Anda di halaman 1dari 56

KEPERAWATAN GADAR

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA (HEAD INJURY)

OLEH :
NI LUH PUTU WIDIASIH
NIM. 219012857

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN CEDERA KEPALA (HEAD INJURY)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak,
commusio (gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan
serebral yaitu diantaranya subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak
(Doenges, 2000:270). Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Grace & Borley, 2007).
Trauma atau cedera kepala yang di kenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma
tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak
(Batticaca, 2012). Cedera kepala atau cedera otak juga merupakan suatu
gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai
perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa di ikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala merupakan cedera mekanik pada bagian kepala
melibatkan berbagai bagian kepala spesifik yang berkaitan dengan mekanisme
cedera yaitu pada jaringan lunak (SCALP), tulang tengkorak, maupun otak
terkecuali luka superfisial di bagian wajah, secara langsung maupun tidak
langsung yang dapat menyebabkan gangguan sementara atau permanen dalam
aspek fungsi neurologis meliputi fisik, kognitif, ataupun psikososial (National
Institute for Health and Care Excellent, 2014; Simanjuntak, et al., 2015).
Berdasarkan dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam
maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan
jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.
2. Anatomi & Fisiologi
a. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Otak

1) Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar
dan pericranium Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis
kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis,
namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum .
2) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
tiga lapisan yaitu :
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
d) Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada
orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung-jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan.
e) Cairan Serebrospinal (CSS)
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus
dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
f) Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
g) Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup.Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.
b. Fisiologis
Otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh. Jika otak sehat, maka
akan mendorong kesehatan tubuh serta menunjang kesehatan mental.
Sebaliknya, apabila otak anda terganggu, maka kesehatan tubuh dan mental
anda bisa ikut terganggu. Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi
menjadi empat bagian, yaitu :
1) Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga
disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak depan.
Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan
binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki lesaian kemampuan
berfikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan
kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ anda juga ditentukan
oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut suleus. Keempat lobus tersebut masing- masing
adalah: lobus frontal, lobus pariental, lobus occipital dan lobus temporal
(Judha & Rahil, 2011).
a) Lobus Frontal, merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari
Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat
alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian
masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol
perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b) Lobus Pariental, berada di tengah, berhubungan dengan proses
sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus Temporal, berada di bagianbawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
d) Lobus Occipital, berada di bagian paling belakang, berhubungan
dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interprestasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.
2) Cerebellum (Otak Kecil)
Menurut Judha dan Rahil (2011), otak kecil atau Cerebellum.
Terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Otak kecil juga menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci
pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan
gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak
terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan
makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.
3) Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau
rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang
punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur suhu
tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting
dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya
bahaya.
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya.
Oleh karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil.
Otak reptil mengatur “perasaan teritorial” sebagai insting primitif.
Contahnya anda akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang
yang tidak anda kenal terlalu dekat dengan anda. Batang otak terdiri
dari 3 bagian, yaitu:
a) Mesencephalon atau otak tengah (Mid Brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan otak besar dan otak kecil.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan,
gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran.
b) Medulla Oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari
sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga
sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak
jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
c) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat
otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan
apakah kita terjaga atau tertidur.
4) Limbic System (Sistem Limbik)
Sistem limbik terletak dibagian tengah otak, membungkus batang otak
ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah.
Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering
disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik, antara lain
Hipotalamus, Thalamus, Amigdala, Hipocampus, dan Korteks limbik.
Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks,
pusat rasa senang, metabolisme dan memori jangka panjang.

3. Etiologi/Penyebab
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, teratuh, pukulan atau trauma pada kepala, benturan langsung pada
kepala, kecelakaan industri, dan lain sebagainya (Tarwoto, 2007).
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), mekanisme cedera kepala meliputi
cedera akselerasi, cedera deselarisasi, cedera akselerasi-deselarisasi, cedera
coup-countre coup dan cedera rotasional.
a. Cedera Akselerasi
Terjadi jika obejek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak
(misalnya: alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan
ke kepala)
b. Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti pada
kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
c. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode
kekerasan fisik.
d. Cedera Coup-Countre Coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dan ruang
kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan
serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul
di bagian belakang kepala.
e. Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak
dengan bagian dalam rongga tengkorak.

4. Patofisiologi
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma
tulang belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non
mekanik. Kepala dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang
keras. Tempat yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan
dampak atau impact. Pada impact dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear,
(3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi, atau bahkan (5) hanya edema atau
perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika
gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi
(Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma
kapitis karena (1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak,
(3) traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau (4)
kompresi serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan pada batang
otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan
atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologik apapun
tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang terjadi
adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama. Derajat kesadaran tersebut
ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular system. Lintasan tersebut
bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang irreversibel.
Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula spinalis mudah
terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan mendadak.
Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan menurut poros
batak otak ini dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis
asendens difus, sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen, yang
berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh
(1) kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4)
perdarahan epidural, atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi
karena berbagai gaya destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma
kapitis, seperti telah disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang
mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat penghentian akselerasi secara
mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi akselerasi
tengkorang ke arah impact dan penggeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan penggeseran otak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yang akhirnya akan
menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan
duramater. Lesi kontusio di bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan
lesi di seberang impact disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi
intermediate, yaitu lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup
(Mardjono & Sidharta, 2010).
5. Pathway

