Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

CEDERA KEPALA DAN DIFFUSE AXONAL INJURY

Disusun oleh:

Yohana Br Sidabalok

112017276

Pembimbing:

dr. Nino Widjayanto, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

PERIODE 25 FEBUARI – 30 MARET 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala atau head injury adalah kerusakan pada setiap struktur bagian
kepala yang disebabkan oleh trauma dan berakibat disfungsi cerebral sementara
sampai disfungsi permanen. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu
lintas dan terjatuh dari ketinggian.(1)
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit.
Cedera kepala dapat terjadi ringan sampai dengan cedera kepala berat, hal ini
tergantung terhadap penyebab dari cedera itu sendiri. Cedera kepala merupakan
keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan
praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Prognosis pasien
cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
(2)

Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah


pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa
dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak.
Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di
Rumah Sakit.(2)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik
pada kepala yang disebabkan oleh faktor
eksternal berupa kecelakaan dan benturan pada kepala yang dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, dan psikososial, yang bersifat sementara
atau permanen. Menurut Brain Injury Assosiaciation of America, cedera kepala
adalah perubahan fungsional pada otak yang disertai keadaan patologis pada otak
yang disebabkan oleh faktor eksternal.(2)
ANATOMI KEPALA
1. Jaringan lunak kepala
Jaringan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP(5), yaitu:
 Skin (kulit) yang tebal dan mengandung rambut serta kelenjar minyak
(sebasea)
 Connective tissue (jaringan subkutis), merupakan jaringan ikat lemak
yang kaya akan pembuluh darah.
 Aponeuris Galea, merupakan lapisan terkuat berupa fascia yang
melekat pada otot
 Loose areolar tissue (jaringan areolar longgar) terdiri dari vena- vena
tanpa katup yang menghubungkan scalp, vena diploica dan sinus vena
intracranial.
 Perikranium
Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat
pada sutura dan berhubungan dengan endosteum.

3
2. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kalvaria dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Basis cranii
dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum

Gambar 1. (Sumber: Sobotta Edisi 7)

3. Meningens
Selaput meninges terdiri dari 3 lapisan yaitu :

Duramater
Duramater (dalam Bahasa latin disebut “hard mother”/meningens
fibrosa/jaringan parenkim) adalah membrane yang tebal dan paling dekat
dengan tengkorak. Dura mater, bagian terluar, adalah lapisan fibroelastik sel,
tidak mengandung kolagen ekstraselular, dan memiliki ruang ekstraselular
yang signifikan. Bagian tengah lapisan meningens adalah yang paling
banyak mengandung jaringan ikat. Lapisan tengah meningens terdiri dari

4
dua lapisan, yaitu lapisan endosteal, yang terletak paling dekat dengan
calvaria (tengkorak), dan lapisan meningeal dalam, yang terletak lebih dekat
ke otak. Lapisan ini berisi pembuluh darah besar yang bercabang menjadi
kapiler dan berjalan ke pia mater. Dura mater adalah suatu kantung yang
menyelubungi arachnoid dan mengelilingi saluran scrams besar (sinus dural)
yang membawa darah dari otak menuju jantung.(5)
Dura memiliki empat bagian, terdiri dari 1) Falx cerebri, bagian terbesar,
memisahkan belahan otak. Mulai dari puncak frontal tulang frontal dan galli
crista berjalan ke oksipital internal. 2)Tentorium5cerebelli , terbesar kedua,
berbentuk bulan sabit; memisahkan lobus oksipital dari otak. 3)Falx cerebri,
terletak di bagian inferior tentorium cerebri, memisahkan belahan serebelum.
4)Diaphragma sellae, lipatan sirkuler kecil dari duramater yang menutupi
sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis.

Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium 5ystem5e5oid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala

Piamater
Piamater (dalam Bahasa latin disebut “tender mother”) merupakan
lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan yang sangat
halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Ini adalah amplop meningeal yang melekat pada permukaan otak dan
sumsum tulang belakang dan semua bagian otak (termasuk gyri dan sulci).
Ruang subarachnoid adalah ruang yang terdapat di aantara arachnoid
dan pia mater, yang berisi cairan cerebrospinal. Biasanya, duramater
melekat pada tengkorak, tetapi di sumsum tulang belakang, dura mater

5
dipisahkan dari tulang (vertebra) oleh ruang yang disebut ruang epidural,
yang mengandung pembuluh darah dan lemak. Arachnoid melekat pada
dura mater, sedangkan pia mater melekat pada jaringan 6ystem saraf pusat.
Ketika dura mater dan arachnoid terpisah oleh karena cedera atau sakit,
ruang antara mereka adalah ruang subdural. Terdapat ruang subpial dibawah
pia mater yang memisahkannya dari glia limitans.

Gambar 2. (Sumber: Adam)


4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Otak dibangi menjadi 5 lobus, yaitu Lobus frontal adalah yang terbesar
dari empat lobus bertanggung jawab untuk banyak fungsi yang berbeda, termasuk
keterampilan motorik seperti gerakan volunter, fungsi intelektual dan fungsi
perilaku. Daerah yang menghasilkan gerakan di bagian tubuh yang ditemukan di

