Anda di halaman 1dari 20

Visi

Pada tahun 2025 menghasilkan Ahli Madya Keperawatan yang unggul dalam Penguasaan
asuhan keperawatan dengan masalah kesehatan neurosain melalui pendekatan ilmu
pengetahuan dan tehnologi Keperawatan

LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

Disusun oleh :
Nama : Hesti Rahmadati

Nim : P3.73.20.1.18.098

Kelas : 3 Reguler C

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
TAHUN 2021
I. Konsep Dasar Cedera Kepala
A. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2015).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2013).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2012), cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.
B. Anatomi Fisiologi
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu Skin atau kulit,
Connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponereutika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
perdarahan akibat liseran kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan
darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
2. Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Struktur tulang
yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang
muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan : lapisan luar, diploe dan lapisan
dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan
diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis),
fosa tengah (berisi.
lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan
sereblum). Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid dan
piameter :
a. Durameter ( lapisan sebelah luar )
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan
darah vena ke otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi
susunan saraf sentral.
c. Piameter (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piameter berhubungan dengan araknoid melalui strukturstruktur jaringan
ikat yang disebut trabekel (Ganong, 2002).
3. Otak
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu :
a. Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol.
Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik
dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia.
Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau
celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar
hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai
kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian
dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer
saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus
kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea
yang disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada
masingmasing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan
bagian tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur
bagian tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh
sebelah kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra
lateral. Setiap hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:
1) Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama
fungsi bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku dan etika.
2) Lobus Temporal :Pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori.
3) Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.
4) Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan).
b. Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil merupakan bagian terbesar dari otak
belakang. Cerebelum menempati fosa kranialis posterior dan diatapi
tentorium cerebri yang merupakan lipatan duramater yang memisahkan
dari lobus oksipitalis serebri. Bentuknya oval, bagian yang mengecil
pada sentral disebut vermis dan bagian yang melebar pada bagian lateral
disebut hemisfer. Cerebelum berhubungan dengan batang otak melalui
pedunkulus cerebri inferior (corpus retiform). Permukaan luar cerebelum
berlipat-lipat seperti cerebrum tetapi lebih lipatanya lebih kecil dan lebih
teratur. Permukaan cerebelum ini mengandung zat kelabu.
c. Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah (diensfalon) pons varoli dan medula
oblongata. Otak tengah merupakan merupakan bagian atas batang otak
akuaduktus cerebriyang 14 menghubungkan ventrikel ketiga dan
keempat melintasi melalui otak tengah ini. Otak tengah mengandung
pusat-pusat yang mengendalikan keseimbangan dan gerakan-gerakan
bola mata.
4. Nervus kranialis
Suzanne C Smeltzer (2001), Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma
kepala meluas sampai batang otak karna edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu :
1. Nervus Alfaktorius ( Nervus Kranialis I )
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah
lebih lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang
hidung ditutup, penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti
vanila, cau de cologne, dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.
2. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma
optikum, kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis
untuk dikenali dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk
penglihatan.
3. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III) Sifatnya motorik, mensarafi
otot-otot orbital (otot penggerak bola mata). Fungsi sebagai penggerak
bola mata.
4. Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV) Sifatnya motorik, fungsi
memutar mata, sebagai penggerak mata.
5. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan
memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan
otot-otot pengunyah.
6. Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf
penggoyang bola mata.
7. Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang
menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang
mensarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan
dahi dan menyeringai. Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput
lendir rongga mulut.
8. Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari
pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.
9. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dpat
membawa rangsangan cita rasa ke otak.
10. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mengandung saraf-saraf motoric,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen.
Fungsinya sebagai saraf perasa.
k. Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI).
Saraf ini mensarafi muskulus sternocleidomastoid dan muskulus
trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot
lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum
penyambung.
5. Tekanan Intra Kranial (TIK)
Tekanan intra kranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume
darah intrakranial dan cairan serebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan
waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar
± 15mmHg. Ruang kranial yang kalua berisi jaringan otak (1400gr), Darah
(75 ml), cairan serebrospiral (75ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini
selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro- Kellie
menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam
tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini menyebabkan
perubahan pada volume darah serebral tanpa adanya perubahan, TIK akan
naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi menyebabkan turunnya batang otak
(Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
C. Etiologi
Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013), Penyebab utama terjadinya cedera
kepala adalah sebagai berikut :
1. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor
bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
2. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakkan
turun turun maupun sesudah sampai ke tanah.
3. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain
(secara paksa). Beberapa mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala
adalah seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi
apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba
suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan
mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
D. Patofisiologi
Trauma kranio serebral dapat menyebabkan cedera pada kulit, tengkorak, dan
jaringan otak. Hal tersebut dapat terjadi secara bersamaan atau salah satu saja.
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi luasnya cedera kepala, yaitu
(Wahyu Widagdo, dkk, 2007) :
1. Lokasi dari tempat benturan langsung
2. Kecepatan dan energi yang dipindahkan
3. Daerah permukaan energi yang dipindahkan
4. Keadaan kepala saat benturan terjadi
Otak dilindungi oleh tulang, rambut, dan kulit yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah mengalami cedera dan
kerusakan. Tepat di atas tengkorak terletak galea aponcurotika, yaitu jaringan
fibrosa padat yang dapat digerakkan dengan bebas yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak
dan lapisan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar.
Pembuluh ini sulit mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan banyak darah pada penderita laserasi kulit kepala.
Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari
arteri, perdarahan arteri yang diakibatkan tertimbun dalam ruang epidural dapat
berakibat fatal. Kerusakan neurologik disebabkan oleh suatu benda atau serpihan
tulang yang menembus dan merobek jaringan otak yang disebabkan benturan
dengan energi yang diteruskan ke otak dan oleh efek akselerasi – deselerasi pada
otak. Derajat kerusakan yang disebabkan bergantung pada kekuatan yang
menimpa, makin besar kekuatan maka semakin parah kerusakan yang terjadi.
Kekuatan akselerasi – deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam
tengkorak sehingga memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dengan benturan. Apabila bagian otak yang kasar
bergerak melewati daerah krista sfenoidalis, bagian ini akan terobek dan
mengoyak jaringan otak. Kerusakan akan diperparah bila trauma juga
menyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak yang akan mengalami cedera yaitu
bagian anterior lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus oksipitalis,
dan bagian atas mesonfalon. Kerusakan sekunder pada cedera kepala dapat
disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan
timbulnya efek kaskade yang berakibat merusak otak. (Price & Wilson, 2012)
E. Pathway

F. Klasifikasi Cedera Kepala


Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek, secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera
kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil/motor, jatuh atau
pukulan benda tumpul.Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau
tusukan.Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya cedera Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala.
a. Cedera kepala ringan (CKR) GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran
(pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde.
b. Cedera kepala sedang (CKS) GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia
retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
c. Cedera kepala berat (CKB) GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
G. Manifestasi klinis
1. Cedera kepala ringan (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan
3. Cedera kepala berat (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran
b. Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
d. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut
H. Komplikasi
Cidera kepala yang tidak teratasi dengan segera atau tidak optimal dalam terapi maka
dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu :
1. Edema paru
Edema paru terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan peningaktan tekanan
intra kranial yang berakibat terjadinya peningkatan respon simpatis. Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum akan lebih banyak darah yang dialirkan ke paru.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam berpindahnya cairan
ke aleolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial lebih lanjut.
2. Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen yang terjadi pada 2-6%
pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi
kepala setelah beberapa hari. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini.
Walaupun pasien memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya
pneumokok). Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis
yang berulang merupakan indikasi operasi reparatif (Rosjidi & Nurhidayat, 2007).
3. Perdarahan intra kranial
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi
serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
4. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau
telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
5. Kejang pasca trauma Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien
merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal
cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari
trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural,
parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, glasglow coma scale (GCS)
<10.
6. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan memperburuk
outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular paralisis. Penanganan lain
dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
7. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi
akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral.Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.
8. Gangguan Intestinal
Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan
saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang
simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah
terjadi erosi pada lambung. (Iskandar, 2004).
I. Pemeriksaan Diagnosis
Menurut Arif Mutaqin 2008 Pemeriksaan Penujunang Pasien cedera Kepala :
a. CT Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, pendarahan, dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial
j. Screen toxilogy
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
l. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan
m. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status
repirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini
adalah status oksigenasi dan status asam basa
J. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Makanan
atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi d. Pada anak diistirahatkan atau tirah
baring.
b. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut (Wahyu
Widagdo, dkk, 2007).
a. Non pembedahan
1) Glukokortikoid (dexamethazone) untuk mengurangi edema
2) Diuretic osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter untuk
mengeluarkan kristal-kristal mikroskopis
3) Diuretic loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan
intracranial
4) Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi
mekanik untuk megontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat
meningkatkan resiko peningkatan tekanan intracranial
b. Pembedahan Kraniotomi di indikasikan untuk :
1) Mengatasi subdural atau epidural hematoma
2) Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak terkontrol
3) Mengobati hidrosefalus
II. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Cedera Kepala
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah
yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah- masalah pasien, merencanakan secara
sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan (Nasrul Effendy dalam Andra, dkk. 2013).
Menurut Rendi dan Margareth. ( 2012 ), asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala
meliputi:
A. Pengkajian
a. Pengkajian primer
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur ,larinks atau trachea.
Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak
boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
Volume darah dan Curah jantung. Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan
hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. Observasi yang
dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi. Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.
e. Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe.
b. Pengkajian Sekunder
a. Identitas pasien Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin,
tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku,
status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat.
b. Keluhan utama Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran ( Muttaqin, A. 2008 ). Biasanya klien
akan mengalami penurunan kesadaran dan adanya benturan serta
perdarahan pada bagian kepala klien yang disebabkan oleh kecelakaan
ataupun tindaka kejahatan.
c. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
c. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi :
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler :
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan tekanan intracranial
(TIK).
c. Kemampuan komunikasi :
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan
saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial :
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
e. Aktivitas/istirahat :
Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi,
hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada
tulang dan kehilangan tonus otot.
d. Sirkulasi :
Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
e. Integritas Ego :
Perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah tersinggung, delirium, agitasi,
cemas, bingung, impulsive dan depresi.
f. Eliminasi :
Buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) mengalami
inkontinensia/disfungsi.
