Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

ERITRODERMA

Pembimbing :

dr. Leny Indriani Lubis, Sp. KK

Disusun Oleh :
Ipan Ferrel Heady (20360251)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU


PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT
UMUM HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan
laporan kasus yang berjudul “ERITRODERMA“. Laporan kasus ini
Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Haji Medan
Sumatera Utara.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para pengajar di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin, khususnya dr.
Leni Indriani Lubis, Sp.KK atas bimbingannya selama berlangsungnya
pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam ini sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas “Laporan Kasus” ini. Saya menyadari bahwa
laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki
laporan kasus ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk
selanjutnya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan Laporan
Kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi saya
yang sedang menempuh pendidikan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, Juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTARii
DAFTAR ISIiii
BAB I PENDAHULUAN1
BAB II STATUS UJIAN KASUS STASE KULIT DAN KELAMIN2
I. ANAMNESIS
II. ANAMNESA2
III. PEMERIKSAAN FISIK3
IV. PEMERIKSAAN DERMATOLOGI4
V. TES YANG DILAKUKAN4
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIK
VII. RINGKASAN4
VIII. DIAGNOSIS BANDING5
IX. DIAGNOSIS5
X. TATALAKSANA5
XI. USULAN PEMERIKSAAN LANJUTAN6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA7
III.1 DEFINISI7
III.2 EPIDEMIOLOGI8
III.3 ETIOLOGI8
III.4 KLASIFIKASI8
III.5 PATOFISIOLOGI10
III.6 GAMBARAN KLINIS12
III.7 DIAGNOSIS14
III.8 DIAGNOSIS BANDING14
III.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG16
III.10 PENATALAKSANAAN17
III.11 PROGNOSIS17
BAB IV DISKUSI KASUS19
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan luar. Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang mudah
memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah
satu kelainan kulit yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi kulit adalah
eritroderma.
Eritroderma, disebut juga sebagai dermatitis eksfoliatif, diperkenalkan
pertama kali oleh Hebra pada 1868, merupakan kelainan kulit inflamasi yang
ditandai dengan eritem generalisata dan skuama yang luas, melibatkan 90% luas
permukaan kulit. Eritroderma atau dermatitis eksfoliatif merupakan satu
perjalanan klinis, yaitu dimulai dengan tahap awal berupa kulit eritem universal
yang kemudian diikuti dengan pengelupasan kulit.
Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun
masalah yang ditimbulkannya cukup parah. Eritroderma dapat berakibat fatal,
maka diperlukan penatalaksanaan yang baik karena dapat mengganggu
metabolisme tubuh dengan berbagai komplikasinya, oleh karena itu perlu
diidentifikasi penyakit yang mendasari dan memberikan terapi kausatif secara
adekuat.
Insidens eritroderma sangat bervariasi, menurut penelitian dari 0,9-70 dari
100.000 populasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita, namun paling
sering pada pria dengan rasio 2-4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40 tahun,
meskipun eritroderma dapat terjadi pada semua usia. Pada penatalaksaannya
terdapat kesulitan karena sebagian kasus tidak diketahui penyebabnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 DEFINISI
Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) dan
derma, dermatos (skin = kulit). Eritroderma, diperkenalkan pertama kali oleh
Hebra pada 1868. Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya
eritema universalis (90-100%), biasanya disertai skuama. Bila eritemanya antara
50-90% disebut pre-eritroderma. Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada
ialah eritema, sedangkan skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada
eritroderma karena alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai
skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama.
Pada eritroderma yang kronik, eritroderma tidak begitu jelas, karena
bercampur dengan hiperpigmentasi. Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan
dari penyakit kulit yang telah ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis seboroik pada
bayi), reaksi hipersensitivitas obat (antiepilepsi, antihipertensi, antibiotika,
calcium channel blocker, dan bahan topikal), penyakit sistemik termasuk
keganasan, serta idiopatik (20%).

Gambar 1. Eritroderma

5
III.2 EPIDEMIOLOGI
Insidens eritroderma sangat bervariasi, menurut penelitian dari 0,9-70 dari
100.000 populasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita, namun paling
sering pada pria dengan rasio 2-4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40 tahun,
meskipun eritroderma dapat terjadi pada semua usia. Insiden eritroderma makin
bertambah. Penyebab utamanya adalah psoriasis. Hal tersebut seiring dengan
meningkatnya insidens psoriasis.

