Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS CIDERA KEPALA RINGAN (CKR)


DI RUANG IGD TK.III DR. R SOEHARSONO
BANJARMASIN

DISUSUN OLEH :

NAMA : GUSTI AYU DEVI. A


NIM : 11409719053
TINGKAT : II (DUA)
SEMESTER : III (TIGA)

YAYASAN WAHANA BHAKTI KARYA HUSADA


AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM VI/TANJUNGPURA
TAHUN AJARAN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Gusti Ayu Devi Anindya


NIM : 11409719053
Ruangan : IGD

Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah menyelesaikan laporan


pendahuluan dengan kasus Cidera Kepala Ringan (CKR) di ruang IGD, TK.III. Dr. R.
Soeharsono Banjarmasin.

Banjarmasin, Desember 2020

Gusti Ayu Devi Anindya


Nim : 11409719053

Mengetahui

Pembimbing Lahan Pembimbing Akademik

Rizki Rohimah Fitri Amd.Kep Hj. Tri Mawarni S.Kep, Ns,


M.Kep

NIP. 197404032001122002

1
I. Konsep teori
A. Pengertian
Cidera kepala merukapan cidera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak (Morton,2012)
Cidera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat
mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial.
Trauma tenaga dari luar yang mengakibatkan berkurang atau
terganggunya status kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif,
fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil, 2011).

Macam-macam cedera kepala Menurut, Brunner dan Suddarth,


(2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga
dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam
jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak,
kontusio memar, dan laserasi.

Klasifikasi cedera kepala Rosjidi (2007), trauma kepala


diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma
Scale ( GCS ) nya, yaitu:
a. Ringan
1) GCS = 13 – 15

2
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Sedang
1) GCS = 9 – 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) GCS = 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.

B. Anatomi dan fisiologi


Anatomi

3
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu ;
skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung,
aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau
jaringan penunjang longgar dan pericranium Tulang tengkorak terdiri
dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal,
parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal
adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.

2. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan
terdiri
dari 3 lapisan yaitu :
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah

4
dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam.Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya.Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

3. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada
orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu,
Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang)
terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi
bicara.Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

4. Cairan Serebrospinal (CSS)

5
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi
ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat
pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-
rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

5. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media)
dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

6. Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan
inferior otak dan membentuk circulus Willisi.Vena-vena otak tidak
mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup.Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.

Fisiologi
Menurut judha dan rahil (2011) otak merupakan pusat dari
keseluruhan tubuh. Jika otak sehat, maka akan mendorong kesehatan
tubuh serta menunjang kesehatan mental. Sebaliknya, apabila otak anda
terganggu, maka kesehatan tubuh dan mental anda bisa ikut terganggu.
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian,
yaitu:

6
1. Cerebrum ( Otak Besar )
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga
disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak depan.
Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia
dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki lesaian
kemampuan berfikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual
atau IQ anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum
terbagi menjadi 4 bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit
disebut suleus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah :
lobus frontal, lobus pariental, lobus occipital dan lobus temporal
(Judha & Rahil, 2011).
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Menurut Judha dan Rahil (2011) otak kecil atau Cerebellum.
Terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol
keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak kecil juga
menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang
dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat
menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya. Jika terjadi cedera
pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan
koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya
orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam
mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.
3. Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak
atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang
punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur
suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber

7
insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat
datangnya bahaya.

C. Etiologi

Mekanisme cidera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi,


akselerasi-deselerasi, coup-countre, dan cedera rotasional.

1. Cedera askelerasi
Terjadi ketika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak (Misal alat pemukul menghantam kepala atau peluru
yang ditembakan ke kepala)
2. Cedera deselerasi
Terjadi ketika kepala yang bergerak membentuk objek diam
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur depan mobil.
3. Cedera askelerasi-deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan
kekerasan fisik.
4. Cedera coup-countre
Terjadi kepada kepala yang terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area
tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang
pertama kali terbentur. Sebagai cotoh pasien di pukul dibagian
belakang kepala.
5. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan perenggangan
atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya

8
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak.

