Anda di halaman 1dari 80

A.

Anatomi Fisiologi Kepala

a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:

1. Skin atau kulit,


2. Connective tissue atau jaringan penyambung,
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika,
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,
5. Perikanium

b. Tulang tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Syaifuddin 2006).

c. Selaput otak

Selaput otak terdiri dari tiga lapisan:

1. Durameter

Adalah meningens terluar yang merupakan gabungan dari dua lapisan selaput
yaitu: lapisan bagian dalam (yang berlanjut ke durameter spinal) dan lapisan
bagian luar (yang merupakan lapisan periosteum tengkorak). Lapisan bagian
dalam akan melebar serta melekuk membeentuk sekat-sekat otak (falks,
tentorium). Lapisan bagian luar merupakan jaringan fibrosa yang lebih padat dan
mengandung vena serta arteri untuk memberi makan tulang. Gabungan kedua
lapisan ini melekat erat dengan permukaan dalam tulang sehingga tidak ada celah
diantaranya. Kedua lapisan durameter ini pada lokasi-lokasi tertentu akan
terpissah dan membentuk rongga (sinus durameter) berisi darah vena serta
berfungsi untuk drainase otak. Dibawah durameter terdapat rongga subdural yang
tidak berisi liquor cerebro spinalis.

2. Arakhnoid

Arakhnoid merupakan lapisan tengah antara durameter dan piameter. Di bawah


lapisan ini adalah rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula dan dialiri
liquor cerebro spinalis. Lapisan arakhnoid tidak memiliki pembuluh darah, tetapi
pada rongga subarakhnoid terdapat pembuluh darah.

3. Piameter

Piameter merupakan lapisan selaput otak yang paling dalam yang langsung
berhubungan dengan permukaan jaringan otak serta mengikuti konvolusinya
(Syaifuddin 2006).

d. Otak
Gambar 2. Anatomi Otak (Satyanegara 2010).

Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron.
Masing-masing neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan
sel saraf lainnya. Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal dan
terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak).
Kranium ini secara absolut tidak dapat bertambah volumenya terutama pada orang
dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung yaitu rambut, kulit
kepala, tengkorak, selaput otak (meningens), dan cairan otak (liquor cerebro
spinalis). Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (Satyanegara 2010).
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian
otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan,
memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga
ditentukan oleh kualitas bagian ini.

Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit
disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal,
Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal.

a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak
Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kemampuan bahasa secara umum.
b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk
suara.
d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Arif,2008).
2. Cerebellum (Otak Kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan
koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang
tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak
mampu mengancingkan baju(Arif,2008).

3. Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan
merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat
datangnya bahaya.

Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu,
batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur
“perasaan teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya akan merasa tidak
nyaman atau terancam ketika orang yang tidak dikenal terlalu dekat.

Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:


a. Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan
mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri
badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla
mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah,
pernafasan, dan pencernaan.
c. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak
bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita
terjaga atau tertidur(Arif,2008).

4. Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini
sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak
mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala,
hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan,
mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar,
dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.
Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu
fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan
mana yang tidak(Arif,2008).

e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan


produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari
(Satyanegara.2010).

f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial


(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior) (Satyanegara.2010).

g. Vaskularisasi otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (Satyanegara.2010).

2.2 Fisiologi Trauma Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan


secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa
dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal
pungsi yaitu 4 – 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan
menyebabkan atau memperberat iskemia.Prognosis yang buruk terjadi pada
penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat
cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah
sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah
intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika
TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan,
konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Doktrin Monroe-Kellie
menyatakan bahwa volume total dalam kranium selalu tetap karena tulang
tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang jika ada penambahan
volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak,
10% LCS, dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini, atau
adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan
menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya
untuk mempertahankan tekanan.

Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan menyebabkan tergesernya


LCS akan terdesak melaui foramen magnum ke arah rongga sub-arakhnoid
spinalis dan vena akan segera mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas
keluar dari ruangan intrakranial melalui vena jugularis atau melalui vena emisaria
dan kulit kepala. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas
tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan
volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.

Dengan meningkatnya aliran darah pada pembuluh darah otak, maka perdarahan
intra cerebral akan meningkat volumenya, sehingga dapat mendorong atau
menekan masa otak. Otak yang normal mempunyai kemampuan melakukan
autoregulasi aliran darah serebral. Autoregulasi menjamin aliran darah konstan
melalui pembuluh serebral di atas rentang tekanan perfusi dengan mengubah
diameter pembuluh darah dalam berespon terhadap tekanan perfusi serebral.
Faktor-faktor yang mengubah kemampuan pembuluh darah serebral untuk
berkontraksi dan berdilatasi, seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea, dan trauma
otak dapat mengganggu autoregulasi.
Karbon dioksida merupakan vasodilator yang paling potensi pada pembuluh
serebral, menyebabkan kenaikan aliran darah serebral yang mengakibatkan
peningkatan volume intrakranial, mengarah pada peningkatan tekanan
intrakranial. Agar autoregulasi berfungsi, kadar karbon dioksida harus dalam
batasan yang dapat diterima dan tekanannya dalam batasan : tekanan perfusi
serebral di atas 60 mmHg, tekanan arteri rata-rata dibawah 160 mmHg dan
tekanan sistolik antara 60 – 160 mmHg dan, TIK di bawah 30 mmHg. Cedera otak
juga dapat merusak autoregulasi. Bila autoregulasi mengalami kerusakan, alirah
darah serebral berfluktuasi berkaitan dengan tekanan darah sistemik. Pada klien
dengan kerusakan autoregulasi, setiap aktivitas yang menyebabkan tekanan darah,
seperti batuk, suction, dan ansietas dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
serebral yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan


intrakranial dengan cara pengalihan CSS ke dalam spasium subaraknoid spinal,
peningkatan absorbsi CSS, penurunan pembentukan CSS dan pengalihan darah
vena keluar dari tulang tengkorak (Hudak and Gallo, 2010).

Gambar 1. Tekanan intrakranial akan tetap normal dengan peningkatan volume


sampai titik dekompensasi tercapai. Di atas volume kritis ini, TIK akan
meningkat dengan cepat
Aliran darah otak normalnya 50 - 60 mL/100 gr jaringan otak/menit. Bila aliran
darah otak menurun sampai 20-25 mL/100gr/menit maka aktifitas EEG akan
hilang dan pada nilai 5 mL/100gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan
terjadilah kerusakan sel yang menetap. Pada penderita non trauma, fenomena
autoregulasi mempertahankan aliran darah pada tingkat yang konstan apabila
MAP (mean arterial pressure) berada dikisaran 50-160 mmHg. Bila MAP
dibawah 50 mmHg, aliran darah otak sangat berkurang dan bila MAP diatas 160
mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah
meningkat.

Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera otak


sekunder karena iskemia akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme
kompensasi tidak bekerja diikuti kenaikan TIK yang curam, perfusi otak akan
berkurang jauh terutama pada keadaan hipotensi. Oleh karena itu bila terdapat
hematom intrakranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah
yang adekuat tetap harus dipertahankan.

Tekanan perfusi serebral/CPP (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah tekanan


aliran darah ke otak, normalnya konstan karena adanya autoregulasi. CPP
ditentukan dengan pengurangan TIK dengan Tekanan Arteri Rerata (MAP), dapat
ditulis dengan rumus :

CPP = MAP – TIK

Nilai normal CPP adalah 60 – 150 mmHg, mekanisme autoregulator dari otak
mengalami kerusakan akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau kurang
dari 60 mmHg. Klien dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan
disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih kembali. Hal ini terjadi disebabkan
oleh penurunan perfusi serebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan
mengakibatkan hipoksia serebral (Smeltzer and Bare, 2002).

2.3. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. Cedera dibagi
menjadi 2 yaitu cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer merupakan
kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah trauma. Cedera otak sekunder
meerupakan kerusakan yang berkembang kemudian sebagai komplikasi (Pierce
dan Neil 2006).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu
mendapatkan penanganan yang cepat. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat
dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (Suriadi &
Rita Yuliani, 2001).

2.4 Area yang Terkena

1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar
tengkorak. Fraktur dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari
satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif).
Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak
memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan
perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur tengkorak : Fraktur tengkorak ialah terjadinya diskontinyuitas
jaringan tulang yang melindungi otak dan struktur lain yang meliputinya,
terdiri dari :

a. Fraktur linear : Merupakan trauma yang umumnya terjadi, sering terjadi


pada anak. Fraktur linear merupakan kerusakan yang simple pada jaringan
tengkorak yang mengikuti garis lurus. Hal ini dapat terjadi setelah
terjadinya trauma kepala ringan( terjatuh, terpukul, kecelakaan sepeda
motor ringan ). Fraktur linear bukanlah trauma yang serius kecuali pada
trauma yang agak berat dapat mengenai jaringan otak.
b. Fraktur impresi : Hal ini umumnya terjadi setelah bertabrakan dengan
kekuatan besar dengan benda tumpul seperti : palu, batu, atau benda berat
lainnya. Trauma ini dapat menyebabkan lekukan pada tulang tengkorak
dan menekan jaringan otak. Apabila kedalaman dari fraktur impresi ini
sama dengan ketebalan tulang tengkorak ( ¼ - ½ inchi ), operasi selalu
dilakukan untuk mengangkat potongan tulang dan untuk melihat
kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma ini. Fraktur impresi yang
minimal lebih tipis dari ketebalan tulang. Fraktur ini umumnya tidak
perlu dioperasi kecuali dijumpai kerusakan lain. Fraktur ini dapat
merobek duramater dan merusak jaringan otak dibawahnya serta
menimbulkan perdarahan.
c. Fraktur basiler :merupakan fraktur yang terjadi dasar tengkorak yang
diakibatkan dari trauma tumpul yang berat pada kepala dengan kekuatan
yang signifikan. Fraktur basiler umumnya mengenai rongga sinus.
Hubungan ini dapat menyebabkan udara atau cairan masuk kedalam
tengkorak dan menyebabkan infeksi. Pembedahan umumnya tidak
diperlukan kecuali ditemukan kerusakan lain (Musliha, 2010).

