Anda di halaman 1dari 18

Pendahuluan Eritroderma dianggap sinonim dengan Dermatitis Eksfoliativa, meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda.

Kedua istilah tersebut (keduanya boleh digunakan ) dipakai untuk menggambarkan keadaan dimana sebagian besar kulit berwarna merah, meradang dan berskuama. Pada dermatitis eksfoliativa skuamanya berlapis-lapis. Defenisi Kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema di seluruh tubuh atau hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama. Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada ialah eritema, sedangkan skuama tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas, karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Etiologi Eritroderma dapat disebabkan penyakit atau kelainan alat dalam. Berdasarkan penyebabnya, eritroderma dibagi menjadi 3 golongan : I. Akibat alergi obat biasanya secara sistemik. II. Akibat perluasan penyaki kulit, misalnya : psoriasis, pemfigus foliaseus, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, dan liken planus. III. Akibat penyakit sistemik termasuk keganasan Ada pula golongan lain yang tidak diketahui penyebabnya (5-10%), meskipun telah dicari. Sebagian para penderita yang mula-mula tidak diketahui penyebabnya, kemudian berkembag menjadi sindrome Sezary.

Patofisiologi Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah kekulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya penderita merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatang perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat sebanding dengan laju metabolisme basal. Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m permukaan kulit atau lebih sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein. Hipoproteinemia dengan berkurangnya albumin dan peningkatan relatif globulin terutama globulin merupakan kelainan khas. Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan keruang ekstravaskuler. Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung berbulan-bulan dapat terjadi perburukan keadaan yang progresif. Gejala Klinis I. Eritroderma akibat alergi obat biasanya secara sistemik

Untuk menentukannya diperlukan anamnasis yang teliti; yang dimaksudkan alergi obat secara sistemk ialah masuknya obat kedalam badan dengan cara apa saja, misalnya melalui mulut, melalui hidung, dengan cara suntikan/infus, melalui rektum dan vagina. Selain itu alergi dapat pula terjadi karena obat mata, obat kumur, tapal gigi, dan melalui kulit sebagai obat luar. Banyak obat yang dapat menyebabkan alergi, menurut pengalaman penulis yang sering ialah : penisilin dan derifatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin), sulfonamid, golongan analgetik/antipiretik(misalnya : asam salisilat, metamisol, metampiron, parasetamol, fenilbutason, piramidon, dan tetrasiklin). Pada umumnya alergi ini timbul secara akut dalam waktu 10 hari. Seperti telah disebutkan, pada mulanya kelainan kulitnya hanya berupa eritema yang universal tanpa disertai skuama, pada waktu penyembuhan barulah timbul skuama. II. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit Yang sering terjadi ialah akibat psoriasis dan dermatitis seboroikpada bayi (penyakit Leiner), oleh karena itu hanya kedua penyakit ini yang akan diuraikan. 1. Eritroderma karena psoriasis Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena 2 hal : disebabkan oleh penyakit nya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat, misalnya pengobatan topikal dengan ter dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita psoriasis. Penyakit tersebut bersifat menahun dan residif , kelainan kulit berupa skuama yang berlapis-lapis dan kasar di atas kulit yang eritematosa, berbatas tegas. Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak mninggi dari pada disekitarnya dan skuama ditempat itu lebih tebal. Kuku juga perlu dilihat, dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan miliar, tanda ini hanya menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Jika ragu-ragu, pada tempat yang meninggi tersebut dilakukan biosi untuk pemeriksaan histopatologik. Kadang-kadang biopsi sekali tidak cukup dan harus dilakukan beberapa kali. Sebagian penderita tidak menunjukkan kelainan semacam itu, jadi terlihat hanya eritema yang menyeluruh dan skuama. Pada penderita demikian kami baru mengetahui bahwa penyebabnya psoriasis setelah diberi terapi dengan kortikosteroid. Pada saat eritrodermanya mengurang, maka mulailah tampak gejala psoriasis.