Penurunan Kapasitas Adaftif


Intrakranial
6. Klasifikasi
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), adapun klasifikasi pada cedera kepala
dapat dibagi berdasarkan patologinya, menurut jenis cedera, menurut berat
ringannya berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale) seperti dibawah ini :
a. Klasifikasi Berdasarkan Patologi :
1) Cedera kepala primer
Cedera ini merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang
menyebabkan kematian sel
2) Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih
lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak
terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral,
perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia
serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.
b. Klasifikasi Menurut Jenis Cedera
1) Cedera Kepala Terbuka
Cedera ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
durameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak.
2) Cedera Kepala Tertutup
Cedera ini dapat disamakan pada pasien dengan geger otak ringan dengan
cedera serebral yang luas.
c. Klasifikasi Menurut Berat Ringannya Berdasarkan GCS (Glassgown Coma
Scale)
1) Cedera Kepala Ringan/Minor
a) GCS 14-15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30
menit
c) Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
d) Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
e) Tidak ada fraktur tengkorak
f) Tidak ada kontusia serebral, hematoma
2) Cedera Kepala Sedang
a) GCS 9-13
b) Kehilangan kesadaran dan dalam anamnesa lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam
c) Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
d) Dapat mengalami fraktur tengkorak
e) Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
3) Cedera Kepala Berat
a) GCS 3-8
b) Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
c) Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
d) Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
e) Juga meliputi contusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial

Tabel 1.
Skala Glasgow Coma Scale (GCS)
Dewasa Respon Bayi dan Anak-Anak
Buka Mata (Eye)
Spontan 4 Spontan
Berdasarkan perintah verbal 3 Berdasarkan suara
Berdasarkan rangsangan nyeri 2 Berdasarkan rangsangan nyeri
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respon
Respon Verbal
Orientasi baik 5 Senyum, orientasi terhadap obyek
Percakapan kacau 4 Menangis tetapi dapat ditenangkan
Kata-kata kacau 3 Menangis dan tidak dapat ditenangkan
Mengerang 2 Mengerang dan agitatif
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respon
Respon Motorik
Menurut perintah 6 Aktif
Melokalisir rangsangan nyeri 5 Melokalisir rangsangan nyeri
Menjauhi rangsangan nyeri 4 Menjauhi rangsangan nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal 2 Ekstensi abnormal
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respon
Keterangan :
Skor 14-15 12-13 11-12 8-10 <5
Kondisi Composmentis Apatis Somnolen Stupor Koma
Sumber : Ilmu Bedah Syaraf, Satyanegara (2010) dalam Nurarif & Kusuma
(2015)
7. Manifestasi Klinis/Tanda dan Gejala
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), pada pemeriksaan klinis biasanya
dipakai untuk menentukan cedera kepala menggunakan pemeriksaan GCS yang
dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat seperti diatas.
Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur.
a. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur.
b. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CGS keluar dari telinga dan hidung.
c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.
Kondisi cedera yang dapat terjadi antara lain :
a. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi otak
(pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
b. Kontisio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan >10 menit) atau
terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian
besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dalam waktu beberapa jam atau
hari, dapat berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi (Brain Injury Association of Michigan).
c. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka pada
kranium (Brain Injury Association of Michigan).
d. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan
ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan (hemiparese/ plegi, pupil anisokor,
reflex patologis satu sisi). Gambaran CT Scan area hiperdens dengan bentuk
bikonvek atau lentikuler diantara 2 sutura. Jika perdarahan >20 cc atau >1 cm
middline shift > 5 mm dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.
e. Subdural Hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat berasal
dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural hematom adalah
terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh drah vena, perdarahan lambatv dan
sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau
beberapa bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk,
berpikir lambat, kejang dan udem pupil dan secara klinis ditandai dengan
penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese atau plegi. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit ( Cresent ). Idikasi operasi jika perdarahan
tebalnya > 1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah > 5mm.
f. SAH (Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal didaerah subarachnoid. Gejala klinis nya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan lesi
hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri didaerah yang berdekatan
dengan hematom. Hanya diberikan terapi konservatif, tidak memerlukan terapi
operatif. (Misulis KE,HeadTC)
g. ICH (Intracerebral Hematom)
Perdarahan Intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak. Pada
pemeriksaan CT-Scan didapatkan lesi perdarahan diantara neuron otak yang
relatif normal. Indikasi dilakukan operasi adanya daerah hiperdens, diameter >
3cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah.
h. Fraktur basis kranii (Misuliss KE, Head TC)
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal, oksipital,
sphenoid dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii anterior dan
posterior. Pada fraktur anterior melibatkan tulang etmoid dan sphenoid,
sedangkan pada fraktur posterior melibatkan tulang temporal, oksipital dan
beberapa bagian tulang spenoid. Tanda terdapat fraktur basisi kranii antara lain :
1) Ekimosis Periorbital (Racoon’s eyes)
2) Ekomosis mastoid (Battle’s sign)
3) Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (Rinore
atau Otore)
4) Kelumpuhan nervus cranial
8. Diagnosis
Adapun diagnosis pada korban gawat darurat ditegakkan berdasarkan dari
hasil : (Muttaqin, 2008)
a. Anamnesis
1) Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval
lucid
2) Perdarahan pada otorrhea atau rhinorrhea
3) Amnesia traumatika
b. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
c. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangesial
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foro servikal
Dari hasil foto, perlu diperhartikan kemungkinan adanya fraktur :
1) Linier
2) Impresi
3) Terbuka/tertutup
e. CT Scan Otak, hal ini untuk melihat kelainan yang mungkun terjadi berupa:
1) Gambaran kontusio
2) Gambaran edema otak
3) Gambaran perdarahan (hiperdens)
4) Hematoma epidural
5) Hematoma subdural
6) Perdarahan subaraknoid
7) Hematoma intraserebral

