Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn. R


DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)

OLEH:

Nama : Elsa Antika Lestari


NIM : 023.02.1120

PROGRAM STUDI PROFES NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
MATARAM

2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Cedera kepala merupakan bentuk trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen (Riskesdas, 2020).
Brain Injury Assosiation of America menyebutkan bahwa cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2021).
Menurut Hudak dan Gallo (2022) cidera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil
dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak.
(Batticaca Fransisca, 2021).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2022).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
a) Kulit Kepala Kulit
Kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu Skin atau
kulit, Connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponereutika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
perdarahan akibat liseran kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak – anak.
b) Tulang Tengkorak Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak serebelum.
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari
tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan:
lapisan luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan
struktur yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai
busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya
terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis,
oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
c) Lapisan pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid dan piameter.
1) Durameter (lapisan sebelah luar) Selaput keras pembungkus otak
yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter ditempat
tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena ke otak.
2) Arakhnoid (lapisan tengah) Merupakan selaput halus yang
memisahkan durameter dengan piameter membentuk sebuah kantong
atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.
3) Piameter (lapisan sebelah dalam) Merupakan selaput tipis yang
terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan
dengan araknoid melalui struktur – struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel (Ganong, 2020).
d) Otak

Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:


a) Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol.
Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan
sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan
intelegensia. Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh
suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor.
Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang
disebut sebagai kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang
merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat
medulla. Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita serabut
lebar yang disebut korpus kalosum. Di dalam substansial alba
tertanam masa substansial grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat
aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing hemisfer dirangkap
dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang berlawanan.
b) Otak tengah
c) Otak belakang Suzanne C Smeltzer (2021), Nervus kranialis dapat
terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karna edema
otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu:
1) Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan
kemudian diolah lebih lanjut. Fungsi saraf pembau.
2) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju
plasma optikum, kemudian melalui traktus optikus menuju
korteks oksipitalis untuk dikenali dan diinterpretasikan. Fungsi:
Bola mata untuk penglihatan.
3) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak
bola mata).
4) Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak
mata.
5) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik
dengan memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter,
yang merupakan otot-otot pengunyah.
6) Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai
saraf penggoyang bola mata.
7) Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir
rongga mulut
8) Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa
rangsangan dari pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya:
Sebagai saraf pendengar.
9) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini
dpat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
10) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mengandung saraf-saraf
motoric, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru,
esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan
dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
11) Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI).
Saraf ini mensarafi muskulus sternocleidomastoid dan muskulus
trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.
12) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah.
Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung.
C. ETIOLOGI
a) Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang
dapat mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local.
Kerusakan local meliputi Contosio serebral, hematom serebral, kerusakan
otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau
hernia.
b) Trauma tumpul merupakan jenis trauma oleh benda tumpul dan
menyebabkan cedera menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas
dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, multiple pada otak koma terjadi karena
cedera menyebar pada hemisfer, cerebral, batang otak atau keduanya
(Wijaya, 2023).
D. KLASIFIKASI
Menurut dewantoro, dkk (2021) cedera kepala diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
a) Cedera kepala minor/ringan
Dengan nilai GCS 13-15. Keadaan pasien sadar penuh, membuka mata
bila dipanggil. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusia, cerebral dan hematoma.
b) Cedera kepala sedang
Dengan nilai GCS 9-12. Pasien kehilangan kesadaran, namun masih
menuruti perintah yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c) Cedera kepala berat
Dengan nilai GCS 3-8 dimana pasien kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral,
laserasi, atau hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS sebagai
berikut:
 Eye: nilai 1 atau 2
 Motorik: nilai 5 taau <5
 Verbal: nilai 2 atau 1
Dengan penjabaran kategori nilai Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai
berikut:
a) Membuka mata
Spontan :4
Terhadap rangsang suara : 3
Terhadap nyeri :2
Tidak ada :1
b) Respon Verbal
Orientasi baik :5
Orientasi terganggu :4
Kata-kata tidak jelas :3
Suara tidak jelas :2
Tidak ada respon :1
c) Respon Motorik
Mampu bergerak :6
Melokalisasi nyeri :5
Menghindari nyeri :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi :2
Tidak ada respon :1