2. Penyakit Leiner Sinonim penyakit ini ialah eritroderma deskuamativum. Etiologinya belum diketahui pasti, tetapi menurut pendapat penulis umumnya penyakit ini disebabkan dermatitis seboroika yang meluas, karena pada para penderita penyakit ini hampir selalu terdapat kelainan yang khas untuk dermatitis seboroika. Usia penderita antara 4 minggu sampai 20 minggu. Keadaan umum penderita baik, biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritema universal disertai skuama yang kasar. III. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk golongan I dan II harus dicari penyebabnya, yang berarti harus diperiksa secara menyeluruh, apakah ada penyakit pada alat dalam dan harus dicari

pula apakah ada infeksi dalam dan infeksi fokal. Termasuk di dalam golongan ini ialah sindrome Sezary . Sindrom Sezary Penyakit ini termasuk limfoma, ada yang berpendapat merupakan stadium dini mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan kedalam CTCL (Cutaneous T-Cell Lymphoma). Yang diserang adalah orang dewasa, mulainya penyakit pada pria rata-rata berumur 64 tahun, sedangkan pada wanita 53 tahun. Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat pula infiltrasi pada kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah para penderita didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan plantaris, serta kuku yang distrofik. Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus menunjukkan leukositosis, 19% dengan eosinofilia dan limfositosis. Selain itu terdapat pula limfosit atipik yang disebut sel Sezery. Sel ini besarnya 10-20 , mempunyai sifat yang khas, di antaranya intinya homogen, lobular, dan tak teratur. Selain terdapat dalam darah, sel tersebut juga terdapat dalam kelenjer getah bening dan kulit.untuk menentukannya memerlukan keahlian khusus. Biopsi pada kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis bagian atas dan terdapatnya sel Sezary. Pengobatan 1. Hentikan semua obat yang mempunyai potensi menyebabkan terjadinya penyakit ini . 2. Rawat pasien di ruangan yang hangat. 3. Perhatikan kemungkinan terjadinya masalah medis sekunder (misalnya dehidrasi, gagal jantung, dan infeksi) 4. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti. 5. Berikan steroid sistemik jangka pendek(bila pada permulaan sudah dapat didiagnosis adanya psoriasis, maka mulailah mengganti dengan obat-obat anti-psoriasis. 6. Mulailah pengobatan yang diperlukan untuk penyakit yang melatarbelakanginya. Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari beberapa minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan etretinat. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I. Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari. Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep lanolin 10%

Komplikasi - Gagal jantung - Gagal ginjal - Kematian mendadak akibat hipotermi sentral. Prognosis Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami ketergantungan kortikosteroid. Sindrome Sezary prognosisnya buruk, penderita pria umumya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan penderita wanita setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis fungoides.

Cermin Dunia Kedokteran No. 74, 1992 16

Dermatitis Exfoliativa
Imtikhananik
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada,

Yogyakarta PENDAHULUAN
Dermatitis Exfoliativa merupakan kelainan dengan banyak penyebab, yang mengenai lebih dari 90% permukaan tubuh, yang ditandai dengan eritema dan exfoliasi terus menerus
(1)

. Penyakit ini disebut juga Eritroderma (Wilson Brocq) atau Pitiriasis Rubra (Hebra). Istilah dermatitis exfoliativa digunakan bila ada reaksi eksematous dan exfoliasi di seluruh tubuh. Sedang istilah pitiriasis rubra dan eritroderma digunakan bila terjadi inflamasi kulit berupa eritema, dan exfoliasinya hanya sedikit
(2)

KEJADIAN
Dermatitis exfoliativa merupakan penyakit yang relatif banyak terjadi di negara-negara tropis. Pria sering terkena dibanding wanita, dengan perbandingan (2-3 : 1), dan biasanya terjadi pada usia lebih dari 45 tahun
(1)

ETIOLOGI
Penyebab yang umum adalah faktor-faktor genetik, akibat pengobatan dengan medikamentosa tertentu dan infeksi. Penyakit ini bisa juga merupakan akibat lanjut (sekunder) dari psoriasis, eksema, dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, dan limfoma maligna
(2)

GAMBARAN KLINIK
Gambaran umum dermatitis exfoliativa sesuai dengan penyakit yang mendasari dan umur penderita serta kondisi fisik secara umum. Terjadinya penyakit ini bisa secara tiba-tiba atau secara bertahap. Kulit menjadi merah dan udem; jika kulit ditekan dengan sebuah gelas (diaskopi) akan menunjukkan gambaran kekuningan pada orang-orang berkulit cerah, dan gambaran kecoklatan pada orang berkulit gelap.