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural,


perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus
dan terjadi secara bersamaan.
Perdarahan Intra cranial terdiri dari:

a. Subdural Hematom :Merupakan perdarahan yang terjadi diantara jaringan


otak dan duramater. Biasanya terjadi di daerah parietal. Peregangan dan
robekan pada bridging vein diantara otak dan duramater merupakan
penyebab dari tipe perdarahan ini. Subdural hematom terjadi secara akut,
terjadi secara tiba – tiba setelah trauma, atau kronik, proses akumulasi
yang lambat terjadi setelah trauma. Subdural hematom kronis umumnya
terjadi pada usia tua yang mempunyai bridging vein yang rapuh dan
teregang dan dengan mudah dapat mengalami perdarahan setelah trauma
ringan. Bila terjadi akut, hal ini menunjukkan trauma kepala yang berat.
Sering perdarahan subdural baru manifest setelah 2-3 minggu paska
trauma. Dapat terjadi sakit kepala, kelemahan anggota gerak sesisi dan
bahkan penurunan kesadaran. Keadaan umumnya serius dan memerlukan
terapi operatif.
b. Epidural Hematom : Merupakan perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan tulang tengorak. Perdarahan umumnya terjadi pada daerah
temporal. Drah akan menekan jaringan otak ke arah medial dan
menyebabkan penekanan terhadap n.III sehingga pupil yang sepihak
dengan epidural hematom akan midriasis ( melebar) dan perangsangan
cahaya akan negatif. Hal ini umumnya terjadi ketika putusnya arteri
meningia media.. Epidural hematom merupakan kasus yang serius dan
selalu memerlukan pembedahan.
c. Perdarahan intra parenkim/ContusioCerebri : Merupakan perdarahan yang
terjadi dalam jaringan otak akibat putusnya pembuluh darah dalam
jaringan otak. Contusio merupakan memar pada jaringan otak. Banyak
dokter menganjurkan pada pasien dengan contusion cerebri untuk
dilakukan observasi di Rumah sakit untuk mengatasi komplikasi seperti
edema cerebri. Perdarahan intra parenkimal dapat menyababkan
terkumpulnya darah pada jaringan otak. Perdarahan yang sedikit dapat
berhenti tanpa dilakukan terapi tanpa menyebabkan masalah yang serius.
Perdarahan yang banyak atau perdarahan yang lebih serius umumnya
memerlukan tindakan pembedahan tetapi biasanya dengan cacat yang
menetap. Pada perdarahan intraparenkimal ini penderita akan cepat
kehilangan kesadaran (Musliha,2010).
2. Etiologi

Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik terdapat


orang yang mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Penyebab utama dari trauma kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas
(60% kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera
kepala). Namun ada penyebab lain dari trauma kepala, antara lain: (Hernanta,
2013).

1. Kecelakaan industri
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
4. Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
5. Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras

Insiden cedera kepala dua kali lebih besar dialami oleh pria dibandingkan wanita
dan paling tinggi terjadi pada kelompok remaja, dewasa muda, dan lansia di atas
75 tahun (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Remaja berumur 15-17
tahun mempunyai angka tabrakan lebih dari dua kali per 1.000 pengemudi yang
terjadi 4 jam sebelum atau sesudah tengah malam dengan penyebab utama
penggunaan alkohol (Behrman, Kliegman, & Alvin, 2000). Lansia beresiko tinggi
untuk terjadinya kepala bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: atrofi
kortikal pada lansia yang memungkinkan otak memiliki ruang yang lebih luas
dalam rongga kranial, lansia yang hidup sendiri, sinkop, disritmia jantung, sering
berkemih pada malam hari yang menyebabkan lansia sering bolak-balik ke kamar
mandi, riwayat stroke, serta penggunaan antikoagulan (Morton, Dorrie, Carolyn,
& Barbara, 2008).

2. Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki
beberapa tanda dan gejala, antara lain:

1. Cedera ringan

Tanda dan gejalanya:

a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran


b. Periode konfusi (kebingungan) transien
c. Somnolen
d. Gelisah
e. Iritabilitas
f. Pucat
g. Muntah (satu kali atau lebih)

2. Tanda-tanda progresitivitas

a. Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)


b. Agitasi memuncak
c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital
yang tampak jelas

3. Cedera berat

Tanda dan gejalanya:

a. Tanda-tanda peningkatan TIK


b. Perdarahan retina
c. Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
d. Hemiparesis
e. Kuadriplegia
f. Peningkatan suhu tubuh
g. Cara berjalan yang goyah
h. Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina
4. Tanda-tanda yang menyertai

a. Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)


b. Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu tidaknya
fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran, dan
kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013).

1. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar

Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf yang ada di
otak, merobek durameter yang dapat mengakibatkan perebesan serebrospinal.
Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul, antara lain:

a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe)


dan telinga (otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
c. Perdarahan di belakang membran timpani
d. Ekimosis periorbital

Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf kranial dan
kerusakan pada bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan gejala yang
muncul, antara lain:

a. Perubahan tajam penglihatan karena terjadi kerusakan pada nervus optikus


b. Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada nervus auditorius
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata
karena kerusakan nervus okulomotorius
d. Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
e. Vertigo karena kerusakan otolith pada telinga bagian dalam
f. Nistagmus karena kerusakan pada sistem vestibular
g. Warna kebiruan atau hematoma pada periorbital, dan di belakang telinga
di atas mastoid (battle sign)

2. Riwayat kejadian trauma kepala

3. Tingkat kesadaran

Hal ini tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia
retrogat, mual, dan muntah.

4. Kerusakan jaringan otak

Untuk melihat ada tidaknya cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan
atau MRI.

2. Klasifikasi

Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, antara lain (Hernanta,


2013):

1. Mekanisme trauma kepala

Trauma kepala dibagi atas trauma kepala tumpul dan trauma kepala tembus.
Trauma kepala tumpul bisanya disebabkan oleh kecelakaan mobil –motor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul. Sedangkan trauma tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menjadi indikasi apakah suatu
trauma termasuk trauma tembus atau tumpul (Hernanta, 2013).

2. Beratnya trauma

Untuk menilai beratnya trauma dilakukan pemeriksaan Glaslow Coma Scale


(GCS). Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita trauma
kepala (Hernanta, 2013).

a. Cedera Kepala Ringan (CKR)

Jika GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrogade. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio serebral maupun hematoma.

b. Cedera Kepala Sedang (CKS)

Jika GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrogade lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Cedera Kepala Berat (CKB)

Jika GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalamai kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intrakranial.
Tebel 1. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)

3. Morfologi trauma

Trauma kepala berdasarkan morfologi trauma dibagi atas fraktur kranium dan lesi
intrakranial (Hernanta, 2013).

a. Fraktur kranium

Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat terbentuk garis atau bintang,
serta dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
diperlukan pemeriksaan CT scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadi petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan yang lebih rinci . tanda dan gejalanya yaitu:

1. Ekimosis periorbital (racoon eye sign)


2. Ekimosis retro aurikuler (battle sign)
3. Kebocoran cairan serebrospinal (rhonorrea, ottorhea), dan
4. Parese nervus fasialis (N VII)

b. Lesi intrakranial

Diklasifikasikan menjadi lesi lokal dan lesi difus, walaupun keduanya sering
terjadi bersamaan.

1. Lesi lokal

Yang termasuk lesi lokal adalah

a. Perdarahan epidural

Perdarahan epidural adalah akumulasi darah diantara dura dan struktur bagian
dalam otak, yang biasanya disebabkan oleh laserasi arteri ekstradural (Morton,
Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Ciri dari perdarahan epidural adalah berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung (Hernanta, 2013). Klien dengan
perdarahan epidural awalnya dapat mengalami kehilangan kesadaran, kembali
sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami perburukan hingga menjadi tidak
sadar kembali. Sikap tubuh dan dilatasi unilateral pupil menunjukkan tanda lanjut
herniasi serebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).

b. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas arakhnoid
yang menutupi otak (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Perdarahan
subdural sering terjadi akibat robeknya jembatan vena yang terletak antara korteks
serebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga terjadi
akibat laserasi pembuluh arteri permukaan otak. Perdarahan ini biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat.
Prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural (Hernanta, 2013).

c. Kontusio dan perdarahan intra serebral


Kontusio serebral sering terjadi di frontal dan lobus temporal, namun bisa juga
terjadi pada setiap bagian otak seperti batang otak dan cerebellum. Kontusio
serebral dapat terjadi dalam beberapa hari atau jam yang kemudian mengalami
evolusi membentuk perdarahan intraserebral apabila lesi meluas dan terjadi
penyimpangna neurologis (Hernanta, 2013).

A B C
Gambar 1. A.Hematoma peidural B.Hematoma subdural C.Hematoma
intraserebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).

2. Lesi difus

Cedera difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan


deselerasi. Pada pemeriksaan CT scan menunjukkan hasil normal, namun keadaan
klinis neurologis sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan
pada dalam dan lamanya koma dikelompokkan menjadi kontusio ringan, kontusio
klasik, dan Cedera Aksona Difus (CAD). Keadaan koma yang dalam dan tetap
selama beberapa waktu biasanya penderita menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebasi. Bila pulih, penderita sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom,
seperti: hipotensi, hiperhidrosis, hiperpireksia, dan dulu diduga akibat cedera
batang otak primer (Hernanta, 2013).

4. Kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013)

a. Komosio serebri (gegar otak)

Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi
hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrogad,
mual, muntah, dan nyeri kepala.

b. Kontusio serebri (memar)

Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontunuitas


otak masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.

c. Laserasio serebri

Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial.

2. Patofisiologi

Mekanisme khas dari trauma kepala adalah (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara,
2008):

1. Akselerasi

Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak. Misalnya
alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.

2. Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam. Misalnya pada pada
kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca. Akselerasi-
deselerasi sering kali dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan
fisik.

3. Coup-contre coup

Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang
kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta
area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera
translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak yang berlawanan.
Misalnya ketika pasien dipukul dengan objek tumpul pada bagian kepala.

4. Cedera rotasional

Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga


tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansia alba seta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan
bagian dalam otak tengkorak.

Gambar 2. Mekanisme tipikal cedera (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi dua proses, yaitu proses
primer dan proses sekunder (Tarwoto, 2013).

1. Proses primer

Merupakan trauma yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma.
Trauma ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh
darah, dan struktur pembentuknya (Tarwoto, 2013).