D. Tanda dan gejala


Nyeri yang meneap atau setempat, biasanya menunjukan adanya
fraktur. (smeltzer,suzanna,2002).
1. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur.
2. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSSkeluar dari telinga
dan hidung.
3. Leserasi atau kontusio otak ditunjukan oleh cairan spinal
berdarah.

Kondisi cidera kepala yang dapat terjdi antara lain :

1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi
otak sesaat (pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan <10 menit)
atau terdapat lesi neurologik yang jelas.
3. Leserasi serebri
Kerusakan otak yang luas diserti robekan durameter serta fraktur
terbuka pada kranium.
4. Epidural hematom (EDH)
Hematom antara dura meter dan tulang, biasanya sumber
pendarahannya adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai
dengan penurunan kesadaran dengan ketidak samaan neurologis sisi
kiri dan kanan.
5. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dngan sumber pendarahan
dapat berasal dari bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural
hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan

9
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena.
6. Subarachnoid hemtom (SAH)
Meruakan pendarahan fokal didaerah subarachnoid. Pemeriksaan CT
Scan didapatkan lesi hiperdensyang mengikuti arah girus-girus
serebri di daerah yang berdekatan dengan hematom.

7. Intracerebral hematom (ICH)


Pendarahan intracerebral adalah pendarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada
dalam jaringan otak.
8. Fraktur basis kranii (misulis KE, Head TC)
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal
oksipital, sphenoid, dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii
anterior dan posterior. Tanda terdapat fraktur basis kranii antara lain :
a. Ekimosis periorbital (Racoon’s eyes)
b. Ekimosis mastoid (Battle’s sign)
c. Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(rinore atau otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial.

E. Patofisiologi beserta pohon masalah


Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan

10
posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan
otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada
pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya,
bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi
pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).

11
F. Data penunjang
1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
2. Angiografi serebral
3. Pemeriksaan MRI
4. CT Scan : indikasi ct scan nyeri kepala atau muntah – muntah,
penurunan GCS lebih 1 point, adanya leteralisasi, bradikardi
(nadi<60x/menit), fraktur impresi dengan leteralisasi yang tidak
sesuai, tidak ada perubhan selama 3 hari perawatan dn luka tembus
akibat benda tajam atau peluru.

G. Progosis
kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari
cedera kepala adalah :
1. Edema pulmonal
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang
berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan.
Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik
meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan
frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan
perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan akibat
herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang

12
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau
jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar.
5. Infeksi

H. Penatalaksanaan
Medis
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan)
Non medis
1. Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-
Breathing-Circulation) keadaan hipoksia, hipotensi, anemia akan
cenderung memperhebat peninggian TIK dan menghasilkan
prognosis yang lebih buruk
2. Semua cedera kepala betar memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama.

13
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan- gangguan di bagian tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflek okuloves tubuler.
Pemeriksaan neurologis kurang bermanfaat bila ekanan darah
penderita rendah (syok).
5. Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostic seperti : sken tomografi computer
otak, angiografi serebral dan lainnya.

II. Konsep asuhan keperawatan


A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki,
mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S: Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

14
O: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia), cidera
pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi
O: Tekanan darah normal atau berubah
(hiper/normotensi), perubahan frekuensi jantung nadi
bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S: Perubahan tingkah laku/kepribadian
O: Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung,
impulsive dan depresi
h. Eliminasi
O: BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S: Mual, muntah, perubahan selera makan
O: Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan
(batuk,
disfagia).
j. Neurosensori
S: Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan,
diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
O: Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi)
perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan
penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang.
Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang
berbeda.