Patch eritem yang merata, dapat disertai dengan demam,


menggigil dan badan lemah. Eritema meluas dengan cepat dan dapat menyeluruh dalam 12-48 jam. Skuama (sisik) muncul pada daerah fleksor lengan atau tungkai. Skuama yang terjadi bervariasi, ada yang tipis, tebal dan ada pula yang lebar. Pada keadaan ini kulit menjadi merah, panas dan kering, serta teraba tebal. Dalam hal ini rasa gatal bervariasi pada masing-masing penderita. Intensitas eritema bisa berhari-hari atau berjam-jam. Kadang terjadi iritasi, namun sensasi kekakuanlah yang lebih khas. Beberapa penderita merasakan dingin, khususnya bila eritema meningkat. Bila hal ini berlangsung beberapa minggu, skuama muncul semakin banyak, dan kuku menjadi kaku dan tebal. Pada kasus yang sudah kronis, biasanya terjadi perubahan pigmen, dapat terjadi patch atau kehilangan pigmen yang meluas. Limfadenopati menyeluruh dapat pula terjadi
(2,5)

HISTOPATOLOGI
Proses inflamasi memainkan peranan yang penting dalam menentukan perubahan-perubahan histologis. Pada kasus yang akut, spongiosis dan parakeratosis merupakan suatu infliltrat inflamasi non spesifik, sehingga dermis menjadi udem. Pada kasus yang kronis, akantosis dan kekakuan merupakan hal yang menonjol. Pada dermatitis exfoliativa oleh karena limfoma, infiltrat ini menjadi pleomorfik yang makin bertambah, dan merupakan penegakan diagnosis yang spesifik
(1)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan eosinofilia pads dermatitis exfoliativa oleh karena dermatitis atopik. Gambaran lainnya adalah sedimen yang meningkat, turunnya albumin se-

Cermin Dunia Kedokteran No. 74 1992 17 rum dan globulin serum yang relatif meningkat, serta tanda disfungsi kegagalan jantung dan intestinal. Kedua hal terakhir ini tidak spesifik
(3)

. DIAGNOSIS Diagnosis mudah ditegakkan, yakni dari adanya skuamasi dan eritem yang luas pada tubuh, rasa gatal, demam, perasaan lemah badan. Namun yang sulit adalah menentuj , can kausa yang mendasarinya. Anamnesis sangat membantu untuk mengidentifikasi penyebab; namun dalam beberapa kasus, anamnesis saja belum cukup; biopsi nodus limfatikus sangat dianjurkan jika ada kecurigaan ke arah limfoma, dan biasanya sangat membantu (1) . DIAGNOSIS BANDING Yang perlu diketahui dalam hal ini, adalah penyakit-penya kit yang diduga menyebabkan timbulnya dermatitis exfoliativa ini. Penyakit-penyakit itu antara lain: psoriasis, pitiriasis rubra pilaris, dermatitis kontak alergik, dermatitis fotokontak alergik, dermatitis atopik (3) . Psoriasis merupakan penyakit kronik, residif, yang ditandai dengan adanya plak eritematous, berbatas tegas, dengan skuama berlapis-lapis berwarna putih keperakan, dan biasanya idiopatik. Penyakit ini bisa mengenai siku, lutut, kulit kepala, dan regio lumbosakral. Fenomena Koebner (yakni munculnya lesi-lesi baru akibat trauma fisis di sekitar lesi lama) biasanya positif, tanda Auspitz (adanya bgcal4emerahan akibat dikelupasnya skuama yang ada) juga positif, fenomena tetesan lilin (bila pada skuama digaruk, maka timbul warna putih keruh seperti tetesan lilin) positif. Bila tidak ada tanda-tanda tersebut, kausa psoriasis bisa disingkirkan. Pitiriasis Rubra Pilaris, merupakan penyakit eritroskuamosa yang menyerupai psoriasis dan dermatitis seboroik, dengan penyebab idiopatik. PerbedaannXa , terutama pada orientasi lesi yang folikuler, dengan erupsi yang relatif lebih coklat dibanding psoriasis dan dermatitis seboroik; pitiriasis rubra pilaris jarang (talc pernah) mengenai kulit kepala. Dermatitis seboroik merupakan dermatitis yang terjadi pada daerah seboroik (daerah yang banyak mengandung kelenjar sebacea/lemak), seperti batok kepala, alis, kelopak mata, lekukan nasolabial, dengan kelainan kulit berupa lesi dengan batas tak