2. Proses sekunder

Merupakan proses lanjutan dari proses primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Biasanya klien mengalami hipoksi, hipotensi, asidosis, penurunan
suplai oksigen ke otak. Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan
peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, nyeri kepala. Peningkatan tekanan
intrakranial harus segera ditangani karena dapat menimbulkan gangguan perfusi
jaringan otak dan herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan. Prinsip dari
penalaksanaan peningkatan TIK adalah dengan mengontrol cerebral blood flow
(CBF) untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Keadaan CBF
ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabloic
rate, dan PCO2. CBF yang adekuat akan berpengaruh terhadap tekanan prfusi otak
(CPP), sehingga kebutuhan metabolisme otak terjaga (Tarwoto, 2013).

2. WOC

(Terlampir)

2.10 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik dan penunjang pada trauma kepala, yaitu: (Baughman &
Hackley 2000; Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)
1. Rontgen tengkorak: AP, lateral, dan posisi Towne
2. CT scan/ MRI: menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, dan
edema serabral
3. Cerebral Angiography: menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
4. Serial EEG: melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang
6. BAER: mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF danlumbal punksi: dapat dilakukan jika dicurigai terjadi perdarahan
subarachnoid.

Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat
dilakukan primary dan secondary survei. Survei primer mengkaji ABCDE
(airway, breathing, circulation, disability, exposure), dan survei sekunder terdiri
dari observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera.
Survei Primer

1. Airway

Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan


stiffneck collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan
fraktur servikal.

2. Breathing

Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Pernapasan dinilai dengan menghitung


laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan
otot-otot pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas di kedua aksila.

3. Circulation
Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktatatau
Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB
harus dipertimbangkan.

4. Disability

Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunkan GCS.

Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS ≤ 8,
harus diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi
vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan
menurunkan tekanan intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan
intracranial.

5. Exposure

Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak
sering datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka
lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat,
maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkans ampai 390C)
(Dewanto et al.2009).

Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan
dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang
dalami akibat cidera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain
itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:

a. Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher


b. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
c. Rasa baal pada lengan
d. Gangguan keseimbangan atau berjalan
e. Kelemahan umum.

Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:

a. Penurunan kesadaran (menurut skala koma Glasgow) dari observasi awal


b. Gangguan daya ingat
c. Nyeri kepala hebat
d. Mual dan muntah
e. Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
f. Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
g. Abnormlitas anatomi otak berdasarkan CT scan.

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya


di rumah. Namun, bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam
pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status cidera
kepala yang dialami menjadi cedera kepala sedang atau berat dengan penanganan
yang berbeda.

Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum
penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita,
dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit. Bila pada CT scan kepala
ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural (SDH), maka
indikasi bedah adalah:

a. Indikasi bedah pada perdarahan epidural (EDH)

1. EDH simtomatik
2. EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal> 1 cm (EDH yang lebih
besar dari pada ini akan sulit diresopsi)
3. EDH pada pasien pediatric.
b. Indikasi bedah pada perdarahan subdural (SDH)

1. SDH simtomatik
2. SDH dengan ketebalan> 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada pediatric
(Dewantoet al, 2009).

2.11 Komplikasi
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998; Ginsberg 2008)

1. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)


2. Hematoma subdural kronik yang dapat terjadi pada trauma kepala ringan,
dan epilepsi pasca trauma terjadi terutama pada pasien yang mengalami
kejang awal (dalam minggu pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma
yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi kranium, atau hematoma
intrakranial
3. Pasien dengan fraktur basis cranii beresiko mengalami kebocoran CSF
dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) yang dapat memberikan
kemungkinan terjadinya meningitis. Selain terapi infeksi, komplikasi ini
membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Bedah eksplorasi juga
diperlukan apabila terjadi kebocoran CSF persisten
4. Sindrom pascakonkusi yaitu sindrom dengan beberapa gejala: nyeri
kepala, vertigo, depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah trauma kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat terdapat trauma
pada vestibular.

2.12 Penatalaksanaan

Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma kepala,


yaitu: (Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)
1. Mempertahan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
2. Menilai status neurologis (disabilitas dan pajanan)
3. Penurunan resiko iskemi serebri, dapat dibantu dengan pemberian oksigen
dan glukosa meskipun pada otak yang mengalami trauma relatif
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah
4. Mengontrol kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) yang diakibatkan edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan TIK dapat dilakukan
dengan menurunkan PaCO2 melalui hiperventilasi yang menurunkan
asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme intraserebral.

Tatalaksana sesuai derajat trauma kepala:

1. TraumaKepalaRingan (GCS = 13–15)

Obat anti nyeri non narkotik


Toksoidpadalukaterbuka
Penderitadapatdiobservasiselama 12–24 jam di RumahSakit

2.Trauma KepalaSedang (GCS = 9-12)

a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CTscan
d. Penderita harus dirawat untuk diobservasi
e. Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat apabila:

1. Status neulologis membaik


2. Hasil CT scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang
memerlukan pembedahan
3. Apabila pasien jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan
pasien trauma kepala berat.
f. Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

3.Trauma Kepala Berat (GCS ≤ 8)


Diagnosa dan terapi sangat pentingdan perlu dengan segara penanganan Tindakan
stabilisasi kardiopulmoner pada penderita Trauma Kepala Berat harus dilakukan
secepatnya.

2.13 Prognosis

Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.Nilai
GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang
besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan
nilai GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul
pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak
mampu berkonsentrasi dan irritable. 17% pasien sakit cedera kepala berat
mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma.
Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.

2. Monitoring ICP(Intracranial Pressure)

A. Definisi ICP

Kranium merupakan kompartemen yang kaku kecuali pada bayi, hingga setiap
penambahan massa didalamnya akan berakibat peningkatan tekanan intrakranial
bila kemampuan kompensasi sudah terlampaui. Didalamnya berisi jaringan otak,
cairan serebrospinal serta darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Terdapat
satu lubang utama yaitu foramen magnum, hingga bila terjadi peingkatan tekanan
intrakranial jaringan otak akan mencari jalan keluar melalui lubang ini. Disamping
itu pada tentorium yang memisahkan otak besar dan otak kecil terdapat lubang
yang disebut hiatus yang mana disana terletak batang otak, sehingga apabila
terjadi peninggian tekanan intrakranial pada daerah otak besar, akan terjadi
pergeseran jaringan otak besar kedalam hiatus ini hingga akan menekan batang
otak yang merupakan pusat dari fungsi vital.

Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan otak
tiap menitnya. Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF
50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP 40-
140 mmHg. Kerusakan jaringan otak akan irreversibel terjadi jika CBF kurang
dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti
infeksi atau trauma kapitis akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial normal adalah < 10 mmHg atau
15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap meningkat bila > 20-25
mmHg. CPP merupakan selisih dari Mean Arterial Pressure (MAP) dengan TIK,
maka sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan atau
menurunkan tekanan intrakranial. TIK dapat dipantau dengan menggunakan alat
monitor TIK yang biasanya tersedia di ICU sehingga dapat dilakukan tindakan
dan terapi dengan cepat dan tepat.

Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman


peningkatan TIK. Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat
meluas sehingga bila salah satu dari ketiga ruangannya meluas, dua ruang lainnya
harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (apabila TIK masih
konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya
fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi
terdiri dari meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak
terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi
yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak
dan pergeseran otak kearah bawah atau horizontal (herniasi) bila TIK makin
meningkat.Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi syaraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.

Tekanan intracranial ialah tekanan dalam ruang tengkorak, berdasarkan hipotesis


Monro-Kellie: merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan otak, cairan
otak yang bersifat tetap, karena berada dalam ruang tengkorak yang bersifat kaku,
tekanan tersebut menjalar ke setiap sisi ruangan di dalam tengkorak. Tekanan
Intra Kranial atau Intracranial Pressure adalah tekanan atau hubungan volume
diantara kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas darah,
jaringan otak dan cairan serebrospinal (CSS), (Fransisca, 2008)

B. Nilai Normal ICP

Intracranial Pressure (Tekanan Intracranial) adalah tekanan yang ada di dalam


tulang kranium yang mana berisi otak, sistem vaskuler cerebral dan cairan
cerebrospinal. Tekanan biasanya diukur melalui caioran otak dengan tekanan
normal antara 5 - 15 mmHg atau antara 60 - 180 cmH2O. Tekanan diatas 250
mmH2O disebut peningkatan tekanan intracranial dan gejala-gejala serius dari
gangguan penyakit yang menyertai akan muncul. TIK yang diukur melalui lumbal
fungsi biasanya tidak terlalu akurat karena apabila ada sumbatan pada jalur
kortikospinal akan mendapatkan hasil yang kurang akurat.

TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK
normal adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-
anak, dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur. Definisi hipertensi intracranial
tergantung pada patologi spesifik dan usia, walaupun TIK>15 mmHg umumnya
abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg umumnya abnormal, akan tetapi
penanganan diberikan pada tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15
mmHg memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah
cedera kepala, penanganan diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK
bervariasi pada anak-anak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan
sebaiknya dimulai selama penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada
bayi, 18 mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.

Cerebral Perfusion Pressure

1. CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya
lebih besar).
2. CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP – ICP
3. CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada
MAP
4. Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan
CPP dan CBF, meskipun MAP normal.
5. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-40
mmHg menunjukkan gambaran flat, tekanan perfusi terus menerus < 25
mmHg menyebabkan kerusakan otak irreversibel.

C. Tanda dan Gejala Peningkatan dan Penurunan ICP

Kenaikan Tekanan Intrakranial yang disebut PTIK yang merupakan hal yang
menjadi perhatian utama bila kita mendapatkan perhatian utama bila kita
mendapatkan pasien dengan kelainan tekanan intra kranial.Tekanan intrakranial
normal berkisar antara 10-15 mmHg atau setara dengan 136-204 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan
terjadinya peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmHg atau > 250
mmH2O. Peningkatan tekanan intracranial merupakan komplikasi yang serius
yang biasanya terjadi pada trauma kepala, perdarahan subarahnoid, hidrosefalue,
SOL, infeksi intracranial, hipoksia dan iskemi pada otak yang dapat menyebabkan
herniasi sehingga bisa terjadi henti nafas dan jantung ( Hudak & Gallo, 1998 ).

