Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan


penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus segera ditangani dengan cepat
dan tepat. Stroke merupakan suatu kelainan fungsi otak yang berlangsung secara
mendadak yang disebabkan akibat terjadinya gangguan peredaran darah otak yang
bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Stroke juga merupakan tanda-
tanda klinik yang berkembang secara cepat akibat dari gangguan fungsi otak
yang terjadi secara fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih yang mampu mengakibatkan terjadinya kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Muttaqin, 2008).
Stroke merupakan penyebab kematian yang menduduki peringkat ke
ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker, baik di negara
maju maupun negara berkembang. Satu dari 10 penyebab kematian disebabkan
oleh stroke. Setiap tahunnya terdapat 10 juta orang di seluruh dunia yang
menderita stroke, diantaranya ditemukan jumlah kematian sebanyak lima juta
orang dan lima juta orang lainnya mengalami kecacatan yang permanen. Stroke
merupakan penyebab kecacatan yang dapat dicegah (American Heart Association,
2014).
Stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu stroke
hemoragik (perdarahan) dan stroke iskemik. Stroke hemoragik terjadi karena
pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang normal.
Hampir 70% kasus stroke hemoragik diderita oleh penderita hipertensi,
sedangkan stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak terhenti. Hampir sebagian besar pasien atau
sebesar 83% mengalami stroke jenis ini (Pudiastuti, 2013).
Penyakit stroke meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Di
Amerika Serikat terdapat 160.000 penduduk meninggal akibat penyakit
stroke. Sebanyak 75% pasien stroke di Amerika menderita kelumpuhan. Di Eropa
ditemukan 650.000 kasus stroke setiap tahunnya. Jumlah penyakit stroke di dunia
maupun di Indonesia kini semakin meningkat dari tahun ke tahun (Walyono,
2009).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018, prevalensi penyakit stroke
di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Kasus
stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun ke atas
(50,2%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar (0,6%).
Prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki (11,0%)
dibandingkan dengan perempuan (10,9%). Berdasarkan tempat tinggal,
prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi (12,6%) dibandingkan dengan
daerah pedesaan (8,8%) (Kementerian Kesehatan Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan, 2018).
Berdasarkan penelitian Haqhqoo et al, (2013) menemukan sekitar
65,5% penderita stroke mengalami ketergantungan dan membutuhkan bantuan
orang lain dalam memenuhi kebutuhan aktivitas kehidupannya sehari-hari
(AKS). Semakin lanjut usia, maka akan mengalami kemunduran terutama di
bidang kemampuan fisik sehinggga mengakibatkan timbulnya gangguan
dalam hal mencukupi kebutuhan sehari-harinya yang berakibat meningkatnya
ketergantungan terhadap bantuan orang lain (Nugroho, 2014).
Defisit perawatan diri merupakan ketidakmampuan melakukan atau
menyelesaikan aktivitas perawatan diri. Penyebab dari defisit perawatan diri yaitu:
gangguan musculoskeletal, gangguan neuromuskular, kelemahan, gangguan
psikologis dan atau psikotik, penurunan motivasi atau minat. Adapun tanda
dan gejala mayor yaitu data subyektif menolak melakukan perawatan diri,
dan data objektif mayor berupa tidak mampu mandi atau mengenakan pakaian,
makan dan minum, ke toilet, berhias secara mandiri, dan minat melakukan
perawatan diri kurang. Kondisi klinis terkait defisit perawatan diri yaitu
stroke, cedera medulla spinalis, depresi, arthritis rheumatoid, retardasi mental,
delirium, demensia, gangguan amnestic, skizofrenia dan gangguan psikotik
lain, fungsi penilaian terganggu (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimanakah Gambaran
Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Stroke”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka dapat
dirumuskan masalah dalam makalah ini adalah :
a. Apa pengertian stroke?
b. Apa jenis-jenis stroke?
c. Bagaimana etiologi stroke?