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya


gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang
dipakai dalam penentuan derajat kepala.
Sedangkan menurut Menurut Wijaya dan Putri (2023) jenis cedera kepala
dapat dibedakan menjadi :
a) Cedera kepala terbuka
Mampu menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan
otak. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tengkorak
atau luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh
velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat
terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan
otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman/pathogen memiliki akses masuk langsung ke otak.
b) Cedera kepala tertutup
Disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral
yang luas.
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Judha (2021), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
a) Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani
perobital ecimos (brill haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign),
perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil
dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan vertigo.
b) Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari 5
menit, amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah.
Contusion dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam
contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai berikut :
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan atau
cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai batang
otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan
keabnormalam pupil.

F. PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi
yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba
subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan
penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi
merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan
perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung
lokasi kerusakan.

Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus


frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala
kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada
kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi
yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti
dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh
terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan
dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak. Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena
benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks
medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh
herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada
lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi
pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam
sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila
hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-
kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala
neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan
medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat
dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan
mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
G. PATHWAY

Trauma Kepala

Cedera primer (langsung) Cedera sekunder (tak langsung)

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitus
jaringan kulit, otot dan Terputusnya Kerusakan saraf otak
vaskuler kontinuitus jaringan (contusio, laserasi)

Gangguan Perdarahan Produl ATP


Perubahan sirkulasi
autoregulasi hematoma menurun
CSS

Kekurangan
Proses dalam Edema energi
metabolisme cerebral Nyeri akut
otak terganggu
fatig
Peningkatan TIK
Penurunan Resiko
suplai darah dan perfusi Defisit
oksigen serebral Mual dan muntah perawatan diri
tidak efektif

Perubahan pola Anoreksia


nafas
Defisit nutrisi
Sesak Pola nafas tidak
efektif
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
e) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
f) MRI (Magnetic Resonance Imaging): untuk mengevaluasi cedera vascular serebral
dengan cara noninvasive.
g) EEG (elektro ensefalogram): mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks
dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis
abnormal.
h) BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP (Somatosensory Evoked
Potensial): pemeriksaan prognostic yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil
abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakan diagnosis
disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional yang
bermakna.

I. KOMPLIKASI
a) Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema
paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom
distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing.
b) Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak
untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur
pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous
dari tulang temporal.
c) Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang
jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
2) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma).
Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan
edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil
dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6
minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada
lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya
pada sisi yang mengalami kerusakan.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula
dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organtersebut
umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d) Disfasia
Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
e) Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
f) Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
g) Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak.
Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar pemeriksa
dengan menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva
diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-
otot penggerak bola mata.
h) Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam
tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun
kemudian.
J. PENATALAKSANAAN
a) Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life
Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan
cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain: A
(airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/ environmental
control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut
ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam
jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan
jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan
di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Bila ada
perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah survei primer,
hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah
Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran
penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang
berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea.
b) Penatalaksanaan Khusus:
1) Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan bila memenuhi kriteria
berikut:
 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
 Foto servikal jelas normal
 Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan
 Kriteria perawatan di rumah sakit:
 Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT-Scan
 Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
 Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
 Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
2) Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala korna Glasgow 15 dan CT-Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat
dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual,
muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3) Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat dilakukan
di unit rawat intensif.
 Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
 Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
 Monitor tekanan darah
 Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS
< 8, bila memungkinkan.
 Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
 Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
 Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan
pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi,
hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai
pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
 Profilaksis trombosis vena dalam
 Profilaksis ulkus peptic
 Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan
serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi
dengan organisme yang lebih virulen.
 CT Scan lanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2020). Peningkatan Tekanan intrakranial & gangguan
peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Ganong, 2020. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. (Alih Bahasa Oleh: 1 Made Kariasa,
Dkk). Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. (2022). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. (2021). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafa. Jakarta: Salemba Medika.
RISKESDAS, (2021). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Smeltrzer, Suzanna C & Bare. 2021. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan
Suddart. (Alih Bahasa Agung Waluyo). Edisi 8. Jakarta: EGC.
Tanto, Judha M.S. (2021). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta: Media
Aescupius.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2023). Keperawatan Medikal bedah 2. Yogyakarta: Salemba
Medika.

