Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CIDERA KEPALA BERAT

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:

ASTUTI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM

PENDIDIKAN PROFESI NERS

PONTIANAK

2022
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi Cedera Kepala Berat


Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis, RS Dr. Sardjito). Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (Mansjoer Arif, dkk, 2015). Cedera kepala atau trauma kepala adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar
jaringan otak (B.Batticaca, 2018). Cedera kepala berat merupakan cedera
kepala yang mengakibatkan pasien mengalami gangguan kesadaran, sehingga
memiliki nilai GCS ≤ 8 (Brunner & Suddarth, 2012).

2. ANATOMI dan FISIOLOGI


Sistem persarafan terdiri atas otak, medulla spinalis, dan saraf perifer.
Struktur ini bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengordinasikan
aktivitas sel tubuh melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras secara langsung dan
terus-menerus. Perubahan potensial elektrik menghasilkan respon yang akan
mentransmisikan sinyal-sinyal.

a. Otak
Otak dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu serebrum, batang otak, dan
serebellum. Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera.
Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang
frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Dasar tengkorak terdiri atas tiga
bagian fosa (fossa), yaitu bagian fosa anterior (berisi lobus frontal, serebral
bagian hemisfer), bagian fosa tengah (berisi batang otak dan medula)
b. Meningen

Bagian bawah tengkorak dan medulla spinalis ditutupi oleh tiga


membrane atau meningen. Komposisi meningen berupa jaringan serabut
penghubung yaitu melindungi, mendukung, dan memelihara otak. Meningen
terdiri dari duramater, arakhnoid, dan piamater.
1) Duramater
Adalah lapisan paling luar yang menutupi otak dan medulla spinalis,
duramater merupakan serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal,
dan tidak elastis.
2) Arakhnoid
Arakhnoid merupakan membrane bagian tengah yang tipis dan lembut
yang menyerupai sarang laba-laba, membrane ini berwarna putih karena
tidak dialiri aliran darah. Pada dinding arakhnoid terdapat pleksus
khoroid yang memproduksi cairan cerebrospinal (CSS). Pada orang
dewasa, jumlah CSS normal yang diproduksi adalah 500 ml/hari dan
sebanyak 150 ml diabsorbsi oleh vili. Vili juga mengabsorbsi CSS pada
saat darah masuk ke dalam system (akibat trauma, pecahnya aneurisma,
stroke, dan lainnya) dan yang mengakibatkan sumbatan. Bila vili
arakhnoid tersumbat (peningkatan ukuran vertikal) dapat menyebabkan
hidrosefalus.
3) Piamater
Piamater adalah membrane yang paling dalam berupa dinding tipis dan
transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.

c. Serebrum

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer
serebri dan dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus
kalosum dan empat lobus, yaitu lobus frontal (terletak didepan sulkus pusat
sentralis) lobus parietal (terletak dibelakang sulkus pusat dan di atas sulkus
lateral), lobus oksipital (terletak dibawah sulkus parieto-oksipital) dan lobus
temporal (terletak dibawah sulkus lateral). Hemisfer dipisahkan oleh suatu
celah dalam yaitu fisura longitudinalis serebri, dimana ke dalamnya terjulur
falx serebri.
Lapisan permukaan hemisfer disebut korteks, disusun oleh substansi
grisea. Substansia griseria terdapat pada bagian luar dinding serebrum
bagian dalam. Pada prinsipnya komposisi substansia griseria yang terbentuk
dari badan-badan sel saraf memenuhi korteks serebri, nucleus, dan basal
ganglia. Substansia alba terdiri atas sel-sel saraf yang menghubungkan
bagian-bagian otak yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri berisi
jaringan system saraf pusat. Area inilah yang mengontrol fungsi motorik
tertinggi, yaitu fungsi individu dan intelegensia.
1) Lobus Frontal
Lobus frontal merupakan lobus terbesar yang terletak pada fosa anterior,
area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian,
dan menahan diri
2) Lobus Parietal
Lobus parietal disebut juga lobus sensorik. Area ini menginterpretasikan
sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal
mengatur individu untuk mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
Kerusakan pada daerah ini menyebabkan sindrom Hemineglect.
3) Lobus Temporal
Lobus temporal berfungsi untuk mengintegrasikan sensasi pengecap,
penciuman, dan pendengaran. Memori jangka pendek sangat
berhubungan dengan daerah ini.
4) Lobus Oksipital
Lobus oksipital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian ini
bertanggungjawab menginterpretasikan penglihatan.
5) Korpus Kalosum
Korpus kalosum adalah kumpulan serat-serat saraf tepi. Korpus kalosum
menghubungkan kedua hemisfer otak dan bertanggungjawab dalam
transmsi informasi dari salah satu sisi otak ke bagian lain. Informasi ini
meliputi sensorik memori dan belajar menggunakan alat gerak kiri.
Beberapa orang yang dominan menggunakan tangan kiri mempunyai
bagian serebri kiri dengan kemampuan lebih pada bicara, bahasa,
aritmatika, dan fungsi analisis. Daerah hemisfer yang tidak dominan
bertanggungjawab dalam kemampuan geometric, penglihatan, serta
membuat pola dan terletak di bagian terdalam hemisfer serebri,
bertanggungjawab mengontrol gerakan halus tubuh, kedua tangan, dan
ekstremitas bagian bawah.
d. Diensefalon
Merupakan bagian dalam dari serebrum yang menghubungkan otak
tengah dengan hemisfer serebrum, dan tersusun oleh talamus, hipotalamus,
epitalamus, dan subtalamus.
e. Talamus
Merupakan suatu kompleks inti yang berbentuk bulat telur dan
merupakan 4/5 bagian dari diensefalon. Bagian ini terletak di lateral
ventrikel III. Bagian atasnya berbatasan dengan velum interpositum dan
ventrikel lateral. Di bawahnya terdapat hipotalamus dan subtalamus.
Talamus sering disebut “gerbang kesadaran” mengingat fungsinya sebagai
stasiun penyampaian semua impuls yang masuk sebelum mencapai korteks
serebri.
f. Hipotalamus
Terletak tepat di bawah talamus dan dibatasi oleh sulkus hipotalamus.
Hipotalamus berlokasi di dasar diensefalon dan sebagian dinding lateral
ventrikel III. Hipotalamus meluas ke bawah sebagai kelenjar yang terletak
di dalam sela tursika os sfenoid.
g. Epitalamus
Merupakan bagian yang terletak di posterior ventrikel III dan terdiri dari
nukleus dan komisura habenulare, korpus pineal dan komisura posterior.
Nukleus dan komisura habenulare berhubungan dengan fungsi sistem
limbik, sedangkan komisura posterior berkaitan dengan reflek-reflek sistem
optik. Korpus pineal (kelenjar epifise) menghasilkan hormon melatonin
yang mempengaruhi modulasi pola bangun-tidur.
h. Subtalamus
Merupakan bagian dari diensefalon yang terletak antara talamus dan
hipotalamus. Bagian ini berperan penting dalam meregulasi pergerakan
yang dilakukan oleh otot rangka. Subtalamus berkaitan dengan struktur
penting dalam pergerakan seperti basal ganglia dan substansia nigra.
i. Batang Otak
Batang otak terletak pada fosa anterior. Batang otak terdiri atas
mesenfalon, pons, dan medulla oblongata. Otak tengah atau mesenfalon
adalah bagian sempit otak yang melewati incisura tertorii yang
menghubungkan pons dan serebellum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini
terdiri atas jalur sensorik dan motorik serta sebagai pusat terletak di depan
serebellum, diantara mensefalon dan medulla oblongata dan merupakan
jembatan antara dua bagian serebrum, serta antara medulla dan serebrum.
Pons berisi jaras sensorik dan motorik.
Medulla oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari medulla
spinalis ke otak. Medulla oblongata berbentuk kerucut yang
menghubungkan pons dengan medulla spinalis. Serabut-serabut motorik
menyilang pada daerah ini. Pons juga berisi pusat-pusat penting dalam
mengontrol jantung, pernafasan, dan tekanan darah serta sebagai inti saraf
otak ke 5 s/d ke 8.
j. Serebellum (Otak kecil)
Serebellum dan batang otak menempati fosa kranialis posterior, yang
mempunyai atap tentorium sebagai pemisah serebellum dan serebrum.
Permukaan serebellum berbeda dengan serebrum, karena tampak berlapis-
lapis. Kedua hemisfer serebellum dipisahkan oleh suatu subdivisi kortikal
berbentuk seperti cacing yang disebut vermis. Bagian rostral vermis disebut
lingula dan bagian kaudalnya disebut nodulus. Korteks nodulus meluas ke
lateral sebagai subdivisi dengan nama flokulus.