9. Komplikasi
Doenges (2000) menjelaskan bahwa komplikasi pada cedera kepala antara lain :
a. Stroke/ Cedera serebrovaskular
Penyakit serebrovaskular menunjukan adanya beberapa kelainan otak baik
secara fungsional maupun struktural yang bdisebabkan oleh keadaan patologis
dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak.
Patologis ini meyebabkan perdarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada
dinding pembuluh darah atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial
atau seluruh lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara
atau permanen.
b. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan pengalaman yang paling umum dari semua rasa nyeri
yang dialami oleh banyak orang. Baisanya merupakan suatu gejala dari
penyakit dan dapat terjadi dengan atau tanpa adanya gangguan organik.
c. Aspek-aspek psikososial perawatan akut
Respon emosional dari pasien yang menjalani perawatan akut adalah
sesuatu yang sangat penting. Sehubungan antara pikiran-tibuh-roh telah
tersusun dengan baik ; sebagi contoh, bila terjadi respon fisiologis secara
bersamaan akan ada respon psikologis. Dan juga terdapat kondisi-kondisi
psikologis yang memiliki komponen psikologis, misalnya ketidakseimbangan
emosional dari sindrom Cushing, terapi steroid atau iritabilitas dari
hipoglikemnia. Pertumbungan yang cepat dari bidang psikoneuroimunologi
umumnya secara reguler menyediakan informasi terbaru mengenai jaringan-
jaringan ini.
Meskipun stress dari penyakit dikenali dengan baik, efek-efeknya bagi
individu tidak dapat diperkirakan. Nilai pemberi perawatan dan pasien atau
orang terdekat, sensitivitas pada kultur yang berbeda, rintangan bahasa
(termasuk kesulitan mengenai apa yang dibicarakan orang mengenai tubuhnya)
mempengaruhi perawatan yang diharapkan dan diterima pasien. Ini bukanlah
suatu peristiwa, namun lebih sebagai persepsi pasien terhadap kejadian tersebut
yang menciptakan masalah, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi mengalihkaan
sumber energi yang diperlukan untuk penyembuhan.
d. Epilepsi
Kejang (konvulsi) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak
terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-
tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, dan/atau ganggaun
fenomena sensori
Fase dari aktivitas kejang adalah fase prodromal, fase aura, iktal, dan
posiktal. Penyebab utama dari kejang ini dapat dibagi menjadi 6 kelompok
besar yaitu : obat-obatan, ketidakseimbangan kimiawi, demam, patologis otak,
eklampsia, idiopatik.
e. Perdarahan Esofagus/ Gastrointestinal Atas
Perdarahan luka duodenal adalah penyebab palin sering pada perdarahan hebat
gastrointestinal (GI) bagian atas, tetapi perdarahan juga dapat terjadi karena
luka gaster, gastritis dan varises esofagus. Muntah berat dapat mencetuskan
perdarahan gaster sehubungan dengan robeknya mukosa pada pertemuan pada
gastroesofageal (Sindrom Mallory-Weiss). Stres ulkus dapat terjadi pada
penderita luka bakar, trauma bedah mayor, atau penyakit sistemik. Esofagitis,
karsinoma esofagus atau gaster, hernia, hiatal, hemofilia, leukemia dan KID
umum sebagai penyebab pergarahan GI atas.

10. Pemeriksaan Penunjang


Menurut Nurarif & Kusuma (2015) adapun pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada pasien dengan cedera kepala yaitu sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Foto Polos Kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih
dari 5 cm, luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan
kesadaran.
2) Pemeriksaan CT-Scan
Adapun indikasi dari pemeriksaan CT Scan adalah :
a) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
b) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada
lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor-faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena
syok, febris, dll).
d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
f) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
3) Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang
memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI
telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam
mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
4) Pemeriksaan EEG (Electro Encephalografi)
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak
traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%.
Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah
pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang
delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk
pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
5) X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan atau edema), fragmen tulang.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK
2) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti diuresis
Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
3) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
4) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid (warna,
komposisi, tekanan)
5) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran.
6) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