ASUHAN KEPERA WATAN


PADA Tn. R DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)
Dx Medis : Trauma Cerebral Oedem

I. Pengkajian

a. IDENTITAS
Nama/Initial : Tn. R
Umur & Alamat : 21 tahun, Dusun Gentong RT 16/03 Argosari Jabung,
Kab.
Malang
Pekerjaan : Buruh pasar
Tanggal MRS : 23 Januari 2024
Tgl pengkajian : 23 Januari 2024
Penanggung Jwb : - Alamat : -
No.Register : 11604755
Dx.Medis : Trauma Cerebral Oedem

b. KELUHAN UTAMA
Saat MRS :
Pasien dibawa ke RS dengan keadaan tidak sadarkan diri karena mengalami
kecelakaan motor. Setelah sadar, pasien mengatakan merasa nyeri pada bagian kepala nya
dan bagian tangan nya kiri dan kanan.
(Jika nyeri maka gunakan pendekatan PQRST)
P : disebabkan oleh kecelakaan motor dan kepalanya terbentur ke aspal
Q : nyeri dirasakan seperti di tusuk-tusuk
R : nyeri dirasakan dibagian kepala
S : skala 3 (nyeri sedang)
T : nyeri sering dirasakan

Saat Pengkajian :
Pasien mengatakan masih merasakan nyeri tetapi hilang timbul dan hanya
sesekali,
tidak dirasakan seperti sebelumnya saat awal masuk RS.
(Jika nyeri maka gunakan pendekatan PQRST)
P : disebabkan oleh kecelakaan motor dan kepalanya terbentur ke aspal
Q : nyeri dirasakan seperti di tusuk-tusuk
R : nyeri dirasakan dibagian kepala dan ekstremitas atas dan bagian
pinggang
S : skala 2 (nyeri ringan)
T : nyeri dirasakan hilang timbul

c. RIWAYAT PENYAKIT / MEKANISME TRAUMA


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit/ mekanisme trauma sebelumnya seperti asma
atai diabetes mellitus.
d. RIWAYAT LINGKUNGAN (TKP)
Pasien mengatakan dirumah sering membuka jendela, selalu bekerja diluar rumah
yaitu di pasar sebagai buruh pasar dan makan selalu teratur, selalu bergaul dengan orang
sekitarnya dan membantu jika ada yang bekerja disekitar rumahnya.
e. PEMERIKSAAN FISIK
□ AIRWAY :
Pasien tidak sadarkan diri dan membuat jalan nafasnya terganggu dan
membuat aliran udara keparu-paru terhambat sehingga dipasangkan oksigen nasal
kanul 3 lpm, warna kulit pucat.

□ BREATHING :
Tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada penarikan dinding dada.

□ CIRCULATION :
Tidak ada masalah dalam sirkulasi, TD :127/85 mmHg, Nadi 72 x/menit,
akral hangat, tidak ada pembengkakan vena jegularis.

□ DISABILITY :
Penurunan kesadaran, GCS : 3 5 6. Ketika dipanggil pasien berespon
tetapi lama membuka matanya.

□ EXPOSURE :
Pasien jatuh dari motor dan ekstremitas atas susah digerakkan pada awal
masuk rumah sakit. Pada saat dirawat, pasien sering terbaring dan tidak bisa
miring kiri dan kanan sehingga beresiko mengalami dekubitus. Terdapat abrasi
pada ekstremitas atas dan bawah bagian tumit kaki.

□ FULL Vital Sign & Five Intervention

o Nadi : 72 x/menit
o TD : 127/85 mmHg
o SUHU : 36,5˚C
o RR : 22 x/menit
Monitor Denyut Jantung +/-
Pulse Oximetri +/-
Indwelling kateter (+)
NOT +/-
Pemeriksaan Laboratorium (+)