III.3 ETIOLOGI
Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik,
perluasan penyakit kulit atau penyakit sistemik termasuk keganasan. Pada banyak
kasus, eritroderma umumnya disebabkan kelainan kulit yang ada sebelumnya
(misalnya psoriasis atau dermatitis seboroik), cutaneous T-cell lymphoma (CTCL)
atau reaksi obat. Penyakit kulit yang dapat menimbulkan eritroderma diantaranya
adalah psoriasis 23%, dermatitis spongiotik 20%, alergi obat 15%, CTCL atau
sindrom sezary 5%.

III.4 KLASIFIKASI
Secara morfologi, gambaran klinis eritroderma menyerupai beberapa
kelainan kulit lainnya, berikut klasifikasi eritroderma :
a. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik
Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat
menyebabkan eritroderma adalah arsenik organik, merkuri (jarang),
antibiotika penisilin, antiepilepsi barbiturat, antihipertensi calcium channel
blocker, dan obat lainnya yang masuk ke dalam tubuh melalui cara apa
saja. Insiden ini dapat lebih tinggi karena kebiasaan masyarakat sering
melakukan pengobatan sendiri ataupun secara tradisional. Waktu mulainya
obat masuk ke dalam tubuh hingga timbul penyakit, dapat segera atau
sampai 2 minggu. Bila ada obat yang masuk ke dalam tubuh lebih dari
satu, diduga penyebabnya ialah obat yang paling sering menyebabkan
alergi. Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila masih akut,
tidak ditemukan skuama, skuama akan timbul pada masa penyembuhan.

6
b. Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit
Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak
ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat
pengobatan psoriasis yang terlalu kuat. Dermatitis seboroik pada bayi juga
dapat menyebabkan eritroderma, dikenal sebagai penyakit Leiner. Usia
penderita berkisar 4-20 minggu. Pityriasis rubra pilaris yang berlangsung
selama beberapa minggu dapat pula menjadi eritroderma. Penyakit lain
yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus foliaseus,
dermatitis atopik dan liken planus.
c. Eritroderma akibat penyakit sistemik
Setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk akibat alergi obat ataupun
akibat perluasan penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti
perlu pemeriksaan menyeluruh (pemeriksaan laboratorium dan radiologi),
untuk melihat adanya penyakit pada organ dalam dan infeksi lokal. Contoh
penyakit untuk golongan ini adalah, Sindrom Sezary. Sindrom Sezary
adalah limfoma, namun beberapa pendapat menyebutkan penyakit ini
adalah stadium dini mikosis fungoides. Pada sindrom ini didapatkan
adanya tanda berupa, eritema yang merah membara, universall, disertai
skuama dan rasa gatal yang berat. Selain itu, terdapat adanya infiltrate
pada kulit dan edema. Beberapa diantaranya, ditemukan splenomegaly,
limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis
palmaris dan plantaris. Serta kuku yang distrofik.

Tabel 1. Proses yang berkaitan dengan timbulnya Eritroderma


Penyakit Kulit Penyakit Sistemik Obat-obatan
Dermatisis atopik Mikosis fungoides Sulfonamid
Dermatitis kontak Penyakit Hodgkin Antimalaria
Dermatofitosis Limfoma Penisilin
Penyakit Leiner Leukemia akut dan kronis Sefalosporin
Liken planus Multipel mieloma Arsen
Mikosis fungoides Karsinoma paru Merkuri
Pemfigus foliaceus Karsinoma rektum Barbiturat

7
Pitiriais rubra Karsinoma tuba falopii Aspirin
Psoriasis Dermatitis Kodein
Sindrom Reiter papuloskuamosa pada Difenilhidantoin
Dermatitis seboroik AIDS Yodium
Dermatitis statis Isoniazod
Kuinidin
Captopril

Harus lebih diperhatikan komplikasi sistemik akibat eritroderma seperti;


hipotermia, edema perifer, dan kehilangan cairan, dan albumin dengan takikardia
dan kelainan jantung harus mendapat perawatan yang serius. Pada eritroderma
kronik dapat mengakibatkan kakeksia, alopesia, palmoplantar keratoderma,
kelainan pada kuku dan ektropion.