d. Bagaimana patofisiologi stroke?
e. Apa tanda dan gejala stroke?
f. Bagaimana menjelaskan prinsip penanganan stroke?
g. Bagaimana komplikasi dari penyakit stroke?
h. Bagaimana prinsip asuhan keperawatan pada klien dengan kasus stroke
baik hemoragik maupun non hemoragik?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggambarkan Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Stroke.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penelitian studi kasus Gambaran Asuhan Keperawatan
Pada Lansia dengan Stroke adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan pengertian stroke
b. Mampu menyebutkan klasifikasi stroke
c. Mampu menyebutkan etiologi stroke
d. Mampu menjelaskan patofisiologi penyakit stroke
e. Mampu menyebutkan tand dana gejala stroke
f. Mampu menjelaskan prinsip penanganan stroke
g. Mampu menjelaskan komplikasi stroke
h. Mamapu menguraikan prinsip asuhan keperawatan pada klien dengan
kasus stroke baik hemoragik maupun non hemoragik

American Heart Association. (2014). Heart Disease and Stroke Statistics.


Retrieved from http://www.strokeaha.org
Kementerian Kesehatan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. (2018).
Hasil Utama Laporan Riskesdas 2018.
Muttaqin, A. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. (Angriani Rida, Ed.) (1st ed.). Jakarta: Salemba
Medika.
Nugroho. (2014). Keperawatan gerontik & geriatrik (3rd ed.). Jakarta: EGC.
Pudiastuti, R. D. (2013). Penyakit-Penyakit Mematikan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Walyono, S. (2009). 100 Questions & Anwers STROKE. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo Gramedia.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Stroke
1. Pengertian Stroke
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa
kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak.
Secara sederhana stroke didefinisikan sebagai penyakit otak akibat terhentinya
suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau perdarahan (stroke
hemoragik) (Junaidi, 2011). Mulanya stroke ini dikenal dengan nama apoplexy,
kata ini berasal dari bahasa Yunani yag berarti “memukul jatuh” atau to strike
down. Dalam perkembangannya lalu dipakai istilah CVA atau cerebrovascular
accident yang berarti suatu kecelakaan pada pembuluh darah dan otak. Menurut
Misbach (2011) stroke adalah salah satu syndrome neurologi yang dapat
menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia.
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisiy
neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak
(Sudoyo Aru,dkk 2009)
CVA (Cerebro Vascular Accident) merupakan kelainan fungsi otak yang
timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah
otak yang dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja dengan gejala-gejala
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabakan cacat berupa
kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan
bentuk-bentuk kecacatan lain hingga menyebabkan kematian (Muttaqin, 2008).   
Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu pada setiap gangguan
neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah
melalui system suplai arteri otak. ( Sylvia A. Price, 2006 )
Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak
secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat
mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa
penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak (WHO, 1983).
2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian yaitu:
1) Trombosis serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling
umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala
adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami
pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan
yang tidak dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme
serebral. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba,
dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada
setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam
atau hari.
2) Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan
kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah
karakteristik dari embolisme serebral.
3) Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
4) Haemorrhagi serebral
a. Haemorrhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Keadaan ini biasanya
mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah arteri
meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera
untuk mempertahankan hidup.
b. Haemorrhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidural,
kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek.
Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau
gejala.
c. Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme
pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
d. Haemorrhagi intracerebral adalah perdarahan di substansi dalam otak
paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral,
karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya menyebabkan
rupture pembuluh darah. Biasanya awitan tiba-tiba, dengan sakit kepala
berat. Bila haemorrhagi membesar, makin jelas deficit neurologik yang
terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda
vital.
3. Faktor Predisposisi
1) Faktor yang tidak dapat dirubah (Non Reversible)
a. Jenis kelamin : pria lebih sering ditemukan menderita stroke dibandingkan
wanita
b. Usia              : makin tinggi usia makin tinggi juga resiko terkena stroke
c. Keturunan     : adanya riwayat keluarga yang terkena stroke.
