Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke

Menurut World Healt Organization (WHO) stroke adalah suatu gangguan

fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak,

dimana secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa

jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang

terganggu.

Definisi stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi

mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan

tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24

jam, disebabkan oleh terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan (stroke

hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda sesuai

bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau

kematian (Junaidi, 2011)

Dari data South East Asian Medical Information Centre ( SEAMIC)

diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian

diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand

(Dinata et al., 2013). Hasil Riskesdas Kemenkes RI, 2013 terjadi peningkatan

prevalensi stroke dari tahun 2007 hingga 2013 yaitu 8,3 per mil menjadi 12,1 per

mil. Prevalensi tertinggi terjadi di daerah Sulawesi Utara (10,8 per mil ),

Yogyakarta (10,3 per mil), Bangka Belitung (9,7 per mil), dan DKI Jakarta (9,7 per

mil) (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Dinas Kesehatan Provinsi

Jawa Tengah mendapatkan data bahwa kasus tertinggi stroke terdapat di Kota

Semarang sebesar 17,36% yaitu 4.516 (Wurtuningsih, 2012).


2.2 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan tekanan diastolic lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan

darah diukur dengan sphygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80%

dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat, duduk nyaman

dengan tegak atau pasien terlentang. Klasifikasi hipertensi pada orang dewasa

terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi

derajat 2 (Yogiantoro M, 2006).

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan

jantung, penyakit jantung coroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang

berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung

yang dapat berakibat kecacatan hingga kematian. Hipertensi atau yang disebut the

silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab

penyakit jantung (cardiovascular).

2.3 Epidemiologi Hipertensi

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada

umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti

Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%).

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis

tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau

sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat

sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum

obat hipertensi sebesar 0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar

26,5 persen (Rikerdas, 2013).


Sekitar 20% orang dewasa di dunia diperkirakan menderita hipertensi.

Prevalensi ini meningkat pada umur 60 tahun keatas. Di seluruh dunia ada sekitar

satu miliar orang menderita hipertensi dan lebih dari 7,1 juta mengalami kematian

per tahun (Dreisbach, 2013).

2.4 Epidemiologi Stroke

Data Kemenkes, 2014, jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun

2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan diperkirakan sebanyak 7,0%,

sedangkan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan gejala diperkirakan sebanyak

12,1%. Prevalensi stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur. Prevalensi

stroke sama banyak pada laki-laki dan perempuan (AHA, 2015).

Di negara berkembang termasuk di Indonesia, angka kejadian penyakit tidak

menular ini justru meningkat. Hal ini akibat pengaruh urbanisasi, perubahan gaya

hidup, dan bertambahnya umur harapan hidup. Angka kejadian stroke di perkotaan

di Indonesia diperkirakan 5 kali lebih besar dari pada angka kejadian penyakit

tersebut di pedesaan. Pertambahan kasus stroke yang tidak diimbangi dengan

perbaikan penatalaksanaan di rumah sakit menyebabkan dalam decade terakhir

stroke merupakan penyebab kematian nomor satu di rumah-rumah sakit di

Indonesia. (Irianto, 2014)

2.5 Anatomi Kepala

2.5.1 Tulang Tengkorak

Tulang tempurung kepala tersusun dari tulang dahi, tulang kepala  belakang,

tulang ubun – ubun, tulang baji, tulang tapis, dan tulang pelipis. Di bagian bawah

tempurung kepala terdapat rongga khusus yang disebut foramen magnum yang

menjadi tempat keluar masuknya  pembuuh darah saraf serta darah yang kemudian

menuju ke sumsum tulang belakang. Tulang muka terdapat pada bagian depan

kepala. Tulang – tulag muka membentuk  rongga mata untuk melindungi mata,
membentuk rongga hidung serta langit –langit, dan memberi bentuk wajah. Tulang

muka terdiri dari tulang rahang atas, tulang rahang bawah, tulang pipih, tulang air

mata, tulang hidung, dan tulang langit – langit.

2.5.2 Otak Besar

Otak besar terdiri dari dua belahan yang disebut hemisferium serebri. Kedua

hemisferum (kanan dan kiri) saling dipisahkan oleh fisura longitudnalis serebri.