III.5 PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya eritroderma belum diketahui secara pasti. Patogenesis
eritroderma berkaitan dengan patogenesis penyakit yang mendasarinya,
dermatosis yang sudah ada sebelumnya berkembang menjadi eritroderma, atau
perkembangan eritroderma idiopatik de novo tidaklah sepenuhnya dimengerti.
Penelitian terbaru imunopatogenesis infeksi yang dimediasi toxin menunjukkan
bahwa lokus patogenesitas Staphilococcus mengkodekan superantigen. Lokus-
lokus tersebut mengandung gen yang mengkodekan toxin dari toxic shock
syndrome dan Staphylococcal scalded-skin syndrome. Kolonisasi
Staphylococcusa ureus atau antigen lain merupakan teori yang mungkin saja
seperti toxic shock syndrome toxin-1, mungkin memainkan peranan pada
patogenesis eritroderma. Pasien-pasien dengan eritroderma biasanya mempunyai
kolonisasi S. aureus sekitar 83% dan pada kulit sekitar 17%, bagaimanapun juga
hanya ada satu dari pasien yang memiliki toxin S. aureus yang positif.
Dalam mempelajari patogenesis dari eritroderma membutuhkan
pengetahuan biologi normal dari epidermis. Seperti pada jaringan lainnya,
epidermis melakukan regenerasi secara rutin yang terjadi pada membrana basalis,
dan sel-sel ini berubah menjadi struktur keratin yang utuh melalui proses selama

8
10-12 hari. Pada umumnya, sel-sel ini membutuhkan tambahan sekitar 12-14 hari
lagi di stratum korneum sebelum sel ini dilepaskan.
Berdasarkan penelitian, jumlah skuama yang hilang pada manusia normal
antara 500-1000 mg/hari. Pengelupasan keratin paling banyak terjadi pada telapak
tangan, kulit kepala, dan dahi (kurang lebih 2-3,5 gr/m2 per 24 jam) dan paling
sedikit pada dada, lengan bawah dan tungkai bawah (0,1 gr/m2 per 24 jam).
Karena tubuh mengkatabolisme 50-60 gr protein per hari, pengelupasan kulit yang
fisiologis ini berperan penting dalam metabolisme protein secara keseluruhan.
Patogenesis eritroderma masih menjadi perdebatan. Penelitian terbaru
mengatakan bahwa hal ini merupakan proses sekunder dari interaksi kompleks
antara molekul sitokin dan molekul adhesi seluler yaitu Interleukin (IL-1, IL-2,
IL-8), molekul adhesi interselular 1 (ICAM-1), tumor nekrosis faktor, dan
interferon-γ.19 Pada eritroderma terjadi peningkatan laju pengelupasan epidermis.
Meskipun beberapa peneliti memperkirakan sekitar 100 gr epidermis hilang setiap
harinya, tetapi pada beberapa literatur menyatakan bahwa hanya 20-30 gr yang
hilang. Pada skuama penderita eritroderma ditemukan peningkatan jumlah asam
nukleat dan hasil metabolismenya, penurunan jumlah asam amino, dan
peningkatan jumlah protein bebas.
Reaksi tubuh terhadap suatu agen dalam tubuh (baik itu obat-obatan,
perluasan penyakit kulit dan penyakit sistemik) adalah berupa pelebaran
pembuluh darah kapiler (eritema) yang generalisata. Eritema berarti terjadi
pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat
sehingga kehilangan panas bertambah.
Akibatnya pasien merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis
dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan
perfusi kulit.
Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi.
Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat. Pengaturan suhu
terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensatoar dan
peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat
sebanding laju metabolisme basal.

9
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan kulit atau lebih
sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein. Hipoproteinemia dengan
berkurangnya albumin dan peningkatan relatif globulin terutama gammaglobulin
merupakan kelainan yang khas. Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan
oleh pergesaran cairan ke ruang ekstravaskuler. Eritroderma akut dan kronis dapat
menganggu mitosis rambut dan kuku berupa kerontokan rambut dan kuku berupa
kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah
berlangsung berbulan – bulan dapat terjadi perburukan keadaan umum yang
progresif.
Pada eritroderma ec alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai dengan eritem dan skuama. Pada eritroderma ec
alergi obat terlihat adanya eritem tanpa adanya skuama. Skuama justru baru akan
timbul pada stadium penyembuhan.