3. Etiologi Cedera Kepala Berat

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Trauma benda tajam

c. Trauma benda tumpul

d. Kejatuhan benda berat

e. Kecelakaan industri

Menurut Ginsberg (2017), cedera kepala disebabkan oleh :


a. Kecelakaan lalu lintas/industry

b. Jatuh

c. Benturan benda tajam/ tumpul

d. Trauma pada saat kelahiran

e. Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)

f. Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)

g. Trauma tembak dan pecahan bom

4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Trauma saraf primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala
neurologis yang tergantung pada lokasi kerusakan. Kerusakan system saraf
motorik yang berpusat di bagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan
kelumpuhan pada sisi lain. Gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan
ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dijumpai
gangguan dalam lapang pandang, kerusakan di lobus parietalis menimbulkan
gangguan sensibilitas kulit pada sisi bertentangan. Pada kerusakan lobus
frontalis bagian lateral bawah sisi dominan akan terjadi afasia. Gangguan dalam
lobus temporalis dapat mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsy
lobus temporalis.( Markam,2016)
Beberapa gejala dan kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita
cedera kepala disebabkan adanya kerusakan atau perangsangan di daerah
hipotalamus. Pada kerusakan di bagian depan hipotalamus akan terjadi
hipertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena
konstriksi vena. Retensi air natrium dan klor yang terjadi pada hari-hari pertama
setelah trauma tampaknya disebabkan oleh dilepasnya hormone antidiuretik dari
daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
( Markam,2016)
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan dalam urin
dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negative.
Hiperglikemia dan glukosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat di
dalam batang otak. ( Markam,2016)
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau
sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan servikomedula, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
(Markam,2016)
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah flaksi diatas umum ynag terjadi pada
lesi transversal di bawah nucleus nervus statoakustikus, rigiditas deserebrasi
pada lesi transversal setinggi nucleus ruber, lengan dan tungkai kaku dalam
sikap ekstensi dan rigiditas dekortikasi, yaitu tungkai kaku dalam sikap ekstensi
dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku terjadi bila hubungan
batang otak dengan korteks serebri terputus.( Markam,2016)
Mutisme akinetik timbul pada kedua kerusakan system formasio retikularis
yang terputus pula hubungannya dengan korteks otak. Pada mutisme akinetik ini
atau disebut juga koma vigil pasien hidup pada taraf vegetative. Reaksi terhadap
rangsangan sangat sedikit. Gejala-gejala parkinsonisme timbul pada kerusakan
ganglion basal. Kerusakan saraf-saraf cranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala-gejala neurologis yang khas. Napas yang dangkal tidak
teratur yang dijumpai pada kerusakan medulla oblongata akan mengakibatkan
timbulnya asidosis. Napas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan
setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosis respiratori.( Markam,2016)
Cedera kepala pada kecelakaan lalu lintas pada umumnya kepala yang
sedang bergerak terbentur pada benda yang diam. Pada cedera demikian dapat
terjadi komosio serebri, kontusio serebri, hematoma epidural, hematoma
subdural, hematoma subaraknoid atau kombinasi antara jenis-jenis perdarahan
ini.(Markam,2016)
Di samping itu dapat pula timbul fraktura pada tengkorak yang jalannya
tergantung pada kekuatan dan tempat benturan pada kepala. Dari pemeriksaan
seorang penderita dengan cedera kepala, terutama sekali yang berat, seorang
dokter harus dapat menarik kesimpulan tentang kelainan-kelainan yang mungkin
terjadi pada dan di dalam tengkorak. (Markam,2016)
Tekanan Intrakranial (TIK) adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala
terhadap tekanan atmosfer yang dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak,
volume darah intrakranial, dan cairan serebrospinal (CSS) dalam tengkorak pada
satu satuan waktu. Keadaan normal dari tekanan intrakranial bergantung pada
posisi pasien dan berkisar kurang atau sama dengan 15 mmHg.(Brunner &
Suddarth,2015)
Ruang kranial yang kaku berisi jaringan otak (1400 gr), darah (75 ml), dan
cairan serebrospinal (75 ml). Volume dan tekanan pada ketiga komponen ini
selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan. Hipotesa Monro-Kellie
Burrows menyatakan bahwa karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di
dalam tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini
menyebabkan perubahan pada volume yang lain, dengan mengubah posisi atau
menggeser CSS, meningkatkan absorbsi CSS, atau menurunkan volume darah
serebral. Tanpa adanya perubahan, tekanan intra kranial akan naik. Bila pada
suatu keadaan dimana didapatkan adanya suatu penambahan massa intrakranial,
maka sebagai kompensasi awal adalah penurunan volume darah vena dan likuor
secara resiprokal. Sistem vena akan segera menyempit bahkan kolaps dan darah
akan diperas ke luar melalui vena jugularis atau melalui vena-vena emisaria dan
kulit kepala. Kompensasi selanjutnya adalah CSS juga akan terdesak melalui
foramen magnum ke arah rongga subarakhnoid spinalis. Mekanisme kompensasi
ini hanya berlangsung sampai batas tertentu yang disebut sebagai titik batas
kompensasi dan kemudian akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang
hebat secara tiba-tiba.(Brunner & Suddarth,2015)
Dalam keadaan normal, perubahan ringan pada volum darah dan volum
CSS yang konstan tidak ada perubahan, tekanan intra torakal (seperti batuk,
bersin, tegang), perubahan bentuk dan tekanan darah, dan fluktuasi kadar gas
darah arteri. Keadaan patoligis seperti cidera kepala, strok, lesi karena radang,
tumor otak, bedah intra kranial mengubah hubungan antara volum intra kranial
dan tekanan.(Brunner & Suddarth,2015)
Edema serebral. Edema atau pembengkakan serebral terjadi bila air yang
ada peningkatan di dalam sistem saraf pusat. Adanya tumor otak di hubungkan
dengan produksi yang berlebihan dari hormon antidiuretik, yang hasilnya terjadi
retensi urin. Bahkan adanya tumor kecil dapat menimbulkan peningkatan TIK
yang besar.(Brunner & Suddarth, 2015)
Edema serebri didefinisikan sebagai suatu keadaan peningkatan volume
otak akibat peningkatan muatan cairan di jaringan otak. Ada tiga jenis edema
serebri, yaitu edema vasogenik, edema sitotoksik, dan edema interstisial.
Edema vasogenik adalah bentuk edema otak yang paling sering dijumpai,
terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler, di mana tight junction sel
endotel kapiler menjadi tidak kompeten karena kerusakan sawar darah otak
sekuler keluar menuju ruang interstisel. Edema vasogenik terjadi pada kasus-
kasus trauma, tumor, dan abses. (Satyanegara,2015)
Edema sitotoksik biasanya terjadi sebagai akibat adanya hipoksia jaringan
saraf. Hipoksia menyebabkan kelumpuhan mekanisme pompa Na-ATP
dependen, sehingga terjadi akumulasi natrium intraseluler serta diikuti oleh
mengalirnya air ke dalam sel untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.
(Satyanegara,2015)
Edema Interstisiel merupakan akibat dari transudasi CSS pada kasus
hidrosefalus. Tampilan edema pada CT Scan terlihat sebagai area hipodedens
periventrikuler akibat rembesan transependimal. (Satyanegara,2015)
Herniasi terjadi bila jaringan otak bergeser dari daerah tekanan tinggi ke
tekanan rendah. Herniasi jaringan berupa pergeseran sesuatu yang mendesak
tekanan dalam daerah otak dan mengganggu suplay darah ke daerah tersebut.
Penghentian aliran darah serebral menyebabkan hipoksia serebral yang
menunjukkan “kematian otak”. (Satyanegara,2015)
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai efek sekunder, walaupun
peningkatan TIK sering di hubungkan dengan cedera kepala, namun tekanan
yang tinggi dapat terlihat sebagai pengaruh sekunder dari kondisi lain : tumor
otak, perdarahan subaraknoid, keracunan, dan ensifalopati virus. Sehingga
peningkatan TIK adalah penjumlahan dari proses fisiologi. Peningkatan TIK dari
penyebab apapun mempengaruhi perfusi serebral dan menimbulkan distorsi dan
bergesernya otak. (Brunner & Suddarth,2015)
Respon serebral terhadap peningkatan TIK. Ada 2 keadaan penyesuaian
diri terhadap peningkatan TIK yaitu, kompensai dan dekompensasi.
Kompensasi selama fase kompensasi otak dan komponennya dapat
mengubah volume untuk memungkinkan pengembangan volume jaringan otak.
TIK selama fase ini kuranga dari tekanan arteri, sehingga dapat mempertahankan
tekanan perfusi serebral. Tekanan perfusi serebral di hitung dengan mengurangi
nilai TIK dari tekanan arteri rerata (TAR). Nilai normal tekanan perfusi serebral
(TPS) adalah 60-150 mmHg. Mekanisme auto regulator dari otak, mengalami
kerusakan akan menyebabkan tekanan perfusi serebral (TPS) lebih dari 150
mmHg atau kurang dari 60. Pasien dengan tekanan perfusi serebral (TPS)
kurang dari 50 memperlihatkan disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih
kembali. Hal ini terjadi di sebabkan oleh penurunan perfusi serebral yang
mempengaruhi perubahan keadaan sel dan hipoksis serebral. (Brunner &
Suddarth, 2015)
Dekompensasi. Keadaan fase dekompensasi di mulai dengan tidak
efektifnya kemampuan otak untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dalam
keadaan volume yang sudah terbatas. Fase ini menunjukan keadaan perubahan
status mental dan tanda-tanda vital, bradikardi, tekanan denyut nadi melebar, dan
perubahan pernapasan. Pada titik ini, terjadi herniasi batang otak dan sumbatan
aliran darah serebral dapat terjadi bila pengobatan tidak dilakukan. (Brunner &
Suddarth,2015)
Dengan kenaikan TIK, sebuah respon cushing dapat terjadi. Trias cushing
klasik antara lain hipertensi sistemik, dan depresi napas. Respon ini biasanya
terjadi ketika perfusi serebri, sebagian batang otak berkurang karena peningktan
TIK. Bradikardi disini cenderung merupakan akibat dari perangsangan vagus
dan bukan karena pengarus sinus karotikus. Pada saat tekanan melampaui
kemampuan otak untuk berkompensasi, maka untuk meringankan tekanan, otak
memindahkan kebagian kaudal atau herniasi ke bawah. Sebagai akibat dari
herniasi, batang otak akna terkena pada berbagai tingkat, yang mana
penekanannya bisa mengenai pusat vasomotor, arteri serebral posterior, saraf
akulimotorik, traktus kortiko spinal dan serabut-serabut saraf ascending
reticular activating system. Akibatnya akan menggangu mekanisme kesadaran,
pengaturan tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan temperatur tubuh.
Tetapi anti hipertensi selama ini dapat memicu iskemik serebri dan kematian sel
yang kritis. (Duus,2016)
Aliran darah serebral. Peningkatan TIK secara siknifikan menurunkan
aliran darah dan menyebabkan iskemia. Bila terjadi iskemia komplit dan lebih
dari 3-5 menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat di perbaiki. Pada
keadaan iskemia serebral, pusat fasomotor terstimulasi dan tekanan sistemik
meningkat untuk mempertahankan aliran darah. Keadaan ini sering disertai
dengan lambatnya denyutan pembuluh darah dan pernapasan yang tidak teratur.
Perubahan dalam tekanan darah, frekuensi nadi adalah gejala klinis yang
penting, yang memperlihatkan peningkatan tekanan intrakranial.(Brunner &
Suddarth,2015)
Konsentrasi karbondioksida dalam darah dan dalam jaringan otak dan
berperan dalam pengaturan aliran darah serebral. Tingginya tekanan
karbondioksida parsial menyebabkan dilatasi pembuluh darah serebral, yang
berperan penting dalam peningkatan aliran darah serebral dan peningkatan TIK,
sebaliknya menurunnya PaCO2 menyebabkan fase konstriksi. Menurunya darah
vena yang keluar dapat mrningkatkan volume darah serebral yang akhirnya
menyebabkan peningkatan tekanan intara kranial.(Brunner & Suddart,2015)
Dalam keadaan fisiologis ada tiga faktor utama yang berperan pada
pengaturan aliran darah otak, yaitu tekanan darah sistemik, karbondioksida, dan
kadar ion H+ dalam darah arteri. Kemampuan untuk memelihara tingkat aliran
darah ke dalam otak pada nilai yang konstan di dalam rentang tekanan arteri
rata-rata yang cukup lebar, yaitu sebagai mekanisme otoregulasi. Bila tekanan
arteri rata-rata rendah, arteriol serebral akan mengalami dilatasi untuk membuat
aliran darah otak (ADO) yang adekuat pada tekanan darah sistemik yang tinggi,
arteriol akan mengalami konstriksi sehingga aliran darah otak (ADO) akan tetap
terpelihara dalam kondisi fisiologis. Bila tekanan arteri rata-rata menurun
sampai di bawah 90 mmHg seperti pada keadaan syok, perfusi otak menjadi
tidak adekuat. (Satyanegara, 2015)
Kadar karbon dioksida dalam darah merupakan faktor paling potensial
untuk menyebabkan, dilatasi vaskuler otak. Peningkatan PCO2 dalam darah dari
15-80 mmHg akan meningkatkan aliran darah otak secara bertahap.
Hiperventilasi (menurunkan CO2 darah) akan menurunkan aliran darah dan
volume darah otak. Akan tetapi, bila PCO 2 dalam darah kurang dari 15 mmHg
atau lebih dari 80 mmHg maka yang terjadi adalah kelumpuhan pembuluh darah
atau disebut vasoparalisa. (Satyanegara,2015) pergeseran otak atau hernia.
Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas
dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh
otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau
duaduanya (Brunner & Suddarth, 2012).

