Anda di halaman 1dari 36

Kepanitraan Klinik Keperawatan Gawat Darurat

Fakultas Keperawatan dan Kebidanan


Program Pendidikan Profesi Ners
Universitas Megarezky Makassar

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMATIC BRAIN INJURY (TBI GCS 10)


DI RUMAH SAKIT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

OLEH :
DEVI IAN SAPUTRI
NIM: A1C120003

CI LAHAN CI INSTITUSI

(…………………………..) (…………………………..)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2021
A. LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian

Cedera kepala biasanya mengacu pada cedera otak traumatis (Traumatic


Brain Injury/TBI), lebih tepatnya mengarah kepada yang lebih luas karena
dapat melibatkan kerusakan pada struktur selain otak, yaitu seperti kulit kepala
dan tengkorak (Pushkarna et al., 2010). CDC mendefinisikan TBI sebagai
gangguan pada fungsi normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan,
pukulan, atau sentakan ke kepala atau cedera kepala yang tembus (Frieden et
al., 2015).

Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,


tengkorak, dan otak. Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian
disabilitas pada usia muda. Penderita cedera kepala seringkali mengalami
edema serebri yaitu akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau ekstraseluler
ruang otak atau perdarahan intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya
tekanan intrakranial (Morton,2012).

Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi
mekanik terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI
meliputi satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan
kesadaran, amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain (tanda fokal
neurologis, kejang, lesi intrakranial).

Berdasarkan tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga,


yaitu cedera kepala ringan, sedang, berat. Cedera kepala ringan dapat
menyebabkan gangguan sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa
mual, pusing, linglung, atau kesulitan mengingat untuk beberapa saat.
Penderita cedera kepala sedang juga dapat mengalami kondisi yang sama,
namun dalam waktu yang lebih lama.

Bagi penderita cedera kepala berat, potensi komplikasi jangka panjang


hingga kematian dapat terjadi jika tidak ditangani dengan tepat. Perubahan
perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang dapat dialami penderita
dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya maupun
struktur anatomisnya. Selain itu, cedera kepala juga dapat dibedakan menjadi
cedera kepala terbuka dan tertutup. Cedera kepala terbuka adalah apabila cedera
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak sehingga mengenai jaringan
otak.Sedangkan cedera kepala tertutup adalah bila cedera yang terjadi tidak
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak, dan tidak mengenai otak secara
langsung.
2. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1 : Anatomi dan fisiologi kepala


1) Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu Skin atau
kulit, Connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponereutika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
perdarahan akibat liseran kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak- anak.
2) Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak serebelum.
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang
kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan
luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur
yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa.
Lapisan dalam membentuk rongga/fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat
lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis,
oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
3) Lapisan pelindung ota /Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid dan
piameter.
1) Durameter (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang
mengalirkan darah vena ke otak.
2) Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi
susunan saraf sentral.

3) Piameter (lapisan sebelah dalam)


Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur- struktur
jaringan ikat yang disebut trabekel (Ganong, 2002)
4) Otak

Gambar 2 : Otak

Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:

a) Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini
terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan
motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia.
Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau
celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar
hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai
kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian dalam
(inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer saling
dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus kalosum. Di
dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang disebut
ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing
hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang
berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri
dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan.

Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra lateral. Setiap


hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:
1. Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama fungsi
bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku dan etika.
2. Lobus Temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori.
3. Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.
4. Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan).
b) Otak tengah
c) Otak belakang
Suzanne C Smeltzer (2001), Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma
kepala meluas sampai batang otak karna edema otak atau pendarahan
otak. Kerusakan nervus yaitu :
1) Nervus Alfaktorius ( Nervus Kranialis I )
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah
lebih lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang
hidung ditutup, penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti
vanila, cau de cologne, dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.
2) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum,
kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali
dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.
3) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata).
Fungsi sebagai penggerak bola mata.
4) Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.
5) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan
memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan
otot-otot pengunyah.
Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:
a. Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi: Kulit kepala
dan kelopak mata atas.
b. Nervus maksilaris sifatnya sensorik. Fungsi : Rahang atas, palatum
dan hidung.
c. Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi : Rahang
bawah dan lidah.
6) Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf
penggoyang bola mata.
7) Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang
menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang
mensarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan
dahi dan menyeringai.
Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut.

8) Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)


Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari
pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.
9) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dpat
membawa rangsangan cita rasa ke otak.
10) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X).
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mengandung saraf-saraf motoric,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen.
Fungsinya sebagai saraf perasa.
11) Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI).
Saraf ini mensarafi muskulus sternocleidomastoid dan muskulus
trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.
12) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
d) Tekanan Intra Kranial (TIK)
Tekanan intra kranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,
volume darah intrakranial dan cairan serebrospiral di dalam tengkorak pada
1 satuan waktu.
Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar
± 15mmHg. Ruang kranial yang kalua berisi jaringan otak (1400gr),
Darah (75 ml), cairan serebrospiral (75ml), terhadap 2 tekanan pada 3
komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa
Monro - Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi
di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini
menyebabkan perubahan pada volume darah serebral tanpa adanya
perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi
menyebabkan turunnya batang otak (Herniasi batang otak) yang berakibat
kematian.
3. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma
yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
1) Trauma primer
Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dn deselerasi)
2) Trauma sekunder
Terjadi akibat dari truma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik.
3) Kecelakaan lalu lintas
4) Pukulan dan trauma tumpul pada kepala
5) Terjatuh
6) Benturan langsung dari kepala
7) Kecelakaan pada saat olahraga
8) Kecelakaan industri.
4. Manifestasi klinik
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera
otak.
1) Cedera kepala ringan (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu


atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2) Cedera kepala sedang (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)


1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan
3) Cedera kepala berat (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran
2) Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
4) Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
5. Patofisiologi

B. Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada
asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu
diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen.
Dari tahapan itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
1) Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari
efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi
parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga
batang otak.
2) Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang dimulai segera setelah trauma
tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini
disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan
aliran darah otak, gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan
hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan
asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau
rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya
akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan
menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses
selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur
massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera
maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma
diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1) Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari :
perdarahan intracranial dan edema serebral.
2) Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi
serebral, hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan
infeksi, hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme serebri dan
kejang.
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma.
Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit,
terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi
dalam 30-60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon
inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan
terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit.
Makrofag ini membantu aktivitas sel polymorphonuclear (PMN) dalam
proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses
inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan
beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1).
Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan
karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga
melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya
(prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa- senyawa ini akan memacu
terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting
sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).
6. Pathway
Benturan kepala

Trauma kepala

Trauma pada jaringan lunak Trauma akibat deselerasi/akselerasi Robekan dan distorsi

Rusaknya jaringan kepala Cedera jaringan Jaringan sekitar tertekan

Luka terbuka Hematoma Nyeri akut

Risiko tinggi terhadap infeksi Perubahan pada cairan intra dan ekstra sel → edema
Peningkatan suplai darah ke daerah trauma → vasodilatasi

Tekanan intracranial ↑

Aliran darah ke otak↓

Perubahan perfusi jaringan serebral

Penurunan kesadaran
Merangsang hipotalamus Hipoksia jaringan
Merangsang inferior hipofise Kerusakan hemisfer motorik

Hipotalamus terviksasi Kerusakan pertukaran gas


Mengeluarkan steroid dan adrenal Penurunan kekuatan dan tahanan otot
Gangguan
persepsi sensorik
Produksi ADH Kekacauan Pernafasan
Sekresi HCL digaster↑
& aldosteron pola bahasa dangkal
Gangguan mobilitas fisik

Retensi Na+H2O Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Gangguan Pola nafas
komunikasi verbal tidak efektif
Gangguan Keseimbangan
cairan & elektrolit Sumber : Smeltzer (2013) Gambar 3 : Pathway
7. Klasifikasi

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek,
secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:

1) Mekanisme cedera kepala

Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil/motor, jatuh
atau pukulan benda tumpul.Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau
tusukan.Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

2) Beratnya cedera

Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.

a. Cedera kepala ringan (CKR)

GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde.

b. Cedera kepala sedang (CKS)

GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.

c. Cedera kepala berat (CKB)

GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam.
Table 1 : Daftar Nilai Glasgow Coma Scale (GCS)
Sumber : Sibuea (2009)
No Respon Nilai
1. Membuka Mata:
- Spontan 4
- Terhadap rangsangan suara 3
- Terhadap nyeri 2
- Tidak ada 1
2. Verbal:
- Orientasi baik 5
- Orientasi terganggu 4
- Kata-kata tidak jelas 3
- Suara tidak jelas 2
- Tidak ada respon 1
3. Motorik:
- Mampu bergerak 6
- Melokaliasasi nyeri 5
- Fleksi normal 4
- Fleksi abnormal 3
- Ekstensi 2
- Tidak mampu bergerak 1
Total 3-15
8. Komplikasi

a. Edema Pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-
110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih lanjut.
b. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)

Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,


dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah
yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang
merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
c. Kebocoran cairan serebrospinal

Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area drainase
tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril
di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
d. Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan
salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal
cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari
trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural,
epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, glasglow
coma scale (GCS) <10.
e. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat,
asetazolamid.
f. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem
ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,
pupil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
g. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan
bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi
dan latihan range of motion (ROM), terapi sekunder dengan splinting,
casting, dan terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin,
botulinum dan benzodiazepin.
h. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi >1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral.
Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan,
antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodiazepine dan terapi
modifikasi lingkungan.
i. Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama
dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur,
vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.
Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel, cemas,
depresi, emosi labil.

9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera
kepala adalah :
1) Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap.
Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan
pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda
perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh
dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes
ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu
dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sensorik (nervus
kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I
(olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III (okulomotoris), nervus IV
(troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI (abdusens), nervus VII (fasialis),
nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus), nervus X (vagus), nervus XI
(spinalis), nervus XII (hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah), dan
nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan
motorik.
2) Pemeriksaan radiologis
a. Foto Rontgen Polos

Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila
lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior- posterior. Bila lesi
terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior- anterior. Bila lesi
terdapat di daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film
diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga
ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala
menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar
angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis
servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya
fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang
tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.
b. Computed Temografik Scan (CT-scan)
Computed Temografik Scan (CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield
dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat
ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak
bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.

Computed Temografik Scan (CT-Scan) kepala merupakan standard


baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua pasien dengan
glasglow coma scale (GCS) <12 sebaiknya menjalankan pemeriksaan
Computed Temografik Scan (CT-Scan), sedangkan pada pasien dengan
glasglow coma scale (GCS) >12 Computed Temografik Scan (CT-Scan)
dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat,
adanya tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat,
muntah lebih dari satu kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan
penurunan kesadaran atau anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler
atau menggunakan obat-obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh,
gangguan keseimbangan atau berjalan, gangguan orientasi, berbicara,
membaca, dan menulis.