11. Penatalaksanaan (Terapi/Tindakan Penanganan)


Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya
cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu
tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi,
anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan
dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian
sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang
operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat
aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan atau penanganan cedera kepala
yaitu sebagai berikut : (Nurarif & Kusuma, 2015)
a. Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breating-
Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan cenderung
memperhebat meninggian tekanan intra kranial dan menghasilkan prognosis
yang lebih buruk
b. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan
pertama.
c. Pemeriksanaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan dibagian tubuh lainya.
d. Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan
pupil, rwfleks, okulosefalik dan refleks okulofes tubuker. Penilaian neurologis
kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah.
e. Penanganan cedera-cedera dibagian lainya
f. Pemberian obat seperti : antiedemaserebri, anti kejang, dan natrium bikarbonat
g. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi komputer otak,
angiografi serebral, lainya.
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah :
a. Amnesia antegrade atau pascatrumatik
b. Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampe berat
c. Adanya riwayat penurunan kesadaran atau pingsan
d. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
e. Adanya fraktur tulang tengkorak
f. Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (Ottore/rinorre)
g. Cedera berat bagian tubuh lain
h. Inidkasi social (Tidak ada keluarga/pendamping dirumah)
Dari cedera kepala ringan dapat berlanjut menjadi sedang atau berat
dengan catatan bila adanya gejala-gejala seperti :
a. Mengantuk dan sukar dibangunkan
b. Mual, muntah dan pusing hebat
c. Salah satu pupil melebar atau ada tampilan gerakan mata yang tidak biasa
d. Kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi dan kejang
e. Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat
f. Kacau/bingung (Confuse) tidak mampu berkonsentrasi, terjadi perubahan
personalitas
g. Gaduh, gelisah
h. Perubahan denyut nadi atau pola pernapasan
Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah :
a. Lesi mata intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tnegah
(pembuluh darah serebral antarial) yang melebihi 5mm
b. Lesi mata ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5mm dari tabula interna
tenggkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media
c. Lesi mata ekstra aksial bilateral dengan tebal 5mm dari tabula eksternal
(kecuali bila ada atrofi otak)
d. Lesi mata intra aksial lobus temporalis yang menyebabkan elefasi hebat dari
arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi, dan dokumentasi
data (informasi) yang sistematis dan berkesinambungan. Sebenarnya, pengkajian
tersebut ialah proses berkesinambungan yang dilakukan pada semua fase proses
keperawatan. Misalnya, pada fase evaluasi, pengkajian dilakukan untuk
menentukan hasil strategi keperawatan dan mengevaluasi pencapaian tujuan.
Semua fase proses keperawatan bergantung pada pengumpulan data yang
lengkap dan akurat (Kozier, 2010).
a. Identitas
1) Identitas pasien meliputi : nama/inisial, umur, jenis kelamin, suku
bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat,
tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, no RM
2) Identitas penanggung jawab meliputi : nama/inisial, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan pasien, dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Alasan masuk rumah sakit
Biasanya penyebab trauma kepala yaitu karena kecelakaan lalu lintas,
namun tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh faktor lain. Oleh
karena itu pada alasan pasien masuk rumah sakit perlu dikaji mengenai
kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah pasien
pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung atau telinga.
2) Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala datang ke rumah sakit
dengan penurunan tingkat kesadaran, sedangkan apabila pasien sudah
sadar penuh biasanya akan merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea,
tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise,
hemiparese, luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya
liquor dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena
proses benturan akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang
dapat menyebabkan konkusio atau kontusio serebri yang mengakibatkan
penurunan kesadaran kurang atau bisa lebih dari 24 jam.
3) Riwayat kesehatan saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala. Pengkajian
yang didapat, meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS<15), konvulsi,
muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di
kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya likuor
dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan
pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan di dalam
intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsive dan
koma. Perlu ditanyakan pada pasien atau keluarga yang mengantar
pasien (bila pasien tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif
dan penggunaan alcohol yang sering terjadi pada beberapa pasien yang
suka ngebut-ngebutan.
4) Riwayat kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah pasien pernah mengalami trauma kepala atau
penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah
pasien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai helm
dalam mengendarai kendaraan, meminum-inuman beralkohol atau obat-
obatan terlarang.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan
buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota
keluarga.
c. Pengkajian Primer (Primary Survey)
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain sebagai
berikut (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary
survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan
langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan
tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka
(American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan
berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk
perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti
oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment.
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert, D’Souza, & Pletz, 2009) :
1) General Impressions
a) Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
b) Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
c) Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2) Pengkajian Airway
a) Cek adanya sumbatan jalan nafas berupa darah, lendir atau cairan,
dan adanya benda asing
b) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
c) Monitor adanya suara napas tambahan : ronchi, wheezing, gurgling,
stridor
2) Pengkajian Breathing
a) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
b) Kaji adanya suara napas tambahan : ronchi, wheezing, gurgling,
stridor
c) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi
oksigen
3) Pengkajian Circulation
a) Kaji keadaan perfusi jaringan perifer (akral, nadi capillary rafill,
sianosis pada kuku, bibir).
b) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek
terhadap cahaya
c) Monitoring tanda-tanda vital
d) Monitoring intake dan output
4) Pengkajian Disability
Mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan cepat
status umum dan neurologis
- Tanda- tanda vital
- Glasgow Coma Scale (GCS)
- Pupil : ukuran, bentuk, reflek cahaya
- Pemeriksaan neurologis cepat : hemiparesis, reflex patologis
5) Pengkajian Eksposure
Pemeriksaan lanjut dapat dengan membuka pakaian untuk memeriksa
adanya jejas.
d. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)
Secondary survey merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey
hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak
mengalami syok atau tanda-tanda syok setelah mulai membaik.
1) Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi keluhanutama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis,
riwayat keluarga, sosial, dan sistem (Emergency Nursing Association, 2007).
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi
pasien yang terganggu, konsultasikan kengananggota keluarga, orang
terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang
dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007);
1) A : Alegy (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plestes,
makanan, minuman)
2) M : Medication/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis,
atau penyalahgunaan obat)
3) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan
obat-obatan herbal)
4) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini.
5) E : Events (hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik juga sebaiknya dilakukan per-sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari pasien.
1) Kaji tingkat kesadaran, keadaan umum, GCS, tanda-tanda vital.
Pada keadaan cedera otak umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan GCS 13-15, cedera kepala sedang GCS 9-12,
cedera kepala berat GCS <8 ) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda
vital pasien.
2) Pemeriksaan 6 B :
a) B1 (Breathing)
Perubahan pada sIstem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan hasil dari pemeriksaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil
seperti di bawah ini.
- Inspeksi: didapatkan pasien batuk, peningkatan produksi sputum ,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Ekspansi dada: dinilai penuh/ tidak penuh
dan kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu
dinilai: retraksi dari otot-otot intercostal, substernal, pernapasan
abdomen dan respirasi paradox (retraksi abdomen saat inspirasi).
Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot intercostal tidak
mampu menggerakan dinding dada.
- Palpasi: fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga torak.
- Perkusi: adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada torak/hrmatoraks.
- Asukultasi: bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada pasien dengan peningkatan produksi secret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada
pasien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada pasien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi
pusat pernapasan, pasien biasanya terpasang ETT dengan ventilator
dan biasanya pasien dirawat diruang perawatan intensif sampai
kondisi pasien menjadi stabil. Pengkajian pasien cedera kepala berat
dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur
keperawatan kritis.
Pada pasien dengan tingkat kesadaran compos mentis,
pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi
toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan. Mekanisme
berulang (lingkaran setan) dari dampak cedera kepala dengan
peningkatan TIK dengan perubahan dari system pernapasan
tergambar sebagai berikut:

b) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan
(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada pasien cedera kepala
sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskuler pasien cedera
kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal
atau beurubah, nadi bradikardi, takikardi dan aritmia. Frekuensi nadi
cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam
upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit
kelihatan pucat menunjukkan adanya penurunan kadar hemoglobin
dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi
jaringan dan tanda-tanda awal dari syok.
Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antidiuretic hormone yang berdampak pada
kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam
dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi
elektrolit sehingga memberikan risiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada system kardiovaskuler.
c) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
akibat pengaruh peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan
adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural dan
epidural. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
- Pengkajian tingkat kesadaran : Tingkat keterjagaan pasien dan
respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien cedera
kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatus sampai koma.
- Pengkajian fungsi serebral : Pengkajian ini meliputi status
mental, fungsi intelektual, lobus frontal dan hemisfer.
• Status mental: observasi penampilan, tingkah laku pasien,
nilai gaya bicara, ekpresi wajah dan aktivitas motorik pasien.
Pada pasien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental
pasien mengalami perubahan.
• Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan pasien cedera
kepala didapatkan penurunan dalam memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
• Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan jika trauma kepala mengakibatkan adanya
kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori atau
kerusakan fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi.
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian
terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang
motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah
frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah
psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh
emosi yang labil, bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang
kerja sama.
• Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan
hemisparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan
mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
Cedera kepala yang hemisfer kiri, mengalami hemiparese
kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan lapang
pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustasi.
- Pengkajian saraf kranial
• Saraf I: pada beberapa keadaan cedera kepala di area yang
merusak anatomis dan fisiologis saraf ini, pasien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman/ anosmia
unilateral atau bilateral.
• Saraf II: hematom palpebral pada pasien cedera kepala akan
menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf
optikus. Perdarahan di ruang intracranial, terutama hemoragis
subaraknoidal, dapat disertai dengan perdarahan di retina.
Anomaly pembuluh darah di dalam otak dapat bermanifestasi
juga di fundus. Akan tetapi dari segala macam kelainan di
dalam ruang intracranial, tekanan intracranial dapat
dicerminkan pada fundus.
• Saraf III, IV dan VI: gangguan mengangkat kelopak mata
terutama pada pasien dengan trauma yang merusak rongga
orbital. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika
midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda dini
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot ocular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria,
bukan midriasis, melainkan miosis yang bergandengan
dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil
yang miosis adalah abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal.
Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak
aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.
• Saraf V: pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah.
• Saraf VII: persepsi pengecapan mengalami perubahan.
• Saraf VIII: perubahan fungsi pendengaran pada pasien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang
terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis.
• Saraf IX dan X: kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
• Saraf XI: bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas
pasien cukup baik serta tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
• Saraf XII: indra pengecapan mengalami perubahan.
- Pengkajian sistem motorik : Pada inspeksi umum, didapatkan
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu
sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
• Tonus otot: didapatkan menurun sampai hilang.
• Kekuatan otot: pada penilaian dengan menggunakan tingkat
kekuatan otot didapatkan tingkat 0.
• Keseimbangan dan koordinasi: mengalami gangguan karena
hemisphere dan hemiplegia.
- Pengkajian reflex : Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan
pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada
respons normal. Pemeriksaan reflex patologis, pada fase akut
reflex fisiologis sisis yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari reflex fisiologis akan muncul kembali didahului
dengan reflex patologis.
- Pengkajian sistem sensorik : Terjadi hemihipestesi. Pada
persepsi terjadi ketidakmampuan untuk menginterpretasikan
sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer di antara mata korteks visual. Gangguan hubungan visual-
spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimuli visual, taktil dan auditorius.
d) B4 (Blader)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
Setelah cedera kepala, pasien mungkin mengalami inkontinensia
urine karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan dan ketidakmampuan untuk menggunakan system
perkemihan karena kerusakan control motoric dan postural. Kadang-
kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
e) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
yang luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk
menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji
sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau
hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus
dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
f) B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukkan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan
membrane mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau syok. Pucat
dan sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi
akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk
menilai adanya lesi dan decubitus. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensoria tau paralise/
hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas
dan istirahat.
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Diagnostik
a) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
c) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
d) EEG: memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): menentukan fungsi
korteks dan batang otak
f) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan
perubahan aktivitas metabolisme pada otak
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) AGD (PO2, pH, HCO3) : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa
hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
d) CSS: menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid
(warna, komposisi, tekanan)
e) Pemeriksaan toksikologi: mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif mengatasi kejang.