5. Tanda dan Gejala Cedera Kepala Berat

a. Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%)

b. Hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg)


c. Gangguan kesadaran

d. Abnormalitas pupil

e. Defisit neurologic

f. Hemiparase

g.

h. Kejang

i. Perubahan tanda-tanda vital

j. Mual dan muntah

k. Vertigo, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan


pendengaran.
l. GCS < 8 (Mansjoer Arif ,dkk ,2015).

Tanda gejala menurut jenis pendarahannya, antara


lain :

a. Epidural Hematoma

Gejala-gejala yang terjadi : Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala,


Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat
kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.

b. Subdural Hematoma

Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk,


menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil Perdarahan
intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh
darah arteri; kapiler; vena.

c. Perdarahan Subarachnoid

Tanda dan gejala : Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi


pupil ipsilateral dan kaku kuduk (Hudak & Gallo, 2016).
6. Pemeriksaan Penunjang Cedera Kepala Berat

a. CT Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi adanya perdarahan,


menentukan ukuran vertikel, pergeseran jaringan otak
b. MRI (Magnetik Resonance Imaging) : Sama dengan CT Scan dengan atau
tanpa kontras
c. PET (Positron Emission Tomography) : Menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme otak.
d. Echoencephalograpi : Melihat keberadaan dan berkembangnya gelombang
patologis.
e. Fungsi lumbal/listernograpi : Dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid.
f. X-ray : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang, pergeseran struktur
dari garis tengah, adanya frakmen tulang.
g. Cek elektrolit darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK.
h. Analisa Gas Darah : Mendeteksi jumlah ventilasi dan oksigenisasi

i. EEG : Melihat aktifitas dan hantaran listrik di otak

j. Pneumoenchephalografi : Dengan memasukkan udara ke dalam ruangan


otak apakah ada penyempitan.
k. Darah lengkap : Mengetahui kekuatan hemoglobin dalam mengikat O2
(Mansjoer Arif, dkk, 2015).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pengkajian Primer
Pemeriksaaan diarahkan kepada diagnosis cidera yang mengancam
nyawa dan meliputi penilaian dari A, B, C, D, E. Mencatat tanda vital awal
(baseline recordings) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi.
Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat
kesadaran. Metode pengkajian dalam primary survey, yaitu cepat, cermat, dan
tepat yang dilakukan dengan melihat (look), mendengar (listen), dan merasakan
(feel).

1) Airway dan kontrol servikal

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya


pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%. Ada tiga hal utama dalam
tahapan airway ini yaitu look, listen, dan feel. Look yaitu perawat melihat
ada tidaknya obstruksi jalan napas, berupa agitasi (hipoksemia), penurunan
kesadaran (hipercarbia), pergerakan dada dan perut pada saat bernapas (see
saw-rocking respiration), kebiruan pada area kulit perifer, kuku dan bibir
(sianosis), adanya sumbatan di hidung, posisi leher, keadaan mulut untuk
melihat ada tidaknya darah. Tahapan kedua yaitu listen, yang didengar
yaitu bunyi napas. Ada dua jenis suara napas yaitu suara napas tambahan
obstuksi parsial, antara lain: snoring, gurgling, crowing/stidor, suara parau
(laring) dan yang kedua yaitu suara napas hilang berupa obstruksi total dan
henti napas. Terakhir yaitu Feel, pada tahap ini perawat merasakan aliran
udara yang keluar dari lubang hidung pasien.

2) Breathing dan ventilasi

Pada tahap look, yang dilakukan yaitu melihat apakah pasien bernapas,
pengembangan dada apakah napasnya kuat atau tidak, keteraturannya, dan
frekuensinya. Pada tahap listen yang didengar yaitu ada tidaknya vesikuler,
dan suara tambahan napas. Tahap terakir yaitu feel, merasakan
pengembangan dada saat bernapas, lakukan perkusi, dan pengkajian suara
paru dan jantung dengan menggunakan stetoskop.

3) Sirkulasi dan kontrol perdarahan

Pengkajian circulation, yaitu hubungan fungsi jantung, peredaran darah


untuk memastikan apakah jantung bekerja atau tidak. Pada tahap look, yang
dilakukan yaitu mengamati nadi saat diraba, berdenyut selama berapa kali
per menitnya, ada tidaknya sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat
dingin pada tubuh pasien, menghitung kapilery reptile, dan waktunya, ada
tidaknya akral dingin. Pada tahap feel, yang dirasakan yaitu gerakan nadi
saat dikaji (nadi radialis, brakialis, dan carotis). Lakukan RJP bila apek
cordi tidak berdenyut. Pada tahapan listen, yang didengar yaitu bunyi aliran
darah pada saat dilakukan pengukuran tekanan darah.

4) Disability

Pada tahapan ini dilakukan pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale), dan
keadaan pupil dengan menggunakan penlight. Pupil normal yaitu isokor,
mengecil (miosis), melebar (dilatasi). Dilakukan pemeriksaan neurologi
singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon
pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai
perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan
pemulihan.