Tanda dan gejala spesifik PTIK adalah sebagai berikut :


1. Awal

a. Penurunan derajat kesadaran (mis : delirium, gelisah, letargi)


b. Disfungsi pupil
c. Kelemahan motorik (mono atau hemiparesis)
d. Defisit sensorik
e. Paresis nervus kranial
f. Kadang-kadang disertai nyeri kepala
g. Kadang-kadang disertai bangkitan / kejang

2. Lanjut

a. Lebih memburuknya derajat kesadaran (mis : stupor, soporokomatus,


koma)
b. Mungkin disertai muntah
c. Nyeri kepala
d. Hemiplegia, dekortiasi, atau deserebasi
e. Pemburukan tanda vital
f. Pola pernafasan ireguler
g. Gangguan refleks batang otak (mis : gangguan reflrks kornea, refleks
muntah)

Perwujudan klinis gejala dan tanda klinik PTIK tergantung dari :

a. Lokasi kompartemen mana terdapatnya kelainan


b. Lokasi spesifik dari massa (hemisfer cerebral, batang otak atau
cerebellum)
c. Derajat kemampuan kompensasi bagian otak tersebut.

Karena pentingnya mengenali gejala-gejala tersebut diatas, maka perlu sekali


mengetahui cara pemeriksaan neurologik. Untuk memudahkan akan diuraikan
secara singkat temuan- temuan diatas.
1. Perburukan derajat kesadaran

Perburukan derajat kesadarn tak selalu memperburuknya umum bagian otak,


tetapi merupakan peringkat sensitif dan dapat dipercaya untuk mengenali adanya
kemungkinan memburukkan kondisi neurologik.
Penurunan derajat kesadaran dikarenakan :

a. Sebagian besar otak terbentuk dari sel-sel tubuh yang sangat khusus, tetapi
sensitif terhadap perubahan kadar oksigen. Respon otak terhadap tidak
mencukupinya kebutuhan oksigen terlihat sebagai somnolen dan gangguan
daya nalar (kognisi).
b. Fluktuasi TIK akibat perubahan fisik pembuluh darah terminal. Oleh
karena itu gejala awal dari penurunan derajat kesadaran adalah somnolen,
delirium dan letargi. Penderita menjadi disorientasi, mula-mula terhadap
waktu, lalu tempat, dan akhirnya dalam hal memgenali seseorang, Dengan
semakin meningginya TIK, derajat kesadaran semakin rendah, dimana
rangsang nyeri mulai memberi reaksi adequat, hingga akhirnya
kompensasi.

2. Disfungsi pupil

Akibat peninggian TIK supratentorial atau oedema otak, perubahan ukuran pupil
terjadi.Tidak saja ukuran pupil yang berubah, tetapi dapat juga bentuk dan reaksi
terhadap cahaya. Pada tahap awal ukuran pupil menjadi berdiameter 3,5 mm atau
disebut sebagai ukuran tengah. Lalu makin melebar (dilatasi) secara
bertahap.Bentuknya dapat berubah menjadi melonjong dan reaksi tyerhadap
cahaya menjadi lamban.Perlambatan reaksi cahaya dan tau perubahan melonjong,
merupakan gejala awal dari penekanan pada saraf okulomotor. Karena sumber
PTIK cenderung berdampak sesuai kompartemen pada tahap awal, disfungsi pupil
masih ipsilateral (pada sisi yang yang sama terhadap penyebabnya). Pada tahap
lanjut PTIK, pupil ipsilateral berdilatasi bilateral dan non reaktif terhadap cahaya.
Pupil menjadi berdilatasi bilateral dan non reaktif pada fase terminal, karena PTIK
menyebabkan proses herniasi

3. Abnormalitas visual

Devisit visual dapat terjadi sejak gejala masih awal. Gangguan tersebut dapat
berupa Ketajaman visus, Kabur dan Diplopia.Menurutnya ketajamanpenglihatan
danpenglihatan kabur adalah keluhan yang sering terjadi, karena
diperkirakanakibat penekanan saraf-saraf nervus optikus (N. 11) melintasi
hemisfer cerebri. Diplopia berkaitan dengan kelumpuhan dari satu atau lerbih
saraf-saraf penggerak bola mata ekstra-okuler(N. III, IV, VI) Sehingga pasien
melihat dobel pada posisi tertentu.Gejala-gejala visual semakin menonjol seiring
semakin meningkatnya TIK. Gangguan Diplopia / Blurring / penurunan ketajaman
biasannya terjadi pada pasien dengan peningkatan ICP.Diplopia biasa karena
paralisis otot yang mengatur gerakan mata.

4. Pemburukan fungsi motorik

Pada tahap awal, monoparesis stau hemiparesis terjadi akibat penekanantraktus


piramidalis kontra lateral pada massa. Pada tahap[
selanjutnyahemiplegia,dekortikasi dan deserebrasi dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Pada tahapakhir (terminal menjelangmati) penderita menjadi flasid
bilateral.Secara klinis sering terjadi keracunan dengan respon primitif
perkembangan manusia, yaitu reflek fleksi yang disebut trifleksi (triple
fleksion).Trifleklsi terjadi akibat aktivasi motoneuron difus dengan hasil berupa
aktivasi otot-otot fleksor menjauhi rangsang nyeri (otot-otot fleksor dipergelangan
lutut, kaki, dan panggul mengkontraksikankeempatanggota badan kearah
badan).Trirefleks ini merupakan bentuk primitif refleks spinal.

5. Nyeri kepala

Pada tahap paling awal PTIK, beberapa penderita mengeluh nyeri kepala ringan
atau samar-samar.Secara umum, nyeri kepala sebenarnya tidak terlalu sering
terjadi seperti diperkirakan banyak orang.Nyeri kepala terjadi akibat pereganggan
struktur intrakranial yang peka nyeri (duramater, pembuluh darah besar basis
kranji, sinus nervus dan bridging veins).Nyeri terjadiakibat penekanan langsung
akibat pelebaran pebuluh darah saat kompensasi.Nyeri kepala I pada kelainan ini
sering dilaporkan sebagi nyeri yang bertambah hebat saat bangkit dari tidur di
pagi hari.Hal ini dikarenakan secara normal terjadipeningkatan aktivitas
metabolisme yang paling tinggi saat pagi hari, dimana pada saat
tidurmenjelangbangun pagi fase REM mengaktifkan metabolisme dan produksi
CO2. Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah vasodilatasi.

6. Muntah

Projectile vomiting akibat peningkatan ICP.Muntah akibat PTIK tidak selalu


sering dijumpai pada orang dewasa.Muntahdisebabkan adanya kelainan di
infratentorial atau akibat penekanan langsungpada pusat muntah.Kita belum
mengerti secara lengkap bagaimana mekanismerefleks muntah terjadi.Muntah
dapat didahului oleh mual / dispepsia atau tidak.Seandainya didahului oleh
perasaan mual / dispepesia, berarti terjadi aktivasi saraf-saraf ke otot.Bantu
pernafasan akibat kontraksi mendadak otot-otot aberhubungan denganomen dan
thoraks.

7. Perubahan tekanan darah dan denyut nadi

Pada tahap awal tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil pada tahap
selanjutnya karena penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan
darah.Penekananke batang otak menyebabkan susasana iskemik di pusat
vasomotorik di batangotak.Seiring dengan meningkatnya TIK, refleks rtespon
Chusing teraktivasi agar tetap menjaga tekanan didalam pembuluh darah serebral
tetap lebih tinggi daripada TIK.
Dengan meningginya tekanan darah, curah jantungpun bertambah dengan
meningkatnyakegiatan pompa jantung yang tercermin dengan semakin
memburuknya kondisipenderitaakan terjadi penurunan tekanan darah.Pada tahap
awal denyut nadi masih relatif stabil dengan semakin meningkatnyaTIK, denyut
nadi akan semakin menurun kearah 60 kali permenit sebagai usahakompensasi.
Menurunnya denyut nadi dan “isi“ denyut terjadi sebagai upaya jatung untuk
memompa akan ireguler, cepat, “ halus“ dan akhirnya menghilang.

8. Perubahan pola pernafasan

Perubahan pola pernafasan merupakan pencerminan sampai tingkat mana


TIK.Bila terjadi PTIK akut sering terjadi oedema pulmoner akut tanpadistress
syndrome (ARDS) atau dissminated intravaskular coangulopathy (DIC).

9. Perubahan suhu badan

Peningkatan suhu badan biasanya berhubungan dengan disfungsi


hipothalamus.Pada fase kompensasi, suhu badan mungkin masih dalam batas
normal. Padafase dekompensasi akan terjadi peningkatan suhu badan sangat cepat
dan sangat tinggi. Melonjaknya suhubadan dapat juga terjadiakibat infeksi
sekunder, tetapi jarang yang mencapaisangattinggi sebagaimana halnya akibat
gangguan fungsi hipothalamus.

10. Hilangnya refleks – refleks batang otak

Pada tahap lanjut PTIK terjadi penekanan kebatang otak yang berakibat hilangnya
atau disfungsi refleks-refleks batang otak.Refleks-refleks ini diantaranya Refleks
kornea, Oukosefalik, dan Aukulovestibuler. Prognosis penderita akan menjadi
buruk bila terjadi refleks-refleks tersebut.

11. Papiledema

Tergantung keadaan yang ada, papil oedema dapat terjadi akibat PTIK,
ataumemang sudah ada sejak awal. Papiloedema akibat PTIK tak akan terjadi
seandainya belum menjadi tingkat yang sangat tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa
tak adanya papiloedema tak beraarti tak ada PTIK.Pada beberapa orang dapat ada
jika PTIK terjadi secara bertahap.

D. Monitoring ICP

Tujuan utamamonitoring tekanan intrakranial(ICP) adalah untuk


mengidentifikasitekanan intrakranialdan evaluasi terapiintervensiuntuk
meminimalkancederaiskemikpada pasien yang megalamicedera otak. (G. Werren.
2014).