Computed Temografik Scan (CT-Scan) adalah suatu alat foto yang


membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang datar
dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi oleh
komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan
dalam). Foto Computed Temografik Scan (CT-Scan) akan tampak sebagai
penampang-penampang melintang dari objeknya. Dengan Computed
Temografik Scan (CT- Scan) isi kepala secara anatomis akan tampak
dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan
tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat,
2006). Indikasi pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-scan) pada
kasus trauma kepala adalah seperti berikut (Irwana, 2009).
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dab
berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. Adanya deficit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
5. Sakit kepala yang berat
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial atau herniasi jaringan
otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
Pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala masih
merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala.
Berdasarkan gambaran Computed Temografik Scan (CT- scan) kepala
dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien
cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada Computed Temografik Scan
(CT-scan) kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-ray foto kepala
untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2002).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan
dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan). Kelainan yang tidak
tampak pada Computed Temografik Scan (CT-Scan) dapat dilihat dengan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Namun, dibutuhkan waktu
pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan Computed Temografik Scan
(CT-Scan) sehingga tidak sesuai dengan situasi gawat darurat.
d. Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG) : Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus pada pasien
rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non
konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi
melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan
Electroencephalogram (EEG) terus menerus berhubungan dengan
gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil
yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak
traumatik.
10. Pencegahan
Pencegahan cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas diarahkan kepada
upaya untuk menurunkan kejadian kecelakaan lalu lintas. Upaya pencegahan
yang dilakukan yaitu:
a. Pencegahan primordial
Pencegahan primordial adalah pencegahan yang dilakukan kepada
orang-orang yang belum terkena faktor resiko yaitu berupa safety facilities:
koridor (sidewalk), jembatan penyeberangan (over hedge bridge), rambu-
rambu jalan (traffic signal), dan peraturan (law).
b. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum suatu
peristiwa terjadi untuk mencegah faktor resiko yang mendukung terjadinya
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala seperti: tidak
mengemudi dengan gangguan kesehatan (terlalu lelah, mengantuk, di bawah
pengaruh obat-obatan dan alkohol), pengendalian kecepatan kendaraan/ tidak
mengebut, penggunaan helm dan sabuk pengaman, muatan penumpang tidak
berlebihan, dan membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet,
kondisi tidak berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok).
c. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk menghentikan atau
mengurangi perkembangan penyakit atau cedera kepala ke arah kerusakan dan
ketidakmampuan.
d. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah komplikasi cedera kepala
yang lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan
melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus
konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu
lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari
proses pemulihan penderita cedera kepala. Tujuan rehabilitasi setelah cedera
kepala yaitu untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan
fungsinya di dalam keluarga dan di dalam masyarakat.
11. Penatalaksanaan Medik
Menurut Sezanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare (2013), penatalaksanaan cedera
kepala adalah :
1) Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3) Pemberian analgetik.
4) Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5) Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6) Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7) Pembedahan.
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk
memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan
untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil
Computed Temografik Scan (CT-Scan) pada pasien. Penurunan aktifitas otak
juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan pada cedera kepala agar dapat
menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma. Pasien yang mengalami
kejang diberikan terapi profilaksis.
1. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk
mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila ditemukan
peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa cedera difus,
autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan
barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan
metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah
serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi
lipid mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez menunjukkan
penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil
pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial,
mempertahankan volume intravaskular volume. Dengan akses vena
sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target
natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam.
Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.
2. Terapi nutrisi

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan


kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan
melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan
metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi
protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat
mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
3. Terapi prevensi kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan


tekanan intracranial (TIK), penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan
neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset
lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan
fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama.Faktor-faktor terkait
yang harus dievaluasi pada terapi prevensi kejang adalah kondisi pasien
yang hipoglikemi, gangguan elektrolit, dan infeksi.
Penanganan cedera kepala menurut tingkat berat cedera kepala, yaitu :
1. Penanganan cedera kepala ringan
Pasien dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) normal dapat
keluar dari unit gawat darurat (UGD) dengan peringatan apabila :
mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan
muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga,
nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas,
bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan
dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas
yang abnormal.
2. Penanganan cedera kepala sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan
Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala.
Postrauman Amnesia (PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0
apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak
ada amnesia. Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang
menjadi :
a. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
b. Risiko sedang ; ada riwayat penurunan kesadaran dan
amnesia post trauma
c. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan
muntah Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat
mendapat penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak
dikenali. Gejala terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk,
nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan
dizziness. Penatalaksanaan utamanya ditujukan
pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi
lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi kognitif
,dan psiko edukasi .
3. Penanganan cedera kepala berat
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:
a. Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner
b. Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan
mini neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan
atau perawatan di Intensive Care Unit (ICU).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Umum
a. Airway  
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas.
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk
mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut 
b. Breathing  
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen 
c. Circulation  
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis
pada kuku, bibir).
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
3) Monitoring tanda-tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit
5) Monitoring intake dan output