III.6 GAMBARAN KLINIS


Gambaran klimis eritroderma beraneka ragam dan bervariasi tiap individu.
Kelainan yang paling pertama muncul adalah eritema, disebabkan oleh pelebaran
pembuluh darah, yang umumnya terjadi pada area genitalia, ekstremitas, atau
kepala. Eritem ini akan meluas sehingga dalam beberapa hari atau minggu dan
seluruh permukaan kulit akan terkena, menunjukkan gambaran yang disebut red
man syndrome.
Skuama muncul setelah eritema, biasanya setelah 2-6 hari. Skuama adalah
lapisan korneum yang terlepas dari kulit. Skuama berkonsistensi mulai dari halus
sampai kasar. Ukuran skuama bervariasi, pada proses akut akan berukuran besar,
sedangkan pada proses kronik akan berukuran kecil. Warna skuama bervariasi,
mulai dari putih hingga kekuningan.
Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh.
Dapat juga mengenai membran mukosa, terutama yang disebabkan oleh obat. Bila
kulit kepala sudah terkena, dapat terjadi alopesia, perubahan kuku dan kuku dapat
lepas. Pada eritroderma, skuama tidak selalu terdapat, misalnya eritroderma
karena alergi obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, tetapi skuama
akan timbul pada stadium penyembuhan.

10
Kulit kepala dapat terlibat, yang akan meluas ke folikel rambut dan kuku.
Kurang lebih 25% dari pasien mengalami alopesiam dan pada banyak kasus, kuku
akan mengalami kerapuhan sebelum lepas seluruhnya. Telapak tangan dan kaki
biasanya ikut terlibat, namun jarang mengenai membran mukosa. Sering terjadi
pula bercak hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Pada eritroderma kronis, eritema
tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi.
Epidermis berukuran tipis pada awal proses penyakit dan akan terlihat dan
terasa tebal pada stadium lanjut. Kulit akan terasa kering dengan krusta yang
berwarna kekuningan yng disebabkan serum yang mengering dan kemungkinan
karena infeksi sekunder. Pada beberapa kasus, manifestasi klinis yang muncul
pada eritroderma yang akut menyerupai nekrolisis epidermal toksik, walaupun
secara patofisiologi sangat berbeda.
Eritroderma akibat alergi obat bisanya secara sistemik sebelum menuncul
gejala klinis perlu dikaji ulang untuk mengonfirmasi penyebab terjadinya
eritroderma akibat obat. Pada umumnya alergi ini timbul secara akut dalam waktu
10 hari. Dapat pula bervariasi mulai dari waktu masuknya obat ke dalam tubuh
hingga timbul penyakit dapat segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya
berupa eritema universal. Pada stadium akut tidak terdapat skuama, pada stadium
penyembuhan baru timbul skuama.
Eritroderma akibat penyakit kulit, penyakit sistemik dan obat-obatan sering
dijumpai kelainan-kelainan yang mendasarinya yang membantu dalam
menegakkan diagnosis. Sering ditemukan plak psoriasis yan masih tersisa, papul
atau lesi oral likenplanus; gambaran pulau yang khas dari ptiriasis rubra dan lesi
papuler pada drug eruption. Riwayat psoriasis yang bersifat kronik dan residif
dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya eritroderma. Kelainan kulit berupa
skuama yang berlapis-lapis dan kasar di atas kulit yang eritematosa,
sirkumskripta. Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak
meninggi dari pada sekitarnya dan skuama ditempat itu lebih tebal. Kuku juga
perlu dilihat, dicari apakah ada pitting nail berpa lekukan miliar, tanda ini hanya
menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Jika ragu-ragu, pada tempat
yang meninggi tersebut dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologik.