6
korteks motor utama atau gyrus precentral. Korteks prefrontal memainkan peran
penting dalam memori, kecerdasan, konsentrasi, marah dan kepribadian.
Premotor cortex adalah daerah yang ditemukan di samping korteks motor
utama. Area Broca, penting dalam produksi bahasa, ditemukan dalam lobus
frontal, biasanya di sisi kiri.
Oksipital lobus - lobus ini terletak di bagian belakang otak dan
memungkinkan manusia untuk menerima dan memproses informasi visual..
Oksipital lobus di sebelah kanan menafsirkan sinyal visual dari ruang visual kiri,
sedangkan lobus oksipital kiri melakukan fungsi yang sama untuk ruang visual
yang tepat.
Parietal lobus - lobus ini menafsirkan secara bersamaan, sinyal yang
diterima dari daerah lain otak seperti penglihatan, pendengaran, motorik, sensorik
dan memori. Memori seseorang dan informasi sensorik baru diterima, memberi
makna objek.
Temporal Lobes - lobus ini terletak di setiap sisi otak pada sekitar tingkat
telinga, dan dapat dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian adalah di bagian bawah
(ventral) dari masing-masing belahan, dan bagian lain di sisi (lateral) dari masing-
masing belahan. Daerah di sisi kanan terlibat dalam memori visual dan membantu
manusia mengenali obyek dan wajah orang-orang '. Daerah di sisi kiri terlibat
dalam memori verbal dan membantu manusia mengingat dan memahami bahasa.
Bagian belakang lobus temporal memungkinkan manusia untuk menafsirkan
emosi dan reaksi orang lain.
Otak kecil terletak di bagian belakang otak di bawah lobus oksipital dan
dipisahkan dari otak oleh tentorium (lipatan dura). Otak kecil berfungsi
mempertahankan postur tubuh, keseimbangan atau ekuilibrium, dengan
mengontrol tonus otot dan posisi anggota badan. Otak kecil adalah penting dalam
kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan yang cepat dan berulang-ulang

7
seperti bermain video game. Di otak kecil, kelainan kanan sisi menghasilkan
gejala pada sisi yang sama dari tubuh.

5. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis

PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

a. Patofisiologi umum
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatubenda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

b. Patofisiologi spesifik

8
Cedera kepala disebabkan oleh kerusakan langsung pada jaringan kepala akibat
trauma, gangguan perfusi cerebral dan juga gangguan metabolisme pada otak yang
dapat menyebabkan “ischemia like pattern” yang menyebabkan akumulasi asam
laktat akibat terjadi glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas membran, dan
edema. Metabolisme anaerob menyebabkan pembentukan energi yang tidak adekuat,
cadangan ATP menurun, dan kegagalan pada pompa ion pada jalur pembentukan ATP
dalam menghasilkan energi.(6)
Tahapan kedua dari kaskade patofisiologi ditandai dengan depolarisasi
membrane terminal bersama dengan perangsangan produksi neurotransmiter yang
berlebihan (yaitu glutamat, aspartat), aktivasi N-methyl-D-aspartat, α-amino-3-
hidroksi-5-metil-4 –isoxazolpropionate. Proses ini mengarah kepada terjadinya
katabolic proses di intaseluler. Ca2 + mengaktifkan peroksidase lipid, protease, dan
phospholipases yang meningkatkan konsentrasi intraseluler asam lemak bebas dan
radikal bebas. Selain itu, aktivasi caspases (protein ICE-seperti), translocases, dan
endonuklease memulai perubahan struktural progresif membran biologis dan DNA
nucleosomal (fragmentasi DNA dan menghambat perbaikan DNA). Peristiwa ini
menyebabkan membran degradasi pembuluh darah dan struktur selular dan akhirnya
nekrosis dan apoptosis.

c. Aliran darah otak


Pada cedera kepala, dapat terjadi hiperperfusi atau hipoperfusi pada pembuluh
darah di otak. Hipoperfusi yang terjadi sebagai akibat dari iskemia. Iskemik cerebral
dapat menyebabkan pasien jatuh pada keadaan vegetative state dan kematian. Iskemia
otal menyebabkan stress metabolic dan gangguan ion di otak. Trauma kepala pada
cedera kepala jua dapat menyebabkan struktural badan sel saraf, astrosit dan
mikroglia, serta mikrovaskuler otak dan kerusakan sel endotel.
Pada tahap awal dari terjadinya cedera, didapatkan keadaan hiperperfusi pada
pembuluh darah otak. Mekanisme yang terjadi pada iskemia pasca-trauma juga

9
mengakibatkan cedera morfologi seperti distorsi pembuluh darah sebagai akibat dari
perpindahan mekanik, hipotensi dengan adanya kegagalan autoregulasi, terbatasnya
ketersediaan nitrit oksida atau neurotransmitter kolinergik, dan potensiasi dari
prostaglandin yang diinduksi vasokonstriksi.
Pada tahap awal dari cedera kepala dapat terjadi hiperperfusi aliran darah otak.
Hiperperfusi ditandai dengan terjadinya hyperemia. Keadaan ini berhubungan dengan
terjadinya vasoparalisis yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan aliran
darah dan tekanan intracranial.

d. Disfungsi metabolisme otak


Pada keadaan cedera kepala akibat trauma, kemampuan metabolisme pada otak
menurun. Hal ini berkaitan dengan disfungsi mitokondria yang merupakan penghasil
ATP sebagai akibta dari trauma. Disfungsi metabolism ini juga berhubungan dengan
hiperperfusi dan hipoperfusi aliran darah otak

e. Oksigenasi otak
Cedera otak menyebabkan ketidakseimbangan antara penyebaran oksigen dan
juga konsumsi oksigen. Keadaan ini berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia
dan dapat berakibat kematian.

f. Edema dan Inflamasi


Klasifikasi edema otak berkaitan dengan kerusakan struktural dan
ketidakseimbangan osmotik yang disebabkan oleh cedera primer atau sekunder.
Edema otak vasogenik disebabkan oleh gangguan mekanis atau autodigestive atau
kerusakan fungsional dari lapisan sel endotel dari pembuluh otak. Disintegrasi
dinding endotel pembuluh darah otak memungkinkan ion dan protein mentransfer
tidak terkendali dari intravaskular ke ekstraseluler kompartemen (interstitial) otak
dengan menyebabkan akumulasi air. Ekstraseluler sitotoksik edema otak ditandai

10
dengan akumulasi air intraseluler neuron, astrosit, dan mikroglia terlepas dari
integritas dinding endotel vaskular. Patologi ini disebabkan oleh permeabilitas
membran sel meningkat, kegagalan pompa ion karena deplesi energi, dan reabsorpsi
seluler zat terlarut osmotik aktif. Cedera kepala juga menyebabkan peradangan yang
mengaktivasi sitokin-sitokin pro inflamasi sehingga terjadi inflamasi pada otak.