5) Exposure

Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,


penderita harus ditelanjangi dan dilakukan pemeriksaan head to toe sebagai
bagian dari mencari cidera.

6) Dilatasi lambung
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada
anakanak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang
tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf
fagus yang berlabihan. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung
membesarkan resiko respirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi
yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukan selang atau pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan
memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun,
walaupun penempatan pipa sudah baik, masih mungkin terjadi aspirasi.

7) Pemasangan kateter urin

Katerisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya


hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urine.
Darah pada uretra atau prostat pada letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak
tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan
keteter uretra sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra yang utuh
(Hudak & Gallo, 2012).

b. Pengkajian Sekunder
1) Kepala : Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian
luar dan membrane timpani, cedera jaringan lunak periorbital.
2) Leher : Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang.

3) Neurologis : Penilaian fungsi otak dengan GCS.

4) Dada : Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan
jantung, pemantauan EKG.
5) Abdomen : Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan
trauma tumpul abdomen.
6) Pelvis dan ekstremitas : Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada
daerah trauma, memar dan cedera yang lain.
7) Anamnesa

a) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat


kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
b) Pemeriksaan fisik
• Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene
stokes, biot, hiperventilasi, atelektasis)
• Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh
PTIK

• Sistem saraf :

- Kesadaran GCS

- Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang


otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
- Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat
kejang.
• Sistem pencernaan

- Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks


menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk,
mudah tersedak.
- Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan
cairan.

- Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

• Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik


hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan
otot.
• Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
• Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga (Doenges, 2015).

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Risiko perfusi serebral tidak efektif dengan faktor risiko cedera kepala.

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan


tampak meringis, gelisah, sulit tidur.
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
ditandai dengan dispnea, penggunaan otot bantu napas, pola napas
abnormal.
d. Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko
ketidakseimbangan cairan.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
ditandai dengan kekuatan otot menurun, ROM menurun.
f. Risiko infeksi dengan faktor risiko efek prosedur invasif.
3. Intervensi Keperawatan

Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Risiko perfusi serebral Setelah dilakukan asuhan Pemantau Tekanan
tidak efektif keperawatan selama …x 24 jam Intrakranial :
diharapkan resiko perfusi Observasi :
serebral tidak efektif pasien  Identifikasi
menurun dengan kriteria hasil : Peningkatan TIK
Tekanan intra cranial menurun
Sakit kepala menurun Terapeutik :
Gelisah menurun  Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
 Kolaborasikan dengan
dokter jika diperlukan
Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri
keperawatan selama ...x24 jam Observasi:
diharapkan keluhan nyeri pasien  Identivikasi lokasi,
dapat teratasi dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil : frekuensi, kualitas,
- Frekuensi nyeri menurun intensitas nyeri.
- Meringis menurun  Identifikasi skala nyeri
- Gelisah menurun Terapeutik :
 Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Edukasi :
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
kompres hangat)
Kolaborasi
 Memberikan
Akupresure (pijatan)
Pola napas tidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen Jalan Napas
efektif keperawatan selama ...x24 jam Observasi :
diharapkan pasien pola nafas  Monitor keluhan sesak
pasien kembali efektif dengan pasien, termasuk
kriteria hasil: kegiatan yang
- Frekuensi napas pasien meningkatkan atau
dalam rentang normal 12-20 memperburuk sesak
x/menit nafas tersebut
- Tidak ada retraksi dinding Terapeutik :
dada  Berikan pasein dalam
- Pola napas pasien normal posisi nyaman, dalam
- Tidak terdapat bunyi nafas posisi duduk dengan
wheezing kepala tempat tidur
ditinggikan 60-900
Edukasi
 Ajarkan pasien untuk
mengidentifikasi dan
menghindari pemicu
sebisa mungkin
Kolaborasi :
 Kolaborasikan dengan
dokter teakit pemberian
obat (C)

Risiko Setelah dilakukan asuhan Pemantauan Elektrolit

ketidakseimbangan keperawatan selama …x 24 jam Observasi :


elektrolit diharapkan resiko  Monitor kadar elektrolit
ketidakseimbangan elektrolit serum
Terapeutik :
pasien menurun dengan criteria
hasil :  Dokumentasikan hasil
pemantauan Edukasi :
- Serum natrium meningkat
 Jelaskan tujuan dan
- Serum kalium meningkat prosedur pemantauan
Kolaborasi :
- Serum klorida meningkat
 Kolaborasikan dengan
dokter jika diperlukan

Gangguan mobilitas Setelah dilakukan asuhan Dukungan Mobilitas

fisik keperawatan selama …x 24


Observasi :
jam diharapkan mobilitas fisik
pasien tidak terganggu dengan
 Monitor kondisi umum
kriteria hasil : selama melakukan
- Pergerakan Ektremitas mobilisasi Terapeutik :
 Fasilitasi aktivitas
meningkat
mobilisasi dengan alat
- Kekuatan otot meningkat bantu (pagar tempat
tidur) Edukasi :
- Rentang gerak (ROM)
 Jelaskan tujuan
meningkat mobilisasi Kolaborasi :
Kolaborasikan
 Kolaborasikan dengan
fisioterapi jika
diperlukan
Risiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan infeksi
keperawatan selama ...x24 Observasi :
 Monitor tanda dan
jam diharapkan pasien tidak
gejala infeksi lokal dan
mengalami infeksi dengan sistemik
kriteria hasil : Terapeutik :
 Cuci tangan sebelum
- Kemerahan menurun
dan sesudahkontak
- Nyeri menurun dngan pasien dan
lingkungan pasien
- Bengkak menurun  Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi :
 Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
 Ajarkan cara
memeriksa kondisi luka
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu

4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana untuk mencapai tujuan yang
spesifik yang ditujukan untuk membantu klien dalam hal mencegah penyakit,
peningkatkan derajat kesehatan dan pemulihan kesehatan (Nursalam, 2016).

5. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan yang
dilakukan dengan Format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2012. Buku Ajar Keperawatan MEdikal Bedah, edisi 8. Jakarta :
EGC

Gallo & Hudak. 2012. Keperawatan Kritis, edisi VI. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif. 2018. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :Definisi
dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia :Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
LAPORAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CIDERA KEPALA BERAT