2) Faktor yang dapat dirubah (Reversible)
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi
dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah
otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak
dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak
akan terganggu dan sel – sel otak akan mengalami kematian.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak
yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan
menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan tersebut
kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang pada akhirnya
akan menyebabkan infark sel – sel otak.
c. Penyakit Jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.
Faktor risiko ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke
otak karena jantung melepas gumpalan darah atau sel – sel/jaringan yang
telah mati ke dalam aliran darah.
d. Gangguan Aliran Darah Otak Sepintas
Pada umumnya bentuk – bentuk gejalanya adalah sebagai berikut:
Hemiparesis, disartri, kelumpuhan otot – otot mulut atau pipi, kebutaan
mendadak, hemiparestesi dan afasia.
e. Kolesterol tinggi (Hiperkolesterolemi)
Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density
lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya
arteriosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian
diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kad ar LDL
dan penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor
risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner.
f. Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke
adalah tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan infeksi cacing.
g. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.
h. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark jantung.
i. Kelainan pembuluh darah otak
Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
j. Peningkatan hematokrit (resiko infark serebral)
Kontrasepasi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok,
dan kadar estrogen tinggi)
k. Penyalahgunaan obat (kokain)
l. Konsumsi alkohol
4. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark tergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan local (thrombus, emboli, perdarahan, dan
spasme vascular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru
dan jantung. Aterosklerosis sering sebagai factor penyebab infark pada otak.
Thrombus dapat berasal dari plak aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Thrombus dapat mengakibatkan iskemi jaringan otak yang
disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di
sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada
area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-
kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai
menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak
terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic infeksi
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisme pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
perdarahan serebral, jika aneurisme pecah atau rupture.
Perdarahan otak disebabkan oleh rupture arteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial, dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks
serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada
sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative
banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih
dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71%
pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan
volume antara 30-36 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun
volume darah 5 c dan terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin, Arif,
2008)
5. Klasifikasi
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu :
1) Stroke Haemorhagi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau
saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien
umumnya menurun.
2) Stroke Non Haemorhagic
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral,
biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder .
Kesadaran umummnya baik.
6. Menurut Perjalanan Penyakit atau Stadiumnya:
1) TIA (Trans Iskemik Attack)
TIA adalah gangguan neurologis setempat yang terjadi selama
beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang
dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2) Stroke involusi
Stroke involusi adalah stroke yang terjadi masih terus berkembang
dimana gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk.
Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
3) Stroke komplit
Stroke komplit adalah jenis stroke dimana gangguan neurologi yang
timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke
komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.
7. Manifestasi Klinis
Stroke menyebabakan berbagai deficit neurologic, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (skunder atau aksesori). Fungsi otak
yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
a) Kehilangan motorik.
    Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan
kehilangan control volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron atas
melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan
dari otak. Disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis,
atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah
paralisis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila
refleks tendon dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam),
peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan tonus otot
abnormal) pada ekstremitas yang terken dapat dilihat.
b) Kehilangan Komunikasi.
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi
bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :
1. Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara.
2. Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama
ekspresif atau reseptif.
3. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya), seperti terlihat ketika mengambil sisir dan berusaha untuk
menyisir rambutnya.
c) Gangguan persepsi.
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.
Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam
hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi persepsi visual
karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual.
Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang) dapat
terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen.
Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang
paralisis.kepala pasien cenderung berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan
cenderung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut; ini
disebut amorfosintesis. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat
makanan  pada setengah nampan, dan hanya setengah ruangan yang
terlihat. Penting untuk perawat secara konstan mengingatkan pasien
tentang sisi lain tubuhnya, mempertahankan kesejajaran ekstremitas dan,
bila mungkin, menempatkan ekstremitas dimana pasien mampu
melihatnya.
d) Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial)
Sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Pasien mungkin
tidak dapat memakai tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokan pakaian ke bagian tubuh. Untuk membantu pasien ini,
perawat dapat mengambil langkah untuk mengatur lingkungan dan
menyingkirkan perabot karena pasien dengan masalah persepsi mudah
terdistraksi. Akan bermanfaat menganjurkan pasien memperlambat dan
memberikan pengingat lembut tentang dimana objek ditempatkan.
e) Kehilangan sensori
Stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih
berat, dengan kehilangan propriopsesi (kemampuan untuk merasakan
posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
f) Kerusakan Fungsi Kognitif dan efek Psikologik.
Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang pandang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang
menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh
respons alamiah pasien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah
psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
g) Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomuniksikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mrnggunakan urinal / bedpan
karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-kadang setelah
stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi dalam
respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadang-kadang control sfingter
urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selam periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Ketika tonus otot meningkat
dan refleks tendon kembali, tonus kandung kemih meningkat dan kapasitas
kandung kemih dapat terjadi. Karena indera kesadaran pasien kabur,
inkontinensia urinarius menetap atau retensi urinarius mungkin stmtomatik
karena kerusakan otak bilateral. Inkontinensia ani dan urine yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologic yang luas.
8. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Laboratorium
1. CT Scan, memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya
infark.
2. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
3. Fungsi lumbal : Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat
dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
6. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.
9. Penatalaksanaan Medis
1) Neuroproteksi
Pada stroke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian
besar cedera jaringan neuro dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi
jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi
neuroprotektif. Hipoternia adalah terapi neuroprotektif yang sudah lama
digunakan pada kasus trauma otak dan terus diteliti pada stroke. Cara kerja
metode ini adalah menurunkan aktivitas metaboisme dan tentu saja
kebutuhan oksignen sel-sel neuron. Dengan demikian neuron terlindung
dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan eksitotoksisitas
yang dapat terjadi akibat jenjang glutamate yang biasanya timbul setelah
cedera sel neuron. The Cleveland Clinic telah meneliti pemakaian selimut
dingin dan mandi air es dalam 8 jam awitan gejala dan mempertahankan
hipotermia ke suhu 89,6 oF selama 12 sampai 72 jam sementara pasien
mendapat bantuan untuk mempertahankan kehidupan. Selama rehabilitasi,
pasien ayng diberi terapi hipotermik cenderung mengalami lebih sedikit
kecacatan (skala Rankin) dan daerah infark yang lebih kecil dari pada
kelompok control (Abou-Chebl et al.,2001).
Pendekatan lain untuk mempertahankan jaringan adalah pamakaian
obat neuroprotektif. Banyak riset stroke yang meneliti obat yang dapat
menurunkan metabolism neuron, mencegah pelepasan zat-zat toksik dari
neuron yang rusak, atau memperkecil respons hipereksitatorik yang
merusak dari neuron-neuron di penumbra iskemik yang mengelilingi
daerah infark pada stroke. Meningkatkan pengetahuan tentang
patofisiologi cedera sel otak iskemik telah mendorong para peneliti untuk
berfokus pada pengembangan antagonis kalsium, antagonis glutamate,
antioksidan, dan berbagai jenis obat neuroprotektif lainnya.
Tantangan dalam mengusahakan neuroproteksi pascacedera adalah
menemukan obat yang selektif untuk neuron iskemik, yaitu memiliki
indeks terapeutik (dosis letal ÷ dosis terapeutik) yang baik (Salazar,
Fulmor, Srinivas, 2000). Berbagai agen telah diuji, termasuk nitroksida
(Leker, et al, 2000).suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan,
cerebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolism kalsium neuron dan
juga memperlihatkan efek neurotrofik (Ladurner, 2001). Saat ini terdapat
beragam obat dan senyawa obat mencegah dan mengobati secara akut
stoke yang berada dalam berbagai tahap pengembangan. Karena sifat
cedera sel otak iskemik yang multidimensi dan sekuensial, maka kecil
kemungkinannya ada satu obat yang akan dapat melindungi secara total
otak selama stroke; kemungkinan besar, diperlukan kombinasi beberapa
obat agar potensi pemulihan dapat diupayakan secara penuh.