Interpretasi gelombang pada monitor TIK


Selain nilai absolut TIK, gelombang TIK dapat memberikan informasi tentang
compliance. Bentuk gelombang TIK digolongkan menjadi komponen P1, P2, P3,
dengan tiap elemen gelombang lebih kecil dari sebelumnya. Gelombang P1
menunjukkan gelombang arterial, P2 menunjukkan rebound, dan P3 menunjukkan
outflow vena. Peningkatan gelombang P2 merupakan tanda compliance yang
jelek. Compliance dapat diukur dengan pengaturan drainase volume CSF dan
memeriksa perubahan pada tekanan yang ditimbulkan (Δvolume/Δtekanan). Jika
compliance TIK yang rendah dan kritis, disertai dengan perfusi jaringan yang
tidak adekuat, dapat mengakibatkan gelombang Lundberg.
Gambar 1 .Bentuk gelombang TIK .7. Gelombang TIK patologik (Sumber : Guide
to the Care of the Patient with Intracranial Pressure Monitoring)

Gelombang Lundberg A (gelombang plateau) menunjukkan peningkatan TIK


tiba-tiba dari 20 ke 100 mmHg yang bertahan dari menit ke jam, menyebabkan
penurunan CBF/CPP dan iskemik otak. Gelombang Lundberg B sedikit
meningkat, biasanya 5-20 mmHg, bertahan 1-5 menit, berhubungan dengan
variasi respirasi, dan digolongkan dengan ketajaman gelombang. Gelombang
Lundberg ini merupakan penanda untuk compliance intrakranial rendah kritis dan
mungkin mengakibatkan hipoperfusi jaringan, pembesaran arteriolar yang
progresif, dan peningkatan CBV. Gelombang Lundberg A harus diterapi dengan
agresif dengan meningkatkan CPP menggunakan vasopressor, dan menurunkan
TIK dengan terapi osmotik dan hiperventilasi.
Penting untuk dicatat bahwa pasien dapat terjadi herniasi dengan nilai TIK
normal. Pasien asimptomatik dengan kurva compliance normal, TIK dapat tiba-
tiba naik (seperti saat batuk, atau membalik badan).

Interpretasi Hasil Pemantauan Tekanan Intrakranial

a. Tipe waveform tekanan intrakranial

Terlihat adanya variasi dalam rekaman pengukuran ICP normal yang berasal dari
denyutan kecil yang ditransmisikan dari tekanan darah sistemik ke rongga
intrakranial. Dalam melakukan pemeriksaan dasar apakah sinyal ICP benar-benar
representatif terhadap tekanan intrakranial, dokter harus memastikan bahwa
terdapat kurva tekanan berosilasi dengan penurunan progresif dari notche P1, P2
dan P3, yang menunjukkan propagasi dari pulsasi tekanan jantung (Gbr. 1)

b. Waveform patologis

Analisis kurva tekanan lebih lanjut juga dapat digunakan dengan mengidentifikasi
gelombang Lundberg A dan B. Gelombang A (juga dikenal sebagai gelombang
plateau) yang ditandai dengan peningkatan dan penurunan yang cepat pada
tekanan sampai nilai 50-100 mmHg dan berlangsung dari 5 sampai 20 menit
dengan durasinya yang bervariasi. Mereka adalah tanda dari gangguan
autoregulasi serebral yang lebih parah. Gelombang B yang berosilasi secara ritmik
muncul dengan frekuensi 1/2-2 kali per menit, dan dapat menjadi tanda disfungsi
serebral. Dengan meningkatnya ICP, akan terjadi penurunan compliance otak,
pulsasi arteri menjadi lebih jelas, dan komponen vena menghilang. Waveform
patologis termasuk Lundberg tipe A, B, dan C. Gelombang Lundberg A atau
gelombang plateau adalah elevasi ICP ke nilai yang lebih tinggi dari 50 mmHg
berlangsung selama 5 sampai 20 menit. Gelombang ini disertai dengan
peningkatan simultan dari MAP, tetapi tidak jelas dipahami apakah perubahan
MAP adalah sebagai penyebab atau efek Gelombang Lundberg B atau pulsasi
tekanan, memiliki amplitudo 50 mmHg dan terjadi setiap 30 detik sampai 2 menit.
Gelombang Lundberg C memiliki amplitudo 20 mmHg dan frekuensi 4 sampai 8
kali per menit, dapat terlihat pada waveform ICP normal, akan tetapi amplitudo
gelombang C yang tinggi dapat tumpang tindih dengan gelombang plateau.

Algoritma Monitoring ICP

E. Personel Monitoring ICP

Pemantauan ICP adalah tugas kompleks yang membutuhkan pengetahuan dan


pemahaman tentang komponen teknis dari sistem pemantauan cairan, patofisiologi
sistem saraf pusat, dan interaksi antara sistem tersebut. Personil melakukan
pengaturan, pengumpulan data, atau prosedur perawatan harus memegang
kepercayaan , yaitu RRT, CRT, atau RN, dan kompetensi yang harus
didokumentasikan yaitu (G. Werren. 2014) :

a. Penyiapan teknis dan operasi pemantauan tekanan sistem CCMD Share / lr


/ Kebijakan / Prosedur / Monitoring Klinis
b. Central sistem fisiologi saraf dan patofisiologi
c. Analisis gelombang ICP
d. Respon tepat untuk efek samping
e. Penerapan Universal Precaution

F. Indikasi Monitoring ICP

Menurut Twomey 2009, dapat mencakup hidrosefalus, perdarahan, tumor,


meningitis atau cedera otak traumatis.
Indikasi dapat mencakup (G. Werren. 2014) :

1. Cedera otak traumatis yang berat


2. Perdarahan intrakranial
3. Edema serebral
4. Pasca kraniotomi
5. Ruang yang dapat mengalami lesi seperti hematoma epidural dan subdural,
tumor, abses, atau aneurisma dapat menyumbat saluran CSF
6. Pasien sindrom Reye yang mengalami koma dan tanggapan yang
abnormal terhadap rangsangan.
7. Encephalopathy , krisis hipertensi, atau kerusakan hati
8. Meningitis / ensefalitis mengakibatkan malabsorpsi CSF

G. Kontraindikasi

1. Infeksi sistem saraf pusat


2. Gangguan Koagulasi
3. Terapi antikoagulan
4. Infeksi kulit kepala
5. Pergeseran garis tengah mengakibatkan perpindahan ventrikel
6. Edema serebral mengakibatkan kehancuran ventrikel
7. Pasien memiliki abses otak

H. Komplikasi dan Precaution

Komplikasi yang terjadi menurut G. Werren. 2014, yaitu :

1. Infeksi intracranial
2. Kejang
3. Stroke
4. Perdarahan intraserebral
5. Kebocoran CSF ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
6. Cairan CSF yang berlebihan yang menyebabkan kehancuran dan herniasi
7. Hilangnya pemantauan atau pembuangan disebabkan oleh sumbatan
kateter pada jaringan otak atau darah
8. Terapi yang tidak tepat karena salah pembacaan ICP disebabkan oleh
bentuk gelombang yang tidak tepat, kegagalan elektromekanis, atau
kesalahan operator
9. Kerusakan saraf
10. Kematian

I. Pencegahan PTIK

Pencegahan PTIK menurut G. Werren (2014)

1. Untuk meminimalkan risiko infeksi sistem saraf pusat, teknik aseptik


harus digunakan setiap saat ketika perawatan, memanipulasi, atau
memonitoring cairan.
2. Sambunganyang kuatharus dipertahankan, dansistem harus tetap bebas
dari udara untuk memastikan keakuratan maksimal.
3. Jangan gunakan alat bilas untuk pemantauan ICP. Hanya gunakan
NaCl0,9% untuk mengisi tabung tekanan. Jangan menggunakan larutan
heparin.
4. Untuk memastikan akurasi yang optimal, perataan yang tepat dan
penekanan dari sistem harus dipertahankan. Tingkatan yang tepat untuk
transduser adalah pada foramen Monro untuk diukur tingkat kantus bagian
luar pada mata atau sebagai alternatif ditulang belakang lumbal untuk
pembuangan.
5. Harus sangat hati-hati dalam memposisikan dan mengubah pasien untuk
menghindari pergerakan kanulasi atau pemutusan selang saat pengambilan
.
6. Pasien diletakkan degan posisi kepala 30 sampai 45 derajat dan posisi
netral bila diperlukan untuk meminimalkan ICP. Dilakukan secara hati-
hati ketika memposisikan pasien dan melakukan terapi
untuk meminimalkan kenaikan ICP dan degradasi terkait di CPP. Hindari
posisi fleksi dan hiperekstensi leher dan pasien dalam posisi trendelenberg,
yang semuanya dapat meningkatkan ICP. CATATAN: Sebuah alarm
untuk peningkatan ICP harus dijaga ON setiap saat
7. Lakukan dengan hati-hati saat memanipulasi sistem drainase untuk
menghindari filter agar tidak basah. Drainase silinder harus selalu dalam
posisi tegak. Jika filter diharuskan untuk basah, dan apabila drainase ingin
diperlambat atau dihentikan, dibutuhkan waktu agar filter dapat mengering
sebelum drainase dapat diatur kembali.
8. Cordis EDS dan sistem tekanan transduser hanya dapat digunakan pada
satu pasien saja. Tidak dianjurkan untuk mensterilkan setiap bagian dari
sistem sekali pakai tersebut untuk digunakan secara bergantian dengan
pasien lain.
9. Tidak dianjurkan untuk melakukan drainase secara simultan dan
pemantauan tekanan. Untuk memastikan pengukuran tekanan yang tepat,
melakukan monitoring tekanan hanya dapat dilakukan saat threeway
tertutup untuk sistem drainase.
10. Hanya sejumlah kecil dari CSF (sekitar dua ml) yang harus didrainase
dalam satu waktu. Dekompresi otak secara cepat dari CSF yang terlalu
didrainase dapat menyebabkan herniasi. Drainase secara berlebihan dapat
terjadi jika sistem tidak sengaja dibiarkan terbuka, atau jika pasien
dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi dari titik acuan pada sistem
(sesuai instuksi dokter).

