OLEH:
2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Cedera kepala merupakan bentuk trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen (Riskesdas, 2020).
Brain Injury Assosiation of America menyebutkan bahwa cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2021).
Menurut Hudak dan Gallo (2022) cidera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil
dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak.
(Batticaca Fransisca, 2021).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2022).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
a) Kulit Kepala Kulit
Kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu Skin atau
kulit, Connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponereutika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
perdarahan akibat liseran kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak – anak.
b) Tulang Tengkorak Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak serebelum.
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari
tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan:
lapisan luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan
struktur yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai
busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya
terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis,
oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
c) Lapisan pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid dan piameter.
1) Durameter (lapisan sebelah luar) Selaput keras pembungkus otak
yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter ditempat
tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena ke otak.
2) Arakhnoid (lapisan tengah) Merupakan selaput halus yang
memisahkan durameter dengan piameter membentuk sebuah kantong
atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.
3) Piameter (lapisan sebelah dalam) Merupakan selaput tipis yang
terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan
dengan araknoid melalui struktur – struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel (Ganong, 2020).
d) Otak
F. PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi
yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba
subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan
penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi
merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan
perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung
lokasi kerusakan.
Trauma Kepala
Terputusnya kontinuitus
jaringan kulit, otot dan Terputusnya Kerusakan saraf otak
vaskuler kontinuitus jaringan (contusio, laserasi)
Kekurangan
Proses dalam Edema energi
metabolisme cerebral Nyeri akut
otak terganggu
fatig
Peningkatan TIK
Penurunan Resiko
suplai darah dan perfusi Defisit
oksigen serebral Mual dan muntah perawatan diri
tidak efektif
I. KOMPLIKASI
a) Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema
paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom
distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing.
b) Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak
untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur
pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous
dari tulang temporal.
c) Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang
jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
2) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma).
Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan
edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil
dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6
minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada
lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya
pada sisi yang mengalami kerusakan.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula
dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organtersebut
umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d) Disfasia
Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
e) Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
f) Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
g) Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak.
Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar pemeriksa
dengan menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva
diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-
otot penggerak bola mata.
h) Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam
tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun
kemudian.
J. PENATALAKSANAAN
a) Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life
Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan
cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain: A
(airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/ environmental
control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut
ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam
jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan
jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan
di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Bila ada
perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah survei primer,
hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah
Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran
penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang
berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea.
b) Penatalaksanaan Khusus:
1) Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan bila memenuhi kriteria
berikut:
Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT-Scan
Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
2) Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala korna Glasgow 15 dan CT-Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat
dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual,
muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3) Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat dilakukan
di unit rawat intensif.
Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
Monitor tekanan darah
Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS
< 8, bila memungkinkan.
Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan
pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi,
hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai
pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
Profilaksis trombosis vena dalam
Profilaksis ulkus peptic
Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan
serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi
dengan organisme yang lebih virulen.
CT Scan lanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2020). Peningkatan Tekanan intrakranial & gangguan
peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Ganong, 2020. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. (Alih Bahasa Oleh: 1 Made Kariasa,
Dkk). Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. (2022). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. (2021). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafa. Jakarta: Salemba Medika.
RISKESDAS, (2021). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Smeltrzer, Suzanna C & Bare. 2021. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan
Suddart. (Alih Bahasa Agung Waluyo). Edisi 8. Jakarta: EGC.
Tanto, Judha M.S. (2021). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta: Media
Aescupius.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2023). Keperawatan Medikal bedah 2. Yogyakarta: Salemba
Medika.
I. Pengkajian
a. IDENTITAS
Nama/Initial : Tn. R
Umur & Alamat : 21 tahun, Dusun Gentong RT 16/03 Argosari Jabung,
Kab.
Malang
Pekerjaan : Buruh pasar
Tanggal MRS : 23 Januari 2024
Tgl pengkajian : 23 Januari 2024
Penanggung Jwb : - Alamat : -
No.Register : 11604755
Dx.Medis : Trauma Cerebral Oedem
b. KELUHAN UTAMA
Saat MRS :
Pasien dibawa ke RS dengan keadaan tidak sadarkan diri karena mengalami
kecelakaan motor. Setelah sadar, pasien mengatakan merasa nyeri pada bagian kepala nya
dan bagian tangan nya kiri dan kanan.
(Jika nyeri maka gunakan pendekatan PQRST)
P : disebabkan oleh kecelakaan motor dan kepalanya terbentur ke aspal
Q : nyeri dirasakan seperti di tusuk-tusuk
R : nyeri dirasakan dibagian kepala
S : skala 3 (nyeri sedang)
T : nyeri sering dirasakan
Saat Pengkajian :
Pasien mengatakan masih merasakan nyeri tetapi hilang timbul dan hanya
sesekali,
tidak dirasakan seperti sebelumnya saat awal masuk RS.
(Jika nyeri maka gunakan pendekatan PQRST)
P : disebabkan oleh kecelakaan motor dan kepalanya terbentur ke aspal
Q : nyeri dirasakan seperti di tusuk-tusuk
R : nyeri dirasakan dibagian kepala dan ekstremitas atas dan bagian
pinggang
S : skala 2 (nyeri ringan)
T : nyeri dirasakan hilang timbul
□ BREATHING :
Tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada penarikan dinding dada.
□ CIRCULATION :
Tidak ada masalah dalam sirkulasi, TD :127/85 mmHg, Nadi 72 x/menit,
akral hangat, tidak ada pembengkakan vena jegularis.
□ DISABILITY :
Penurunan kesadaran, GCS : 3 5 6. Ketika dipanggil pasien berespon
tetapi lama membuka matanya.
□ EXPOSURE :
Pasien jatuh dari motor dan ekstremitas atas susah digerakkan pada awal
masuk rumah sakit. Pada saat dirawat, pasien sering terbaring dan tidak bisa
miring kiri dan kanan sehingga beresiko mengalami dekubitus. Terdapat abrasi
pada ekstremitas atas dan bawah bagian tumit kaki.
o Nadi : 72 x/menit
o TD : 127/85 mmHg
o SUHU : 36,5˚C
o RR : 22 x/menit
Monitor Denyut Jantung +/-
Pulse Oximetri +/-
Indwelling kateter (+)
NOT +/-
Pemeriksaan Laboratorium (+)
o GIVE A COMFORT
Genogram :
-------------------------------------------
-------------------------------------------
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Garis Perkawinan
: Garis keturunan
- - - - : Tinggal serumah
X : Meninggal
: Pasien
h. Pola pemenuhan ADL :
• Kebutuhan nutrisi :
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan sebelum sakit selalu makan teratur dan nafsu makan ada,
Saat sakit :
Pasien mengatakan saat sakit tidak ada nafsu makan, makanan yang diberikan dari
RS tidak dihabiskan karena sedikit sulit untuk menelan makanan, pasien cepat merasa
kenyang.
• Pola eliminasi :
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan tidak ada masalah dengan BAK/BAB nya dan selalu lancar,
Saat sakit :
Pasien terpasang kateter urine dan menggunakan pempers. Saat sakit, urine
berkurang dan BAB sedikit karena pasien jarang menghabiskan porsi makanan yang
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan pada saat sebelum sakit selalu tidur teratur dan nyenyak yaitu
sekitar 7-8 jam untuk tidur dimalam hari dan saing hari sekitar 2-3 jam.
Saat sakit :
mengatakan tidak terlalu nyaman dengan area rumah sakit dan berdekatan dengan
pasien lainnya.
• Pola aktifitas :
Sebelum sakit :
Saat sakit :
Pasien mengatakan saat sakit tidak bisa bergerak dan melakukan aktivitas seperti
biasanya.
• Pola kebersihan :
Sebelum sakit :
Pasien mengatkan mandi 2 kali sehari ketika dirumahnya, dan selalu shampoo,
Saat sakit :
Pasien mengatakan ketika sakit hanya mandi sekali dengan dibantu oleh perawat,
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan komunikasi lancar dan tidak ada hambatan apapun dengan
Saat sakit :
sedikit malu. Tetapi untuk berkomunikasi dengan orang tuanya tidak ada hambatan.
• Pola toleransi-koping :
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan menerima semua keadaan nya pada saat sebelum sakit dan
tidak ada batasan ataupun perbedaan serta mampu menyelesaikan masalah tanpa
Saat sakit :
Defisit nutrisi
DS: Trauma kepala Defisit Perawatan Diri
Pasien mengatakan
jarang menggosok
gigi ketika sakit, Cedera primer
hanya mandi sekali
sehari
Intra kranial
DO:
Pasien tampak tidak
rapi, gigi kotor, Kerusakan saraf
rambut tidak rapi otak (contusion,
K/U : sedang laserasi)
TTV :
TD : 127/85 mmHg
Suhu : 36,5˚C Produl ATP
Nadi : 72 x/menit menurun
RR : 22 x/menit
Kekurangan
energy
Fatig
Defisit
perawatan diri
Diagnosa Keperawatan
Tujuan/Kriteria
Tanggal No. Dx Intervensi Rasional
Evaluasi
23/01/202 1 Setelah dilakukan Observasi: 1. Mengetahui
4 skala nyeri yang
intervensi 1) Identifikasi skala
dirasakan oleh
keperawatan nyeri pasien
2. Mengetahui
selama 3x24 jam, 2) Identifikasi respon
respon nyeri
maka nyeri akut nyeri non verbal yang tampak
3) Identifikasi faktor pada pasien
membaik dengan
3. Mengetahui
yang memperberat
kriteria hasil: faktor penyebab
dan memperingan yang
Keluhan nyeri
nyeri memperingan
menurun ataupun
Teraupetik: memperberat
Meringis
4) Berikan teknik nyeri yang
menurun dirasakan pasien
nonfarmakologis
Gelisah 4. Mengajarkan
untuk mengurangi teknik relaksasi
menurun
rasa nyeri nafas dalam
Kesulitan tidur untuk
5) Fasilitasi istirahat mengurangi rasa
menurun
dan tidur nyeri
5. Menjaga
Edukasi: kenyamanan dan
6) Jelaskan penyebab, keamanan
disekitar
periode, dan
lingkungan
pemicu nyeri pasien
Kolaborasi: 6. Untuk
memberikan
7) Kolaborasi edukasi terkait
pemberian penyebab dan
pemicu nyeri
analgetik jika perlu
yang dirasakan
pasien
7. Untuk memenuhi
kebutuhan yang
dibutuhkan oleh
tubuh dan
mempertahankan
imunitas tubuh
23/01/202 2 Setelah dilakukan Observasi: 1. Untuk
4 mengetahui input
intervensi 1) Monitor asupan
dan output
Keperawatan dan keluarnya 2. Untuk
makanan dan mengetahui berat
selama 3x24 jam
badan masuk
maka defisit cairan serta kebatas normal
kebutuhan kalori atau tidak
nutrisi membaik
3. Menjelaskan
Teraupetik:
dengan kriteria jumlah asupan
2) Timbang berat makanan dan
hasil:
badan secara rutin menyesuaikan
porsi makanan dengan aktivitas
3) Diskusikan fisik
yang
perilaku makan 4. Mencegah
dihabiskan terjadinya
dan jumlah
meningkat kekurangan
aktivitas fisik maupun
perasaan cepat kelebihan berat
Edukasi:
kenyang badan agar tetap
4) Ajarkan sehat
menurun
pengaturan diet 5. Mengetahui cara
berat badan untuk
yang tepat menyelesaikan
membaik
5) Ajarkan masalah terkait
nafsu makan perilaku makan
keterampilan
membaik sehari-hari
koping untuk 6. Menjaga agar
penyelesaian kebutuhan kalori
dan kebutuhan
masalah perilaku lainnya yang
makan dibutuhkan oleh
tubuh
Kolaborasi:
6) Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
target berat badan,
kebutuhan kalori
dan pilihan
makanan
23/01/202 3 Setelah dilakukan Observasi: 1. Mengetahui
4 kebiasaan yang
intervensi 1) Identifikasi berkaitan dengan
keperawatan kebiasaan aktivitas
selama 1x24 jam perawatan diri perawatan diri
2. Mengetahui
maka defisit sesuai usia
tingkat
perawatan diri 2) Monitor tingkat kemandirian
kemandirian yang dimiliki
membaik dengan dalam merawat
kriteria hasil: Teraupetik: diri
3. Menjaga agar
Kemampuan 3) Sediakan
tetap merasa
mandi lingkungan yang nyaman dan
teraupetik aman di
meningkat
lingkungan
Kemampuan 4) Damping dalam sekitar
melakukan 4. Menjaga agar
mengenakan
tidak terjadi
pakaian perawatan diri kesalahan atau
meningkat sampai mandiri resiko lainnya
yang bisa
Kemampuan Edukasi: menambah
makan 5) Anjurkan penyakit lainnya
5. Menjaga
meningkat melakukan
kesehatan dan
Kemampuan perawatan diri selalu merawat
diri sesuai
toilet secara konsisten
dengan
(BAB/BAK) sesuai kemampuan kemampuan yang
dapat dilakukan
meningkat
secara mandiri.
IV. Implementasi
V. Catatan Perkembangan