Falks serebri, suatu perluasan duramater (lapisan pembungkus otak besar) nampak

menonjol ke dalam fisura longitudinal serebri. Terdiri dari dua belahan otak,

dihubungkan oleh corpus collosum. Ujung anterior  corpus collosum disbut genu

dan ujung posterior corpus collosum disebut splenium.

2.5.3 Otak Kecil

Cerebellum adalah organ sentral yang terletak di fossa posterior intrakranial.

Bagian atas cerebellum ditutupi oleh durameter yang disebut sebagai tentorium

cerebelli. Tentorium cerebelli ini sekaligus memisahkan cerebellum dengan cerebri.

Cerebellum dihubungkan dengan batang otak melalui pedunkulus yang terdiri atas 3

macam, yaitu pedunkulus cerebella superior, pedukulus cerebella media, serta

pedunkulus cerebelli inferior. Ketiga pedunkulus tadi terdiri masing-masing

sepasang di bagian lateral cerebellum yang menghubungkan cerebellum dengan

batang otak.

Otak membutuhkan aliran darah yang konstan guna mencukupi kebutuhan

glukosa dan oksigen. Empat arteri yang memberikan aliran darah ke otak adalah

arteri karotis interna kiri, arteri karotis interna kanan, arteri vertebralis kiri, arteri

vertebralis kanan. Arteri karotis interna memberikan darah terutama di daerah

anterior otak, sedangkan arteri vertebralis membeerikan darah ke daerah posterior

otak. Keempat arteri tersebut bertemu pada suatu persimpangan yang biasa disebut

lingkaran willis. Darah kembali ke jantung melalui vena jugularis interna. (Tim

Taylor, 2013).
Gambar 1. Lingkaran willis. Sumber : Medscape, circle of willis anatomy

2.6 Klasifikasi dan Patogenesis stroke

a. Stroke Iskemik

Stroke iskemik merupakan suatu penyakit yang diawali dengan

terjadinya serangkain perubahan dalam otak yang terserang, apabila tidak

ditangani akan segera berakhir dengan kematian di bagian otak. Stroke ini

sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteri otak atau

suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak.

Jenis stroke ini merupakan jenis stroke yang paling sering menyerang

seseorang sekitar 80% dari semua stroke (Junaidi, 2011). Berdasarkan

manifestasi klinis menurut ESO excecutive committe dan ESO writting

committee (2008) dan Jauch dkk (2013) yaitu:

1) TIA (transient ischemic attack) atau serangan stroke sementara:

gejala defisit neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam. TIA

menyebabkan penurunan jangka pendek dalam aliran darah ke suatu


bagian dari otak. TIA biasanya berlangsung selama 10-30 menit.

2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit): gejala defisit

neurologi yang akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24

jam, tetapi gejala akan menghilang tidak lebih dari 7 hari.

3) Stroke evaluasi (Progressing Stroke): kelainan atau defisit neurologi

yang berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai yang

berat sehingga makin lama makin berat.

4) Stroke komplit (Completed Stroke): kelainan neurologis yang sudah

menetap dan tidak berkembang lagi.

b. Stroke Hemoragik

1. Perdarahan Sub Araknoid

Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan dalam ruang

subarachnoid, ruang di antara lapisan dalam (Pia meter) dan lapisan tengah

(arachnoid meter) dari jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling

umum adalah pecahnya tonjolan (Aneurisma) dalam arteri yang dapat

menyebabkan cacat permanen atau kematian. Stroke ini juga satu-satunya

jenis stroke yang lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pada

laki-laki (Mahreswati, 2012).

2. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan Intraserebral adalah perdarahan yang primer berasal dari

pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma,

dimana 70% kasus PIS terjadi di kapsula interna, 20% terjadi di fosa

posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula

interna). PIS terutama disebabkan oleh hipertensi (50-68%). (Harsono, 2003)

3. Perdarahan Subdural
Penimbunan darah antara dura dan arachnoid di dalam ruang suddura

dikenal sebagai hematom subdural. Hal ini dapat dikatakan selalu

merupakan akibat dari trauma kepala tetapi dapat juga berhubungan dengan

diskrasia darah atau kakheksia tanpa adanya trauma. Perdarahan di ruang

subdura ini merupakan perdarahan vena akibat robeknya vena-vena kecil

yang menjembatani ruang subdura sehingga cairan di dalamnya dapat

bercampur dengan cairan serebrospinal, bilamana arakhnoid juga robek.

(Sastradirjo, 1980).

2.7 Klasifikasi Hipertensi

2.8 Patogenesis Hipertensi

Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah,

dan gangguan mekanisme ini mungkin memainkan peran kunci terjadinya

hipertensi. Di antara faktor-faktor lain, seperti faktor genetik, aktivasi system

saraf simpatik/sympathetic nervous system (SNS) dan system

reninangiotensinaldosteron, asupan garam berlebih serta gangguan antara

vasokonstriktor dan vasodilator telah terlibat dalam patofisiologi hipertensi.

Walaupun peran faktor di atas dalam patogenesis hipertensi telah diketahui,

keterlibatan faktor-faktor ini dalam menyebabkan HR belum begitu diketahui

secara menyeluruh(Vasilioset al., 2011; Costas et al., 2011).


Sistem renin-angiotensin mungkin yang paling penting dari sistem endokrin

yang mempengaruhi kontrol tekanan darah. Renin disekresikan dari aparatus

jukstaglomerular ginjal, respon terhadap aliran darah yang kurang ke glomerular

atau kurang asupan garam, dan juga dalam menanggapi rangsangan dari sistem

saraf simpatik. Renin bertanggung jawab untuk mengubah substrat renin

(angiotensinogen) menjadi angiotensin I, zat fisiologis tidak aktif yang cepat

dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting

enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat dan dengan

demikian menyebabkan peningkatan tekanan darah. Selain itu merangsang

pelepasan aldosteron dari zona glomerulosa kelenjar adrenal, yang

menghasilkan peningkatan lebih lanjut tekanan darah yang berhubungan dengan

retensi natrium dan air. (Gareth B, 2014)

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer

bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.

Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat

dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya

menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.

Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam

mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),

mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.

(Corwin,2001)

Dalam berbagai tingkat, abbnormalitas regulasi volume, vasokontriksi dan

remodeling dinding arteri mengakibatkan penurunan diameter lumen, serta

peningkatan resistensi memberikan konrtibusi berkembangnya hipertensi.

Perubahan dalam metabolisme elektrolit mengakibatkan hipertrofi vascular dan

proliferasi sel otot polos. Peningkatan pertumbuhan otot polos vascular

merupakan salah satu karakteristik aterosklerosis. Aterosklerosis sendiri adalah


kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya

elastisitas arteri. Pada aterosklerosis trjadi inflamasi dinding pembuluh darah

dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler,

kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam pembuluh darah. Perubahan pada

pembuluh darah besar seperti arteri carotis dan arteri vertebrobasilaris berupa

aterosklerosis. Ketebalan tunika intima medi arteri karotis dapat dianggap

sebagai penanda awal aterosklerosis. Aterosklerosis ini yang biasanya dapat

menyebabkan stroke (Krisch, 2011).

Peningkatan kecepatan dan besarnya pantulan gelombang perifer tersebut

terjadi akibat kemampuan aorta proksimal untuk mengubah aliran pulsatil yang

dihasilkan oleh ejeksi ventrikel kiri menjadi aliran yang relatif stabil untuk

dialirkan ke mikrosirkulasi terganggu, hal ini terkait dengan kondisi aorta yang

kaku pada lanjut usia. Oleh karena itu, menyebabkan tekanan pulsasi yang lebih

tinggi. Setelah dipompa keluar jantung, laju aliran (flow rate) bergantung pada

gradien tekanan dan resistensi vaskuler sesuai persamaan berikut: F = ∆P/R,

dengan F adalah laju aliran darah, ∆P adalah gradient tekanan, dan R adalah

resistensi pembuluh darah. Resistensi terhadap aliran darah bergantung pada

tiga faktor: (1) viskositas darah, (2) panjang pembuluh, (3) jari- jari pembuluh

(Sherwood, 2001).

Saat melewati arkus aorta, kecepatan aliran darah menjadi terlalu besar,

sehingga aliran darah menjadi turbulen. Jika darah mengalir dengan resistensi

yang lebih besar maka akan timbul aliran eddy yang sangat memperbesar

seluruh gesekan aliran dalam aorta ascenden (Guyton dan Hall, 2007). Hal

tersebut kemudian mencetuskan terjadinya elongasi aorta.


2.9 Faktor Resiko Stroke

Faktor resiko stroke adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi

lebih rentan atau mudah terkena stroke, faktor resiko stroke dibagi menjadi 2 antara

lain :

a. Faktor yang tidak dapat di kontrol

1. Usia

Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan

meningkat dua kali. Empat puluh persen berumur 65 tahun dan hampir 13%

berumur di bawah 45tahun. Seiring bertambahnya usia kemungkinan terjadinya

stroke semakin besar (Bambang, 2003).

2. Jenis Kelamin

Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan

pada wanita. Akan tetapi, karena usia harapan hidup wanita lebih tinggi daripada

laki-laki, maka tidak jarang pada studi-studi tentang stroke didapatkan pasien

wanita lebih banyak. Menurut SKRT 1995, prevalensi penyakit stroke pada laki-

laki sebesar 0,2% dan pada perempuan sebesar 0,1%. Prevalensi stroke di 3 wilayah

Jakarta didapatkan bahwa prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 7,1% dan

perempuan sebesar 2,8% (Wahjoepramono, 2005).

3. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keluarga (orang tua, saudara) yang mengalami stroke pada usia

muda maka yang bersangkutan berisiko tinggi terkena stroke. Faktor keturunan

adalah suatu faktor yang cenderung akan dialami seseorang bila dalam keluarganya

mengalami penyakit tersebut. Peranan faktor keturunan ini jika ada, biasanya sudah

menunjukkan tanda dan gejalanya sejak orang tersebut masih bayi atau masa anak-

anak (Junaidi, 2012).


4. RAS

Orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki insiden

stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (Wahjoepramono,

2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke

dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan

yang lebih banyak mengandung kolesterol (Americant Heart, 2004).

b. Faktor yang dapat di kontrol

a. Hipertensi

Tekanan darah terdiri dari dua komponen yaitu sistolik dan diastolik.

Apabila tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg dan/atau tekanan darah

diastolik lebih dari 90 mmHg maka tekanan darah yang demikian harus benar benar

diwaspadai. Hipertensi merupakan faktor risiko gangguan peredaran darah otak

yang potensial yang dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya

pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah

perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke

otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian (Harsono, 2011).

Hipertensi mempercepat pengerasan dinding pembuluh darah arteri dan

mengakibatkan penghancuran lemak pada sel otot polos sehingga mempercepat

proses aterosklerosis. Hipertensi berperanan dalam proses aterosklerosis melalui

efek penekanan pada sel endotel/lapisan dalam dinding arteri yang berakibat

pembentukan plak pembuluh darah semakin cepat (Junaidi,2012).

Usia 30 tahun merupakan awal kewaspadaan tentang munculnya hipertensi,

terutama bagi mereka yang mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarganya.

Makin lanjut usia seseorang maka kemungkinan untuk munculnya hipertensi makin

tinggi (Harsono, 2011)

b. Kadar kolestrol darah


Pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat penting untuk dilakukan, karena

tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya

stroke. Hal ini disebabkan oleh kolesterol darah yang ikut berperan dalam

penumpukkan lemak di dalam lumen pembuluh darah yang dapat mengakibatkan

terjadinya aterosklerosis. Oleh karena itu, jika kadar kolesterol dalam darah

meningkat, maka risiko untuk aterosklerosis meningkat juga. Kolesterol tidak larut

dalam cairan darah, sehingga untuk proses transportasinya ke seluruh tubuh perlu

“dikemas” bersama protein menjadi partikel yang disebut “lipoprotein” (Hull,

1993).

c. Diabetes militus

Gula darah yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh

darah yang berlangsung secara progresif. Pada orang yang menderita Diabetes

Mellitus risiko untuk terkena stroke 1,5-3 kali lebih besar (risiko relatif) (Nurzakiah,

2000).

d. Merokok

Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk meningkatkan

risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih

berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak

merokok (Pearson et al., 1994).

e. Riwayat stroke

Bila seseorang telah mengalami stroke, hal ini akan meningkatkan terjadinya

serangan stroke kembali/ulang. Dalam waktu 5 tahun, kemungkinan akan terjadi

stroke kembali sebanyak 35-42% (Bambang dan Suhartik, 2003).

2.10 Diagnosis Stroke

a. Anamnesis
Gejala-gejala klinis stroke yang sering ditanyakan adalah apakah serangan

terjadi mendadak atau sudah beberapa jam yang lalu, apakah terjadi kelumpuhan

anggota gerak, apakah kesemutan di muka atau salah satu sisi anggota gerak,

apakah tiba-tiba perot, apakah terjadi gangguan keseimbangan, apakah terjadi

penurunan kesadaran. Pasien dengan riwayat hipertensi perlu ditanyakan lama dan

bertnya hipertensi, usianya, gejala sistem syaraf (sakit kepala, ansietas), gejala

sistem kardiovaskular (adanya payah jantung, oedem paru dan nyeri dada).

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik umum

(pemeriksaan tingkat kesadaran, tekanan darah, suhu, denyut nadi, anemia, paru dan

jantung) dan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan yang dilakukan pada

pemeriksaan neurologis adalah palpasi dan auskultasi arteri karotis yang dekat

dengan permukaan, mencari dan mendengar bruit cranial atau servical, mengukur

tekanan darah dengan posisi berbaring dan duduk, mengukur tekanan arteri

optalmika, melihat oftalmoskop ke retina terutama bagian pembuluh darahnya.

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laborat yang biasanya perlu adalah pemeriksaan darah, yang

digunakan untuk menentukan keadaan hematologic yang dapat mempengaruhi

stroke, terutama stroke iskemik misalnya anemia, polistemia dan keganasaan.

2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dilakunan adalah CT scan yang merupakan gold

standard untuk mendiagnosis stroke. Pada CT scan dapat memberikan informasi

tentang lokasi, ukuran infark, perdarahan dan apakah perdarahan menyebar keruang

intra ventrikuler. CT scan juga dapat membantu untuk perencanaan operasi. Foto

thorax juga biasa dilakukan untuk mengetahui apakah ada riwayat hipertensi atau
tidak pada pasien stroke dengan melihat gambaran aterosklerosis, elongasi aorta

atau kardiomegali.

2.11 Kardiomegali

Kardiomegali adalah suatu keadaan dimana terjadi pembesaran pada

jantung. Beberapa penyebab kardiomegali antara lain penyakit miokardia, penyakit

arteri koroner, defek jantung kongenital dengan gagal jantung ataupun beberapa

keadaan lain seperti tumor janutung, anemia berat, kelainan endokrin, malnutrisi,

distrofi muskular dan gagal jantung akibat penyakit paru. (Ismail, 2009)

Kardiomegali pada kasus hipertensi merupakan fenomena kompleks dimana

tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik seperti : beban tekanan, volume,

denyut jantung yang berlrbihan, peningkatan kontraktilitas dan tahanan perifer,

teapi juga disebabkan factor non hemodinamik seperti : usia, kelamin, ras, obesitas,

aktivitas fisik. Pada hipertensi curah jantung akan meningkat. Peningkatan curah

jantung oleh proses autoregulasi menimbulkan peningkatan tonus pembuluh darah

perifer. Dengan lamnya hipertensi, maka akan trjadi perubahan structural pembuluh

darah yang menyebabkan tahanan perifer meninggi secara persisten dan akhirnya

meneyebabkan kerja jantung bertambah berat. (Efendi D, 2003)


2.12 Kerangka Teori

Hipertensi Stroke

Foto Thorax :
(+) apabila ada salah satu Lesi pada CT Scan Kepala
dari : (+)/(-) :

1. Aterosklerosis 1. Stroke Hemoragik /


2. Kardiomegali Stroke non
3. Elongasi Aorta Hemoragik (+)
2. Normal (-)
(-) apabila foto thorax dalam
batas normal

Gambar Faktor resiko Teori


2.2 Kerangka
Tidak dapat di kontrol :
2.9 Kerangka Konsep
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Riwayat Keluarga
4. RAS
Dapat di kontrol :
1. Hipertensi
2. Kadar Kolestrol
3. DM
4. Merokok
5. Riwayat Stroke

Gambar 2.2 kerangka teori

Ket : huruf Tebal yang diteliti.


2.13 Kerangka Konsep

Variabel Dependen
Variabel Independen
Gambaran ct scan kepala negatif /
Gambaran Foto thorax negatif / positif
positif

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

2.10 Hipotesis

Ho : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gambaran foto thorax kasus

hipertensi dengan gambaran CT scan kepala pada kasus stroke.

Ha : Terdapat hubungan yang bermakna antara gambaran foto thorax kasus

hipertensi dengan gambaran CT scan kepala pada kasus stroke.

Anda mungkin juga menyukai