11
Kadang-kadang biopsi sekali tidak cukup dan harus dilakukan beberapa kali.
Penyakit Leiner atau eritroderma deskuamativum ini biasanya terjadi pada
penderita usia antara 4 minggu sampai 20 minggu. Keadaan umum penderita baik,
biasanya tanpa keluhan. Kelainan berupa skuama berminyak dan kekuningan di
kepala. Kelainan kulit berupa eritema universal disertai skuama yang kasar.
Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, berbagai
penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan kulit berupa
eritroderma. Setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk golongan 1 dan 2 harus
dicari penyebabnya, yang berarti harsu diperiksa secara menyeluruh, apakah ada
penyakit pada alat dalam dan harus dicari pula pakah ada infeksi dalam dan
infeksi fokal. Termasuk didalam golongan ini adalah sindrome Sezary.
Sindroma Sezary termasuk penyakit limfoma, ada yang berpendapat
merupakam stadium mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga
berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan kedalam CTCL
(Cutaneus T-Cell Lymphoma). Yang diserang adalah orang dewasa, mulainya
penyakit pada pria rata-rata berusia 64 tahun sedangkan pada wanita berusia 53
tahun. Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang
universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat pula infiltrasi
pada kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah para penderita didapati
splenomegali, limfadenopatisuperfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis
palmaris dan plantaris serta kuku yang distrofik.

III.7 DIAGNOSIS
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang
sudah ada sebelumnya, dengan beberapa biopsi biasanya dapat menegakkan
diagnosis.

III.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis Manifestas
Penyebab Predisposisi Predileksi Efloresensi
Banding i lain
Psoriasis Tidak Pria lebih Kulit kepala, Makula eritematosa Kadang
diketahui, banyak, perbatasan daerah berbatas tegas, gatal
diduga biasanya tersebut dengan ditutupi skuama
autoimun dewasa muka, ekstremitas yang tebal, kasar,

12
bagian ekstensor berlapis-lapis,
terutama siku dan berwarna putih
lutut, kuku dan mengkilat, terdapat
daerah lumbosakral fenomena tetesan
lilin, Auspit,
Kobner
Dermatitis Peningkatan Lebih sering Bagian tubuh yang Makula eritematosa Gatal
Seboroik aktivitas pada dewasa banyak yang ditutupi
kelenjar mengandung papula lonjong,
sebasea kelenjar sebasea: miliar difus,
kulit kepala, skuama halus putih
belakang telinga, berminyak. Kadang
alis mata, cuping erosi dengan krusta
hidung, ketiak, kekuningan
dada, antarskapula,
suprapubis
Pitiriasis Tidak Pria=wanita, Dapat tersebar di Eritema bentuk Gatal dapat
Rosea diketahui semua usia seluruh tubuhlonjong, lentikular- didahului
terutama yangnumular, ditutupi gejala
tertutup pakaian skuama halus, prodromal
sumbu panjang lesi ringan
sesuai dengan garis
lipatan kulit, khas:
lesi inisial (herald
patch= medallion)
soliter bentuk oval,
anular, diameter 3
cm
Dermato- Golongan Pria=wanita, Dapat tersebar di Makula eritematosa Gatal
fitosis jamr semua usia seluruh tubuh dengan tepi aktif terutama
dermatofita manapun disertai jika
papul/vesikel, berkeringat
penyembuhan
sentral, berbatas
tegas, skuama
halus, jika
berlangsung kronik
dijumpai
likenifikasi atau
hiperpigmentasi

III.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan
ketidakseimbangan elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis,
maupun anemia ringan.
b. Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat
13
membantu mengidentifikasi penyebab eritroderma sampai dengan 50%
kasus, biopsi kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi,
tergantung berat dan durasi proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosis
dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis
dan perpanjangan rete ridge lebih dominan.
Eritroderma akibat limfoma, yang menginfiltrasi bisa menjadi
semakin pleomorfik, dan mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik
spesifik, seperti bandlike limfoid infiltrat di dermis-epidermis, dengan sel
cerebriform monoklear atipikal dan Pautrier’s microabscesses. Pasien
dengan sindrom Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari dermatitis
kronis.
Pada pemeriksaan immunofenotipe, infiltrat limfoid dinilai tidak
dapat menegakkan diagnosis, karena pemeriksaan ini umumnya
memperlihatkan gambaran sel T matang pada eritroderma jinak maupun
ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan papiler
dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superfisial juga
ditemukan. Pada eritroderma iktisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi
diulang dari tempat-tempat yang dapat memperlihatkan gambaran
khasnya.

