OLEH :
DEVI IAN SAPUTRI
NIM: A1C120003
CI LAHAN CI INSTITUSI
(…………………………..) (…………………………..)
1. Pengertian
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi
mekanik terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI
meliputi satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan
kesadaran, amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain (tanda fokal
neurologis, kejang, lesi intrakranial).
Gambar 2 : Otak
a) Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini
terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan
motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia.
Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau
celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar
hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai
kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian dalam
(inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer saling
dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus kalosum. Di
dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang disebut
ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing
hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang
berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri
dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan.
B. Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada
asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu
diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen.
Dari tahapan itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
1) Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari
efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi
parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga
batang otak.
2) Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang dimulai segera setelah trauma
tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini
disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan
aliran darah otak, gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan
hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan
asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau
rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya
akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan
menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses
selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur
massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera
maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma
diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1) Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari :
perdarahan intracranial dan edema serebral.
2) Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi
serebral, hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan
infeksi, hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme serebri dan
kejang.
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma.
Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit,
terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi
dalam 30-60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon
inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan
terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit.
Makrofag ini membantu aktivitas sel polymorphonuclear (PMN) dalam
proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses
inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan
beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1).
Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan
karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga
melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya
(prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa- senyawa ini akan memacu
terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting
sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).
6. Pathway
Benturan kepala
Trauma kepala
Trauma pada jaringan lunak Trauma akibat deselerasi/akselerasi Robekan dan distorsi
Risiko tinggi terhadap infeksi Perubahan pada cairan intra dan ekstra sel → edema
Peningkatan suplai darah ke daerah trauma → vasodilatasi
Tekanan intracranial ↑
Penurunan kesadaran
Merangsang hipotalamus Hipoksia jaringan
Merangsang inferior hipofise Kerusakan hemisfer motorik
Retensi Na+H2O Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Gangguan Pola nafas
komunikasi verbal tidak efektif
Gangguan Keseimbangan
cairan & elektrolit Sumber : Smeltzer (2013) Gambar 3 : Pathway
7. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek,
secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil/motor, jatuh
atau pukulan benda tumpul.Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau
tusukan.Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2) Beratnya cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde.
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam.
Table 1 : Daftar Nilai Glasgow Coma Scale (GCS)
Sumber : Sibuea (2009)
No Respon Nilai
1. Membuka Mata:
- Spontan 4
- Terhadap rangsangan suara 3
- Terhadap nyeri 2
- Tidak ada 1
2. Verbal:
- Orientasi baik 5
- Orientasi terganggu 4
- Kata-kata tidak jelas 3
- Suara tidak jelas 2
- Tidak ada respon 1
3. Motorik:
- Mampu bergerak 6
- Melokaliasasi nyeri 5
- Fleksi normal 4
- Fleksi abnormal 3
- Ekstensi 2
- Tidak mampu bergerak 1
Total 3-15
8. Komplikasi
a. Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-
110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih lanjut.
b. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area drainase
tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril
di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
d. Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan
salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal
cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari
trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural,
epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, glasglow
coma scale (GCS) <10.
e. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat,
asetazolamid.
f. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem
ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,
pupil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
g. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan
bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi
dan latihan range of motion (ROM), terapi sekunder dengan splinting,
casting, dan terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin,
botulinum dan benzodiazepin.
h. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi >1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral.
Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan,
antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodiazepine dan terapi
modifikasi lingkungan.
i. Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama
dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur,
vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.
Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel, cemas,
depresi, emosi labil.
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera
kepala adalah :
1) Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap.
Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan
pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda
perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh
dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes
ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu
dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sensorik (nervus
kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I
(olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III (okulomotoris), nervus IV
(troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI (abdusens), nervus VII (fasialis),
nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus), nervus X (vagus), nervus XI
(spinalis), nervus XII (hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah), dan
nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan
motorik.
2) Pemeriksaan radiologis
a. Foto Rontgen Polos
Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila
lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior- posterior. Bila lesi
terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior- anterior. Bila lesi
terdapat di daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film
diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga
ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala
menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar
angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis
servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya
fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang
tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.
b. Computed Temografik Scan (CT-scan)
Computed Temografik Scan (CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield
dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat
ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak
bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.
Khusus
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian steroid
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
e. Rehabilitasi, fisioterapi
Prioritas Keperawatan
a. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral
b. Mencegah/meminimalkan komplikasi
c. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum trauma
d. Meningkatkan koping individu dan keluarga
e. Memberikan informasi
Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstermitas.
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofobia.
g. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, seperti: pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan
sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
i. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena respirasi)
j. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
k. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye”, tanda battle
disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
m. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang ulang,
disartris, anomia.
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan atau
vena terputus.
b. Nyeri akut b.d dengan agen injuri fisik.
c. Defisit self care b.d dengan kelelahan, nyeri.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan kriteria
No Intervensi
Keperawatan hasil
1 Ketidakefektifan NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
perfusi jaringan 1. Status sirkulasi Perfusi 1. Catat perubahan respon klien
(spesifik serebral) jaringan serebral terhadap stimulus / rangsangan
b.d aliran arteri 2. Monitor TIK klien dan respon
dan atau vena Setelah dilakukan
neurologis terhadap aktivitas
terputus. tindakan keperawatan
selama ….x 24 jam, 3. Monitor intake dan output
klien mampu men-capai : 4. Pasang restrain, jika perlu
1. 5. Monitor suhu dan angka leukosit
Status sirkulasi dengan 6. Kaji adanya kaku kuduk
indikator: 7. Kelola pemberian antibiotik
- Tekanan darah 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi
sistolik dan diastolik
30-40O dengan leher dalam posisi
dalam rentang yang
diharapkan netral
- Tidak ada ortostatik 9. Minimalkan stimulus dari
hipotensi lingkungan
- Tidak ada tanda- 10. Beri jarak antar tindakan
tanda PTIK keperawatan untuk meminimalkan
peningkatan TIK
Perfusi jaringan serebral,
11. Kelola obat obat untuk
dengan indikator :
- Klien mampu mempertahankan TIK dalam batas
berkomunikasi spesifik
dengan jelas dan
sesuai kemampuan Monitoring Neurologis (2620)
- Klien menunjukkan 1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi
perhatian, dan bentuk pupil
konsentrasi, dan 2. Monitor tingkat kesadaran klien
orientasi 3. Monitor tanda-tanda vital
- Klien mampu
memproses informasi 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual,
- Klien mampu dan muntah
membuat keputusan 5. Monitor respon klien terhadap
dengan benar pengobatan
- Tingkat kesadaran 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
klien membaik
7. Observasi kondisi fisik klien
Bulechek, Gloria M., dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi
Bahasa Indonesia. Indonesia : Elsivier
Frieden, T. R., Houry, D., Baldwin, G. 2015, Traumatic brain injury in the United
States: Epidemiology and rehabilitatio, CDC and NIH Report to Congress,
1–74.
Morton, Gallo, Hudak. 2012. Keperawatan Kritis Volume 1 & 2. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
Sibuea H. W., dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Cetakan Ke 2. Jakarta : Rineka Cipta
Smeltrzer, Suzanna C & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
Dan Suddart. (Alih Bahasa Agung Waluyo). Edisi 8. Jakarta : EGC.
E.