A. Pengkajian
Tanggal masuk : 16 Mei 2022
Jam masuk : Pkl. 15.00 WIB
Ruang : ICU
Diagnosa Medis : Cedera Kepala Berat/ post craniotomy
Tanggal Pengkajian : 17 Mei 2022
1. Identitas
a. Identitas Klien
Nama : Tn. A
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Ngabang
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama saat pengkajian :
Cedera Kepala Berat
b. Riwayat keluhan utama :
Sehari sebelumnya pasien mengalami cidera pada kepala dikarenakan
kepala klien terbentur plang dan terjatuh ke aspal dengan posisi kepala
terbentur terlebih dahulu, pada saat itu pasien pingsan, tidak muntah dan
tidak kejang ,posisi lidah tidak terjatuh kebelakang, pernafasan 30 x/menit,
irama nafas tidak teratur , nafas cepat dan pendek, tidak menggunakan otot
bantu pernafasan, suara nafas stridor, SpO2: 97%, klien terpasang NRM
(Non Rebreathing Mask) O2 10 lpm, terdapat percikan sekret pada NRM,
capillary refill kembali dalam 3 detik, akral dingin, tidak sianosis. Tanda-
tanda vital: TD : 142/98 mmHg,N: 102 x/menit, RR: 32 x/menit, S: 370 C.
Kesadaran dengan GCS = E1V3M5 = 9, terdapat hematoma pada kepala,
ada jejas, ada lesi pada wajah, ada luka post craniotomi sebanyak 33
jahitan, terpasang drain dengan keluaran 10 cc darah, pupil isokor, ukuran
3mm/ 3mm, simetris kanan-kiri, sklera tidak ikterik, konjungtiva anemis,
reaksi terhadap cahaya. Pasien terpasang NGT (Naso Gastric
Tube),bedrest total,
c. Riwayat kesehatan masa lalu :
Klien di bawa oleh rekan kerjanya ke RSUD Dr.Y, masuk dalam keadaan
tidak sadar akibat terjatuh ke aspal. hematoma pada kepala.
d. Riwayat alergi (obat dan makanan) :
Menurut keluarga, klien tidak ada riwayat alergi pada makanan dan obat-
obatan.
3. Genogram

Keterangan :

: Laki-laki
: Perempuan

: Klien

- - - - - : Tinggal serumah

4. Pemeriksaan Fisik
BB Sebelum Sakit : 65 kg
BB Saat ini : 64 kg
TB : 162 cm
Kesadaran : Menurun
Tanda-tanda vital : TD : 142/98 mmHg,N: 102 x/menit, RR: 32 x/menit, S:
370 C. Kesadaran dengan GCS = E1V3M5 = 9
a. Kepala dan Rambut
Inspeksi : Berkeringat, tampak hematoma dan luka bekas hecting sebanyak
33 jahitan post craniotomy, terpasang drain dan terdapat pengeluaran darah
10 cc
Palpasi : Teraba hematoma pada daerah maxilla sebelah kanan
b. Telinga
Inspeksi : simetris tidak ada lesi
Palpasi : Tidak teraba adanya benjolan
c. Mata
Inspeksi : pupil isokor, ukuran 3 mm/3mm,simetris kanan kiri,sklera tidak
ikterikkonjungtiva anemis, terdapat reaksi terhadap cahaya
Palpasi : Tidak teraba adanya peninggian bola mata
d. Hidung
Inspeksi : Terpasang NGT, terpasang NRM O2 10 lpm
Palpasi : Tidak ada kelainan/krepitasi pada tulang hidung
e. Mulut
Inspeksi : Luka lecet di atas bibir
Palpasi : tidak ada massa atau bejolan
f. Leher
Inspeksi : Ada penumpukan akumulasi sekret
Palpasi : Tidak teraba adanya fraktur atau kelainan pada tulang leher, tidak
teraba adanya benjolan kelenjar tyroid
g. Dada
1) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak gerakan iktus kordis
Auskultasi : Irama cepat, reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan
2) Paru-paru
Inspeksi : Tampak penggunaan otot-otot napas tambahan
Palpasi : Vokal fremitus tidak bisa dilakukan
Auskultasi : Terdengar bunyi napas tambahan (stridor)
h. Abdomen
Inspeksi : Tidak ada jejajs, tidak tampak adanya distensi atau penggunaan
pernapasan otot perut
Palpasi : Tidak teraba adanya massa
Perkusi : Bunyi tymphani
Auskultasi : Terdengar bising usus
i. Genitalia
Inspeksi : Terpasang kateter dan pampers
j. Ekstremitas Atas
Inspeksi : Terpasang manset, tampak luka-luka lecet pada kedua tangan,
gerakan motorik tidak terkoordinasi
Palpasi : teraba panas, berkeringat, nadi radialis teraba
k. Ekstremitas Bawah
Inspeksi : tidak Tampak luka lecet pada kedua kaki
Palpasi : teraba panas, berkeringat
l. Kulit
Inspeksi : warna sawo matang, berkeringat, memerah
Palpasi : teraba panas, turgor baik, S : 37,0⁰C
5. Data Penunjang
Tanggal pemeriksaan : 26 November 2012
a. Labolatorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan

hemoglobin 7,8
hematocrit 23 %
leokosit 10,1
eritrosit 3,01
PH 6,957
PCO2 143,3
PO2 72,7
Hco3 21,0

b. Hasil Rontgen/CT-scan :
Tanggal pemeriksaan : -
Kesan :
Pada pemeriksaan penunjang CT-Scan didapatkan hasil EDH Regio
Frontal Dextra, tampak defect di regio parietal kanan, panjang 1,5 cm,
lebar 0,5 cm, volume 49 cc
c. Penatalaksanaan Terapi Medis
1) Ceftriaxone 2 gr/24 jam
2) Piracetam 3 gr/8 jam
3) Metamizol 500 mg/8 jam
4) Tranfusi darah PRC 500 cc
5) NaCl 60cc/jam
6) Aminofusin 60 cc/jam
7) asering 60 cc/jam

B. Analisa Data
No Data Problem Etiologi
1 Data Subyektif : Resiko Cidera Kepala
 tidak dapat dikaji ketidakefektif an
Data Obyektif : perfusi jaringan
 bunyi nafas stridor cerebral
 pernafasan 30x/menit,
irama nafas tidak teratur,
nafas cepat dan pendek,
tidak menggunakan otot
bantu pernafasan,
 SpO2: 97%
 klien terpasang NRM
(NonRebreathing Mask)
O2 10 lpm, terdapat
percikan sekret pada
NRM,
 capillary refill kembali
dalam 3 detik, akral
dingin, tidak sianosis.
 Tanda-tanda vital: TD :
142/98 mmHg, N: 102
x/menit, RR: 32 x/menit,
S: 370 C
 Kesadaran dengan GCS
= E1V3M5 = 9
 Pasien terpasang NGT
(Naso Gastric Tube).
 pemeriksaan penunjang
CT-Scan didapatkan
hasil EDH Regio Frontal
Dextra, tampak defect di
regio parietal kanan,
panjang 1,5 cm, lebar 0,5
cm, volume 49 cc
2 Data Subyektif : Pola nafas tidak Kegagalan otot
 tidak dapat dikaji efektif pernafasan
Data Obyektif :
 Tanda-tanda vital: TD :
142/98 mmHg, N: 102
x/menit, RR: 32 x/menit,
S: 370 C
 Kesadaran dengan GCS
= E1V3M5 = 9
 Teraba hematoma pada
kepala
 bunyi nafas stridor
 pernafasan 30x/menit,
irama nafas tidak teratur,
nafas cepat dan pendek,
tidak menggunakan otot
bantu pernafasan,
 SpO2: 97%
 klien terpasang NRM
(NonRebreathing Mask)
O2 10 lpm, terdapat
percikan sekret pada
NRM,

3 Data Subyektif : Resiko tinggi prosedur invasive


 tidak dapat dikaji infeksi
Data Obyektif:
 terdapat hematoma pada
kepala, ada jejas, ada lesi
pada wajah
 terdapat luka post
craniotomi sebanyak 33
jahitan, terpasang drain
dengan keluaran 10 cc
darah

C. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan cidera Kepala
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kegagalan otot pernafasan
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma,kulit
rusak,prosedur invasive
D. Intervensi Keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
1 Risiko Perfusi Setelah dilakukan tindakan Menejemen Peningkatan
Serebral Tidak keperawatan Tekanan Intrakranial
Efektif selama .....x24 jam Observasi :
diharapakan Risiko Perfusi  Identifikasi penyebab
Serebral Tidak Efektif peningkatan TIK (mis.
meningkat dengan Lesi, gangguan
kriteria : metabolisme, edema
SLKI : serebral)
 Kesadaran  Monitor tanda/gejala
meningkat peningkatan TIK (mis.
 Tekanan intra Tekanan darah
kranial menurun meningkat, tekanan
 Nilai rata-rata nadi melebar,
tekanan darah bradikardia, pola napas
membaik ireguler, kesadaran
 Tekanan darah menurun)
diastolic membaik  Monitor MAP (Mean

 Gelisah menurun Arterial Pressure)


 Monitor CVP (Central
Venous Pressure), jika
perlu
 Monitor PAWP, jika
perlu
 Monitor PAP, jika
perlu
 Monitor ICP (Intra
Cranial Pressure), jika
tersedia
 Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
 Monitor gelombang
ICP
 Monitor status
pernapasan
 Monitor intake dan
output cairan
 Monitor cairan
serebro-spinalis (mis.
Warna, konsistensi)
Terapeutik
 Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang
tenang
 Berikan posisi semi
fowler
 Hindari maneuver
Valsava
 Cegah terjadinya
kejang
 Hindari penggunaan
PEEP
 Hindari pemberian
cairan IV hipotonik
 Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
 Pertahankan suhu
tubuh normal

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
sedasi dan
antikonvulsan, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika
perlu
2 Pola nafas tidak Respirasi : Manajemen jalan nafas
efektif Setelah dilakukan tindakan
Observasi
keperawatan ...x... jam,  Monitor pola nafas
maka pola nafas tidak (frekuensi,
efektif menigkat dengan kedalaman, usaha
kriteria hasil : nafas)
SLKI  Monitor bunyi nafas
 Penggunaan otot tambahan (mis.
bantu nafas Gurgling, mengi,
menurun wheezing, ronkhi)
 Dispnea menurun
 Pemanjangan fase Terapeutik
ekspirasi menurun  Posisikan semi
 Frekuensi nafas fowler
membaik  Berikan minuman
 Kedalaman nafas hangat
membaik  Berikan oksigen

Edukasi
 Anjurkan asupan
cairan 200 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik
batuk efektif

Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

3 Resiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Infeksi


keperawatan selama ...x.24  Monitor tanda dan
jam diharapkan klien gejala infeksi
terhindar dari resiko  Cuci tangan sebelum
infeksi dengan kriteria dan sesudah kontak
hasil: dengan pasien dan
SLKI lingkungan pasien
 Tingkat Infeksi  Kolaborasi pemberian
berkurang imunisasi jika perlu
 Integritas Kulit
Baik
E. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
No DX TGL/JAM IMPLEMENTASI EVALUASI PARAF
I 17/05/22 1. Memonitor tekanan intra kranial S :-
 Memonitor status neurologi O:
 Memonitor intake dan output  Keadaan umum lemah,
2. Memanajemen edema cerebral  Tanda-tanda vital: TD : 142/98
 Memonitor status pernafasan, mmHg,N: 102 x/menit, RR: 32
frekuensi dan kedalaman pernafasan x/menit, S: 370 C.
 Mengurangi stimulus dalam  Kesadaran dengan GCS =
lingkungan pasien E1V3M5 = 9
 Memberikan sedasi sesuai kebutuhan  pupil isokor, ukuran 3mm/
3. Memonitor neurologi 3mm
 Memonitor tingkat kesadaran (GCS) A:

 Memonitor refleks batuk dan menelan  Resiko ketidakefektifan perfusi

 Memantau ukuran jaringan cerebral belum

pupil,bentuk,kesime trisan teratasi.

4. Memonitor TTV P:

5. Memposisikan head up (30- 40 derajat)  lanjutkan intervensi

6. Memberi terapi O2 sesuai anjuran medis


7. Memberikan terapi kolaborasi medis
II 17/05/22 1. Mempertahankan bukaan jalan nafas S: -
2. Memberi posisi head up 30-40 derajat O:
untuk Memaksimalkan ventilasi.  Keadaan umum lemah,
3. Mengeluarkan secret dengan suction.  pernafasan 30x/menit, irama
4. Monitor pola nafas (frekuensi, nafas tidak teratur, nafas cepat
kedalaman, usaha nafas) dan pendek, tidak
5. Monitor bunyi nafas tambahan (mis. menggunakan otot bantu
Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi) pernafasan, suara nafas stridor,
6. Monitor TD, SpO2: 97%,
7. Kolaborasi pemberian therapi medis  klien terpasang NRM
(NonRebreathing Mask) O2 10
lpm, terdapat percikan sekret
pada NRM, capillary refill
kembali dalam 3 detik, akral
dingin, tidak sianosis.
 Tanda-tanda vital: TD : 142/98
mmHg,N: 102 x/menit, RR: 32
x/menit, S: 370 C
A:
 pola nafas tidak efektif belum
teratasi.
P:
 lanjutkan intervensi
III 17/05/22 1. Monitor tanda dan gejala infeksi S: -
2. mencuci tangan sebelum dan sesudah O:
kontak dengan pasien dan lingkungan  Keadaan umum lemah,
pasien  terdapat hematoma pada
3. Kolaborasi pemberian imunisasi jika kepala, ada jejas, ada lesi pada
perlu wajah, ada luka post
craniotomi sebanyak 33
jahitan, terpasang drain dengan
keluaran 10 cc darah
 Leukosit 10,1 ribu/ul
A:
 Resiko infeksi belum teratasi.
P:
 lanjutkan intervensi
I 18/05/22 1. Memonitor tekanan intra kranial S :-
 Memonitor status neurologi O:
 Memonitor intake dan output  Keadaan umum lemah,
2. Memanajemen edema cerebral  Tanda-tanda vital: TD : 154/90
 Memonitor status pernafasan, mmHg,N: 107 x/menit, RR: 30
frekuensi dan kedalaman pernafasan x/menit, S: 37,0 C.
 Mengurangi stimulus dalam  Kesadaran dengan GCS =
lingkungan pasien E1V3M5 = 9
 Memberikan sedasi sesuai kebutuhan  pupil isokor, ukuran 3mm/
3. Memonitor neurologi 3mm
 Memonitor tingkat kesadaran (GCS) A:

 Memonitor refleks batuk dan menelan  Resiko ketidakefektifan perfusi

 Memantau ukuran jaringan cerebral belum

pupil,bentuk,kesime trisan teratasi.