teratur, dasar kemerahan, tertutup skuama agak kuning dan berminyak (4) . Dermatitis kontak alergik, merupakan dermatitis yang terjadi setelah adanya kontak dengan suatu bahan; secara imunologis, reaksi ini termasuk reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Ujud kelainan kulit bisa berupa eritem/edema/vesikel yang bergerombol atau vesikel yang membasah, disertai rasa gatal. Bila kontak berjalan terus, maka dermatitis ini dapat menjalar ke daerah sekitarnya dan ke seluruh tubuh. Dermatitis fotokontak alergik adalah dermatitis yang terjadi pada tubuh karena pajanan sinar matahari akibat pemakaian . bahan/obat tertentu baik yang topikal maupun sistemik, khusus pads orang yang peka terhadap bahan/obat tersebut. Lesi berupa eritem/vesikel/edema pada bagian tubuh yang terpajan sinar matahari, rasa gatal atau rasa panas, atau rasa gatal dan panas sekaligus. Tentu saja hal ini membutuhkan anamnesis yang baik. Dermatitis atopik, ujud kelainannya berupa papula yang kering dan gatal, intertrigineus, ekskoriasi, likenifikasi, dan biasanya hiperpigmentasi. Dalam hal ini perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada keluarga pasien misalnya riwayat serangan asma, eksema, rhinitis alergika, urtikaria. Riwayat atopi ini juga bisa dilihat dengan adanya kulit yang kering (xerosis), keilitis, katarak subkapsuler bagian anterior, intoleran terhadap makanan, gatal bila berkeringat, intoleran terhadap wol, dapat dipengaruhi oleh faktor emosi, dan sebagainya (3) . Apabila penyakit-penyakit tersebut tidak mendukung panegakan penyebab/kausa terjadinya penyakit dermatitis eksfoliativa, maka harus dicurigai faktor keganasan. Untuk itu perlu sekali dilakukan pemeriksaan biopsi limfonodi. TERAPI Perawatan di rumah sakit sangat dianjurkan untuk memper oleh perawatan medis dan pemeriksaan laboratorium yang baik. Pengobatan topikal pelembut (untuk mandi, berupa emulsi, dan mungkin juga bentuk-bentuk lain) sangat membantu. Kortikosteroid (prednison 40 mg setiap hari dalam dosis pemeliharaan) juga diberikan. Obat-obat tersebut mengurangi kekakuan dari gejala yang ada. Antibiotik diperlukan juga bila diduga ada infeksi sekunder( 2 ). Perawatan di rumah sakit tidak diperlukan bila pasien dianggap kooperatif dengan dokter yang merawat; para pasien/

penderita dermatitis exfoliativa menunjukkan adanya perbaikan, hanya dengan sistim rawat jalan saja (5) .

Cermin Dunia Kedokteran No. 74, 1992 18 KOMPLIKASI Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi sekunder oleh bakteri, septikemi, diare, dan pneumoni. Gangguan metabolik melibatkan suatu resiko hipotermia, dekompensasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer, dan trombophlebitis.. Bila pengobatan kurang baik, akan terjadi degenerasi viseral yang menyebabkan kematian
(2,5)

. PROGNOSIS Dermatitis exfoliativa memiliki prognosis yang kurang baik


(3)

, sementara banyak penulis lain yang mengatakan bahwa prognosis dermatitis exfoliativa pada umumnya baik; tentu saja tidak terlepas dari faktor penyakit yang mendasari dan kondisi penderita itu sendiri.
KEPUSfAKAAN 1. Wilkinson DS et al., Textbook of Dermatology, 4th edition, London: Blackwell Scient Pub11988. 2. Canizares, A Manual of Dermatology for Developing Countries, London: Oxford University Press, 1982. 3. Siregar dkk. Ekzema Dermatitis, dalam: Harahap M. (ed.): Penyakit Kulit, Jakarta: Gramedia, 1990. 4. Moschella, Hurley. Dermatology, vol. 1, America: WB Saunders Company, 1985. 5. Arnold et al. Andrew
'

s Diseases of the skin, Clinical Dermatology, eighth edition, WB Saunders Co, 1990.