o GIVE A COMFORT

o HISTORY & HEAD TO TOE ASSESSMENT


▪ History
▪ Head to toe
• Kepala :
Rambut berantakan/tidak rapi, jenis rambut ikal, berwarna
hitam, sedikit ada ketombe, ada nyeri tekan pada kepala bagian
kanan dan kiri dan tidak bisa terlalu digerakkan karena akan merasa
pusing, tidak ada uban, bentuk kepala normal.
• Leher :
Tidak ada kelainan pada leher, tidak ada benjolan, tidak ada
kelenjar getah bening, tidak ada pembengkakan vena jeguler.
• Dada (Thorax) :
Bentuk dada simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak ada suara
nafas tambahan.
• Abdomen :
Tidak ada nyeri tekan, bentuk datar, tidak ada lesi, tidak ada
pembesaran liver.
• Panggul :
Ada sedikit nyeri ketika digerakkan untuk miring kekiri dan
kekanan.
• Alat kelamin :
Tidak ada kelainan pada alat kelamin pasien.
• Ekstremitas :
- Atas : tangan pasien masih sulit untuk digerakan, hanya
bisa sedikit gerakan saja, kuku tangan tambak kotor, terdapat
sedikit abrasi/luka lecet pada bagian pundak, lengan dan
pergelangan tangan.
- Bawah : terdapat luka pada bagian tumit sampai mata kaki
sebelah kanan, sedikit luka lecet pada bagian patella.

o INSPEKSI ( back bone)

f. Riwayat penyakit terdahulu :


Pasien dan keluarga pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit dahulu
g. Riwayat keluarga :
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit keluarga, dan keluarga pasien
mengatakan tidak ada riwayat penyakit menular yang berbahaya di keluarganya.

Genogram :

-------------------------------------------

-------------------------------------------
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Garis Perkawinan
: Garis keturunan
- - - - : Tinggal serumah
X : Meninggal
: Pasien
h. Pola pemenuhan ADL :
• Kebutuhan nutrisi :

Sebelum sakit :

Pasien mengatakan sebelum sakit selalu makan teratur dan nafsu makan ada,

makan 3 kali sehari.

Saat sakit :

Pasien mengatakan saat sakit tidak ada nafsu makan, makanan yang diberikan dari

RS tidak dihabiskan karena sedikit sulit untuk menelan makanan, pasien cepat merasa

kenyang.

• Pola eliminasi :

Sebelum sakit :

Pasien mengatakan tidak ada masalah dengan BAK/BAB nya dan selalu lancar,

BAK 6-7 kali sehari dan BAB 1 kali sehari.

Saat sakit :

Pasien terpasang kateter urine dan menggunakan pempers. Saat sakit, urine

berkurang dan BAB sedikit karena pasien jarang menghabiskan porsi makanan yang

disediakan dari rumah sakit.


• Pola istirahat tidur :

Sebelum sakit :

Pasien mengatakan pada saat sebelum sakit selalu tidur teratur dan nyenyak yaitu

sekitar 7-8 jam untuk tidur dimalam hari dan saing hari sekitar 2-3 jam.

Saat sakit :

Pasien tampak sering tidur tetapi terjaga/sering terbangun karena pasien

mengatakan tidak terlalu nyaman dengan area rumah sakit dan berdekatan dengan

pasien lainnya.

• Pola aktifitas :

Sebelum sakit :

Pasien mengatakan dirumah biasa membersihkan rumahnya, dan bekerja di pasar

sebagai buruh pasar.

Saat sakit :

Pasien mengatakan saat sakit tidak bisa bergerak dan melakukan aktivitas seperti

biasanya.

• Pola kebersihan :

Sebelum sakit :

Pasien mengatkan mandi 2 kali sehari ketika dirumahnya, dan selalu shampoo,

gosok gigi dan menggunakan sabun untuk mandi.

Saat sakit :

Pasien mengatakan ketika sakit hanya mandi sekali dengan dibantu oleh perawat,

pasien tampak gigi kotor dan rambut tidak rapi.


• Pola komunikasi :

Sebelum sakit :

Pasien mengatakan komunikasi lancar dan tidak ada hambatan apapun dengan

keluarga dan tetangga yang berada dilingkungan tempat tinggal.

Saat sakit :

Pasien jarang berkomunikasi dengan perawat, hanya menjawab seadanya dan

sedikit malu. Tetapi untuk berkomunikasi dengan orang tuanya tidak ada hambatan.