4. Memonitor TTV P:

5. Memposisikan head up (30- 40 derajat)  lanjutkan intervensi

6. Memberi terapi O2 sesuai anjuran medis


7. Memberikan terapi kolaborasi medis
II 18/05/22 1. Mempertahankan bukaan jalan nafas S: -
2. Memberi posisi head up 30-40 derajat O:
untuk Memaksimalkan ventilasi.  Keadaan umum lemah,
3. Mengeluarkan secret dengan suction.  pernafasan 30x/menit, irama
4. Monitor pola nafas (frekuensi, nafas tidak teratur, nafas cepat
kedalaman, usaha nafas) dan pendek, tidak
5. Monitor bunyi nafas tambahan (mis. menggunakan otot bantu
Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi) pernafasan, suara nafas stridor,
6. Monitor TD, SpO2: 93%,
7. Kolaborasi pemberian therapi medis  klien terpasang NRM
(NonRebreathing Mask) O2 10
lpm, terdapat percikan sekret
pada NRM, capillary refill
kembali dalam 3 detik, akral
dingin, tidak sianosis.
 Tanda-tanda vital: TD : 154/90
mmHg, N: 107 x/menit, RR:
30 x/menit, S: 37,0 C.
A:
 pola nafas tidak efektif belum
teratasi.
P:
 lanjutkan intervensi
III 18/05/22 1. Monitor tanda dan gejala infeksi S: -
2. mencuci tangan sebelum dan sesudah O:
kontak dengan pasien dan lingkungan  Keadaan umum lemah,
pasien  terdapat hematoma pada
3. Kolaborasi pemberian imunisasi jika kepala, ada jejas, ada lesi pada
perlu wajah, ada luka post
craniotomi sebanyak 33
jahitan, terpasang drain dengan
keluaran 10 cc darah
 Leukosit 10,1 ribu/ul
A:
 Resiko infeksi belum teratasi.
P:
 lanjutkan intervensi

I 19/05/22 1. Memonitor tekanan intra kranial S :-


 Memonitor status neurologi O:
 Memonitor intake dan output  Keadaan umum lemah,
2. Memanajemen edema cerebral  Tanda-tanda vital: TD : 144/89
 Memonitor status pernafasan, mmHg,N: 101 x/menit, RR: 27
frekuensi dan kedalaman pernafasan x/menit, S: 36,8 C.
 Mengurangi stimulus dalam  Kesadaran dengan GCS =
lingkungan pasien E1V3M5 = 9
 Memberikan sedasi sesuai kebutuhan  pupil isokor, ukuran 3mm/
3. Memonitor neurologi 3mm
 Memonitor tingkat kesadaran (GCS) A:

 Memonitor refleks batuk dan menelan  Resiko ketidakefektifan perfusi

 Memantau ukuran jaringan cerebral belum

pupil,bentuk,kesime trisan teratasi.

4. Memonitor TTV P:

5. Memposisikan head up (30- 40 derajat)  lanjutkan intervensi

6. Memberi terapi O2 sesuai anjuran medis


7. Memberikan terapi kolaborasi medis

II 19/05/22 1. Mempertahankan bukaan jalan nafas S: -


2. Memberi posisi head up 30-40 derajat O:
untuk Memaksimalkan ventilasi.  Keadaan umum lemah,
3. Mengeluarkan secret dengan suction.  pernafasan 30x/menit, irama
4. Monitor pola nafas (frekuensi, nafas tidak teratur, nafas cepat
kedalaman, usaha nafas) dan pendek, tidak
5. Monitor bunyi nafas tambahan (mis. menggunakan otot bantu
Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi) pernafasan, suara nafas stridor,
6. Monitor TD, SpO2: 96%,
7. Kolaborasi pemberian therapi medis  klien terpasang NRM
(NonRebreathing Mask) O2 10
lpm, terdapat percikan sekret
pada NRM, capillary refill
kembali dalam 3 detik, akral
dingin, tidak sianosis.
 Tanda-tanda vital: TD : TD :
144/89 mmHg, N: 101 x/menit,
RR: 27 x/menit, S: 36,8 C.

A:
 pola nafas tidak efektif belum
teratasi.
P:
 lanjutkan intervensi
II 19/05/22 1. Monitor tanda dan gejala infeksi S: -
2. mencuci tangan sebelum dan sesudah O:
kontak dengan pasien dan lingkungan  Keadaan umum lemah,
pasien  terdapat hematoma pada
3. Kolaborasi pemberian imunisasi jika kepala, ada jejas, ada lesi pada
perlu wajah, ada luka post
craniotomi sebanyak 33
jahitan, terpasang drain dengan
keluaran 10 cc darah
 Leukosit 10,1 ribu/ul
A:
 Resiko infeksi belum teratasi.
P:
 lanjutkan intervensi
SOP PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN

NON REBREATHING MASK (NRM)

NAMA MAHASISWA ASTUTI

NIM -

STASE GAWAT DARURAT/ICU

PROSEDUR BERSIH
TINDAKAN

PERSIAPAN ALAT 1. Tabung Oksigen


DAN BAHAN 2. Flow Meter
3. Handscoon
4. Regulator
5. Tabung Humidifier
6. Aquabides Steril
7. Selang sungkup muka non breathing
8. Lembar dokumentasi

URUTAN PROSEDUR A. TAHAP PRA INTERAKSI


1. Memastikan program terapi pemberian oksigen
NRM
2. Menyiapkan alat
B. TAHAP ORIENTASI
1. Memberi salam atau menyapa pasien
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan tujuan tindakan
4. Menjelaskan prosedur tindakan
5. Menanyakan kesiapan pasien
C. TAHAP KERJA
1. Mencuci tangan
2. Menjaga Privasi
3. Cek Tabung Oksigen dan Flowmeter
4. Pasang Regulator
5. Isi Tabung Humidifier dengan aquabides steril
sampai tanda batas
6. Pasang selang oksigen pada tabung humidifier
7. Stel oksigenasi pada tabung humidifier
8. Isi oksigen kedalam kantong dengan cara
menutup lubang antara kantung dengan sungkup
9. Atur tali pengikat sungkup sehingga menutup
rapat
dan nyaman
10. Sesuaikan aliran oksigen,
11. Anjurkan pasien untuk istirahat
12. Observasi respon pasien terhadap pemberian
oksigen
13. Merapihkan alat
14. Buka Handscoon dan mencuci tangan
D. TAHAP TERMINASI
1. Mengevaluasi respon dan hasil tindakan
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut 3.
Berpamitan

LINK VIDEO : https://www.youtube.com/watch?v=qOsaeX5SiBU

Anda mungkin juga menyukai