2) Antikoagulasi
The European Stroke Initiative (2000) merekomendasikan bahwa
antikoagulan oral (INR 2,0 sampai 3,0) diindikasikan pada stroke yang
disebabkan oleh fibrilasi atrium. Diperlukan antikoagulasi dengan derajat
yang lebih tinggi (INR 3,0 sampai 4,0) untuk pasien stroke yang memiliki
katup prostetik mekanis. Bagi pasien yang bukan merupakan kandidat
untuk terapi warfarin (Coumadin), maka dapat digunakan aspirin tersendiri
atau dalam kombinasi dengan dipiridamol sebagai terapi antitrombotik
awal untuk profilaksis stroke.
3) Trombolisis Intravena
Satu-satunya yang telah disetujui oleh the US Food and Drugs
Administration (FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah activator
plasminogen jaringan (TPA) bentuk rekombinan. Selelah disetujui pada
bulan Juni 1996, TPA dapat digunakan untuk menghindari cedera otak,
dan angka kematian nasional yang telah disesuaikan dengan usia untuk
stroke berkurang 1,1 % sejak tahun 1995 (Peters at al., 1998).
Keberhasilan ini mendorong diintensifkannya upaya-upaya untuk
menyuluh masyarakat dan petugas kesehatan bahwa stroke adalah suatu
kedaruratan dan bahwa gejala stroke akut harus diterapi sama segeranya
seperti luka tembak di kepala.
Dengan demikian terapi dengan TPA intravena tetap menjadi stndar
keperawatan untuk stroke akut dalam tiga jam pertama setelah awitan
gejala (National Institute of Health [NIH], 1995). Namun hanya 1 %
sampai 2 % pasien yang saat ini mendapat terapi, biasanya karena mereka
datang terlambat ke unit gawat darurat di luar batas waktu tiga jam. Risiko
terbesar menggunakan terapi trombolitik adalah perdarahana
intraserebrum. Dengan demikian terapi harus diguakan hanya bagi pasien
yang telah disaring secara cermat dan yang tidak memenuhi satupun dari
kriteria eksklusif berikut :
a. Gambaran perdarahan intrakranium berupa massa yang membesar pada
CT
b. Angiogram yang negative untuk adanya bekuan
c. Peningkatan waktu protrombin/INR, yang mengisyaratkan kecenderungan
perdarahan
d. Adanya pembuluh dan luka yang belum sembuh dari trauma atau
pembedahan yang baru saja terjadi
e. Tekanan darah diastolic yang sangat tinggi; hilangnya autoregulasi adalah
suatu resiko besar
Selain itu, pasien dengan riwayat baru-baru ini pernah menggunakan
kokain atau amfetamin sering disingkirkan karena risiko perdarahan dari
pembuluh otak dibawah tekanan tinggi.
4) Trombolisis Intraarteri
Pemakaian trombolisis intraarteri untuk pasien dengan stroke iskemik
akut sedang dalam penilaian, walaupun saat ini belum disetujui oleh FDA
(Furlan et al., 1999). Pasien ayng berisiko besar mengalami perdarahan
akibat terapi ini adalah mereka yang skor National Institute of Health
Stroke Scale) (NIHSS)-nya tinggi, memerlukan waktu lebih lama untuk
rekanalisasi pembuluh, kadar glukosa darah yang lebih tinggi, dan hitung
trombosit yang rendah (Kidwell et al., 2001).