15
O: Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada
rangsang nyeri yang hebat, gelisah
l. Keamanan
S: Trauma/injuri kecelakaan
O: Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam,
perubahan regulasi temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajaran Riwayat penggunaan alcohol/obat-
obatan terlarang

B. Diagnosa dan intervensi keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema


serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan : Setelah dilalukan tindakan diharapkan perfusi
jaringan serebral kembali normal
Kiteria Hasil:
a. Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
c. Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
d. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada
mutah

intervensi :

a. Kaji tingkat kesadaran.


b. Pantau status neurologis secara teratur, catat adanya nyeri
kepala, pusing.
c. Tinggikan posisi kepala 15- 30 derajat.
d. Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input dan output, lalu catat
hasilnya.
e. Kolaborasi pemberian oksigen

16
f. Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien.

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi


trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata,
hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan diharapkan
pola nafas efektif dengan
Kriteria hasil:
a. Klien tidak mengatakan sesak nafas
b. Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot
dinding dada.
c. Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
d. bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
e. kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.

Intervensi :

a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama nafas, adanya


sianosis. Kaji suara nafas tambahan (rongki, mengi, krekels).
b. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler 30o Berikan posisi
semi prone lateral/ miring, jika tak ada kejang selama 4 jam
pertama rubah posisi miring atau terlentang tiap 2 jam.
c. Anjurkan pasien untuk minum hangat (minimal 2000 ml/hari).
d. Kolaborasi terapi oksigen sesui indikasi.
e. Lakukan section dengan hati-hati (takanan, irama, lama)
selama 10-15 detik catat, sifat, warna dan bau sekret
f. Kolaborasi dengan pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.

3. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan
menelan

17
Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah
dilakukan perawatan
Kiteria Hasil:
a. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab.
Dalam rentang normal.
b. Peningkatan berat badan sesuai tujuan.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan,


batuk dan mengatasi sekresi.
b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya
atau suara hiperaktif.
c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien,
seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama
pemberian makan lewat NGT.
d. Berikan makan dalam porsi kecil dan sering dengan teratur.
e. Kolaborasi dengan ahli gizi

4. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat


traksi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan rasa nyeri dapat
berkurang/ hilang.
Kriteria Hasil:
a. Sekala nyeri berkurang 3-1
b. Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah
klien rileks

Intervensi:

a. Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan


lamanya.

18
b. Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya
infeksi, trauma servikal.
c. Berikan tindakan kenyamanan, misal pedoman imajinasi,
visualisasi, latihan nafas dalam, berikan aktivitas hiburan,
kompres
d. Kolaborasi dengan pemberian obat anti nyeri, sesuai indikasi
misal, dentren (dantrium) analgesik; antiansietas misal
diazepam (valium)

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan


persepsi sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan
kelemahan.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah
mendapat perawatan
Kriteri Hasil :
a. Tidak adanya kontraktur, footdrop.
b. Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
sakit.
c. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan
dilakukannya

Intervensi:

a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional


pada kerusakan yang terjadi.
b. Berikan bantu untuk latihan rentang gerak
c. Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat
mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam
merawat diri sendiri sesuai kemampuan

6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma,


kerusakan kulit kepala.

19
Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kiteria Hasil:
a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka
tepat waktu b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5OC)

intervensi:

a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik


cuci tangan
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, kaji
keadaan luka, catat adanya kemerahan, bengkak, pus daerah
yang terpasang alat invasi dan TTV
c. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi dan hidrasi yang
adekuat.
d. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi
e. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat adanya leukositosis
f. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.

C. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang disengaja dan terus –
menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim
kesehatan lainnya.
Dalam hal ini di perlukan pengetahuan tentang kesehatan,
patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk
menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau
tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (Padila, 2012)

20
DAFTAR PUSTAKA

Merlin Kastilong, I. S. (2018). Rasio Neutrofil Limfosit Dan Luaran Cedera Kepala. Jurnal
Sinaps, VOL.1 NO.2 , 20-28.

Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda
Nic-Noc jilid 1. Tamantirto, Kasihan Bantul, Jogjakarta: Penerbit Mediaction Jogja.

RI, D. K. (2009). Profila kesehatan Indonesia tahun 2008. Jakarta: Depkes RI.

21

Anda mungkin juga menyukai