2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera
kepala yaitu adalah sebagai berikut :
a. (D.0001) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular dibuktikan dengan mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering,
dispnea, sulit bicara, ortopnea, gelisah, sianosis, bunyi nafas menurun,
frekuensi napas berubah, pola napas berubah.
b. (D.0005) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
(cedera kepala) dibuktikan dengan dispnea, adanya penggunaan otot bantu
pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal (mis. takipnea.
bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes), ortopnea, adanya
pernapasan pursed-lip, pernafasan cuping hidung, kapasitas vital menurun,
tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun.
c. (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi) dibuktikan dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola napas berubah,
diaforesis.
d. (D.0054) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskular dibuktikan dengan mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, nyeri
saat bergerak, sendi kaku, gerakan tampak terbatas, fisik lemah.
e. (D.0085) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan hipoksia serebral
dibuktikan dengan distorsi sensori, respon tidak sesuai, disorientasi waktu,
tempat, orang dan situasi.
f. (D.0017) Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera
kepala
g. (D.0036) Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan
trauma/perdarahan, obstruksi intestinal
h. (D.0136) Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi psikomotor
dan kognitif, hipoksia jaringan
i. (D.0012) Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma
j. (D.0142) Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit,
penurunan hemoglobin, leukopenia, efek prosedur invasif
3) Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
No.
Keperawatan (SLKI) (SIKI)
1. (D.0001) Setelah diberikan asuhan keperawatan Latihan Batuk Efektif (I.01006)
Bersihan jalan napas tidak selama …. x … jam, maka diharapkan Observasi
efektif berhubungan bersihan jalan napas meningkat (L.01001) 1. Identifikasi kemampuan batuk
dengan disfungsi dengan kriteria hasil : 2. Monitor adanya retensi sputum
neuromuskular dibuktikan 1) Batuk efektif meningkat 3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
dengan mengi, wheezing 2) Produksi sputum menurun atau tidak 4. Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan
dan/atau ronkhi kering, ada karakteristik)
dispnea, sulit bicara, 3) Tidak ada suara nafas tambahan (mis. Terapeutik
ortopnea, gelisah, sianosis, mengi (-), ronchi (-), wheezing (-) 1. Atur posisi semi fowler atau fowler
bunyi nafas menurun, 4) Dispnea menurun 2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
frekuensi napas berubah, 5) Sianosis menurun 3. Buang sekret pada saluran sputum
pola napas berubah. 6) Gelisah menurun Edukasi
7) Pola nafas membaik 1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
8) Frekuensi nafas membaik/normal (RR : 2. Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4
16-20x/menit) detik, tahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8
detik
3. Anjurkan mengulang tarik nafas dlm hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat lngsung setelah tarik
napas dalam yang ke-3
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekpektoran, jika
perlu
Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
Observasi
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
2. Monitor bunyi nafas tambahan (mis.gurgling, mengi,
wheezing, ronchi kering).
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
1. Posisikan semi fowler atau fowler
2. Berikan air minum hangat
3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
4. Berikan oksigen, jika perlu
5. Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspetoran,
mukolitik, jika perlu

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
2. Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor AGD
10. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2. (D.0005) Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
Pola napas tidak efektif selama …. x … jam, maka diharapkan pola Observasi:
berhubungan dengan napas membaik (L.01004) dengan kriteria 1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
gangguan neurologis hasil : 2. Monitor bunyi nafas tambahan (missal: gurgling, mengi,
(cedera kepala) dibuktikan 1) Dispnea menurun whezzing, ronkhi kering)
dengan dispnea, adanya 2) Penggunaan otot bantu napas menurun 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma).
penggunaan otot bantu 3) Pemanjangan fase ekspirasi menurun Teraupetik :
pernapasan, fase ekspirasi 4) Frekuensi napas membaik 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan
memanjang, pola napas 5) Kedalaman napas membaik chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
abnormal (mis. takipnea. 2. Posisikan Semi-Fowler atau Fowler
bradipnea, hiperventilasi, 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
kussmaul, cheyne-stokes), 4. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
ortopnea, adanya 5. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
pernapasan pursed-lip, endotrakeal
pernafasan cuping hidung, 6. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill:
kapasitas vital menurun, dan
tekanan ekspirasi menurun, 7. Berikan oksigen jika perlu.
tekanan inspirasi menurun. Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi; dan
2. Ajarkan teknik batuk efektif.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Observasi :
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas
2. Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi nafas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD; dan
10. Monitor X-ray toraks.
Teraupetik :
1. Atur interval pemantauan respitrasi sesuai kondisi
pasien; dan
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan; dan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3. (D.0077) Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238)
Nyeri akut berhubungan selama …. x … jam, maka diharapkan Observasi
dengan agen pencedera tingkat nyeri dapat menurun (L.08066) dan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
fisiologis (inflamasi) kontrol nyeri meningkat (L.08063) dengan kualitas, intensitas nyeri
dibuktikan dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
mengeluh nyeri, tampak 1) Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
meringis, gelisah, frekuensi 2) Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nadi meningkat, tekanan 3) Gelisah menurun nyeri
darah meningkat, pola 4) Kesulitan tidur menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
napas berubah, diaforesis. 5) Diaforesis menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
6) Frekuensi nadi membaik 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
7) Pola napas membaik 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
8) Tekanan darah membaik diberikan
9) Pola tidur membaik 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
10) Melaporkan nyeri terkontrol Terapeutik
meningkat 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.
suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik

Pemberian Analgesik (I.08243)


Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus, pereda,
kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. narkotika,
non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan
nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
5. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai
analgesia optimal
2. Pertimbangkan pengguanaan infus kontinu, atau bolus
oploid untuk mempertahankan kadar dalam serum
3. Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
4. Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan
efek yang tidak diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai
indikasi
4. (D.0054) Setelah diberikan asuhan keperawatan Dukungan Ambulasi (I.06171)
Gangguan mobilitas fisik selama …. X …. jam maka diharapkan Observasi
berhubungan dengan mobilitas fisik meningkat (L.05042) 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
gangguan neuromuskular dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
dibuktikan dengan 1) Pergerakan ektremitas meningkat 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
mengeluh sulit 2) Kekuatan otot meningkat memulai ambulasi
menggerakkan ekstremitas, 3) Rentang gerak (ROM) meningkat 4. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
kekuatan otot menurun, 4) Nyeri menurun Terapeutik
rentang gerak (ROM) 5) Kecemasan menurun 1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis.
menurun, nyeri saat 6) Gerakan tidak terkordinasi menurun tongkat, kruk)
bergerak, sendi kaku, 7) Gerakan terbatas menurun 2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
gerakan tampak terbatas, 8) Kelemahan fisik menurun 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
fisik lemah. meningkatkan ambulasi
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
2. Anjurkan melakukan ambulasi dini
3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. berjalan dari tempat tidur ke kursi roda, berjalan
dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)

Dukungan Mobilisasi (I.05173)