CATATAN: Ketinggian dari silinder drainase menentukan kecepatan di mana


CSF akan didrainase. Instruksi dokter untuk drainase harus mencakup pembacaan
tekanan baik mm Hg atau cm H2O di mana ketinggian (seperti yang ditandai pada
kartu pemasangan) silinder drainase harus diperhatikan. Titik referensi nol untuk
pemantauan ICP selalu berada di luar canthus mata (termasuk untuk drainase
lumbal dan tulang belakang).
J. Efek Samping dan Intervensi

Efek samping yang dapat terjadi antara lain:

1. Jika darah divisualisasikan dalam tabung tekanan (dari perdarahan


intrakranial), Beritahukan dokter.
2. Jika gelombang yang baik atau ICP yang akurat tidak dapat diperoleh,
dapat dicoba membilas sistem pemantauan dengan cairan 0,9% NaCl
steril. Untuk sesak semua penghubung pertama harus diperiksa. Jangan
membilas sementara system itu terbuka untuk pasien. Tutup kran untuk
pasien dan kemudian cobalah untuk mengejutkan sistem pemantauan.
Lanjutkan pemantauan tekanan dengan membuka sistem untuk pasien. Jika
gelombang buruk terus berlanjut, masalah sistem seperti debubbling,
releveling dan penekanan, dan mengubah kabel listrik. Jika semua
manuver ini gagal untuk memperbaiki bentuk gelombang yang buruk,
Kateter dapat tersumbat dengan darah atau jaringan yang memerlukan
intervensi dokter. CATATAN: ICP akut rendah mungkin menunjukkan
dekompresi akut akibat kebocoran atau overdrainage CSF. Beritahu dokter
dan perawat segera.
3. Dalam kasus dekompensasi akut (yaitu berkelanjutan ICP lebih besar dari
atau sama dengan 15 mm Hg), bersiaplah untuk hiperventilasi pasien
dengan resusitasi pengguna terhubung ke 100% oksigen. Beritahu
dokter atau perawat.
4. Jika pasien menunjukkan tanda-tanda dekompensasi termasuk tingkat
kesadaran yang berubah, gelisah, agitasi, lesu, kebingungan, kelemahan
motorik, kejang, perubahan dalam pola pernapasan, peningkatan tekanan
darah, bradikardia, muntah, decortication / decerebration, atau koma,
beritahu perawat dan dokter segera. (G. Werren. 2014)

K. Peralatan Pemasangan ICP


1. Cordis EDS with mounting card
2. Pressure transducer with 48-inch pressure tubing
3. Sterile 0.9% NaCl with sterile 20-ml syringe
4. Pressure monitoring cable
5. Intravenous cable
6. Manual resusitator, mask, and 100% oxygen source
7. Cardiopulmonary monitor
8. Universal precautions attire (G. Werren, 2014)

L. Prosedur Monitoring

1. Kumpulkan Cordis EDS sesuai dengan instruksi pada setiap paket dan
pada setiap kartu pemasangan pada diagram petunjuk menggunkan 0,9%
NaCl untuk membilas sistem. Tempatkan tabung 48 inci dengan
terhubung transduser tekanan pada kartu pemasangan plastic.
2. Tempatkan pasien pada posisi semi Fowler dan posisi titik acuan nol pada
canthus luar mata
3. Awasi gelombang tekanan ICP pada monitor cardiopulmonal. Nyalakan
kran yang paling dekat dengan pasien sehingga gelombang ICP
divisualisasikan.
4. Untuk drainase yang berkelanjutan, nyalakan kran yang paling dekat
dengan pasien sehingga drainase dapat dikaji dan tekanan monitor dapat
dihentikan sesuai indikasi. (G. Werren, 2014)

M. Metode pemantauan TIK

Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung) dan non
invasive (tidak langsung). Metode non invasif (secara tidak langsung) dilakukan 8
pemantauan status klinis, neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/TCD). Sedangkan metode invasif (secara langsung) dapat
dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu intraventrikular,
intraparenkimal, subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang umum
dipakai yaitu intraventrikular dan intraparenkimal (microtransducer sensor).
Metode subarakhnoid dan epidural sekarang jarang digunakan karena akurasinya
rendah. Pengukuran tekanan LCS lumbal tidak memberikan estimasi TIK yang
cocok dan berbahaya bila dilakukan pada TIK meningkat. Beberapa metode lain
seperti Tympanic Membrane Displacement/TMD, Optic nerve sheath
diameter/ONSD namun akurasinya sangat rendah.

1. Pemantauan secara tidak langsung

Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada
peningkatan TIK yaitu

a. Tingkat kesadaran (GCS)


b. Pemeriksaan pupil
c. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)
d. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis
e. Adanya mual atau muntah
f. Keluhan nyeri kepala
g. Vital sign saat itu

 Oftalmoskopi

Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan


TIK.Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari.
Tapi sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema
dapat memberikan informasi mengenai proses perjalanan penyakit.
Gambar oftalmoskopi

 Neuroimaging

Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT


scan kepala. Neuroimaging digunakan untuk menetapkan diagnosa yang
mengakibatkan TIK meningkat, serta melengkapi informasi yang diperoleh dari
anamnesa dan pemeriksaan.Pencitraan tidak dapat menggantikan pemantauan TIK
invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan ketika status klinis pasien hanya
membutuhkan penempatan monitor TIK dalam waktu singkat. Dalam keadaan ini,
pengulangan pencitraan setiap kali perubahan status pasien dapat
mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya, hematoma cedera
kepala) yang kemudian memerlukan penempatan monitor. Pendekatan ini dapat
digunakan untuk menunda atau menghindari penempatan monitor TIK dalam
kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya kurang jelas.

Gambar neuroimaging
 Neurosonology

TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk penilaian
aliran darah arteri basal otak.Semua cabang utama arteri intrakranial biasanya
dapat diinsonasi baik arteri kranial anterior, media dan posterior melalui tulang
temporal (kecuali pada 10% pasien, dimana insonasi transtemporal tidak
memungkinkan), arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan arteri
vertebral dan arteri basilar melalui foramen magnum.TCD mengukur kecepatan
aliran darah, dalam sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel
pemantauan esensial kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan
indikator pulsatility index (PI), rasio perbedaan antara kecepatan aliran sistolik
dan diastolik dibagi rata-rata kecepatan aliran, biasanya kurang lebih sama dengan
1. Penggunaan klinis yang paling umum dari TCD adalah pemantauan untuk
vasospasme, terutama setelah SAH.

Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran sistolik dan penurunan diastolik


(aliran sistolik 120 sangat sugestif dan 200 konfirmasi dari penurunan diameter
lumen), mengakibatkan peningkatan PI (nilai di atas 3:1 sangat sugestif terjadi
penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat mendeteksi perubahan progresif
dalam kecepatan aliran dan PI akibat vasospasme pada SAH. Penyempitan lumen
dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik sendiri seperti dalam
autoregulasi dan vasospasme yang benar, atau dengan hiperplasia intimal seperti
dalam "vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa terjadi karena kompresi
ekstrinsik dari arteri terutama peningkatan difus TIK mengakibatkan penekanan
yang menyebabkan penyempitan arteri basal.Seluruh peningkatan dalam
kecepatan aliran dan PI dapat menunjukkan kompresi ekstrinsik difus arteri
karena TIK meningkat. Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk
memberikan alternatif pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat
menggantikan pemantauan TIK langsung. Para dokter yang menggunakan TCD
untuk monitor pasien SAH harus selalu ingat bahwa perubahan penyempitan
lumen yang difus mungkin menunjukkan peningkatan TIK. Beberapa upaya telah
dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi dan menilai
adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.

Gambar neurosonologi

2. Pemantauan secara langsung

Pemantauan TIK secara langsung dapat dilakukan dibeberapa lokasi sesuai


dengan anatomi kepala

1. Subarachnoid Screw

Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini


ditempatkan ke dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup
berongga yang memungkinkan CSF untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan
untuk menjadi sama. Keuntungan metode ini adalah infeksi dan risiko perdarahan
rendah. Aspek negatif termasuk kemungkinan kesalahan permantauan TIK, salah
penempatan sekrup, dan oklusi oleh debris.

1. Kateter subdural / epidural


Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK. Metode ini
kurang invasif tetapi juga kurang akurat.Hal ini tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi
atau perdarahan.
Kateter subdural / epidural Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk
memantau TIK. Metode ini kurang invasif tetapi juga kurang akurat. Hal ini tidak
dapat digunakan untuk mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang
lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.

1. Intraparenkimal (microtransducer sensor)

Pemantauaan TIK intraparenkimal menggunakan microtransducer yang diletakkan


di parenkim otak melalui lubang kecil dan baut tengkorak yang memungkinkan
pemantauan TIK simultan, mikrodialisis serebral dan oksigenasi jaringan otak.
Posisi pilihan perangkat tersebut adalah pada subtansia alba regio frontal
nondominan pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada cedera
otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada hemisfer
kontralateral dari hematoma intraserebral. Perangkat yang berbeda juga tersedia,
termasuk fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK pneumatic
Spiegelberg juga memungkinkan kalibrasi in vivo dan pemantauan intrakranial.
Monitor TIK Neurovent-P adalah kateter serbaguna yang menggabungkan TIK,
oksigenasi jaringan otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus
diinterpretasikan dengan hati-hati dan berhubungan dengan penilaian klinis dan
radiologis pasien. Ketika ada perbedaan yang signifikan antara nilai pemantauan
dan gejala klinis, penggantian atau penempatan kembali probe harus
dipertimbangkan.

1. Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy
Tehnik intraventrikular merupakan gold standard pemantauan TIK, yaitu kateter
diinsersikan ke dalam ventrikel lateral biasanya melalui burr hole kecil di frontal
kanan. Tehnik ini juga dapat digunakan untuk mengalirkan LCS dan memberikan
obat intratekal seperti pemberian antibiotika pada kasus ventrikulitis yang
kemungkinan disebabkan oleh pemasangan kateter itu sendiri.

Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya memungkinkan


pemantauan TIK intermiten bila saluran ventrikel ditutup.Kateter ventrikel
tersedia secara komersial memiliki transduser tekanan dalam lumennya, sistem ini
memungkinkan pemantauan TIK dan drainase LCS simultan.

Beberapa komplikasi bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain
kebocoran LCS, masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase
LCS yang berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau
terapi tidak sesuai berkaitan dengan pembacaan TIK dengan gelombang kecil,
kegagalan elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-lubang kecil di
ujung kateter dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin, dan kateter
dapat berpindah sehingga sebagian atau seluruh ujung kateter terletak dalam
parenkim otak bukan dalam ventrikel. Dalam kasus tersebut, drainase LCS akan
menghasilkan gradien tekanan signifikan antara lumen kateter ventrikel dan
ventrikel. Jika diduga ada obstruksi kateter, irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat
mengembalikan patensi kateter. Prosedur ini harus dilakukan dengan
memperhatikan asepsis, dimana manipulasi berulang berhubungan dengan
tingginya insiden infeksi sistem saraf pusat.Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan.
Ventrikulitis dan meningitis adalah komplikasi yang berpotensi mengancam
nyawa, yang disebabkan oleh kontaminasi langsung kateter selama pemasangan
atau secara retrograde oleh kolonisasi bakteri pada kateter. Kejadian infeksi
dilaporkan sekitar 5-20%.Penggunaan sistem drainase tertutup dan sampling LCS
aseptik dan pembilasan kateter dan pengangkatan yang benar kateter yang tidak
dibutuhkan dapat meminimalkan risiko infeksi terkait kateter.LCS dapat
mencetuskan infeksi karena pengulangan akses ke sistem drainase.Sampling LCS
lebih diindikasikan karena kriteria klinis khusus daripada menjadi sampling rutin.