5) Terapi Perfusi
Serupa dengan upaya untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus
vasospasme saat pemulihan dari perdarahan subaraknoid, pernah
diusahakan induksi hipertensi sebagai usaha untuk meningkatkan tekanan
darah arteri rata-rata sehingga perfusi otak dapat meningkat (Hillis et al.,
2001).
6) Pengendalian Edema dan Terapi Medis Umum
Edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum
iskemik, terutama pada keterlibatan pembuluh-pembuluh besar di daerah
arteria serebri media. Terapi konservatif dengan membuat pasien sedikit
dehidrasi, dengan natrium serum normal atau sedikit meningkat.
10. Komplikasi
Komplikasi stroke meliputi :
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu
dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena)
harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah
serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya
area cedera.
c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi
atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah
ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat
mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian thrombus
local. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.
11. Perawatan Pasca Stroke
1) Rehabilitasi Stroke
Rehabilitasi stroke termasuk seluruh tujuan dari rehabilitasi lansia.
Pencegahan komplikasi dan keterbatasan sekunder adalah hasil utama
yang diharapkan. Peningkatan kualitas dan arti dalam hidup dengan
keterbatasan dan deficit klien lansia juga merupakan hal yang penting bagi
keberhasilan program rehabilitasi stroke. Selain memposisikan klien dan
latihan rentang gerak , suatu program rehabilitasi stroke memfokuskan
pada AKS. Aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk makan, berdandan,
hygiene, mandi, dan yang sejenisnya. Dengan melibatkan ahli terapi fisik
dan okupasi dapat meningkatkan kemampuan perawat untuk
merencanakan perawatan.
Evaluasi tingkat sensorik motorik , pengukuran rentang gerak sendi
dan kekuatan otot adalah tujuan spesifik bagi ahli terapi dan perawat.
Pemeriksaan genggaman , kekuatan trisep, dan keseimbangan memberikan
data yang berharga untuk perencanaan strategi kompensasi untuk
menyelesaikan tugas tugas perawatan diri. Propriosepsi, sensasi,dan tonus
otot dievaluasi. Suatu pengkajian yang seksama juga termasuk tingkat
deficit neurologis yang mungkin telah di alami oleh klien akibat stroke.
Data tersebut termasuk kemampuan klien untuk mandi, berpakaian,
makan, ke toilet, dan berpindah. Selain itu, status fungsi usus dan kandung
kemih klien adalah informasi yang sangat penting untuk perencanaan
perawatan. Fungsi penglihatan dan pendengaran dikaji dan setiap
penyimpangan dimasukkan dalam pendekatan tim.
Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemandirian klien
dengan terus memberikan peluang untuk melakukan tugas yang mampu ia
lakukan. Perawat adalah kunci pemberi perawatan dalam proses
rehabilitasi, mengkoordinasikan asuhan perawatan dan terapi
rehabilitative. Dengan memperhatikan tujuan ini, perawat dapat
memaksimalkan potensi klien tersebut.
2) Kognisi dan komunikasi
Konfusi, disorientasi, dan masalah komunikasi adalah akibat yang
sering dari stroke. Masalah komunikasi dapat diakibatkan oleh afasia dan
disartria, perawat perlu menyertakan teknik komunikasi yang
memfasilitasi kemampuan klien untuk memahami kata-kata. Teknik
komunikasi tersebut meliputi berbicara secara perlan-lahan, memberikan
petunjuk sederhana(satu pada satu waktu), membatasi distraksi, dan
mendengar secara aktif.Selain itu, menghubungkan kata-kata dengan
objek,menggunakan pengulangan dan kata-kata yang banyak, dan
mendorong keluarga untuk membawa objek kecil yang dikenal oleh klien
dan untuk menyebutkan nama objek-objek tersebut dapat meningkatkan
pola komunikasi.Dapat juga digunakan papan abjad,mesin tik,dan program
computer untuk membantu pemahaman klien tentang lingkungannya.