Khusus
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian steroid
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
e. Rehabilitasi, fisioterapi
Prioritas Keperawatan
a. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral
b. Mencegah/meminimalkan komplikasi
c. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum trauma
d. Meningkatkan koping individu dan keluarga
e. Memberikan informasi
Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstermitas.
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofobia.
g. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, seperti: pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan
sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
i. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena respirasi)
j. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
k. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye”, tanda battle
disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
m. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang ulang,
disartris, anomia.
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan atau
vena terputus.
b. Nyeri akut b.d dengan agen injuri fisik.
c. Defisit self care b.d dengan kelelahan, nyeri.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan kriteria
No Intervensi
Keperawatan hasil
1 Ketidakefektifan NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
perfusi jaringan 1. Status sirkulasi Perfusi 1. Catat perubahan respon klien
(spesifik serebral) jaringan serebral terhadap stimulus / rangsangan
b.d aliran arteri 2. Monitor TIK klien dan respon
dan atau vena Setelah dilakukan
neurologis terhadap aktivitas
terputus. tindakan keperawatan
selama ….x 24 jam, 3. Monitor intake dan output
klien mampu men-capai : 4. Pasang restrain, jika perlu
1.  5. Monitor suhu dan angka leukosit
Status sirkulasi dengan 6. Kaji adanya kaku kuduk
indikator: 7. Kelola pemberian antibiotik
- Tekanan darah 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi
sistolik dan diastolik
30-40O dengan leher dalam posisi
dalam rentang yang
diharapkan netral
- Tidak ada ortostatik 9. Minimalkan stimulus dari
hipotensi lingkungan
- Tidak ada tanda- 10. Beri jarak antar tindakan
tanda PTIK keperawatan untuk meminimalkan
peningkatan TIK
Perfusi jaringan serebral,
11. Kelola obat obat untuk
dengan indikator :
- Klien mampu mempertahankan TIK dalam batas
berkomunikasi spesifik
dengan jelas dan
sesuai kemampuan Monitoring Neurologis (2620)
- Klien menunjukkan 1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi
perhatian, dan bentuk pupil
konsentrasi, dan 2. Monitor tingkat kesadaran klien
orientasi 3. Monitor tanda-tanda vital
- Klien mampu
memproses informasi 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual,
- Klien mampu dan muntah
membuat keputusan 5. Monitor respon klien terhadap
dengan benar pengobatan
- Tingkat kesadaran 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
klien membaik
7. Observasi kondisi fisik klien

Terapi Oksigen (3320)


1. Bersihkan jalan nafas dari secret
2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai instruksi
4. Monitor aliran oksigen, kanul
oksigen, dan humidifier
5. Beri penjelasan kepada klien tentang
pentingnya pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor respon klien terhadap
pemberian oksigen
8. 8Anjurkan klien untuk tetap
memakai oksigen selama aktivitas
dan tidur

2 Nyeri akut b.d NOC: Manajemen nyeri (1400)


dengan agen injuri1.  Nyeri terkontrol 1. Kaji keluhan nyeri, lokasi,
fisik. 2.  Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
3.  Tingkat kenyamanan kualitas, dan beratnya nyeri.
2. Observasi respon ketidaknyamanan
Setelah dilakukan asuhan secara verbal dan non verbal.
keperawatan selama …. 3. Pastikan klien menerima perawatan
x 24 jam, klien dapat : analgetik dg tepat.
1.  4. Gunakan strategi komunikasi yang
Mengontrol nyeri, efektif untuk mengetahui respon
dengan indikator: penerimaan klien terhadap nyeri.
- Mengenal faktor- 5. Evaluasi keefektifan penggunaan
faktor penyebab. kontrol nyeri
- Mengenal onset nyeri 6. Monitoring perubahan nyeri baik
- Tindakan pertolongan aktual maupun potensial.
non farmakologi 7. Sediakan lingkungan yang nyaman.
- Menggunakan 8. Kurangi faktor-faktor yang dapat
analgetik menambah ungkapan nyeri.
- Melaporkan gejala- 9. Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi
gejala nyeri kepada sebelum atau sesudah nyeri
tim kesehatan. berlangsung.
- Nyeri terkontrol 10. Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain untuk memilih tindakan selain
Menunjukkan tingkat obat untuk meringankan nyeri.
nyeri, dengan indikator: 11. Tingkatkan istirahat yang adekuat
- Melaporkan nyeri untuk meringankan nyeri.
Frekuensi nyeri
- Lamanya episode Manajemen pengobatan (2380)
nyeri 1. Tentukan obat yang dibutuhkan
- Ekspresi nyeri; wajah klien dan cara mengelola sesuai
- Perubahan respirasi dengan anjuran/dosis.
rate 2. Monitor efek teraupetik dari
- Perubahan tekanan pengobatan.
darah 3. Monitor tanda, gejala dan efek
- Kehilangan nafsu samping obat.
makan 4. Monitor interaksi obat.
5. Ajarkan pada klien/keluarga cara
Tingkat kenyamanan, mengatasi efek samping pengobatan.
dengan indikator : 6. Jelaskan manfaat pengobatan yang
- Klien melaporkan dapat mempengaruhi gaya hidup
kebutuhan tidur dan klien.
istirahat tercukupi.
Pengelolaan analgetik (2210)
1. Periksa perintah medis tentang obat,
dosis & frekuensi obat analgetik.
2. Periksa riwayat alergi klien.
3. Pilih obat berdasarkan tipe dan
beratnya nyeri.
4. Pilih cara pemberian IV atau IM
untuk pengobatan, jika mungkin.
5. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
6. Kelola jadwal pemberian analgetik
yang sesuai.
7. Evaluasi efektifitas dosis analgetik,
observasi tanda dan gejala efek
samping, misal depresi pernafasan,
mual dan muntah, mulut kering, &
konstipasi.
8. Kolaborasi dgn dokter untuk obat,
dosis & cara pemberian yg
diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik,
kualitas, dan keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar.
11. Dokumentasikan respon dari
analgetik dan efek yang tidak
diinginkan
3 Defisit self care NOC: NIC:
b.d dengan Perawatan diri :
kelelahan, nyeri. (mandi, Makan Membantu perawatan diri klien
Toiletting, berpakaian) Mandi dan toiletting
Aktifitas:
Setelah diberi motivasi 1. Tempatkan alat-alat mandi di tempat
perawatan selama ….x24 yang mudah dikenali dan mudah
jam, pnasie mengerti dijangkau klien.
cara memenuhi ADL 2. Libatkan klien dan dampingi.
secara bertahap sesuai 3. Berikan bantuan selama klien masih
kemampuan, dengan mampu mengerjakan sendiri
kriteria :
- Mengerti secara NIC:
sederhana cara ADL Berpakaian
mandi, makan, Aktifitas:
toileting, dan 1. Informasikan pada klien dalam
berpakaian serta mau memilih pakaian selama perawatan.
mencoba secara 2. Sediakan pakaian di tempat yang
aman tanpa cemas. mudah dijangkau.
- Klien mau 3. Bantu berpakaian yang sesuai.
berpartisipasi dengan 4. Jaga privacy klien.
senang hati tanpa 5. Berikan pakaian pribadi yg digemari
keluhan dalam dan sesuai
memenuhi ADL
NIC:
ADL Makan
1. Anjurkan duduk dan berdo’a
bersama teman.
2. Dampingi saat makan.
3. Bantu jika klien belum mampu dan
beri contoh.
4. Beri rasa nyaman saat makan
1.  
C. DAFTAR PUSTAKA
D.
Baughman, Diane C. dan Joann C. Hackley. 2003. Keperawatan Medikal Bedah
Buku Saku Dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Bulechek, Gloria M., dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi
Bahasa Indonesia. Indonesia : Elsivier

Frieden, T. R., Houry, D., Baldwin, G. 2015, Traumatic brain injury in the United
States: Epidemiology and rehabilitatio, CDC and NIH Report to Congress,
1–74.

Ganong, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. (Alih Bahasa Oleh : 1 Made Kariasa,
Dkk). Jakarta : EGC.

Morton, Gallo, Hudak. 2012. Keperawatan Kritis Volume 1 & 2. Edisi 8. Jakarta : EGC.

NANDA. (2018). NANDA-1 Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2018-


2020. (T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds.) (11 th ed). Jakarta: EGC.

Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia :


Elsivier

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

Pushkarna, M. A., Bhatoe, B. H. and Sudambrekar, C. S. 2010, Head Injuries,


Medical Journal Armed Forces India, 321–324.

Rosjidi, C. H. 2007. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Cedera Kepala. Yogyakarta:


Adana Media

Sibuea H. W., dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Cetakan Ke 2. Jakarta : Rineka Cipta

Smeltrzer, Suzanna C & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
Dan Suddart. (Alih Bahasa Agung Waluyo). Edisi 8. Jakarta : EGC.
E.

Anda mungkin juga menyukai