III.10 PENATALAKSANAAN
Umumnya pengobatan eritroderma adalah dengan pemberian kortikosteroid.
Pada golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis
prednison 3–4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa
hari sampai beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan
kortikosteroid. Dosis mula prednison 4 x 10-15 mg sehari. Jika setelah beberapa
hari tidak tampak perbaikan, dosis dapat dinaikkkan. Setelah tampak perbaikan,
dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan
dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma
karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin. Lama penyembuhan
golongan II ini bervariasi, beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak

14
secepat golongan I.
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang baik.
Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri
atas kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-
6 mg sehari. Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena
terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula
diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema,
misalnya dengan salep lanolin 10%.

III.11 PROGNOSIS
Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang mendasarinya.
Kasus karena penyebab obat dapat membaik setelah penggunaan obat dihentikan
dan diberikan terapi yang sesuai. Prognosis kasus akibat gangguan sistemik yang
mendasarinya seperti limfoma akann tergantung pada kondisi keberhasilan
pengobatan, tetapi mungkin timbul kekambuhan. Kasus idiopatik adalah kasus
yang tidak terduga, dapat bertahan dalam waktu yang lama, sering kali disertai
dengan kondisi yang lemah.
Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara
sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat
dibandingkan golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui
penyebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya,
penderita akan mengalami ketergantungan dengan kortikosteroid.
Sindrome Sezary prognosisnya buruk, penderita pria umumnya akan
meninggal setelah 5 tahun, sedangkan penderita wanita setelah 10 tahun.
Kematian disebakan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis
fungoides.

15
BAB III
STATUS UJIAN KASUS
STASE KULIT DAN KELAMIN

I. ANAMNESIS
Identitas

Nama : Rudianto Ginting

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 69 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Status : kawin

Alamat : Jl Dusun Bambu VII Helvita

II. ANAMNESA : Autoanamnesa / alloanamnesa

Keluhan utama : Kulit terkelupas seluruh tubuh dan disertai rasa gatal
sejak 2 minggu lalu.

Keluhan Tambahan :-

Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien datang dengan keluhan kulit bersisik dan
terkelupas di seluruh tubuh disertai rasa gatal sejak 2 minggu lalu. Awalnya pasien
sakit gigi kemudian berobat ke klinik kesehatan dan di berikan obat cefadroxil dan
asam mafenamat. Setelah minum obat, 2 hari kemudian muncul di tangan lama-
kelamaan menyebar ke seluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan mata merah dan
mempunyai riwayat sakit gula.

Riwayat Penyakit Dahulu : Diabetes militus

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada

1
Riwayat Alergi : Amoxicilin, Cefadroxil, Asam Mafenamat

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmhg

Nadi : 80x/i

Pernapasan : 20x/i

Suhu : 36° c

Keadaan spesifik

Kepala : Status lokalisata

Leher : Status lokalisata

Thorax : Status lokalisata

Abdomen : Status lokalisata

Genitalia : Status lokalisata

Ekstremitas : Status lokalisata

2
IV. PEMERIKSAAN DERMATOLOGI

3
4
Ruam primer : Makula eritem difus dengan ukuran plakat universal

Ruam sekunder : Skuama tebal universal dan disertai erosi, ekskoriasi dan
krusta.

V. Tes yang dilakukan : Tidak ada

VI. Pemeriksaan laboratorik : Darah rutin : Lekositosis

VII. Ringkasan : Dari hasil anamnesis didapatkan kulit bersisik dan


terkelupas di seluruh tubuh disertai rasa gatal sejak 2 minggu lalu. Setelah minum
obat cefadroxil dan asam mafenamat, muncul di tangan lama-kelamaan menyebar
ke seluruh tubuh. Dari hasil dermatologi di dapatkan ruam primer yaitu makula
eritem difus dengan ukuran plakat universal dan ruam sekunder yaitu skuama
tebal universal disertai erosi dan ekskoriasi. Pemeriksaan laboratorik darah rutin
didapatkan lekositosis.

VIII. DIAGNOSIS BANDING :

1. Eritroderma

2. Syndrome Steven jhonson

3. Toxic Epidermal Necrolysis

IX. Diagnosis : Eritroderma

X. TATALAKSANA

Non Medikamentosa :

- Menjaga higienitas kulit

- Diet tinggi protein

- Hentikan obat yang menimbulkan alergi

5
Medikamentosa :

- Inj. Dexamethasone 1amp/12 jam

- Inj. Gentamisin 1amp/12 jam

- Cetirizine 10mg 1x1 (pagi)

- CTM 4mg 1x1 (malam)

- Ranitidine 2x1

- Eritromisin 4x500mg

- Urea 10% cream 2x1

- Desoxymethasone cream + asam fusidat cream 2x1

XI. USULAN PEMERIKSAAN LANJUTAN :

- Pemeriksaan histopatologi

VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

6
BAB IV
IV. PEMBAHASAN

Diagnosis eritroderma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan status dermatologis. Berdasarkan anamnesis yang didapatkan,
Pasien datang dengan keluhan kulit bersisik dan terkelupas di seluruh tubuh.
Awal keluhan muncul di tangan lama-kelamaan menyebar ke sekuruh
tubuh. Pasien juga mengeluhkan mata merah dan mempunyai riwayat sakit
gula. Pasien juga mengatkan bahwa alergi pada beberapa obat seperti
amoxisilin,cefadroxil dan asam mafenamat.
Dari data anamnesis di atas dapat diketahui bahwa keluhan yang
disampaikan saat anamnesis merupakan keluhan yang bisa jadi adalah
perkembangan dari penyakit sistemik (diabetes militus) yang sebelumnya
diderita pasien dan adanya alergi dari beberapa obat seperti
amoxisilin,cefadroxil dan asam mafenamat.
Dari pemeriksaan fisik status dermatologis ditemukan adanya yaitu
makula eritem difus dengan ukuran plakat universal dan ruam sekunder
yaitu skuama tebal universal disertai erosi dan ekskoriasi. Efloresensi ini
ditemukan dari kepala sampai ujung kaki. Pada pemeriksaaan pennjang
yaitu pemeriksaaan darah rutin didapatkan lekositosis.
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
mengarahkan diagnosis pada penyakit dermatosis eritroskuamosa yaitu
eritroderma. Eritroderma adalah penyakit kulit yang ditandai dengan
adanya eritema universal dan disertai skuama yang akibat dari alergi obat
sistemik, akibat perluasan penyakit kulit seperti psoriasis, pitriasis rosea,
eritroderma, dermatitis seboroik, lupus eritematosis, dan dermatofitosis dan
akibat penyakit sistemik. Dan pada pemeriksaan penunjang darah rutin
dengan hasil lekositosis dapat membantu menegakkan diagnosis.
Pada eritroderma, gejala dimulai dengan makula eritematosa meluas
sampai seluruh tubuh disertai dengan sensasi gatal dan panas di seluruh
tubuh. Bercak eritem tersebut biasanya mencapai keseluruhan permukaan
tubuh dalam 12 – 48 jam tanpa disertai skuama. Selanjutnya diikuti dengan

7
timbulnya deskuamasi dalam 2 – 6 hari, seringkali dimulai di daerah-daerah
lipatan kulit. Seluruh kulit tampak kemerahan, mengkilat dan mengelupas
serta teraba panas pada palpasi. Pada eritroderma yang disebabkan oleh
erupsi obat biasanya timbul dalam waktu singkat.
Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein,
karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Pada pasien
ini dianjurkan makan inti telur. Untuk medikamentosa pada pasien ini
diberikan Dexamethasone , Gentamisin ,Cetirizine ,CTM, Ranitidine,
Eritromisin ,urea 10% cream ,Desoxymethasone cream dan asam fusidat
cream.
a. Kortikosteroid sistemik dan topikal : inj. Dexamethasone 1amp/12
jam + Desoxymethasone cream
Kortikosteroid diberikan pada psoriasis karena memiliki efek
antiinflamasi dan antiproliferatif. Efek antiinflamasi kortikosteroid
merupakan akibat inhibisi pembentukan prostaglandin dan derivat jalur
asam arakidonat lain. Kortikosteroid dapat menghambat pelepasan
fosfolipase A2, suatu enzim yang berperan melepaskan asam arakidonat
dari membran sel sehingga menghambat jalur asam arakidonat. Efek
antiproliferatif glukokortikoid topikal diperankan oleh adanya inhibisi
sintesis DNA dan mitosis.
b. Antibiotik sistemik dan topikal : Inj. Gentamisin 1amp/12 jam, Eritromisin
4x500mg, dan asam fusidat cream 2x1
Gentamisin menghambat sintesis protein bakteri melalui
pengikatan pada 30S ribosom.Dalam prosesnya membutuhkan energi
aerobik untuk memasuki sel dan mengikat rRNA, pada subunit 30S dari
ribosom prokariotik. Secara khusus gentamisin berikatan dengan empat
nukleotida rRNA 16S dan satu asam amino protein S12. Obat ini juga
mengikat elektrostatik ke lapisan lipopolisakaridadari bakteri Gram-
negatif, suatu efek yang pada akhirnya mengganggu permeabilitas
dindingsel bakteri.
Eritromisin memiliki aktivitas sebagai bakteriostatik maupun
bakterisida tergantung dari jenis mikroba patogen dan konsentrasi obat.

8
Mekanismenya dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dengan
jalan berikatan secara reversible dengan ribosom sub unit 50S.
Asam fusidat yang merupakan antibiotik yang memiliki spektrum
aktivitas antibakteri yang sempit. Asam fusidat dihasilkan oleh jamur
Fusidum ciccineum yang sangat efektif terhadap stafilokokus aureus,
bakteri gram positif, anaerob dan aerob. Bersifat bakteriostatik yang
menghambat sintesis protein bakteri.
c. H2 Reseptor Blocker : Ranitidin 2x1
Ranitidin merupakan suatu histamine antagonis rseptor H2 yang
bekerja dengan cara menghambat kerja histamine secara kompetitif pada
reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Ranitidin diberikan
pada pasien ini karena terapi lainnya memiliki efek samping mual-
muntah (terutama kortikosteroid, antibiotik dan antidepresan) sehingga
sekresi asam lambung perlu diturunkan.
d. Antihistamin peroral : Cetirizine 10mg 1x1 (pagi) dan CTM 4mg 1x1
(malam)
Golongan antihistamin-1 (AH1) nonsedatif yang tidak atau sangat
sedikit menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien
biasanya tidak menimbulkan kantuk. Antihistamin dapat meredakan rasa
gatal sehingga mengurangi risiko terjadinya fenomena Koebner.
e. Obat topikal : urea 10 % 2x1
Urea bekerja sebagai pelembab dan keratolitik. Urea melembutkan
daerah yang bersifat keratolitik dengan melarutkan matriks intraseluler
yang mengakibatkan melonggarnya lapisan kulit dan pelepasan kulit
bersisik secara berkala, atau melembutkan lempeng kulit. 

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Wasitaatmadja Syarif M, 2007, Anatomi kulit: Ilmu penyakit kulit dan


kelamin 5th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2. Djuanda A, 2007, Dermatosis eritroskuamosa: Ilmu penyakit kulit dan
kelamin 5th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
3. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ, 2008, Exfoliative Dermatitis:
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed, McGraw-Hill Book
Co, New York.
4. Gibson LE, Perry HO, 1992, Papulosquamous Eruption and Exfoliative
Dermatitis in: Dermatology 3rd ed, WB Saunders Co, Philadelphia.
5. Guliz Karakayll, Grant Beckham, MD, Ida Orengo, MD, et al, 1999,
Exfoliative Dermatitis, Am Fam Phys.
6. Burton JL, Holden CA, 1998, Eczema, Lichenification and Prurigo in:
Textbook of Dermatology 6th ed, Blackwell Scientific Publication, Oxford.
7. Freederg IM, 1996, Exfoliative dermatitis in Fitzpatrick’s dermatology,
general medicine 4th ed, Mcgraw-Hill, Newyork.
8. Shimizu H, 2007, Shimizu’s textbook of dermatology 1st ed, Nakayama
Shoten Publishers, Hokkaido.
9. Siregar RS, 2005, Dermatosis eritroskuamosa: Saripati penyakit kulit 2nd
ed, EGC, Jakarta.
10. Champion RH, 1992, Eczema, Lichenification, prurigo, and erythroderma
in: Champion RH eds. Rook’s, textbook of dermatology 5th ed, Blackwell
Scientific Publications, Washington.
11. Graham robin brown, 2002, Lecture notes Dermatology, Jakarta.
12. Bandyopadhyay debabrata, 2010, Associate Professor and Head
Department of Dermatology (online).
Available at http://tripodIndonesia.com Accessed Dec 5, 2016.
13. Lusiani ST, 2014, A 47 Years Old Woman with Eritroderma ec. Drug
Allergy, J Medula Unila, Faculty of Medicine, Lampung University.

Anda mungkin juga menyukai