Mengevaluasi penglihatan dan pendengaran dapat juga membantu
mengatasi masalah yang,sekali dapat diperbaiki, secara drastic akan
meningkatkan komunikasi.
3) Dukungan psikologis
Klien lanjut usia mengalami berbagai kehilangan berdasar dengan
terjadinya stroke, mencakup perubahan citra tubuh, fungsi tubuh, dan
perubahan peran. Dukungan psikologis diarahkan agar dalam menghadapi
kehilangan ini dapat mendorong keberhasilan adaptasi dan penyesuaian.
Tujuan yang realistis dapat ditetapkan hanya setelah perawat mengkaji
gaya hidup klien sebelumnya, tipe kepribadian, perilaku koping, dan
aktivitas pekerjaan. Dengan menyediakan situasi untuk penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan, perawat member klien suatu
kesempatan untuk memperoleh kendali atas lingkungannya. Keadaan
seperti itu dapat sederhana seperti membiarkan klien untuk memilih di
antara dua aktivitas, untuk memutuskan waktu terapi, untuk memilih
pakaian, dan untuk membuat pilihan makanan. Memfokuskan pada
kekuatan dan kemampuan klien daripada terhadap deficit dapat mendorong
harapan klien tersebut.
Depresi sering terjadi dengan terjadinya kehilangan fungsi tubuh dan
perubahan peran dan citra tubuh. Konsultasikan kepada seorang perawat
kesehatan mental untuk membantu mengatasi masalah ini. Klienn lansia
mungkin mengalami suatu perasaan isolasi dan pengasingan. Keluarga
mungkin memerlukan dukungan emosional dan psikologis ketika berusaha
untuk memahami apa arti kehilangan bagi klien. Jika kebutuhan untuk
mendapatkan dukungan keluarga ini tidak diperhatikan, klien mungkin
mempertimbangkan untuk bunuh diri.Ajarkan anggota keluarga tentang
depresi dan peringatkan mereka terhadap tanda dan gejala yang penting
dalam memberikan dukungan psikososial.
Kelabilan emosional dan ledakan-ledakan mungkin terjadi setelah
stroke. anggota keluarga yang telah diajarkan tentang strategi komunikasi
dan bagaimana cara bermain peran dalam situasi yang potensial akan
menjadi lebih percaya diri.dalam merawat klien. merujuk keluarga dan
klien pada pelayanan pendukung seperti pelayanan kesehatan di rumah,
Kelompok pendukung, dan respite care dapat mengurangi beban
ketergantungan yang mungkin mengikuti stroke melibatkan manajemen
factor-faktor yang pada akhirnya dapat membuat perbedaan dalam
memelihara kemandirian maksimum dan menurunkan komplikasi
sekunder yang dapat berkembang dari penyakit kronis yang melumpuhkan.
(Mickey Stanley, Buku Ajar Keperawatan gerontik edisi 2. 2006)
Gangguan emosional, terutama ansietas, frustasi dan depresi
merupakan masalah umum yang dijumpai pada penderita pasca stroke.
Korban stroke dapat memperlihatkan masalah-masalah emosional dan
perilakunya mungkin berbeda dari keadaan sebelum mengalami stroke.
Emosinya dapat labil, misalnya pasien mungkin akan menangis namun
pada saat berikutnya tertawa, tanpa sebab yang jelas. Untuk itu, peran
perawat adalah untuk memberikan pemahaman kepada keluarga tentang
perubahan tersebut.
Hal-hal yang bisa dilakukan perawat antara lain memodifikasi
perilaku pasien seperti seperti mengendalikan simulasi di lingkungan,
memberikan waktu istirahat sepanjang siang hari untuk mencegah pasien
dari kelelahan yang berlebihan, memberikan umpan balik positif untuk
perilaku yang dapat diterima atau perilaku yang positif, serta memberikan
pengulangan ketika pasien sedang berusaha untuk belajar kembali satu
ketrampilan.

Anda mungkin juga menyukai