Abstrak Latar belakang: Eritroderma merupakan sebuah kondisi kulit yang langka. Penyakit ini bisa disebabkan oleh berbagai dermatosa, infeksi, penyakit sistemik dan obat-obatan. Metode: Kami mereview material biopsi dan material laboratorium dari 97 pasien yang didiagnosa dengan eritroderma, yang dirawat di rumah sakit kami selama periode lebih dari 6 tahun (1996 sampai 2002). Hasil: Rasio antara pria/wanita adalah 1,85:1. Usia rata-rata saat diagnosis adalah 46,2 tahun. Faktor penyebab yang paling umum adalah dermatosa (59,7%), diikuti dengan reaksi obat (21,6%), keganasan (11,3%) dan penyebab idiopatik (7,2%). Karbamazepin merupakan obat yang paling umum (57,1%). Korelasi klinikopatologi yang paling baik ditemukan pada limfoma sel T kutaneous dan eritroderma yang terkait pityriasis rubra pilaris. Selain skaling dan eritema yang terdapat pada semua pasien, pruritus merupakan temuan yang paling umum (97,5%) diikuti demam (33,6%), limfadenopati (21,3%), edema (14,4%) dan hiperkeratosis (7,2%). Kesimpulan: Penelitian ini menyoroti bahwa faktor etiologi dari eritroderma bisa menunjukkan variasi terkait tempat tinggal (geografis). Kasus-kasus yang kami teliti memiliki persentase eritroderma yang tinggi akibat dermatosa yang telah ada dan persentase penyebab idiopatik yang rendah. Tidak ada pasien terinfeksi HIV dalam kasus kami berdasarkan uji antibodi serum. Gambaran klinis eritroderma cukup identik, tanpa tergantung etiologi. Onset penyakit biasanya tidak disadari kecuali pada eritroderma yang ditimbulkan obat, yang sifatnya akut. Prognosis yang paling baik adalah prognosis yang terkait dengan obat-obatan.

Latar belakang Eritroderma atau dermatitis eksfoliatif merupakan sebuah gangguan kulit yang langka, yang bisa disebabkan oleh banyak penyebab. Ini mewakili sebuah kondisi iritasi kulit ekstrim yang melibatkan seluruh atau hampir semua permukaan kulit. Karena kebanyakan pasien adalah lanjut usia dan keterlibatan kulit cukup luas, maka penyakit ini memiliki risiko yang penting bagi kehidupan pasien. Hasan dan Jansen memperkirakan kejadian tahunan eritroderma antara 1 sampai 2 per 100.000 pasien. Sehgal dan Strivasta melaporkan kejadian eritroderma dalam sebuah penelitian prospektif skala besar dari sub-daratan India sebesar 35 per 100.000 pasien rawat jalan. Faktor-faktor kutaneous bisa dikelompokkan sebagai dermatosa yang diderita sebelumnya, reaksi obat, penyakit sistemik, keganasan, infeksi dan gangguan idiopatik. Empat penyebab idiopatik yang kemungkinan menjadikan eritroderma lebih parah adalah dermatitis atopik lanjut usia, asupan obat yang tidak diperhatikan oleh pasien, erupsi pra-limfomatous dan keganasan okult. Histopatologi bisa membantu mengidentifikasi penyebab eritroderma pada hingga 50% kasus, khususnya dengan biopsi kulit multiple. Banyak dermatosa kronis yang tidak dapat dibedakan secara histologis pada pasien eritroderma.