Posisi pasien saat pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser harus sama
tinggi dengan titik referensi. Titik referensi yang paling umum adalah foramen
Monro. Titik referensi 0 adalah garis imajiner anatara puncak telinga dan kantus
bagian luar mata.

amanya waktu pemakaian kateter ventrikuler bervariasi.Secara umum lama waktu


pemakaian adalah dua minggu atau tergantung kondisi pasien. Risiko infeksi
meningkat pada pemakaian yang lebih lama. Pemberian antibiotik profilaksis
dikaitkan dengan tingginya insiden infeksi LCS yang resisten antibiotika.
Sebaliknya, penggunaan antibiotik dapat menurunkan kejadian infeksi
berhubungan dengan kateter. Setelah dicabut, ujung kateter harus dikirim untuk
kultur, dimana pertumbuhan bakteri berkaitan dengan risiko tinggi terjadi
meningitis, dan tes sensitivitas antibiotika berdasarkan atas analisis mikrobiologi
dapat menjadi pedoman terapi (IB, Adi, 2013).

Tipe Monitor Keuntungan Kerugian


Gold standard, pengukuranAngka infeksi tinggi (5-
Intraventrikular TIK global, digunakan untuk20%), resiko perdarahan
diagnosis dan terapi 2%
Mengukur TIK regional,
Angka infeksi dan
tidak dapat dikalibrasi
Intraparenkimal perdarahan rendah (1%),
ulang setelah ditempatkan,
penempatan mudah
penyimpangan (3 mmHg)
Angka infeksi danPengukuran tidak dapat
Subarakhnoid/subdural
perdarahan rendah percaya, jarang digunakan
Resiko perdarahan lebihPengukuran tidak dapat
Epidural
rendah jika dibandingkandipercaya
dengan monitor
intraventrikular dan
intraparenkimal, kadang
dipakai pada pasien dengan
koagulopati

Tabel 1. Monitor tekanan intrakranial (Sumber : Decision Making in Neurocritical


Care)

Gambar pemantauan secara langsung.

2.15 Asuhan Keperawatan Umum


Pengkajian Kegawatdaruratan

1. Primary Survey
Menurut Rab, Tabrani 2007, pengkajian primer dalam asuhan kegawatdaruratan
meliputi :

a. Airway

Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.


L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga,
warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi
perawat

b. Breathing

Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti
snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.

c. Circulation

Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya
takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga
kondisi akral dan nadi pasien.

d. Disability

Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya
respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan metode
AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu
aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di
telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau
menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat
keparahan cidera :

1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

Ciri :

a. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)


b. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c. Tidak ada intoksikasi alkoholatau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang) dengan ciri :

a. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)


b. Konkusi
c. Amnesia pasca trauma
d. Muntah
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).

3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat) dengan ciri :


a. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

e. Exposure of extermitas

Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi,
contusio, bullae, atau abrasi.

2. Secondary Survey

Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan


secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang


merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian.

Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran


mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association,
2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or
get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam
proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing
Association, 2007):

1. Hurtyou physically?
2. Insulted or talked down to you?
3. Threathened you with physical harm?
4. Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :

1. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? apa yang membuat


nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
2. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas?
(biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri)
3. Radiates: apakah nyerinya menyebar? menyebar kemana? apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
4. Severity : seberapa parah nyerinya? dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
5. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? berapa
lama nyeri itu timbul? apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan
nyeri sebelumnya atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-


tanda vital.Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen,
tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association(2007).

Komponen Nilai normal Keterangan


Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
Suhu 36,5-37,5 esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Dalam pemeriksaan nadi perlu
dievaluais irama jantung,
Nadi 60-100x/menit
frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Evaluasi dari repirasi meliputi
frekuensi, auskultasi suara
nafas, dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
Respirasi 12-20x/menit
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda vital
yang abnormal. Pengukurna
dapat dilakukan di jari tangan
atau kaki.
Tekanan darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
Tekanan darah 120/80 mmHg sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
Berat badan
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat
badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang
kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).

b. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila


terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),
apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane
timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)

e. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,


ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam
status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.Adanya paralisis dapat
disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi
penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.Kesalahan yang sering
dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja,
sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.Jelaslah
bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.Bila ada trauma kepala,
diperlukan konsultasi neurologis.Harus dipantau tingkat kesadaran penderita,
karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial.Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan
ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,


hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah)


2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak)
3. MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
4. Cerebral Angiopathy: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun
thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs: mendeteksi keberadaa
8. n ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial.
9. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).
3. Diagnosa Keperawatan Sesuaikan dengan keadaan px di IGD hanya 8
jam

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas bd akumulasi secret, sisa muntahan


2. Ketidakefektifan pola nafas bd spinal cord injury, trauma kepala
3. Nyeri akut bd trauma jaringan dan reflex spasme otot sekunder
4. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral bd edema cerebral,
peningkatan TIK
5. Resiko kekurangan volume cairan bd mual muntah dan perdarahan
6. Resiko infeksi bd tempat masuknya organisme sekunder akibat trauma

4. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
Setelah diberikan asuhan Airway Management:
keperawatan selama…jam
1. Auskultasi suara napas, catat adanya
jalan napas klien bebas
suara napas tambahan (ronchi,
dengan KH:
wheezing,gurgling)

Ketidakefektifan a. RR normal (12- 2. Lakukan fiksasi pada daerah kepala

bersihan jalan napas 24x/menit) leher untuk meminimalkan terjadinya


1. bd akumulasi b. Ritme pernapasan gerakan

secret, sisa reguler 3. Lakukan pembebasan jalan napas

muntahan c. Klien mampu secara manual dengan teknik jaw


untuk thrust maneuver secara hati-hati
mengeluarkan untuk mencegah terjadinya gerakan
secret, sisa leher
muntahan 4. Lakukan pembebasan jalan napas
d. Tidak terdengar dengan alat
suara napas (nasophaaryngeal airway/oropharyn
tambahan (ronchi, geal airway) jika dibutuhkan
wheezing, 5. Monitoring pernapasan dan status
gurgling) oksigenasi klien
6. Berikan oksigen tambahan

Setelah diberikan asuhan


keperawatan selama ….
Airway Management
jam pola nafas klien
kembali adekuat 1. Lakukan pemeriksaan fisik pada
dengan kriteria hasil: paru-paru secara tepat
Ketidakefektifan
2. Auskultasi suara nafas, kedalaman,
pola nafas bd spinal 1. Tidak ada
2. suara nafas tambahan,
cord injury, trauma penggunaan otot
3. Monitor status respirasi dan status
kepala bantu nafas
oksigenasi
2. Tidak ada dyspnea
4. Berikan oksigenasi, minimal
3. Gerak dada saat
menggunakan simple mask
bernafas simetris

Setelah diberikan asuhan Manajemen nyeri :


keperawatan selama….
1. Kaji nyeri secara komprehensif
jam tingkat kenyamanan
(lokasi, karakteristik, durasi,
klien meningkat, nyeri
Nyeri akut bd
frekuensi, kualitas dan faktor
terkontrol dg KH:
trauma jaringan dan
presipitasi).
3. reflex spasme otot
a. Klien melaporkan 2. Observasi reaksi nonverbal dari
sekunder
nyeri berkurang dg ketidaknyamanan.
scala nyeri 2-3 3. Gunakan teknik komunikasi
b. Ekspresi wajah terapeutik untuk mengetahui
tenang pengalaman nyeri klien sebelumnya.
c. Klien dapat 4. Kontrol faktor lingkungan yang
istirahat dan tidur mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologis/non farmakologis).
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengatasi nyeri.
8. Kolaborasi untuk pemberian
analgetik
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.

Setelah diberikan asuhan Monitoring tekanan intrakranium:


keperawatan selama ….
1. Kaji, observasi, evaluasi tanda-tanda
jam klien menunjukan
penurunan perfusi serebral: gangguan
status sirkulasi dan perfusi
mental, pingsan, reaksi pupil,
jaringan serebral yang
penglihatan kabur, nyeri kepala,
membaik dengan KH:
Resiko gerakan bola mata.

ketidakefektifan a. TD dalam rentang 2. Hindari tindakan valsava manufer

perfusi jaringan normal (120/80 (suction lama, mengedan, batuk terus


4.
cerebral bd edema mmHg) menerus).

cerebral, b. Tidak ada tanda 3. Berikan oksigen sesuai instruksi

peningkatan TIK peningkatan TIK dokter


c. Klien mampu 4. Lakukan tindakan bedrest total
bicara dengan 5. Minimalkan stimulasi dari luar.
jelas, 6. Monitor Vital Sign serta tingkat
menunjukkan kesadaran
konsentrasi, 7. Monitor tanda-tanda TIK
perhatian dan 8. Batasi gerakan leher dan kepala
orientasi baik 9. Kolaborasi pemberian obat-obatan
d. Fungsi sensori untuk meningkatkan volume
motorik cranial intravaskuler sesuai perintah dokter.
utuh : kesadaran
membaik (GCS
15, tidak ada
gerakan
involunter)

Setelah diberikan asuhan


keperawatan selama ….
jam tidak ditemukan
tanda-tanda kekurangan
1. Kaji intake dan out put.
volume cairan atau
2. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor
Resiko kekurangan
dehidrasi dengan KH:
kulit, membran mukosa, dan ubun-
volume cairan bd
ubun atau mata cekung dan out put
5. mual muntah dan a. membran mukosa
urine.
perdarahan lembab
3. Berikan cairan intra vena sesuai
b. integritas kulit
program.
baik
c. nilai elektrolit
dalam batas
normal.

Selama dilakukan
1. Kaji adanya drainage pada area luka.
perawatan di Rumah Sakit
Resiko infeksi bd 2. Monitor tanda-tanda vital: suhu
klien tidak mengalami
tempat masuknya tubuh.
infeksi yang ditandai
6. organisme sekunder 3. Lakukan perawatan luka dengan steril
dengan KH:
akibat trauma dan hati-hati.
4. Kaji tanda dan gejala adanya
a. Tidak ada tanda-
meningitis, termasuk kaku kuduk,
tanda infeksi
(rubor, kalor, iritabel, sakit kepala, demam, muntah
dolor, hilangnya dan kenjang.
fungsio laesa)
b. suhu tubuh dalam
batas normal
c. tidak ada pus dari
luka
d. leukosit dalam
batas normal.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

Seorang laki-laki bernama Tn. H (45) dibawa ke IGD karena mengalami


kecelakaan lalu lintas.Saat dilakukan pengkajian klien tampak bingung dan
mengalami penurunan kesadaran. Hasil pengkajian menunjukkan Tn. H merintih
kesakitan, membuka mata, tangannya melokalisasi sumber nyeri, sempat
muntah dannilai GCSnya adalah 11(E4 , M5 ,V2). Hasil CT Scan menunjukkan
adanya perdarahan yang menuju ke jaringan serebral. Terdapat cedera pada lobus
temporal, kebiruan pada kedua bola mata , terdapat edema pada wajah dan
perdarahan hidung, ada suara napas tambahan (gargling). Pada saat pengkajian
TD: 110/70, Suhu: 38.5, RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt reguler, Riwayat alergi dan
penyakit dahulu disangkal.

1. Pengkajian

1. Primary Survey
a. Airway + cara mengontrol cairan cerebrospinal
terdapat sumbatan jalan napas berupa sisa muntahan
L = Look/Pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
L = Listen/Terdengar suara napas tambahan (gargling),
F = Feel/ Aliran udara (hembusan) terasa lemah

a. Breathing

RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak

b. Circulation

TD: 110/70, Suhu: 38.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2 detik,
kebiruan pada kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin,
basah, pucat.

c. Disability

A (Allert) :Klien Sadar


Total Skor GCS dari klien adalah 11
E4 – klien dapat membuka mata secara spontan ,
M5 – klien dapat melokalisasi nyeri / tau arah nyeri ,
V2 – klien merintih / mengerang .

d. Exposure of extermitas

Luka bagian kepala, suhu 38.5

2. Secondary survey

a. Anamnesis
A : Klien tidak memiliki riwayat Alergi
M : Klien tidak mengkonsumsi obat-obatan
P : Klien tidak pernah menderita penyakit sebelumnya.
L : Sebelum kejadian, klien mengkonsumsi obat-obatan
E : Klien akan pulang ke rumah setelah pulang kerja dan mengalami
kecelakaan.
b. Pemeriksaan fisik

a. B1 (breathing) : RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak, terdapat suara napas


tambahan (gargling)yang menunjukkan adanya sumbatan jalan napas
berupa sisa muntahan, pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot
bantu pernafasan
b. B2 (blood) : TD: 110/70, Suhu: 37.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt
regular, CRT > 2 detik, kebiruan pada kedua bola mata dan terdapat edema
pada wajah akral dingin, basah, pucat
c. B3 (brain) : dilatasi pupil ipsilateral, penurunan kesadaran.
d. B4 (bladder) : perut simetris, tidak ada jejas, tidak ada distensi kandung
kemih, terpasang kateter, warna urine kuning
e. B5 (bowel) : bising usus +, tidak ada benjolan, perabaan massa tidak
ada,sempat muntah, asites ( - ).
f. B6 (bone) : pergerakan terbatas, tidak ada kelainan bentuk tulang.

2. Analisa data

No. Data Etiologi Masalah keperawatan


DS: - Trauma kepala Ketidakefektifan bersihan
DO: RR 24x/menit, ↓ jalan nafas
tidak ada tanda sesak, Klien muntah
1. Suara napas Gargling ↓
dan terdapat sumbatan Kerusakan
jalan napas berupa sisa neuromuscular +
muntahan pergerakan penurunan kesadaran
dada simetris, adanya ↓
penggunaan otot bantu Penurunan reflek batuk
pernafasan ↓
Tidak mampu
mengeluarkan
muntahan

Akumulasi sisa
muntahan

Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
DS: - trauma kepala
2.
DO: TD : 110/70, ↓
Suhu: 37.5, RR: 24 kerusakan sel otak
x/mnt, Nadi 82 x/mnt ↓
regular, CRT > 2 gangguan autoregulasi
detik, kebiruan pada ↓
kedua bola mata dan suplai O2 menurun
terdapat edema pada ↓ Resiko ketidakefektifan
wajah akral dingin, gangguan metabolisme perfusi jaringan serebral
basah, pucat. ↓
produksi asam laktat
meningkat

edema serebral

Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan
serebral
DS: -
DO: terdapat luka Trauma Penetrasi
dibelakang kepala, ↓ Resiko Infeksi
3.
nyeri, kemerahan, Port de entry kuman
bengkak, suhu: 38,5 ↓
Leukosit: 12.000 (/ul) Resiko Infeksi

3. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd akumulasi sisa muntahan


2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral bd edema serebral
3. Risiko infeksi bd port the entry kuman akibat trauma

4. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa
NOC NIC
o Keperawatan
Setelah dilakukan Airway Management:
tindakan
1. Auskultasi suara napas
keperawatan
sebelum dan sesudah
selama 1x24 jam
Ketidakefektifan dilakukan pembebasan
jalan napas klien
bersihan jalan nafas bd kembali jalan napas, catat hasilnya
paten
1.
akumulasi sisa (terbebas 2. Lakukan fiksasi pada
dari
muntahan daerah kepala leher untuk
sumbatan), dengan
meminimalkan terjadinya
kriteria hasil:
gerakan
a. RR normal 3. Lakukan pembebasan jalan
(12- napas secara manual
24x/menit) dengan teknik jaw thrust
b. Ritme maneuver secara hati-hati
pernapasan untuk mencegah terjadinya
reguler gerakan leher
c. Klien 4. Lakukan pembebasan jalan
mampu napas dengan alat
untuk oropharyngeal airwayjika
mengeluark dibutuhkan
an sisa 5. Monitoring pernapasan
muntahan dan status oksigenasi klien
d. Tidak 6. Berikan oksigen
terdengar
suara
gurgling

Setelah Monitoring tekanan


dilakukan tindaka intrakranium:
n keperawatan
1. Kaji, observasi, evaluasi
selama 2x24 jam
tanda-tanda penurunan
klien menunjukan
perfusi serebral: gangguan
status sirkulasi dan
Resiko mental, pingsan, reaksi
perfusi jaringan
ketidakefektifan perfus serebral pupil, penglihatan kabur,
2.
i jaringan cerebral bd yang nyeri kepala, gerakan bola
membaik
edema cerebral mata.
dengan KH:
2. Hindari tindakan valsava
a. TD dalam manufer (suction lama,
rentang mengedan, batuk terus
normal menerus).
(120/80 3. Berikan oksigen sesuai
mmHg) instruksi dokter
b. Tidak ada 4. Lakukan tindakan bedrest
tanda total
peningkata 5. Minimalkan stimulasi dari
n TIK luar.
c. Klien 6. Monitor Vital Sign serta
mampu tingkat kesadaran
bicara 7. Monitor tanda-tanda TIK
dengan 8. Batasi gerakan leher dan
jelas, kepala
menunjukk 9. Kolaborasi pemberian
an obat-obatan untuk
konsentrasi, meningkatkan volume
perhatian intravaskuler Manitol
dan dengan dosis 1 gram/kg
orientasi BB bolus IV dan
baik Furosemid dengan dosis
d. Fungsi 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
sensori
motorik
cranial utuh
:kesadaran
membaik
(GCS 15,
tidak ada
gerakan
involunter)

Selama dilakukan 1. Kaji adanya drainage pada


Resiko infeksi bd port
perawatan di area luka.
3. the entry kuman akibat
Rumah Sakit klien 2. Monitor tanda-tanda vital:
trauma
tidak mengalami suhu tubuh.
infeksi, ditandai 3. Lakukan perawatan luka
dengan KH: dengan steril dan hati-hati.
4. Kaji tanda dan gejala
a. suhu tubuh
adanya meningitis,
dalam batas
termasuk kaku kuduk,
normal
iritabel, sakit kepala,
b. tidak ada
demam, muntah dan
pus dari
kenjang.
luka
c. leukosit
dalam batas
normal.

5. Evaluasi Keperawatan

1. Jalan napas menjadi bersih dan tidak ada sisa muntahan dan sekret
2. Perfusi jaringan baik
3. Luka tertangani dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi

Daftar Pustaka

Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Behrman, Kliegman, & Alvin, N. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 1.
Jakarta: EGC.
Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah:
Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC, p.66.
Brain Trauma Foundation, 2007. Journal of Neurotrauma, Volume 24, Suplement
1.
Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier
Cullagh S Mc, Feinstein A Outcome after mild traumatic brain injury: an
examination of recruitment biasJ Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:39–43
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.
Doengoes, Marilyn, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC
Doenges M.E. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. 2009.
Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.
David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial
Pressure in Decision Making in Neurocritical Care. Thieme. New York. 2009;
195-218.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics
Monitoring and Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology
and Neurosurgery. Surez, J.I. editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-
55.
Engram, barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Vol.3.
Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Volume
3. Jakarta: EGC, p. 642.
Emergency Nurses Association. 2007. Sheehy`s manual of emergency care 6th
edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics
Monitoring and
Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas
Pekan Baru Riau
Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6,
EGC, Jakarta
Hernanta, I. (2013). Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-
MEDIKA.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification, 2015–2017. 10nded. Oxford: Wiley Blackwell
Grace, Pierce Adan Borley, Neil R. 2006. At A Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga, p.91
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga,
p.117.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga, p.92.
MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/
Chapter%20II.pdf
Mark S Greenberg. Intracranial Pressure in Handbook of Neurosurgery. 6th ed.
Thieme. New York. 2006; 647-663
Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika
Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan
Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and
Neurosurgery. Surez, J.I. editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. USA:
Mosby
New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial
Management. 2nd Edition. NSW Health, p.8. Diakses pada
http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf
Purnama,Eka.2007.Makalah Cedera
Kepala.digilib.unimus.ac.id/files/.../jtptunimus-gdl-ekapurnama-5391-2-babii.pdf
Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suriadi& Rita Yuliani. 2001. AsuhanKeperawatanPadaAnak, Edisi I. Jakarta: CV
SagungSeto.
Syaifuddin.2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai