (5) 3. Monitor kondisi umum selama atau rendah dapat
menggerakan tangan dan 2. Kekuatan otot meningkat (5) melakukan mobilisasi menghambat
kaki kanan nya 3. Rentang gerak meningkat b. Teraupetik melakukan latihan
- Klien mengatakan (5) 1. Fasilitasi aktivitas gerak
aktivitas sepenuhnya 4. Nyeri menurun (5) mobilisasi dengan alat bantu
dibantu oleh anak dan 5. Kaku sendi menurun (5) (mis. Pagar tempat tidur) Terapeutik
istrinya 6. Gerakan terbatas menurun 2. Libatkan keluarga untuk 1. Meningkatkan dan
DO : (5) membantu pasien dalam membantu
- Klien tampak tiduran di 7. Kelemahan fisik menurun meningkatkan pergerakan berjalan/ambulasi
tempat tidur (5) c. Edukasi atau memperbaiki
- Keadaan umum klien 1. Jelaskan tujuan dan prosedur otonomi dan fungsi
lemas mobilisasi tubuh dari injuri
- Klien tampak disuapi saat 2. Anjurkan mobilisasi dini 2. Untuk meningkatkan
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FIKES UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

RENCANA INTERVENSI
NO Hari/Tgl/ DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
Jam KEPERAWATAN
3 Sabtu Risiko gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit ( I. 11353)
28/05/22 keperawatan 3x24 jam a. Observasi Observasi
kulit/jaringan dibuktikan
16.00 WIB diharapkan integritas kulit dan 1. Identifikasi penyebab gangguan 1. Membantu
dengan klien tampak jaringan meningkat dengan integritas kulit (mis. Perubahan menentukan
berbaring ditempat tidur kriteria hasil : sirkulasi, perubahan status nutrisi, tindakan selanjutnya
(D.0139) Integritas kulit dan jaringan peenurunan mobilitas)
(L.14125)
DS : 1. Perfusi jaringan meningkat b. Terapeutik Terapeutik
- Klien mengatakan sulit 2. Kerusakan jaringan 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah 1. Mengurangi tekanan
menggerakkan tangan menurun baring pada daerah tulang
dan kaki kanannya 3. Kerusakan lapisan kulit 2. Lakukan pemijatan pada area yang menonjol
menurun benjolan tulang , jika perlu 2. Meningkatkan
DO :
4. Nyeri menurun 3. Gunakan produk berbahan petrolium sirkulasi dan
- TD : 160/80 mmHg 5. Kemerahan menurun atau minyak pada kulit kering melindungi
- N : 80 x/mnt 6. Suhu kulit membaik 4. Hindari produk berbahan dasar permukaan kulit,
- S : 36 °C
7. Tekstur membaik alkohol pada kulit kering mengurangi
- RR : 20 x/mnt
- Klien tampak lemas terjadinya ulserasi
c. Edukasi
- Klien tampak berbaring 1. Anjurkan menggunakan pelembab Edukasi
ditempat tidur (mis. Lotion) 1. Menghindari dan
2. Anjurkan minum air yang cukup menjaga kulit agar
3. Anjurkan meningkatkan asupan tetap lembab dan
nutrisi tidak kering
4. Anjurkan meningkatkan asupan buah
dan sayur
5. Anjurkan mandi dan menggunakan
sabun secukupnya
DAFTAR PUSTAKA

Ackley BJ, Ladwig GB.(2011) Nursing Diagnosis Handbook. An Evidance-Based


Guide to Planning Care. Ninth Edition. United States of Amerika:
Elsevier.

Israr YA. Stroke. Riau: Faculty of Medicine, (2008). http://case-s-t-r-o-k-e.pdf


Diakses pada 1 Juni 2013.

Kneafsey R: A. (2011). systematic review of nursing contributions to mobility


rehabilitation: examining the quality and content of the evidence, J Clin
Nurs 16(11c):325-340.

Kristofer D. (2009). Gambaran Profil Lipid Pada Penderita Stroke Di Rumah


Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009. Medan: FK
USU

Madiyono B & Suherman SK. (2003).Pencegahan Stroke & Serangan Jantung


Pada Usia Muda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan. (2000). Kapita Selekta


Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Mardjono M & Sidharta P.( 2010). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Nurarif & Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional. Yogyakarta : Mediaction Jogja.

Nurarif AH, Hardhi K.( 2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction.

Price, Sylvia A, Lorraine MW. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-


proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Rambe AS. (2002). Obat Obat Penyakit Serebrovaskular. Medan: FK USU.


http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3458. Diakses pada 1 Juni
2013.

Rismanto.(2006). Gambaran Faktor-Faktor Risiko Penderita Stroke Di Instalasi


Rawat Jalan Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2006.
Semarang: FKM UNDIP, 2006.
http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=3745.Diakses
pada 1 Juni 2013.

Ritarwan K.( 2003). Pengaruh Suhu Tubuh Terhadap Outcome Penderita Stroke
Yang Dirawat Di Rsup H. Adam Malik Medan. Medan: FK USU.
Rubenstein D, Waine D & Bradley J. (2005). Kedokteran Klinis Edisi Ke 6.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Rumantir CU.( 2007). Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru: SMF Saraf
RSUD Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru.

Sabiston. (1994). Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta:EGC.

Sinaga SA. (2008). Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap Di Rumah Sakit
Haji Medan Tahun 2002-2006. Medan: FKM USU, 2008.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16617. Diakses pada 1 Juni
2013.

Smeltzer SC, Brenda GB.(2001) Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 vol.1.


Jakarta: EGC.

Sudoyo AW. (2006). Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan


Indonesia (1st ed.). Cetakan II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.

Utami IM. (2002). Gambaran Faktor - Faktor Risiko Yang Terdapat Pada
Penderita Stroke Di RSUD Kabupaten Kudus. Semarang: FK UNDIP,
2002. http://eprints.undip.ac.id/4021/1/2042.pdf . Dakses pada 1 Juni
2013.

Yeom HA, Keller C, Fleury J. (2009) Intervention for promoting mobility in


community-dwelling older adults, J Am Acad Nurse Pract 21 (2):95-100.

Anda mungkin juga menyukai