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA(7)

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan:


a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang
cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan

b. Beratnya cedera (Glasgow Coma Scale)


Kategori SKG Gambaran Klinik CT Scan otak

Minimal 15 Pingsan (-) defisit neurologi{-) Normal

Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, defisit neurologik (-) Normal

Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam Abnormal


Defisit neurologik (+)

Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurotogik (+) Abnormal

c. Morfologi cedera
1. Fraktur cranium, terdiri dari:
 Fraktur linier
- Vault
Vault merupakan fraktur yang terjadi pada atap tengkorak (calvarium) yang
disebut dengan fracture calvarium, Fraktur linier pada kalvaria ini dapat terjadi jika

11
gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala “bending” dan terjadi fragmen fraktur yang masuk
kedalam rongga intrakranial. Gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut
cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar Jika
gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut “Steallete fracture”, jika fraktur
mengenai sutura disebut diastase fraktur

- Basilar
Merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tengkorak, disebut fraktur basis
kranii (skull base) Skull base di bagi menjadi 3 yaitu:

Anterior

Gejala dan tanda klinis :

- keluarnya cairan likuor melalui hidung / rhinorea


- perdarahan bilateral periorbital ecchymosis / raccoon eye
- anosmia

Media

Gejala dan tanda klinis :

- keluaraya cairan likuor melalui telinga / otorrhea


- gangguan n.VII & VIII

Posterior

Gejala dan tanda klinis :

- bilateral mastoid ecchymosis / Battle s sign

12
Penunjang diagnostik:

- Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes halo


- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50% +) (high resolution and
thin section)

 Depress fracture
Apabila fragmen dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal
tulang fragmen tersebut. Fraktur depresi dibagi 2 berdasarkan pernah tidaknya
fragmen berhubungan dengan udara luar,yaitu:
1. Fraktur Depresi tertutup
Biasanya tidak dilakukan tindakan operatif kecuali bila fraktur tersebut
menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/ plegi,
penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang
yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak,setelah mengembalikan dengan
fiksasi pada tulang disebelahnya.

2. Fraktur Depresi Terbuka


Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant
untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat
fragmen yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis
benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter secara “water
tight”/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada
kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun

13
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis. Lesi
intrakranial terdiri dari:

Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai
lensa cembung.(10) Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.
Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu
sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera,
prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan
langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Gejala yang
sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi
seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering
juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini
harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman
pada saat terjadi cedera kepala.

Tanda diagnostik klinik dari Epidural Hematom adalah(7)


1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late Hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor

14
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal
Pada hematoma Epidural di Fossa Posterior dapat menimbulkan gejala dan tanda
klinis berupa:
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum .batang otak dan pernafasan
5. Pupil isokor

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal
batang otak.
Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas
dengan korteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat
diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.


Hematoma subdural(9)

15
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantra duramater
dan aracnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging vein antara kortek cerebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat
berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak
mungkin ada atau tidak.(8)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya
sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas
umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera
dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut, subakut, dan
kronis:
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang
otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. Lucid interval ada stadium akut adalah 0-
5 hari. Gejala dan tanda klinis, yaitu nyeri kepala dan penurunan kesadaran.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda
status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan

16
dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak. Lucid nterval pada stadium ini adalah 5 hari sampai beberapa minggu.

c. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh
membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik
cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran
dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini,
cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Lucid interval ada stadium kronik adalah lebih dari 3 bulan. Pada pemeriksaan
penunjang diagnostic, dilakukan CT Scan otak dan didapatkan gambaran hiperdens

17
(perdarahan) diantara duramater dan araknoid, umumnya karena robekan dari
bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit.


Perdarahan Subarachnoid

Pendarahan subarachnoid traumatika didapatkan gejala kaku kuduk, nyeri


kepala, dan bisa terdapat gangguan kesadaran. Pada pemeriksaan penunjang CT scan
didapatkan gambaran hiperdens di ruang subarchnoid.

3. Kontusi dan Hematoma Intraserebral

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan
kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan


(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak
yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.

4. Cedera difus
Diartikan sebagai suatu keadaan patologis penderita koma (penderita tidak
sadar setelah mengalami benturan kepala) tanpa gambaran SOL pada CT scan atau

18
MRI. Cedara otak difus merupakan kerusakan otak yang disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas berkecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi dan deselerasi.
Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan pada serabut
saraf pada berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh (difus).
Gejala dan tanda Klinis:
- koma lama pasca trauma kapitis (prolonged coma)
- disfungsi saraf otonom.
- demam tinggi

Penunjang Diagnostik:
CT Scan otak:
- awal - normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
- ulangan setelah 24 jam - edema otak luas

Klasifikasi cedera diffuse berdasarkan gambaran patologi(5):


1. Diffuse Axonal Injury (DAI)
Adanya Kerusakan akson yang menyeluruh dalam hemisfer cerebri, korpus
kalosum, batang otak, dan serebelm (pedunkulus).
2. Diffuse Vascular Injury (DVI)
Perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer. Keadaan ini
dapat menyebabkan pasien meninggal dalam hitungan menit. Pada DVI,
terjadi kerusakan menyeluruh pada endothel mikrovaskuler otak.

PENEGAKKAN DIAGNOSIS(7)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan

19
1. Anamnesis

 Trauma kapitis dengan / tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
 Perdarahan / otontiea / rhinorrhea
 Amnesia Traumatika (retrograd / anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis Neurologis

3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial

4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal.

Dari hasil foto, perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur :

 Linier
 Impresi
 terbuka / tertutup
5. CT Scan Otak : untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa

 Gambaran kontusio
 Gambaran edema otak
 Gambaran perdarahan (hiperdens) :
 Hematoma epidural
 Hematoma subdural
 Perdarahan subarakhnoid
 Hematoma intraserebral

PEMERIKSAAN KLINIS UMUM DAN NEUROLOGIS

 Penilaian Kesadaran berdasarkan skala koma Glasgow (SKG)

20
 Penilaian fungsi vital tensil, nadi, pernafasan
 Otorrhea, Rhinorrhea
 Ecchymosis periorbital bilateral / Eyes/ hematoma kaca mata
 Ecchymosis nmstoid bilateral / Battle s Sign
 Gangguan fokal neurologik
 Fungsi motorik : lateralisasi. kekuatan otot
 Refleks tendon, refleks patologis
 Pemeriksaan fungsi batang otak:
 Ukuran besar, bentuk, isokor / anisokor & reaksi pupil
 Refleks kornea
 Doll's eye phenomen
 Monitor pola pernafasan:
o cheyne stokes : lesi di hemisfer
o central neurogenic hyperventilation : lesi di mesensefalon - pons
o apneustic breath : lesi di pons
o atoxic breath : lesi di medulla oblongata
 Gangguan fungsi otonom
 Funduskopi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Foto polos kepala


Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan.
Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya
corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto
polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut

21
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dilakukan
foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
9) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /
iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

22
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera


dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang
terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan
rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus
sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit,
diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan
atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan
sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas
dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang,
berat) berdasarkan urutan(7) :
 Survei Primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien, meliputi tindakan-
tindakan sebagai berikut:

A = Airway (jalan nafas).

Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah,


gigi yang patah, muntahan, dan lain sebagainya. Bila perlu lakukan
intubasi (waspadai kemungkinan adanya fraktur tulang leher)

B = Breathing (pernafasan).

Pastikan pernafasan adekuat

23
Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada atau perut dan
kesetaran pengerabangan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada
gangguan pemaiasan, cari penyebab apakah terdapat gangguan pada
sentral (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan atau paru-
paru). Bila perlu, berikan Oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target
saturasi 02 > 92%.

C = Circulation (sirkulasi)

Pertahankan Tekanan Darah. Sistolik > 90 mmHg. Pasang sulur intravena.


Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer. Hindari cairan
hipotonis. Bila perlu berikan obat vasoptesor dan / inotropik.

Konsultasi ke spesialis bedah saraf berdasarkan indikasi (lihat indikasi


operasi penderita trauma kapitis)

D = Disability (yaitu untuk mengetahui lateralisasai dan kondisi umum dengan


pemeriksaan cepat status umum dan neurologi )

- Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu


- Skala koma Glasgow
- Pupil : ukuran, bentuk dan reflek cahaya
- Pemeriksaan neurologi cepat: hemiparesis, refieks patologis
- Luka-luka
- Anamnesa : AMPLE {Allergies, Medications, Past Illnesses, Last
Meal, Event / Environment related to the injury)
 Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi
pasien stabil.

E = Laboratorium

24
Darah : Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, keatinin, gula
darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit

Urine : perdarahan (+) / (-)

Radiologi:

- Foto polos kepala, posisi AP, lateral, tangensial


- CT scan otak.
- Foto lainnya sesuai indikasi (termasuk foto servikal)
F = Manajemen Terapi

- Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi


- Siapkan untuk masuk ruang rawat
- Penanganan luka-luka
- Pemberian terapi obat obatan sesuai kebutuhan

Indikasi Operasi Cedera Kepala



EDH (epidural hematoma);

a. > 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal / frontal / parietal


dengan fungsi batang otak masih baik.
b. > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang
otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.
c. EDH progresif.
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

SDH (subdural hematoma)

a. SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik.
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

25
c. SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan
fungsi batang otak masih baik.

ICH (perdarahan intraserebrai) pasca trauma. Indikasi operasi ICH pasca trauma :

a. Penurunan kesadaran progresif.


b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex).
c. Perburukan defisit neurologi fokal.
4. Fraktur impresi melebihi 1 (satu) diploe.

5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.

6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial).

7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan


operasi dekompresi.

KASUS RINGAN (Simple Head Injury)

1. Pemeriksaan status umum dan neurologi

2. Perawatan luka-luka

3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam

Bila selama di rumah terdapat hal-hal sebagai berikut:

- Pasien cenderung mengantuk


- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit.
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
- Sakit kepala dan muntah
- Tidak ada yang mengawasi di rumah
- Letak rumah jauh atau sulit utk kembali ke RS
26
Konsensus di Ruang Rawat
Pelayanan medis:

Tujuan yang paling utama dari tata laksana trauma kapitis tertutup harus maksimal
terhadap proses fisiologis dari perbaikan otak itu sendiri (Miller, 1978)

A. KRITIKAL-SKG 3-4

Perawatan di Unit Intensif Neurologi (Neurological ICU)/ICU (bila fasilitas


tersedia)

B. TRAUMA KAPITIS SEDANG DAN BERAT - SKG 5-12

1. Lanjutkan penanganan ABC


2. Pantau tanda vital (suhu, pernafasan, tekanan darah), pupil, SKG, gerakan
ekstremitas, sampai pasien sadar
- pantauan dilakukan tiap 4 jam
- lama pantauan sampai pasien raencapai SKG 15
Perhatian khusus harus diberikan untuk mencegah terjadinya hipotensi
(Milter, I978; Chestnut 1993). Data dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB)
memperlihatkan bahwa hipotensi pada pasien dengan trauma kranioserebral
berat akan meningkatkan angka kematian dari 27% menjadi 50% (Wilkins,
1996). Tatalaksana tradisional yang meliputi pembatasan cairan dalam
mengurangi terjadinya edema otak, kemungkinan akan membahayakan
pasien, terutama pada pasien yang telah mengalami banyak kehilangan cairan
(misalnya perdarahan).

Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut:

- Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg

27
- Suhu>38 derajat Celcius
- Frekuensi nafas > 20 x /' menit
3. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial, dengan cara :

- Posisi kepala ditinggikan 30 derajat.


- Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% (hati-hati kontraindikasi). Dosis awal
1 gr / kg BB, berikan dalam waktu ½ - 1 jam, drip cepat , dilanjutkan
pemberian dengan dosis 0,5 gr / kg BB drip cepat, ½ - 1 jam, stlh 6 jam dari
pemberian pertama dan 0,25 gr / kg BB drip cepat, ½ - 1 jam setelah 12 jam
dan 24 jam dari pemberian pertama.
- Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek

PROGNOSIS

Sekitar setengah dari berat pasien cedera kepala akan memerlukan


pembedahan untuk menghilangkan hematoma (pembuluh darah pecah) atau memar
(jaringan otak memar). Kecacatan yang dihasilkan dari trauma kepala tergantung
pada tingkat keparahan cedera, lokasi cedera, dan usia dan status kesehatan umum
individu. Beberapa kecacatan umum termasuk masalah kognisi (berpikir, memori,
dan penalaran), pengolahan sensorik (penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan
bau), komunikasi (ekspresi dan pemahaman), dan perilaku atau kesehatan mental
(depresi, kecemasan, perubahan kepribadian , agresi, bertindak, dan ketidaktepatan
sosial). Cedera kepala yang lebih serius dapat mengakibatkan pingsan, yaitu keadaan
tidak responsif, tapi satu di mana seorang individu dapat terangsang secara singkat
oleh stimulus yang kuat, seperti rasa sakit yang tajam; koma, keadaan di mana
seorang individu benar-benar tidak sadar, tidak responsif, menyadari, dan
unarousable; kondisi vegetatif, di mana seorang individu tidak sadar dan tidak
menyadari nya lingkungan, tetapi terus memiliki siklus tidur-bangun dan periode
kewaspadaan; dan kondisi vegetatif (PVS), di mana seorang individu tetap dalam
keadaan vegetatif selama lebih dari sebulan.
28
DIFFUSE AXONAL INJURY
Diffuse axonal injury adalah terjadinya cedera otak difus dan disfungsi neuron
yang luas. Gaya/energi rotasi menyebabkan gesekan atau ‘shearing injury’ dan
regangan pada akson secara menyeluruh dan difus. 12

Diffuse axonal injury (DAI) adalah terjadinya kerusakan diffuse dari axon
yang terdapat di hemisfer cerebri, corpus callosum, batang otak, dan cerebellum
(Adams et al,1989). Distribusinya tidak simetris dan tidak homogeny, dengan tempat
yang tersering terkena DAI pada capsula interna, corpus callosum, dan superior
cerebellar peduncles (Ng,Mahaliyana dan Poon, 1994). DAI adalah istilah yang
digunakan untuk menerangkan koma berkepanjangan pasca trauma yang tidak
berhubungan dengan lesi massa atau iskemia. (Valadka AB,Narayan RK,1996).12

Beberapa istilah yang digunakan sebelumnya antara lain diffuse degeneration


of white matter, shearing injury matter,diffuse damage of immediate impact type,
diffuse white, dan inner cerebral trauma.(Graham DL,Mcintosh TK,1996).12

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SEL SARAF


Neuron merupakan sebuah sel yang berfungi untuk membentuk potensial aksi
(excitability), menerima dan menyampaikan impuls dari satu neuron ke neuron lain
melalui sinaps atau langsung ke efektor melalui neuro muscular junction
(Conductivity) dan sekresi berbagai macam neurotransmitter (Secretion).12
Neuron pada umumnya memiliki 3 bagian yaitu :12
1. Dendrit
Dendrit berfungsi untuk menerima impuls dari neuron lain dan mengirimkan
impulsnya ke badan sel
2. Badan sel
Pada bagian ini terdapat nucleus dimana terjadi sintesis protein. Badan sel
berfungsi untuk menerima impuls dari dendrite dan mengirimkan impuls di
sepanjang akson
3. Akson
Akson berfungsi untuk mengirimkan impuls ke neuron lain.

29
Pada bagian akson terdapat selubung myelin. Selubung ini dibentuk oleh sel
schwan dan berfungsi untuk mempercepat konduksi impuls pada neuron melalui
saltatoric conduction. Bagian akson yang tidak mendapat selubung myelin disebut
dengan nodus ranvier.

Struktur Jaringan Penyangga


Pada neuron juga terdapat jaringan yang terdiri sebagai berikut :
Sitoskeletal
Sitoskeletal merupakan protein-protein yang berfungsi sebagai otot dan tulang dari
sebuah sel. Ada 3 jenis sitoskeletal yaitu :13
1. Mikrotubule
Berbentuk panjang seperti selang terbentuk dari molekul tubulin. Berfungsi
untuk menjaga bentuk dari neuron dan memfasilitasi transfort vesikel di
neuron tersebut.
2. Microfilament
Terbentuk dari actin subunit untuk pergerakan ameboid
3. Intermediate filament
Terbentuk dari keratin sebagai kekuatan penahan dari mekanikal stress.

Transport akson
Transport vesikel pada neuron dapat terjadi dalam 2 jalur. Yaitu jalur
anterograde dan retrograde. Transport ini terjadi didaerah microtubule. Pada jalur
anterograde, terjadi pengiriman vesikel dari bahan sel menuju ke sepanjang akson
untuk kemudian dilepaskan pada ujung saraf. Pada jalur retrograde terjadi re-uptake
vesikel dari ujung saraf yang kemudian dikirim menuju badan sel.

Pembentukan Potensial Aksi


Pembentukan potensial aksi dari sebuah neuron terdiri dari tahapan-tahapan berikut :
1. Sodium masuk dan mendepolarisasi membrane
2. Potensial membrane harus mencapai -55mv karena itu merupakan minimal
untuk terbukanya Na dan K gates.
3. Setelah Na gates terbuka, Na masuk dengan cepat ke intraseluler. Pada
keadaan ini K gates juga terbuka, namun perlahan-lahan.

30
4. Setelah potensial melewati )mv, Na gates mulai terinaktivasi. Setelah semua
Na gates menutup dan Na influx berhenti maka potensial aksi akan berada
pada 35mv.
5. Pada kondisi tersebut K gates sudah terbuka penuh. Hal tersebut
menyebabkan pengeluaran K dari dalam sel, sebab potensial di dalam sel
sudah positif.
6. Karena K gates menutup lebih lama dari Na , maka terjadi penurunan
potensial yang drastic (hyperpolarization).
7. Setelah itu terjadi difusi dari ion-ion melalui membrane dan pembuangan K
sehingga potensial membrane kembali ke RMP (Resting Membran Potensial).

Traumatic Brain Injury (TBI)

Cedera pada otak dapat menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan pada


otak. Kerusakan yang timbul pada TBI dapat mengakibatkan efek yang langsung atau
tidak langsung. Efek yang langsung berarti bahwa kerusakan pada otak yang
disebabkan oleh trauma itu langsung muncul (contohnya pada perdarahan
intraserebri), sedangkan efek tidak langsung berarti efek yang terlambat (delayed)
muncul sejak terjadinya trauma dan terus berkembang secara progresif.14

Klasifikasi biomekanis dan neuropatologis dari TBI 15

Prinsip mekanisme utama dari Traumatic brain injury diklasifikasikan sebagai


berikut :

1. Kerusakan otak fokal yang disebabkan oleh trauma kontak yang menimbulkan
terjadinya kontusi, laserasi dan perdarahan intracranial.
2. Kerusakan otak yang difus karena akselerasi atau deselerasi yang
menyebabkan terjadinya DAI atau pembegkakan otak.
B. PATOFISIOLOGI UMUM PADA TBI 15

Tahapan awal dari TBI terlihat sebagai kerusakan jaringan langsung dan
gangguan dari regulasi perfusi darah otak (CBF) dan metabolism yang pada akhirnya

31
menyebabkan terjadinya iskemia. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi dari
asam laktat yang disebabkan oleh anaerobic glikolisis. Peningkatan permeabilitas
membran dan pembentukan edema. Lama kelamaan karena kekurangan energy,
penyimpanan ATP di sel habis dan terjadi kegagalan dari pompa Na, K, ATS ase.

Tahapan kedua terlihat sebagai depolarisasi membrane dengan pengeluaran


neurotransmitter eksitatori (glutamate, aspartat), aktivasi NMDA, Ca gates dan Na
gates. Influx dari Na dan Ca menyebabkan terjadinya proses katabolisme intraseluler.
Ca menyebabkan aktivasi dari lipid peroksidase, protease, dan fosfolipase.
Selanjutnya aktipasi dari caspaces, translocases dan endonucleases menyebabkan
perubahan struktur yang progresif dari membrane dan DNA nucleus (terjadi
fragmentasi DNA dan penghambatan perbaikan DNA). Bersama-sama kejadian ini ini
menyebabkan terjadinya degradasi membrane dari struktur vaskuler dan seluler dan
akibatnya menyebabkan terjadinya nekrosis atau apoptosis. Nekrosis terjadi sebagai
respon terhadap kerusakan jaringan secara mekanis atau kerusakan jaringan karena
hipoksia dengan pengeluaran neurotransmitter eksitori dan kegagalan metabolisme.
Apoptosis terjadi karena ketidakseimbangan antara pro dan anti protein. Apoptosis
terjadi pada neuron yang secara morfologis normal.

DAI terjadi karena akson mengalami tarikan atau robekan pada daerah
perbatasan antara white matter dengan grey matter dari otak saat otak mengalami
akselerasi, deselerasi atau rotasi.16 korteks serebri tersusun oleh lapisan-lapisan grey
dan white matter (grey cortical matter, subcortical white matter, deep grey matter
nuclei dari basal ganglia dan white matter dari kapsula interna). Lapisan ini memiliki
kepadatan jaringan yang berbeda dan juga bermanifestasi secara berbeda pada saat
terjadi trauma pada kepala.perbatasan pada grey dan white matter ini biasanya
menjadi tempat terjadinya injury sebab dua lapisan tersebut berakselerasi dan
berdeselerasi secara berbeda tergantung dari kepadatan jaringannya.17

32
Daerah otak yang mengalami lesi paling parah pada DAI biasanya pada
daerah yang secara anatomis paling mendapat tarikan baik rotasi atau akselerasi yang
paling hebat, yaitu daerah midline dari otak. Bagian-bagian itu adalah :13
-
Dorsolateral dari midbrain dan pons (paling sering)14
-
Posterior corpus collosum
-
Parasagital dari white matter
-
Periventricular region
-
Kapsula internal (jarang)

Manifestasi klinis dari DAI ini sangat berarti, tergantung dari tingkat
keparahannya. Ada yang sampai terjadi kehilangan kesadaran, ada juga yang hanya
mengalami kebingungan sesaat. Pada cedera kepala, kita dapat menentukan apakah
ini merupakan DAI atau hanya konkusi otak. Salah satu caranya adalah dengan
melihat kesadaran dari pasien.

1. Apabila terjadi perubahan kesadaran (dapat berupa kebingungan atau


kehilangan kesadaran) yang kurang dari 6 jam, maka dapat disimpulkan
yang terjadi adalah konkusi otak. Pada konkusi otak biasanya kesadaran
berangsung pulih dengan cepat dapat dalam hitungan menit sampai jam.14
2. Apabila terjadi koma yang lebih dari 6 jam, maka dapat disimpulkan yang
terjadi adalah DAI.14
-
Kehilangan kesadaran 6-24 jam : Mild DAI
-
Kehilangan Kesadaran >24 jam : Moderate/Severe DAI

Pada kasus severe DAI biasanya terdapat gejala berupa ekstensi abnormal
dari ekstremitas dan disfungsi autonomic seperti bradikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, demam. Hal ini disebabkan karena adanya lesi pada daerah
hipotalamus dan brain stem.

Pada pasien DAI pemulihan kesadaran sangat bervariasi. Ada yang sampai
berbulan-bulan atau bahkan dapat sampai bertahun-tahun. Pada saat sadar, pasien

33
juga biasanya mengalami gangguan kognitif, terjadi spastisitas anggota gerak dan
ataksia.

Secara makroskopis, pada gambaran CT scan kepala DAI terlihat sebagai lesi
multiple yang hiperintense yang tersebar pada perbatasan antara gray dan white
matter.4 Sedangkan pada MRI selain terlihat lesi hiperintense pada perbatasan antara
gray dan white matter, dapat juga terlihat robekan jaringan. 18 selain itu, seiringnya
berjalan waktu degenerasi Wallerian dapat menyebabkan terjadinya atrofi. Dan atrofi
itu kadang terlihat sebagai dilatasi ventrikel (ex vacuo hydrocephalus).21

Secara mikroskopis biasanya akan terlihat axonal retraction bulb (ARB) pada
white matter pada otak.17 ARB merupakan sebuah eosinophilic bulb yang terbentuk
karena terjadinya retraksi pada akson.17

DAI juga dapat dikelompokkan berdasarkan gambaran histologisnya.16

1. Pada grade 1, terlihat secara histologis kerusakan axon pada daerah white
matter di hemisfer serebri, batang otak atau serebelum. Walaupun tanpa
adanya gambaran makroskopis atau histologis klasik dari DAI berupa
perdarahan dan nekrosis pada korpus kolosum atau pada pedunkulus serebri
superior.
2. Pada grade 2, terlihat kerusakan secara makroskopis atau histologis lesi di
daerah korpus kolosum.
3. Pada grade 3, terlihat secara makroskopis atau histologis lesi di daerah korpus
kalosum dan dorsolateral dan brainstem

C. PATOGENESIS DAI

Pathogenesis DAI dikelompokkan berdasarkan stadium keparahannya sebagai


berikut:

1. Stage 1 : axonal membrane injury dan alterasi dari ion flux

34
Bagian yang paling lemah dari axon adalah nodus ranvier. Pada sebuah
penelitian, tarikan kecil pada axon dapat menyebabkan perubahan ion flux
yang menyebabkan kegagalan dari pembentukan dan penyebaran potensial
aksi. Perubahan yang paling signifikan adalah peningkatan intaseluler Ca.
namun gangguan ion flux ini dapat direstorasi dalam hitungan menit. Pada
penelitian gangguan ion ini disebabkan oleh mechanoporation yaitu terjadinya
celah atau pori-pori pada membrane sel sehingga meningkatkan permeabilitas
membrane terhadap ion, terutama Ca.
2. Stage 2 : reversible sitoskeleton damage
Apabila tarikan pada axon lebih hebat lagi, maka selain terjadi gangguan ion
flux dapat terjadi pembengkakan dari axon dan gangguan pada transfor axon.
Hal ini menyebabkan terjadinya axonal varicosities.
3. Stage 3 : secondary axonotomy
Pada tarikan axon yang hebat pada awalnya akan terjadi gangguan ion flux
yang parah, kemudian gangguan ini menyebabkan terjadinya gangguan
struktural yang berujung pada axonotmesis. Axonotmesis merupakan
gangguan pada axon dan selubung myelin dimana jaringan penunjang seperti
endoneurium, perineurium dan epineurium tetap intak.18 pada axonotmesis
biasanya terjadi degenerasi Wallerian pada bagian proximal neuron yang
terkena.
4. Stage 4 : primary axotomy
Primary axotomy merupakan bentuk paling parah dari DAI. Axonotomy ini
terjadi karena tarikan mekanis yang berlebihan sehingga terjadi pemotongan
pada akson

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa trauma tarikan dapat


menyebabkan 3 tipe axonal injury yaitu :

1. Gangguan fungsional tanpa perubahan struktur seperti yang terjadi pada


konkusi.
2. Primary axotomy
3. Delayed atau secondary axotomy

35
Proses terjadinya gangguan Transfort pada Akson sebagai akibat dari gangguan
transfort akson.17

Tarikan pada akson akan menyebabkan terjadinya gangguan pada ion flux dan
transfort akson. Hal ini pada umumnya akan terjadi pada daerah lobus ranvier.
Gangguan ini menyababkan terjadinya akumulasi dari organel pada sitoskeletal
sehingga muncul pembengkakan yang disebut dengan axonal varicosities. Pada
proses ini, apabila terus berlanjut gangguan influx ion terutama Ca mengaktifkan
protease (calpians) dan fosfolipase. Calpains merupakan protein yang bertanggung
jawab dalam degradasi dari sitoskeleton. Sehingga terhadi degradasi dari protein
sitoskeletal seperti spectrin, neurofilamen dan microtubules. Kemudian fosfolipase
menyerang membrane sel sehingga mengaktifkan berbagai mediator inflamasi.

Akhirnya hal ini menyebabkan terjadinya axonotmesis. Axonotmesis


merupakan gangguan pada axon dan selubung myelin dimana jaringan penunjang
seperti endoneurium, perineurium dan epineurium tetap intak. Setelah ini, maka
pembengkakan akan bertambah dan transfort akson akan berhenti tetal sehingga pada
akhirnya membentuk aksonal speroid. Apabila hal ini terus berlanjut, maka akan
terjadi axotomy, dan terjadi degenerasi Wallerian. Sedangkan sisa dari speroid itu
akan membentuk yang disebut dengan axonal aetraction bulb (ARB).

Mechanoporation, Ca Influx dan Gangguan Sitoskeleton pada DAI21

36
Meskipun fenomena pasti menyebabkan gangguan pada axon masih belum
pasti. Beberapa hipotesis memfokuskan pada axolemma dan sitoskeletal sebagai
focus utama dari injury.16

Gangguan pada axolemma dikatakan pada berbagai jurnal sebagai


abnormalitas yang menyebabkan terjadinya axotomy. Gangguan ini disebabkan oleh
tarikan oleh tarikan mekanis yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
membrane (mechanoporation) terhadap ion Ca pada akson. Meningkatnya intraseluler
Ca mengaktifkan enzim proteolitik yang akhirnya akan merusak sitoskeleton,
mengganggu transfor akson dan menyebabkan terjadinya secondary axotomy.16

Hipotesis lain mengatakan efek mekanis dari tarikan ini menyababkan


kerusakan pada sitoskeletal yang menyebabkan terjadinya gangguan transfor akson.
Gangguan transfor akson inilah yang lama kelamaan menyebabkan terjadinya
pembengkakan akson yang dapat berkembang menjadi axonotmesis.16

Pada penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perubahan permeabilitas


ion pada axolemma selalu terjadi pada DAI. Pada beberapa penelitian juga
mengatakan bahwa penumpukan Ca dapat menjadi penyebab terjadinya
pembengkakan mitokondria pada sel saraf. Pembengkakan ini menyebabkan
terjadinya kegagalan mitokondria dan gangguan transport energy pada aolemma.
Kekurangan energy menyebabkan gangguan pada homeostasis ion pada axolemma
yang akhirnya menyebabkan peningkatan influx Ca. peningkatan ini akhirnya
berujung pada secondary axotomy. Beberapa percobaan telah menyebutkan bahwa
proses ini dapat dihambat dengan pemberian obat seperti Cyclosporin A.16

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya DAI bukan hanya


disebabkan semata-mata oleh lesi primer (primary axotomy) tapi juga dapat
disebabkan oleh proses yang kompleks dan panjang sampai berujung pada
axonotmesis, karena itu DAI juga bisa disebabkan oleh lesi sekunder (secondary
axotomy).16

37
D. PENATALAKSANAAN
1. Magnesium 16
Pada DAI biasanya terjadi penurunan konsentrasi Mg sampai 1 minggu
setelah injury. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa Mg dapat
memberikan efek neuroproteksi pada injury dari akson. Pemberian Mg ini
paling berpengaruh pada < 24 jam setelah terjadinya trauma. Mg memiliki
kemampuan untuk mengaktfkan Na, K, ATP pump. Namun, disamping semua
itu efek paling penting dari Mg adalah blocking pada Chanel NMDA.
2. Hipotermia
Hipotermia memiliki efek perbaikan sitoskeleton akson pada DAI. Hal ini
dibuktikan pada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa hipotermi
sedang (32 derajat) dapat memngurangi kehilangan microtubule dan
neurofilamen terutama pada 4 jam setelah injury.
3. Cyclosporin
Influx Ca ke dalam mitokondria yang dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan mitokondria yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya
secondary axotomy. Cyclosporine ini berfungsi untuk menghambat influx Ca
ke dalam mitokondria.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. America Association of Neurological Surgeon. Anatomy of Brain. United States


of America:2015. Diakses tanggal 24 September 2015 pukul 15.00: www.ans.org
2. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Suport. United States of
America:1997.

3. Brain Injury Association of America. Definition of Brain injury. United State of


America:2015. Diakses tanggal 23 September 2015 pukul 20.00:
www.biausa.nih.gov

4. Bernath D. Head Injury.2009. Diakses tanggal 23 September 2015 pukul 20.00


www.e-medicine.com

5. Japardi I. Cedera Kepala. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia: Jakarta:2004.

6. Mendelow AD. Pathophysiology of Head Injury. Br.J.Surg vol:1983 70 641-50.

7. Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal.


Jakarta : Perdossi ; 2006.

39
8. National Institute of Neurological Disorder and stroke. NINDS Traumatic Brain
Injury. 2014 Diakses tanggal 24 September 2015 pukul 20.00:
www.ninds.nihgov/disorder/tbi/tbi.htm

9. National Institute of Neurological Disorder and stroke. Subdural Hematom CT


Scan. 2015. www.ninds.nih.gov.

10. Price DD. Epidural Hematom in Emergency Medicine. 2015. Diakses tanggal 24
September 2015 pukul 18.00: www.emedicine.medscape.com

11. Werner C. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Oxford Journal:2015.


Vol.99 pp 4-9

12. Sherwood, Lauralee, Human Phisiology from Cell to System. Edisi ke-5. 2006.
Canada: Thomson.
13. Burst, John. Current Diagnisis and Treatment in Neurology. 2008. New York:
14. McGrawHill.
15. Brown, Ropper. Adam and Victor Principle’s of Neurology. Edisi 8. 2008. New
York: McGrawl Hill.
16. Shuquillo, J. Current Aspects of Pathophysiology and Cell Dysfunction after
Severe Head Injury. Medline. 2009.
17. Fauci, Braunwald. Harrison’s Principles on Internal Medicine. Edisi 17. 2008.
New York McGrawl Hill.
18. Wasserman, Jeffrey, Diffuse Axonal Injury Imaging/ eMedicine.2008
19. Werner, C: Engelhard, K. Pathophysiplogy of Traumatic Brain Injury. British
Journal of Anasthesia. 2007.

40

Anda mungkin juga menyukai