• Pola toleransi-koping :

Sebelum sakit :

Pasien mengatakan menerima semua keadaan nya pada saat sebelum sakit dan

tidak ada batasan ataupun perbedaan serta mampu menyelesaikan masalah tanpa

merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

Saat sakit :

Pasien mengatakan menerima keadaannya saat ini dan mengakui kesalahannya

karena kecelakaan motor tanpa menyalahkan siapapun.


i. PEMERfKSAAN LABORATORIUM/RADIOLOGI
√ Laboratorium (22 Januari 2024)
√ Rontegen : Thorax dan Kepala (22 Januari 2024)
□ EKG
√ Terapi medis : (22 Januari-26 januari 2024)
 Infus NaCl 0,9 20 tpm
 Oksigen nasal kanul 3 lpm

II. Analisis data

Data Etiologi Masalah


DS: Trauma kepala Nyeri Akut
 Pasien mengatakan
merasa nyeri pada
bagian kepala dan Cedera primer
bagian ekstremitas
atas dan bagian
pinggang.
 Pasien mengatakan Tulang kranial
merasa nyeri jika
miring kiri dan
kanan. Terputusnya
kontinuitus
DO: jaringan
 Pasien tampak
meringis kesakitan
saat diarahkan untuk Nyeri akut
miring kiri dan
kanan
 Pasien mengeluh
nyeri pada bagian
ekstremitas atas dan
bagian pinggangnya
 K/U : sedang
 Saklaa nyeri : 2
(nyeri ringan)
 TTV :
TD : 127/85 mmHg
Suhu : 36,5˚C
Nadi : 72 x/menit
RR : 22 x/menit
DS: Trauma kepala Defisit Nutrisi
 Pasien mengatakan
tidak ada nafsu
makan saat sakit Cedera primer
 Pasien mengatakan
sesekali tidak
menghabiskan Ekstra kranial
makanannya yang
disediakan oleh
rumah sakit karena Terputusnya
tidak ada nafsu kontinuitus
makan dan sedikit jaringan kulit,
sulit menelan otot dan vaskuler
makanan.
 Pasien mengatakan
cepat kenyang jika Perdarahan
makan makanan hematoma
yang diberikan
rumah sakit.
Perubahan
DO: sirkulasi CSS
 Pasien tampak tidak
menghabiskan
makanan dan susu Edema cerebral
yang disediakan dari
rumah sakit.
 K/U : sedang Peningkatan TIK
 TTV :
TD : 127/85 mmHg
Suhu : 36,5˚C Mual dan
Nadi : 72 x/menit muntah
RR : 22 x/menit
Anoreksia

Defisit nutrisi
DS: Trauma kepala Defisit Perawatan Diri
 Pasien mengatakan
jarang menggosok
gigi ketika sakit, Cedera primer
hanya mandi sekali
sehari
Intra kranial
DO:
 Pasien tampak tidak
rapi, gigi kotor, Kerusakan saraf
rambut tidak rapi otak (contusion,
 K/U : sedang laserasi)
 TTV :
TD : 127/85 mmHg
Suhu : 36,5˚C Produl ATP
Nadi : 72 x/menit menurun
RR : 22 x/menit

Kekurangan
energy

Fatig

Defisit
perawatan diri

Diagnosa Keperawatan

Tgl/Jam No. Dx Diagnosa Keperawatan Paraf


23 Januari 1 Nyeri akut berhubungan dengan agen Elsa
2024
cidera biologis.
09.00 WIB

23 Januari 2 Defisit nutrisi berhubungan dengan Elsa


2024
ketidakmampuan menelan makanan.
12.00 WIB

23 Januari 3 Defisit perawatan diri berhubungan Elsa


2024
dengan gangguan muskuluskeletal
08.30 WIB
III. Planning

Tujuan/Kriteria
Tanggal No. Dx Intervensi Rasional
Evaluasi
23/01/202 1 Setelah dilakukan Observasi: 1. Mengetahui
4 skala nyeri yang
intervensi 1) Identifikasi skala
dirasakan oleh
keperawatan nyeri pasien
2. Mengetahui
selama 3x24 jam, 2) Identifikasi respon
respon nyeri
maka nyeri akut nyeri non verbal yang tampak
3) Identifikasi faktor pada pasien
membaik dengan
3. Mengetahui
yang memperberat
kriteria hasil: faktor penyebab
dan memperingan yang
 Keluhan nyeri
nyeri memperingan
menurun ataupun
Teraupetik: memperberat
 Meringis
4) Berikan teknik nyeri yang
menurun dirasakan pasien
nonfarmakologis
 Gelisah 4. Mengajarkan
untuk mengurangi teknik relaksasi
menurun
rasa nyeri nafas dalam
 Kesulitan tidur untuk
5) Fasilitasi istirahat mengurangi rasa
menurun
dan tidur nyeri
5. Menjaga
Edukasi: kenyamanan dan
6) Jelaskan penyebab, keamanan
disekitar
periode, dan
lingkungan
pemicu nyeri pasien
Kolaborasi: 6. Untuk
memberikan
7) Kolaborasi edukasi terkait
pemberian penyebab dan
pemicu nyeri
analgetik jika perlu
yang dirasakan
pasien
7. Untuk memenuhi
kebutuhan yang
dibutuhkan oleh
tubuh dan
mempertahankan
imunitas tubuh
23/01/202 2 Setelah dilakukan Observasi: 1. Untuk
4 mengetahui input
intervensi 1) Monitor asupan
dan output
Keperawatan dan keluarnya 2. Untuk
makanan dan mengetahui berat
selama 3x24 jam
badan masuk
maka defisit cairan serta kebatas normal
kebutuhan kalori atau tidak
nutrisi membaik
3. Menjelaskan
Teraupetik:
dengan kriteria jumlah asupan
2) Timbang berat makanan dan
hasil:
badan secara rutin menyesuaikan
 porsi makanan dengan aktivitas
3) Diskusikan fisik
yang
perilaku makan 4. Mencegah
dihabiskan terjadinya
dan jumlah
meningkat kekurangan
aktivitas fisik maupun
 perasaan cepat kelebihan berat
Edukasi:
kenyang badan agar tetap
4) Ajarkan sehat
menurun
pengaturan diet 5. Mengetahui cara
 berat badan untuk
yang tepat menyelesaikan
membaik
5) Ajarkan masalah terkait
 nafsu makan perilaku makan
keterampilan
membaik sehari-hari
koping untuk 6. Menjaga agar
penyelesaian kebutuhan kalori
dan kebutuhan
masalah perilaku lainnya yang
makan dibutuhkan oleh
tubuh
Kolaborasi:
6) Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
target berat badan,
kebutuhan kalori
dan pilihan
makanan
23/01/202 3 Setelah dilakukan Observasi: 1. Mengetahui
4 kebiasaan yang
intervensi 1) Identifikasi berkaitan dengan
keperawatan kebiasaan aktivitas
selama 1x24 jam perawatan diri perawatan diri
2. Mengetahui
maka defisit sesuai usia
tingkat
perawatan diri 2) Monitor tingkat kemandirian
kemandirian yang dimiliki
membaik dengan dalam merawat
kriteria hasil: Teraupetik: diri
3. Menjaga agar
 Kemampuan 3) Sediakan
tetap merasa
mandi lingkungan yang nyaman dan
teraupetik aman di
meningkat
lingkungan
 Kemampuan 4) Damping dalam sekitar
melakukan 4. Menjaga agar
mengenakan
tidak terjadi
pakaian perawatan diri kesalahan atau
meningkat sampai mandiri resiko lainnya
yang bisa
 Kemampuan Edukasi: menambah
makan 5) Anjurkan penyakit lainnya
5. Menjaga
meningkat melakukan
kesehatan dan
 Kemampuan perawatan diri selalu merawat
diri sesuai
toilet secara konsisten
dengan
(BAB/BAK) sesuai kemampuan kemampuan yang
dapat dilakukan
meningkat
secara mandiri.
IV. Implementasi

No. Dx Tanggal/JAM Implementasi Paraf


1 24 Januari 1) Mengidentifikasi skala nyeri Elsa
2024/ 10.00 2) Mengidentifikasi respon nyeri
WIB
non verbal
3) Memberikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (teknik
relaksasi nafas dalam)
4) Memfasilitasi istirahat dan tidur
5) Berkolaborasi pemberian
analgetik

2 24 Januari 1) Memonitor asupan dan Elsa


2024/12.00 keluarnya makanan dan cairan
WIB
serta kebutuhan kalori
2) Dberdiskusi tentang perilaku
makan dan jumlah aktivitas fisik
3) Mengajarkan keterampilan
koping untuk penyelesaian
masalah perilaku makan
4) Berkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan,
kebutuhan kalori dan pilihan
makanan

3 24 Januari 1) Mengidentifikasi kebiasaan Elsa


2024/ 11.00 aktivitas perawatan diri sesuai
WIB
usia
2) Memonitor tingkat kemandirian
3) Menyediakan lingkungan yang
teraupetik
4) Membantu memandikan pasien
5) Membantu mengganti selimut
pasien dan memakaikan wangi-
wangian
6) Mengajarkan miring kanan dan
kiri untuk mencegah terjadinya
dekubitus

No. Dx Tanggal/JAM Implementasi Paraf


1 25 Januari 1) Mengidentifikasi skala nyeri Elsa
2024/ 08.40 2) Mengidentifikasi respon nyeri
WIB
non verbal
3) Memberikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (teknik
relaksasi nafas dalam)
4) Memfasilitasi istirahat dan tidur
5) Berkolaborasi pemberian
analgetik

2 25 Januari 1) Memonitor asupan dan Elsa


2024/12.00 keluarnya makanan dan cairan
WIB
serta kebutuhan kalori
2) Dberdiskusi tentang perilaku
makan dan jumlah aktivitas fisik
3) Berkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan,
kebutuhan kalori dan pilihan
makanan

3 25 Januari 1) Memonitor tingkat kemandirian Elsa


2024/ 08.30
WIB 2) Menyediakan lingkungan yang
teraupetik
3) Membantu memandikan pasien
4) Membantu mengganti selimut
pasien dan memakaikan wangi-
wangian
7) Mengajarkan miring kanan dan
kiri untuk mencegah terjadinya
dekubitus

No. Dx Tanggal/JAM Implementasi Paraf


1 26 Januari 1) Mengidentifikasi skala nyeri Elsa
2024/ 10.10 2) Mengidentifikasi respon nyeri
WIB
non verbal
3) Memberikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (teknik
relaksasi nafas dalam
4) Memfasilitasi istirahat dan tidur
6) Berkolaborasi pemberian
analgetik

2 26 Januari 1) Memonitor asupan dan Elsa


2024/12.00 keluarnya makanan dan cairan
WIB
serta kebutuhan kalori
2) Berdiskusi tentang perilaku
makan dan jumlah aktivitas fisik
3) Mengajarkan keterampilan
koping untuk penyelesaian
masalah perilaku makan
4) Berkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan,
kebutuhan kalori dan pilihan
makanan

3 26 Januari 1) Menyediakan lingkungan yang Elsa


2024/ 08.00 teraupetik
WIB
2) Membantu memandikan pasien
3) Membantu mengganti selimut
pasien dan memakaikan wangi-
wangian
4) Mengevaluasi miring kanan dan
kiri untuk mencegah terjadinya
decubitus yang telah diajarkan
5) Mengedukasi cara perawatan
diri dirumah ketika pulang
(memotong rambut dengan rapi,
dll)

V. Catatan Perkembangan

Tgl/JAM No. Dx Evaluasi TTD


26 1 S : pasien mengatakan nyeri Elsa
Januari berkurang tidak seperti sebelumnya
2024/ dan sudah mampu menggerakkan
13.40 ekstremitas atas dan bawah
WIB O : K/U : baik, pasien tampak sudah
bisa miring kiri dan kanan, bisa
menggerakkan ekstremitas atas dan
bawah.
TTV :
TD :120/80 mmHg
Suhu : 36,4˚C
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
A : masalah teratasi sebagian.
P : Intervensi dihentikan, pasien
pindah ruangan
2 S : pasien mengatakan nafsu makan
mulai ada dan menghabiskan
makanan yang diberikan oleh rumah
sakit
O : K/U : baik, pasien tampak sudah
bisa menghabiskan makanan yang
disediakan oleh rumah sakit, tidak
ada mual muntah.
TTV :
TD :120/80 mmHg
Suhu : 36,4˚C
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
A : masalah teratasi.
P : Intervensi dihentikan, pasien
pindah ruangan
3 S : pasien mengatakan akan
menerapkan cara perawatan diri yang
telah diajarkan yaitu akan memotong
rambutnya ketika sudah sembuh.
O : K/U : baik, pasien tampak mau
menjaga kebersihan dirinya.
TTV :
TD :120/80 mmHg
Suhu : 36,4˚C
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
A : masalah teratasi sebagian.
P : Intervensi dihentikan, pasien
pindah ruangan

Anda mungkin juga menyukai