Di Pakistan, Pal dan Haroon telah meneliti sifat-sifat eritoderma pada 90 pasien dan menemukan dermatosa yang telah ada sebagai penyebab paling sering untuk eritroderma. Sampai sekarang belum ada penelitian yang dipublikasikan tentang frekuensi penyebab eritroderma dari Timur Tengah. Untuk mendapatkan gambaran eritoderma di wilayah kami, kami telah mereview kasuskasus eritroderma yang dievaluasi dan dirawat dalam institusi kami antara 1996 sampai 2000 (enam tahun). Terakhir data kami dibahas dan dibandingkan dengan kasus-kasus lain sebelumnya yang diambil dari populasi Barat dan Eropa serta dari negara-negara Asia lainnya. Metode Kami mendefinisikan eritroderma sebagai eritema menyeluruh pada kulit (mengenai lebih dari 90% area permukaan tubuh) yang disertai dengan skaling. Populasi yang dicakup oleh institut kami sulit untuk ditentukan, karena institut kami merupakan sebuah rumah sakit rujukan tersier yang menerima pasien-pasien dari daerah yang jauh. Cakupan 5.000.000 penduduk merupakan jumlah perkiraan. Karena adanya risiko yang ditimbulkan oleh eritroderma terhadap kehidupan pasien dan untuk mengkaji penyebab pada masing-masing pasien, kami selalu memperlakukan mereka sebagai pasien rawat inap. Catatan pasien yang dikeluarkan dengan diagnosis eritroderma dalam periode mulai dari 1996 sampai 2002 (enam tahun) direview secara cermat dan data-data berikut dicatat untuk semua pasien; data pribadi, riwayat penyakit kulit, riwayat medis di masa lalu, riwayat obat, episode eritroderma sebelumnya, onset eritroderma (akut atau ringan), data klinis selama episode (skaling, pruritus), limfadenopati, pembesaran visceral, hiperkeratosis, keterlibatan mukosa, dan edema). Penyelidikan laboratorium yang mencakup parameter hematologi lengkap, laju sedimentasi eritrosit, kadar protein serum, uji fungsi hati dan ginjal, elektrolit serum, mikroskopi urin, pemeriksaan feses untuk darah okult, penanda serum untuk hepatitis B dan C viral dan pengujian antibodi HIV, mikroskopi untuk kutu skabies dan fungus, elektrokardiografi, dan radiografi dada dilakukan untuk semua pasien sebagai sebuah prosedur rutin dalam klinik dermatologi rumah sakit kami. Pemeriksaan spesifik penyakit seperti biopsi kulit, biopsi kelenjar getah bening, imunofenotyping, sitometri alir, uji tempel dan pemeriksaan untuk keganasan okult dilakukan pada kasus tertentu jika diindikasikan. Hasil Dalam periode penelitian selama 6 tahun, eritroderma ditemukan pada 97 pasien. Sebanyak 63 (64,9%) pasien adalah pasien pria dan 34 (35,1%) adalah pasien wanita, yang berarti bahwa jumlah pria lebih banyak dibanding jumlah wanita dengan proporsi 1,85:1. Usia rata-rata saat onset eritroderma adalah 46,220,03 (SD) tahun (kisaran, 8 sampai 90 tahun). Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal usia onset antara kelompok pria dan wanita dengan menggunakan uji-T independen. Semua pasien dalam laporan kasus ini berasal dari ras Kaukasoid. Semua pasien mengalami skaling. Sebanyak 94 (97,5%) pasien mengalami pruritus. Tiga puluh dua (33,6%) pasien mengalami demam (suhu, 38oC atau lebih tinggi) selama episode eritroderma dan limfadenopati ditemukan pada 20 (21,3%) pasien. Pembesaran visceral ditemukan pada 4 (4%) pasien. Edema, hiperkeratosis dan keterlibatan mukosal ditemukan pada 14 (14,4%), 7 (7,2%) dan 1

(1%) pasien, masing-masing. Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada 81 (83,5%) dari 97 pasien. Biopsi kulit dilakukan pada semua kasus yang dikelompokkan sebagai kasus ganas dan idiopatik. Biopsi kulit tidak dilakukan pada beberapa kasus karena penyebab eritroderma jelas dari awal (dermatosa yang telah ada sebelumnya atau perawatan dengan beberapa obat dalam beberapa hari sebelum munculnya eritroderma). Diagnosis akhir adalah hasil dari evaluasi klinis, temuan biokimia dan histologi serta evolusi eritroderma pada masing-masing pasien individual. Pasien dibagi menjadi empat kelompok etiologi: (1) dermatosa sebelumnya (58 pasien, 59,8%): psoriasis, 27 (27,8%); dermatitis atopik, 13 (13,4%); pityriasis rubra pilaris, 8 (8,2%); dermatitis seborheik, 2 (2,1%); dermatitis kontak, 3 (3,1%); aktinik retikulosis, 1 (1%); skabies, 1 (1%); ochthyosiformis bulosa, 1 (1%); pemphigus foliaceus, 1 (1%) dan xerosis senile, 1 (1%), (2) keganasan (11 pasien, 11,3%); sindrom Sezary, 2 (2,1%); mycosis fungoides, 8 (8,2%); kanker paru-paru, 1 (1%), (3) reaksi obat 921 pasien, 21,6%): karbamazepin, 12 (57,1%); phenytoin, 3 (14,3%); phenobarbital, 2 (9,5%); lithium, 1 (4,8%); penisilin, 1 (4,8%) dan (4) Idiopatik atau tidak diketahui: tujuh pasien (7,2%). Hubungan antara sebuah obat dan eritroderma ditentukan dari asupan obat yang dicurigai pada hari-hari sebelum onset eritroderma dan pembersihan manifestasi-manifestasi setelah penghentian obat. Anemia ringan, laju sedimentasi eritrosit meningkat, leukositosis, dan hipoalbuminemia merupakan temuan yang umum tetapi tidak ada sesuatu yang istimewa ditemukan pada uji laboratorium. Tak satupun pasien yang positif HIV berdasarkan uji antibodi serum. Semua pasien dalam kelompok idiopatik serta mereka yang mengalami dermatitis seborheik, aktinik retikuloid dan sindrom Sezary adalah pria. Ketiga pasien yang mengalami dermatitis kontak sebagia penyebab eritroderma mereka adalah wanita. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal frekuensi penyebab eritroderma diantara pria dan wanita. et eritroderma terjadi secara menyeluruh pada 23 (23,7%) pasien. Pada beberapa pasien lainnya, tempat awal yang terlibat pada eritroderma adalah kepala dan leher pada 20 pasien (20,6%), tungkai atas atau bawah pada 18 (18,5%), trunkus pada 11 (11,3%), genitalia pada satu (1%), area fleksural pada lima (5,2%) dan area ekstensor pada 19 (19,6%) pasien. Pada follow-up, hanya satu pasien dengan kanker paru yang meninggal akibat eritroderma atau penyebabnya. Tak satupun pasien dengan reaksi obat dan pityriasis rubra pilaris yang kambuh. Dengan terapi, eritroderma membaik pada semua pasien yang mengalami mycosis fungoides dan sindrom Sezary tetapi kekambuhan terjadi pada semua pasien sekurang-kurangnya sekali lagi. Semua pasien yang mengalami psoriasis dirawat di rumah sakit untuk kedua kalinya selama periode penelitian. Pembahasan Pendekatan terhadap pasien yang mengalami eritroderma tergantung pada riwayat dermatologi sebelumnya. Pasien dengan gangguan-gangguan dermatologi yang tidak mempan terapi bisa mengalami eritroderma selama periode suar (flare). Pada kasus-kasus seperti ini, diagnosis etiologi mudah ditegakkan, atau jika tidak, eritroderma akan tetap menjadi tantangan diagnostik. Gambaran klinis eritroderma tidak spesifik dan petunjuk tertentu seperti skaling atau pruritus tidak bisa dikaitkan dengan penyebab spesifik manapun. Eritroderma dengan durasi lama bisa menyebabkan kerontokan rambut atau distropi kuku tanpa tergantung pada asal usulnya, sehingga perubahan-

perubahan ini juga tidak spesifik. Pada pasien eritrodermik, korelasi klinikopatologi biasanya buruk, karena perubahan kutaneous spesifik dermatosa atau reaksi-reaksi obat disamarkan oleh perubahan-perubahan non-spesifik yang ditimbulkan oleh proses inflamasi dari eritroderma. Pada seorang pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit dan yang menyangkal pernah meminum obat, diagnosis lebih sulit dan sangat penting untuk melakukan biopsi-biopsi pada kasus-kasus semacam ini walaupun gambaran histologis menunjukkan dermatitis subakut atau kronis dan reaksi psoriasiform. Sehingga setiap kasus yang asal-usulnya tidak diketahui memerlukan pemeriksaan histologis menyeluruh melalui berbagai biopsi kulit dan biopsi kelenjar getah bening untuk menunjukkan limfoma. Salah satu kekurangan penelitian kami ini adalah bahwa penelitian ini merupakan penelitian retrospektif sehingga kami tidak mampu memverifikasi diagnosis sendri. Meskipun dengan kekurangan ini kami yakin bahwa data kami tentang penyebab eritroderma akan memberikan tambahan literatur tentang eritroderma. Dalam seri kasus kami, usia rata-rata saat onset adalah pada dekade ke-lima dan jumlah pria lebih banyak dari wanita. Temuan seperti ini sesuai dengan banyak penelitian lain. Korelasi klinikopatologi yang paling baik adalah mycosis fungoides dan pityriasis rubra pilaris. Sebelumnya, Botella-Estrada dkk juga telah melaporkan temuan serupa. Seperti banyak kasus lain, skaling difus dan pruritus ditemukan pada hampir semua pasien. Walaupun kami menguji setiap pasien pada beberapa kondisi, kami menemukan persentase limfadenopati yang lebih rendah, pelebaran visceral, edema dan keterlibatan mukosal dibandingkan dengan kasus Pal dan Haroon. Banyak obat yang dapat menyebabkan eritroderma. Diantarannya yang lebih umum adalah turunan purazalon, karbamazepin, turunan hydantoin, cimetidin, garam lithium dan garam gold. Menurut temuan kami, agen yang paling berpotensi menimbulkan eritroderma adalah karbamazepin, phenytoin dan phenobarbital. Obat-obat yang bertanggung jawab untuk eritroderma dalam seri kasus kami sebelumnya telah dicurigai sebagai penyebab gangguan ini dalam literatur. . Mengherankannya, meskipun dengan fakta bahwa alopurinol sering diresepkan di negara ini namun kami menemukan tidak ada eritroderma yang terkait dengan obat ini. Alopurinol telah disebutkan sebagai salah satu penyebab paling umum eritoderma imbas obat pada beberapa laporan kasus terbaru. Perbandingan kelompok-kelompok etiologi diantara penelitian-penelitian sebelumnya dan kasus kami ditunjukkan pada Tabel 1. Seri kasus kami memiliki persentasi yang tinggi untuk eritroderma yang terjadi akibat dermatosa yang telah ada sebelumnya yang disebutkan sebagai penyebab paling umum eritroderma dewasa pada kebanyakan penelitian. Reaksi obat merupakan penyebab eritroderma yang paling umum pada pasien-pasien positif HIV dalam salah satu laporan. Persentase kasus dimana tidak ada penyakit lain yang menyertai eritroderma berkurang seiring dengan meluasnya pemeriksaan dan durasi pengamatan, tetapi pada setiap seri kasus jumlah jarang dibawah 10%. Dalam seri kasus kami, kami menemukan persentase kasus idiopatik yang sangat rendah. Sebanyak 8 (8,2%) pasien kami didiagnosa sebagai pityriasis rubra pilaris yang tidak umum dilaporkan sebagai penyebab eritroderma pada penelitian lain. Pal dan Haroon melaporkan pityriasis

rubra pilaris sebagai sebuah faktor penyebab eritroderma pada 2,2% pasien mereka. Sebagai akibatnya, kami menyimpulkan bahwa kemungkinan terdapat frekuensi pityriasis yang lebih tinggi dibanding keumumannya dalam lingkungan kami. Psoriasis merupakan penyebab paling umum, yang sesuai dengan penelitian dari Pakistan dan India. Onset eritroderma biasanya berlangsung tanpa disadari kecuali pada kasus yang ditimbulkan obat. Ini sesuai dengan tiga penelitian lain, yang melaporkan onset perlahan pada kebanyakan kasus. Pada penelitian Pal dan Haroon, eritroderma dimulai dengan onset akut pada lebih dari dua pertiga pasien yang diasumsikan terkait dengan penggunaan obat tanpa hati-hati. Pada pasien kami, kelompok yang memiliki prognosis paling baik adalah yang terkait dengan obat. Karena eritroderma terkadang terkait dengan keganasan internal, bahkan pasien dengan riwayat dermatosa sebelumnya yang gambaran klinikopatologinya tidak konklusif, harus diperiksa secara cermat untuk memastikan penyebab neoplastis ganas. Kami tidak menemukan hasil pemeriksaan laboratorium yang berarti pada pasien-pasien kami. Temuan ini cukup mirip dengan yang dilaporkan oleh Haroon dan Pal. Tidak ada pasien terinfeksi HIV dalam seri kasus kami. Eritroderma sering dilaporkan akibat dermatosa berbeda atau reaksi obat pada pasien yang positif HIV. Dalam salah satu seri kasus yang dilaporkan oleh Morar dkk., banyak pasien eritroderma yang positif HIV tetapi tidak memiliki peningkatan jumlah episode ertiroderma secara signifikan. Disimpulkan bahwa pada pasien kulit hitam yang masih muda eritroderma bisa menjadi penanda infeksi HIV. Sejalan dengan frekuensinya yang rendah, HIV kelihatannya merupakan ancaman yang lebih kecil dalam komunitas kami. Dalam penelitian-penelitian awal, angka kematian yang dilaporkan akibat eritroderma bervariasi mulai dari 18 sampai 64%. Pada follow-up, kami hanya menemukan satu kematian yang terkait dengan eritroderma atau penyebab mendasarnya, yang adalah pasien dengan kanker paru-paru. Temuan kami mendukung pendapat Hassan dan Jansen bahwa eritroderma tidak memiliki risiko signifikan bagi kehidupan pasien. Penelitian ini menggarisbawahi bahwa beberapa sifat penting dari eritroderma bisa menunjukkan variasi geografis. Kesimpulan Kasus-kasus yang kami laporkan memiliki persentase eritroderma yang tinggi akibat dermatosa yang telah ada sebelumnya dan persentase kasus idiopatik yang rendah. Gambaran klinis eritroderma cukup identik, tanpa tergantung pada etiologi. Onset penyakit biasanya berlangsung lambat kecuali pada eritroderma imbas obat, yang bersifat akut. Penelitian ini menggarisbawahi bahwa faktor etiologi dari eritroderma bisa menunjukkan variasi geografis.

Anda mungkin juga menyukai