Observasi
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melalui pergerakan
3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
memulai mobilisasi
4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.
pagar tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan pergerakan jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat tidur ke kursi)
5. (D.0085) Setelah diberikan asuhan keperawatan Minimalisasi Rangsangan (I.08241)
Gangguan persepsi sensori selama …. x … jam, maka diharapkan Observasi
berhubungan dengan persepsi sensori membaik dengan kriteria 1. Periksa status mental, status sensori, dan tingkat
hipoksia serebral hasil : kenyamanan
dibuktikan dengan distorsi 1) Distorsi sensori menurun Terapeutik
sensori, respon tidak sesuai, 2) Respon sesuai stimulus membaik 1. Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori
disorientasi waktu, tempat, 3) Konsentrasi membaik (mis. bising, terlalu terang)
orang dan situasi. 4) Orientasi tempat, waktu, orang, 2. Batasi stimulasi lingkungan (mis. cahaya, suara,
peristiwa membaik aktivitas)
3. Jadwalkan aktivitas haian dan waktu istirahat
4. Kombinasikan prosedur/tindakan dalam satu waktu
sesuai kebutuhan
Edukasi
1. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mis. mengatur
pencahayaan ruangan, mengurangi kebisingan,
membatasi kunjungan)
Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi
persepsi stimulus
Pengekangan Kimiawi (I.09301)
Observasi
1. Identifikasi kebutuhan untuk dilakukan pengekangan
(mis. agitasi, kekerasan)
2. Monitor riwayat pengobatan dan alergi
3. Monitor tingkat kesadaran, tanda-tanda vital, warna
kulit, suhu, sensasi dan kondisi secara berkala
4. Monitor kebutuhan nutrisi, cairan, dan eliminasi
Terapeutik
1. Lakukan supervise dan survelensi dalam memonitor
tindakan
2. Berikan posisi nyaman untuk mencegah aspirasi dan
kerusakan kulit
3. Ubah posisi tubuh secara periodic
4. Libatkan pasien dan/atau kelaurga dalam pembuatan
keputusan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
2. Latih rentang gerak sendi sesuai kondisi pasien
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian agen psikotropika untuk
pengekangan kimiawi
6. (D.0017) Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Risiko perfusi serebral selama …. x … jam, maka diharapkan (I.06194)
tidak efektif berhubungan perfusi serebral meningkat (L.02014) Observasi
dengan cedera kepala dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi,
1) Tingkat kesadaran meningkat (GCS : gangguan metabolsime, edema cerebral)
13-15) 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (tekanan
2) Tekanan intrakranial menurun (batas darah meningkat, tekanan nandi melebar, bradikardi,
normal 7-15mmHg) pola napas irregulerm arterial pressure)
3) Sakit kepala menurun (skala nyeri 0-3) 3. Monitor MAP (mean arterial pressure)
4) Perasaan gelisah menurun 4. Monitor CVP, jika perlu
5) Nilai rata-rata tekanan darah membaik 5. Monitor PAP, jika perlu
(90/60mmHg hingga 120/80mmHg) 6. Monitor ICP (intra cranial pressure), jika tersedia
6) Kesadaran membaik (composmentis) 7. Monitor CCP (cerebral perfusion pressure)
8. Monitor gelombang ICP
9. Monitor status pernapasan
10. Monitor intake dan output cairan
11. Monitor cairan serebro-spinalis (warna, konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan
yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari maneuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
7. Atur ventilator agar PaC optimal
8. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan,
diuretic osmosis, pelunak tinja, jika perlu
Pemantauan Tekanan Intrakranial (I.06198)
Obsevasi
1. Indenifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi
menempati ruang, gangguan metabolisme, oedema
serebral, peningkatan tekanan vena, obstruksi aliran
cairan serebrospinal, hipertensi intrakranial idiopatik)
2. Monitor peningkatan tekanan darah
3. Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih TDS dan TDD)
4. Monitor penurunan frekuensi jantung
5. Monitor ireguleritas irama napas
6. Monitor penurunan tingkat kesadaran
7. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon
pupil
8. Monitor kadar C dan pertahankan pada rentang yang
diindikasikan
9. Monitor tekanan perfusi serebral
10. Monitor jumlah, kecepatan, dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
11. Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
3. Pertahankan sterilitas system pemantauan
4. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
5. Bilas sistem pemantuan, jika perlu
6. Atur interval pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
7. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantuan, jika perlu
7. (D.0036) Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Cairan (I.03098)
Risiko ketidakseimbangan selama …. x … jam, maka diharapkan Observasi
cairan berhubungan dengan keseimbangan cairan meningkat (L.05020) 1. Monitor status hidrasi (frekuensi nadi, kekuatan nadi,
trauma/perdarahan, dengan kriteria hasil : akral, pengisian kapiler, kelembaban mukosa, turgor
obstruksi intestinal 1) Asupan cairan meningkat kulit, tekanan darah)
2) Keluaran urine meningkat 2. Monitor berat badan harian
3) Kelembaban mebran mukosa 3. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis.
meningkat hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urinne, BUN)
4) Edema menurun 4. Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP,
5) Dehidrasi menurun PCWP, jika tersedia)
6) Tekanan darah membaik (100/60mmHg- Terapeutik
120/80mmHg) 1. Catat intake-output dan hitung balance cairan 24jam
7) Denyut nadi radial membaik 2. Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
8) Tekanan arteri rata-rata mebaik 3. Berikan cairan intravena jika diperlukan
9) Membran mukosa membaik Kolaborasi
10) Turgor kulit membaik (elastis) 1. Kolaborasi pemberian diuretic bila diperlukan

Pemantauan Cairan (L.03121)