g. Makanan/cairan :
Mual, muntah, perubahan selera makan, muntah (mungkin proyektil),
gangguan menelan (batuk, disfagia).
h. Neurosensori :
Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan,
perubahan kesadaran, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap
cahaya), kehilangan penginderaan,pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
i. Nyeri/Keyamanan: sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda,
wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang
hebat, gelisah
j. Keamanan: Trauma/injuri kecelakaan, fraktur dislokasi, gangguan
penglihatan, gangguan range of motion (ROM), tonus otot hilang kekuatan
paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh. m.
Penyuluhan/Pembelajaran: Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan
terlarang
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan diagnostic :
1) X-ray/CT scan
a) Hematom serebral
b) Edema serebral
c) Perdarahan intracranial
d) Fraktur tulang tengkorak
2) MRI :
Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3) Angiografi serebral : Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4) EEG : Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
6) PET (Positron Emission Tomograpfy) : Menunjukan perubahan
aktivitas metabolism pada otak.
5. Pemeriksaan laboratorium
1) AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normaluntuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
2) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari, diikuti
dengan dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
3) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
4) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid
(warna, komposisi, tekana).
5) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
6) Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler
3. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya
otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
C. Rencana Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intracranial
Tujuan : Dalam jangka waktu 2x24 jam, diharapkan perfusi jaringan serebral
kembali normal dengan
Kriteria hasil : Klien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala, tidak
terjadi peningkatan tekanan intracranial, peningkatan kesadaran, GCS≥13,
fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual dan muntah.
Intervensi :
a. Kaji tingkat kesadaran dengan rasional mengetahui kestabilan klien.
b. Pantau status neurologis secara teratur, catat adanya nyeri kepala dan
pusing, dengan tujuan mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
kesadaran dan risiko peningkatan tekanan intracranial (TIK).
c. Tinggikan posisi kepala 15-30˚ dengan tujuan untuk menurunkan tekanan
vena jugularis.
d. Pantau tanda-tanda vital (TTV); tekanan darah (TD), suhu, nadi, input dan
output, lalu catat hasilnya dengan tujuan peningkatan tekanan darah
sistemik yang diikuti dengan penurunan tekanan darah diastolic serta
napas yang tidak teratur merupakan tanda peningkatan tekanan
intracranial (TIK).
e. Kolaborasi pemberian oksigen dengan tujuan mengurangi keadaan
hipoksia.
f. Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien dengan tujuan
ungkapan keluarga yang menyenangkan klien tampak mempunyai efek
relaksasi pada klien yang akan menurunkan tekanan intracranial (TIK)
2. Gangguan pola napas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medulla oblongata neuromskuler.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pola nafas efektif dengan
Kriteria hasil : Klien tidak mengatakan sesak nafas, retraksi dinding dada
tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada, pola nafas reguler,
respiratory rate (RR); 16-24 x/menit, ventilasi adekuat bebas sianosis dengan
gas darah analisis (GDA) dalam batas normal pasien, kepatenan jalan nafas
dapat dipertahankan. Intervensi :
a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama nafas, adanya sianosis, kaji
suara nafas tambahan (rongki, mengi, krekels) dengan tujuan hipoventilasi
biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi/atelektasi atau pneumonia
(komplikasi yang sering terjadi).
b. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler 30 derajat, berikan posisi semi
prone lateral/miring, jika tak ada kejang selama 4 jam pertama rubah
posisi miring atau terlentang tiap 2 jam dengan tujuan meningkatkan
ventilasi semua bagian paru, mobilisasi serkret mengurangi resiko
komplikasi, posisi tengkulup mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai
dapat menimbulkan peningkatan resiko terjadinya gagal nafas.
c. Anjurkan pasien untuk minum hangat (minimal 2000 ml/hari) dengan
tujuan membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret/
sebagai ekspektoran.
d. Kolaborasi terapi oksigen sesui indikasi dengan tujuan memaksimalkan
bernafas dan menurunkan kerja nafas, mencegah hipoksia, jika pusat
pernafasan tertekan, biasanya dengan menggunakan ventilator mekanis.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan.
Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan
perawatan selama 3 x 24 jam dengan
Kriteria hasil : Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai
laboratorium dalam rentang normal dan peningkatan berat badan sesuai tujuan
Intervensi :
1. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan, batuk dan
mengatasi sekresi dengan tujuan faktor ini menentukan terhadap jenis
makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara
hiperaktif dengan tujuan bising. usus membantu dalam menentukan
respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik
ileus.
3. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti meninggikan
kepala selama makan atau selama pemberian makan lewat nasogastric
tube (NGT) dengan tujuan menurunkan regurgitasi dan terjadinya aspirasi.
4. Berikan makan dalam porsi kecil dan sering dengan teratur dengan tujuan
meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan, dan
kolaborasi dengan ahli gizi dengan tujuan metode yang efektif untuk
memberikan kebutuhan kalori.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahapan pelaksanaan dari berbagai tindakan yang telah
disusun di tahap intervensi (Wedho, dkk, 2014).
E. Evaluasi
Evaluasi dilakukan bedasarkan pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi
keperawatan dan implementasi keperawatan yang dilihat dari hasil perkembangan
klein/pasien selama melakukan asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Dacosta Mendonsa, Joaquim. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Sdr. P.P Dengan Cedera
Kepala Sedang Di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Prof. Dr. W. Z.
Johannes Kupang. Kupang : Poltekkes Kemenkes Kupang
Diana Desi, Sari. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Tn ”A” Dengan Kasus : Cedera Kepala
Berat Di Ruang Igd Rsud H.Hanafie Muara Bungo. Bukittinggi : Perintis Padang
Eka Saputra, Yozi. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera Kepala Di
Ruang Hcu Bedah Rsup Dr. M. Djamil Padang. Padang : Poltekkes Kemenkes Padang
Gabriella, Gebby. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Ny. A Dengan Cedera Kepala Ringan Di
Ruang Ambun Suri Lantai 2 Rsud Dr. Achmad Mochtar. Bukittinggi : Perintis Padang

Anda mungkin juga menyukai