Observasi
1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
2. Monitor frekuensi napas
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor kulit
7. Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
8. Monitor kadar albumin dan protein total
9. Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. osmolaritas
serum, hematocrit, natrium, kalium, BUN)
10. Monitor intake dan output cairan
11. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering, volume urine
menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah,
konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
12. Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis. dyspnea,
edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks hepatojogular positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
13. Identifikasi faktor resiko ketidakseimbangan cairan
(mis. prosedur pembedahan mayor, trauma atau
perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar,
disfungsi intestinal)
Terapeutik
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
8. (D.0136) Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Keselamatan Lingkungan (I.14513)
Risiko cedera berhubungan selama …. x … jam, maka diharapkan Observasi
dengan perubahan fungsi tingkat cedera menurun (L.14136) dengan 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan
psikomotor dan kognitif, kriteria hasil : 2. Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
hipoksia jaringan. 1) Kejadian cedera menurun Terapeutik
2) Luka/lecet menurun 1. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya
3) Tekanan darah, frekuensi nadi, dan risiko
frekuensi napas membaik 2. Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
3. Gunakan perangkat lingkungan
4. Lakukan program screening bahaya lingkungan
Edukasi
1. Ajarkan individu, keluarga, dan kelompok berisiko
tinggi bahaya lingkungan

Pencegahan Cedera (I.14537)


Observasi
1. Identifikasi area lingkungan yang berpotesi
menyebabkan cedera
2. Identifikasi obat yang menyebabkan cedera
Terapeutik
1. Sediakan pencahayaan yang memadai
2. Sediakan pispot atau urinal untuk eliminasi di tempat
tidur, jika perlu
3. Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam
kondisi terkunci
4. Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan
kebijakan fasilitas pelayanan kesehatan
5. Diskusikan mengenai alat bantu yang sesuai
6. Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien
sesuai kebutuhan
Edukasi
1. Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh kepada
pasien dan keluarga
2. Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk
selama beberapa menit
9. (D.0012) Setelah diberikan asuhan keperawatan Pencegahan Perdarahan (I.02067)
Risiko perdarahan selama ….x 24 jam, maka diharapkan Observasi
berhubungan dengan tingkat perdarahan menurun (L.02017) 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan
trauma dengan kriteria hasil : 2. Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan
1) Kelembapan membran mukosa setelah kehilangan darah
meningkat 3. Monitor tanda-tanda vital ortostatik
2) Kelembapan kulit meningkat 4. Monitor koagulasi (mis. prothrombin time (PT), partial
3) Hemoptisis menurun thromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin
4) Hematemesis menurun dan/atau platelet)
5) Hematuria menurun 5. Terapeutik
6) Perdarahan pasca operasi menurun 6. Pertahankan bed rest selama perdarahan
7) Hemoglobin membaik 7. Batasi tindakan invasif, jika perlu
8) Hematokrit membaik 8. Gunakan kasur pencegahan dekubitus
9) Tekanan darah membaik 9. Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
2. Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
3. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk
menghindari konstipasi
4. Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
5. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin
K
6. Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika
perlu
2. Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
10. (D.0142) Setelah diberikan asuhan keperawatan Pencegahan Infeksi (I.14539)
Risiko infeksi berhubungan selama …. x … jam, maka diharapkan Observasi
dengan kerusakan integritas tingkat infeksi menurun (L.14137) dengan 1. Monitor tanda dan gejala lokal dan sistemik
kulit, penurunan kriteria hasil : Terapeutik
hemoglobin, leukopenia, 1. Tidak ada demam 1. Batasi jumlah pengunjung
efek prosedur invasif. 2. Tidak ada kemerahan 2. Berikan perawatan kulit pada area edema
3. Tidak ada nyeri 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
4. Tidak ada bengkak pasien dan lingkungan pasien
5. Tidak ada cairan berbau busuk 4. Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
6. Tidak menggigil
7. Tidak ada letargi Edukasi
8. Kadar sel darah putih membaik 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
9. Kultur darah membaik 2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
10. Kultur area luka membaik 3. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
4. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
5. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
4) Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi. Perencanaan yang telah disusun dilaksanakan oleh
perawat kemudian mengakhiri tahap implementsi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respon pasien terhadap tindakan yang telah diberikan (Kozier,
2010).

5) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahapan terakhir dari proses keperawatan
untuk mengukur respons pasien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan
pasien ke arah pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2006). Evaluasi dapat berupa
evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu
menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi
sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi
efektivitas pengambilan keputusan (Kozier, 2010).
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
yaitu; S (Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih
dirasakan setelah diakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang
berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada
pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment)
yaitu interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana
tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dapat
dikatakan tujuan tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku sesuai
kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai apabila perilaku pasien
tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, sedangkan tidak tercapai apabila
pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan
tujuan, dan yang terakhir adalah P (Planning) merupakan rencana tindakan
berdasarkan analisis (Kozier, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997) Advanced Trauma Life Support For Doctors.
Instructor Course Manual Book 1-Sixth Edition. Chicago.

Batticaca, F. B. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Doenges, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Emergency Nurses Assosiation. (2007). Sheehy’s Manual Of Emergency Care 6th


Edition. St. Louis Missouri : ElseVier Mosby

Fulde, Gordian. (2009). Emergency Medicine 5th edition. Australia : Elsevier.

Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., & Pletz, Barbara. (2009). Patient Assessment
Routine Medical Care Primary And Secondary Survey. San Mateo County
EMS Agency

Grace, P, A & Borley, N, R. (2007). At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit


Erlangga.

Kozier. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC

Mardjono, M., & Sidharta, P. (2010) Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf.
In: Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2010:269-292

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

National Institute for Health and Care Excellence. (2014). Head Injury: Assessment
and Early Management. United Kingdom,

Nurarif, A.H., & Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda NIC-Noc. Edisi Revisi I. Jogjakarta :Mediaction
Publishing.

Simanjuntak, F., Danny, J.N, & Corry, N.M. (2015) Gambaran pasien cedera kepala
di RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado periode Januari 2013-Desember
2013, Jurnal e-Clinic (eCl), vol. 3, no. 1.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia;
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta Selatan : DPP PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia;
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1. Jakarta Selatan : DPP PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia;
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta Selatan : DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai