Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang

Cedera kepala atau trauma brain injury merupakan masalah


kesehatan yang sering terjadi didunia dan terbanyak diantara penyebab
utama mortalitas serta morbilitas pada semua umur.(Kumar R dan
Mahapatra AK).

Cedera kepala dapat menyebabkan luka di bagian kepala, luka pada


kulit di bagian kepala,ruptur meninges pada otak, serta kerusakan jaringan
otak dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.( J E-Clin.
2014).

Cedera kepala merupakan kasus trauma yang paling sering terjadi


setiap harinya. Bahkan paling sering dijumpai di unit gawat darurat di
setiap rumah sakit. Cedera kepala didefinisikan sebagai penyakit non
degenerative dan non kongenital yang disebabkan oleh massa mekanik
dari luar tubuh yang melibatkan scalp atau kulit kepala, tulang tengkorak,
dan tulang-tulang yang membentuk wajah atau otak. (Wahjoepramono EJ.
2005)

Cedera kepala adalah suatu kejadian adanya traumatik fungsi otak


dengan atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Takatelide et al., 2017).

WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa kematian


pada cedera kepala diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO
mencatat 2500 kasus kematian yang disebabkan karena kecelakaan lalu
lintas pada tahun 2013 Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap
tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi kejadian
80% meninggal dunia sebelum sampai rumah sakit, 80% cedera kepala
ringan, 10% cedera kepala sedang dan 10% cedera kepala berat dengan
rentang kejadian berusia 15-44 tahun.
Persentase dari kecelakaan lalu lintas tercatat sebesar 48-58%
diperoleh dari cedera kepala, 20-28% dari jatuh dan 3-9% disebabkan
tindak kekerasan dan kegiatan olahraga (World Health Organization,
2013).

Di indonesia data Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS)


menunjukan presentase kasus cedera kepala berada pada angka 11,9 %
dengan presentase tertinggi di Gorontalo sebesar 17,9 %. Kasus di Maluku
berada di atas 10%. (Kementrian Kesehatan Badan Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan, 2018).

Peran perawat sangat dominan dalam melakukan penanganan


kasus cedera kepala. Ketepatan waktu tanggap adalah suatu bentuk dari
penanganan kasus cedera kepala yang dilakukan oleh perawat dalam
menangani kasus gawat darurat.

1. 2 Tujuan

1. .Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi kepala.


2. Mahasiswa mampu memahami pengertian dari trauma kepala.
3. .Mahasiswa mampu memahami etiologi dan manifestasi klinis dari
trauma kepala.
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari trauma kepala.
5. Mahasiswa mampu memahami komplikasi dan penatalaksanaan
medis trauma kepala.
6. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan yang tepat
pada kasus trauma kepala.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi Fisiologi

2.1.1 Anatomi

1.Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu (Faiz
& Moffat, 2004):

a. Skin atau kulit

b. Connective Tissue atau jaringan penyambung

c. Aponeurosis atau galea aponeurotika

d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

e. Pericranium (Perikranium)

Di antara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat


longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.Pada fraktur
tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.

2.Tengkorak

Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun


menjadi dua bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan
tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga
tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah
tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai
dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan
pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar
tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak
lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah (Pearce, 2009).
Sumber : ( netter 2011 ) tengkorak

3.Meninges

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meninges yang


melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah, dan
sekresi cairan, yaitu cairan serebrospinal

yang akan melindungi dari benturan atau goncangan pada otak dan sumsum
tulang belakang (Pearce,2009). Meninges terdiri dari tiga lapisan yaitu dura mater,
araknoidea mater dan pia mater.

a. Dura mater: berbentuk padat dan keras, berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat, dan terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar yang melapisi
tengkorak dan lapisan dalam yang bersatu dengan lapisan luar, kecuali
pada bagian tertentu, di mana sinus-venus terbentuk, dan di mana dura
mater membentuk bagian-bagian berikut. Falx serebri yang terletak di
antara kedua hemisfer otak.Tepi atas falx serebri membentuk sinus
longitudinalis inferior atau sinus sagitalis inferior yang menyalurkan darah
keluar falxserebri. Tentorium serebeli memisahkan serebelum dari
serebrum (Pearce, 2009). Diafragma sellae adalah lipatan berupa cincin
dalam dura mater menutupi sel tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid
yang berisi kelenjar hipofisis.
b. Araknoidea masy: di sebelah dalam dura mater. Selaput tipis yang
membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf
sentral. Otak dan medula spinalis berada dalam balon yang berisi cairan itu.
Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di bagian sakrum, medula spinalis
berhenti setinggi lumbal I-II. Di bawah lumbal II kantong berisi cairan hanya
terdapat saraf-saraf perifer yang keluar dari medulla spinalis. Pada bagian ini
tidak medula spinalis. Hal ini dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang
disebut pungsi lumbal.

c. Pia mater: Selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, pia
mater yang berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat
yang disebut trebekhel. Mengikuti kontur otak, mengisi sulki.

Gambar : lapisan meninges Sumber :netter 2011


4. Otak

Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena


merupakan pusat kendali dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral
yang terletak di dalam rongga tengkorak yang dibungkus oleh selaput otak
yang kuat. Otak mengapung dalam suatu cairan untuk menunjang otak
yang lembek dan halus. Cairan ini disebut dengan CSS (cairan
serebrospinalis). Komposisi cairan serebrospinalis terdiri dari air, protein,
glukosa, garam, sedikit limfosit dan karbondioksida.

Cairan ini bekerja untuk memberikan kelembapan otak dan medula


spinalis, melindungi alat-alat medula spinalis dan otak dari tekanan dan
sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala
(Syaifuddin, 2014). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8
bagian berat terdiri dari otak besar (Irianto, 2008).

Struktur Otak Bagian terbesar otak adalah serebrum yang memiliki


permukaan berlipat-lipat dengan pola lipatan yang unik untuk setiap orang.
Lekukan otak disebut sulkus jika dangkal dan disebut fisura jika dalam.
Fisura dan beberapa sulkus besar membagi empat daerah fungsional yang
disebut lobus yaitu frontal, parietal, oksipital, dan temporal. Pusat otak
mengandung talamus yang berperan sebagai stasiun pengirim informasi
otak (Syarifuddin, 2014). Empat lobus otak yaitu:

a. Lobus Temporal: Pengenalan bunyi, nada dan kerasnya, terletak dalam lobus
temporal, bagian ini juga berperan dalam penyimpanan ingatan.

b. Lobus Frontal: Menghasilkan bicara, memicu gerakan dan aspek kepribadian


berasal dari lobus ini.

c. Lobus Parietal: Daerah di mana sensasi tubuh seperti, rabaan, suhu, tekanan dan
nyeri diterima dan diterjemahkan, berada di daerah yang disebut korteks
somatosensorik.

d. Lobus Oksipital: Fisura (lekukan dalam) yang menandai batas antara lobus
parietal dan oksipital. Pada lobus ini biasanya mengarah pada fungsi penglihatan.

Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak
(trunkus serebri) (Pearce, 2009). Semua berada dalam satu bagian struktur tulang
yang disebut tengkorak untuk melindungi otak dari cedera. Empat tulang yang
berhubungan membentuk tulang tengkorak: tulang frontal, parietal, temporal, dan
oksipital. Pada dasar tengkorak terdiri dari tiga bagian fossa. Bagian fossa anterior
berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer, bagian tengah fossa berisi lobus
parietal, temporal dan oksipital dan bagian fossa posterior berisi batang otak dan
medula.

a. Otak besar (cerebrum) merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari
otak, berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak.
Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan
kehendak. Selain itu, otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang
disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain
sebagainya.
b. Otak kecil (cerebellum) terletak di bawah otak besar. Terdiri dari
dua belahan yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang
menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan
menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil
adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta
mengoordinasikan kerja otot ketika bergerak.
c. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon. Bagian batang otak paling atas terdapat di antara
serebellum dengan mesensefalon. Diensefalon ini berfungsi
sebagai vasokonstruksi, respiratori (membantu proses pernafasan),
mengontrol kegiatan refleks dan membantu pekerjaan jantung.
2) Mesensefalon. Berfungsi sebagai pusat pergerakan
mata,mengangkat kelopak mata dan memutar mata.
3) Pons varolli. Merupakan bagian tengah batang otak dan karena
itu memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain
itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang
menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan
cerebellum dengan korteks serebri.
4) Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang
paling bawah yang menghubungkan pons varolli dengan medulla
spinalis. Medula oblongata memiliki fungsi yang sama dengan
diensefalon (Syaifuddin, 2014).
5. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi system ventrikel
dan ruang subarachnoid yang bertujuan melindungi otak dari
benturan, bakteri dan juga berperan sebagai pembersih lingkungan
otak. Jumlah cairan serebrospinal pada orang dewasa berkisar
antara 75-150 ml. Jumlah ini konstan sesuai hukum Monroe-Kelli,
kecuali jika terdapat kondisi yang tidak seimbang antara komponen
parenkim, darah dan cairan serebrospinal. Produksi cairan
serebrospinal berkisar 0,35 ml permenit atau sekitar 500 ml per
hari. Dengan jumlah ruang yang terbatas antara 75 150 ml maka
dibutuhkan pembersihan atau penggantian paling tidak 4-6 kali
dalam sehari.
CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju
ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan
masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada diseluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.
2.1. 2 Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial,
cairan serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang
dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh
dari lumbal pungsi yaitu 4-10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan
perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang
buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila
menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah
dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat
pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka
TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat
menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin
Monro-Kellie. Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar
800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan
glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada
orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada
anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun
50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat
dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa
hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO
(MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk
meningkatkan ADO

2. 1 Pengertian
Menurut (Aryani, R, 2016) mengatakan bahwa cedera kepala
merupakan suatu trauma yang mempengaruhi otak dan disebabkan oleh
kekuatan eksternal yang mengubah tingkat kesadaran dan merusak fungsi
kognitif, fisik, perilaku dan emosional.
Cedera kepala adalah salah satu penyakit neurologis yang sering
terjadi diantara penyakit neurologis lainnya akibat kecelakaan, meliputi
otak, tengkorak ataupun hanya kulit kepala (Brunnner & Suddarth, 2016)

2. 2 Etiologi
Etiologi cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu
kekerasan tumpul; kasus paling sering dalam etiologi ini ialah karena
kecelakaan, pembunuhan, atau dapat juga bunuh diri. (Aryani, R, D. 2016).
Selain itu kekerasan tajam merupakan jenis kekerasan

yang cukup banyak terjadi. Benda penyebab tersering ialah batang besi
atu kayu runcing, pecahan kaca, atau bendabenda lain yang tajam. Cedera
akibat tembakan juga dapat menyebabkan kematian dimana dilihat dari
kerusakan yang ditimbulkan, kaliber peluru dan jenis peluru yang digunakan,
jarak tembakan, deformitas yang terjadi pada tulang dan peluru, jalannya
peuru yang masuk pada otak. (Solmaz I, Kural C, Temiz C, Temiz C, Secer H.
2009)

Cedera kepala akibat gerakan mendadak juga dapat dimasukan kedalam


etiologi yang dapat meyebabkan kematian meskipun tidak terdapat kekerasan
yang nampak langsung pada kepala cedera dapat terjadi oleh karena gerakan yang
mendadak misalnya suatu percepatan, perlambatan, atau perputaran. Kerusakan
yang terjadi terutama pada pembuluh darah otak dan jaringan sekitarnya.
(Weisberg LA, Garcia CA, Strub RL. 1989)

Menurut patomekanisme cedera kepala dapat terbagi atas cedera primer


yang merupakan cedera kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa,
dapat berupa benturan langsung ataupun proses akselerasi-deselerasi gerakan
kepala. Pada cedera primer dapat diakibatkan oleh adanya peristiwa coup dan
countrecoup. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologik yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron yang berkelanjutan, iskemia.
dan perubahan neurokimiawi. Pada cedera sekunder terjadi gangguan proses
metabolisme dan homeostatis ion-ion sel otak, hemodinamika intracranial, dan
kompartemen cairan serebrospinalis (CSS) yang dimulai setelah terjadinya trauma
namun tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. (Weisberg LA, Garcia
CA, Strub RL. 1989)

2. 4 Manifestasi Klinik

1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

2. Kebingungan

3. Iritabel

4. Pucat

5. Mual dan muntah

6. Pusing kepala

7. Terdapat hematoma

8. Kecemasan

9. Sukar untuk dibangunkan

10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung

(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.


2.3 patoflowdiagram
KECELAKAAN, TERJATUH, TRAUMA
TERKENA PELURU/ BENDA TAJAM TRAUMA TAJAM CEDERA KEPALA TRAUMA TUMPUL PERSALINAN,PENYALAHGUNAAN OBAT/
ALKOHOL

PX : CT SCAN/MRI TULANG KRANIUM RUPTUR PEMBULUH DARAH VE

TERPUTUSNYA
KONTINUITAS FRAKTUR TULANG PX : X RAY SUBDURAL HEMATOMA
TULANG

ROBEKNYA ARTERI
KLASIFIKASI DAN OKSITIFIKASI NYERI AKUT
MENINGIA MEDIA ↑TEKANAN HIDROSTAT

MEROBEK
HEMATOMA
MEMBRAN DAN SEL NYERI KEPALA KEBOCORAN KAPILER
EPIDURAL
DARAH

2. 6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan


laboratorium yang sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala
sebagai berikut :

a. Foto Polos
Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala
yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.

b.CT – Scan CT
scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera
kepala. Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah
tulang, pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di
otak. Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang


setelah pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.

2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat


pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3)Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah


disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok,
febris, dll).

4)Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5)Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6)Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS

c.Pemeriksaan Laboratorium.

Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap,


gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.

d.Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan)

adalah komponen penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera


(Anurogo and Usman, 2014)

e.MRI Magnetic resonance imaging (MRI)

biasa digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental


yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif
daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non
hemoragik cedera aksonal.

f. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk membantu
dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan
gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan EEG terus
menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif
dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi
melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan
dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera
otak traumatik.

a. Serebral angiography
Menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti perubahan jarigan
otak sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.
b. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
c. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
d. BAER
Mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil
e. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
f. CSF, lumbalis punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
g. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
h. Kadar elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial
i. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran (Rendy and Margaret Clevo, 2012)
j. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area
pleural.
k. Toraksentesis menyatakan darah/cairan.
l. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah satu
tes diagnostic untuk menentukan status repirasi. Status respirasi yang
dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa.

2. 7 Komplikasi

Menurut Mendosa,2019komplikasi pada cedera kepala adalah sebagai berik
ut :

a. Komplikasi 

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru,


etiologi mungkin berasal dari
ganguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Ede
ma paru terjadiakibat refleks cushing/ yang berusaha mempertahankan te
kanan perfusi dalam keadaan konstan. Pada saat tekanan intrakranial me
ningkat akan meningkatkan tekanan darah sistematik untuk mencoba me
mpertahankan aliran darah ke otak bila keadaan semakin kritis, denyut n
adi menurun dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Hipotensi akan 
memburuk keadaan. Tekanan perfusi harus dipertahankan paling sedikit 
70 mmHg yang membutuhkan tekanan darah sistolik 100-110 mmHg
pada penderita cedera kepala. Peningkatan vasokontruksi menyebabkan
lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permeabilitas pembuluh
darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus.
Kerusakan disfusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

b. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) 
TIK dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg dan herniasi da
pat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi serebral. TIK merupakan
komplikasi serius yang mengakibatkan herniasi dengan gagal pernafasan
dan gagal jantung serta kematian. 

c. Kebocoran Cairan Serebrospinal 

Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari frakt
ur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga cairan serebrospinal (CSS) akan keluar.
Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau diisap, cukup diberi
bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instrusikan klien untuk
tidak memanipulasi hidung atau telinga. 

d. Kejang Pascatrauma 

Kejang yang tterjadi setelah masa trauma yang dialami pasien


merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%
terjadi di awal cedera 4 – 25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9
– 42% (setelah 7 hari trauma).
Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, 
parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10. 

e. Demam dan menggigil 

Demam dan menggigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan 
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, 
efek sentral. Penatalaksanaa
dengan asetaminofen, neuromuskular paralisis. Penanganan lain dengan
cairan hipertonik, koma barbiturate, asetazolamid.

f. Hidrosefalus 
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan
dan nonkomunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada
cedera kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan
di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah,
nyeri kepala, pupil odema,demensi,ataksia dan gangguan miksi.

g. Spastisitas

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada


kecepatan gerakan. Membentuk ekstremitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada pembatasan fungsi gerak, nyeri,
pencegahan kontraktur dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi
primer dengan koreksi posisi dan latihan range of motion

(ROM), terapi sekunder dengan splinting, casting dan terapi farmakologi


dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan benzodiazepin.

h. Agitasi

Agitasi pascacedera kepala terjadi >1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,
benzodiazepine dan modifikasi lingkungan.

i. Sindrom Pasca Kontusio

Sindrom Pasca Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan


dengan cedera kepala sekitar 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3
bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik: nyeri kepala,
gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap
suara dan cahaya. Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan afektif:
iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
2. 8 Penatalaksanaan medis
Menurut Sezanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare (2013), penatalaksanaan
cedera kepala adalah :
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
7. Pembedahan.
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk
memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan
untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil
Computed Temografik Scan (CT-Scan) pada pasien. Penurunan aktifitas
otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan
pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan
induksi koma.

2. 9 Askep 3S PPNI 2016


2.9.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif atau objektif pada gangguan
sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk,lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. Data yang perlu di dapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur,
jenis kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan klien
dengan keluarga.
2. Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran Glow Coma Scale (GCS)
(<15), muntah, dispnea atau takipnea, sakit kepala, wajah
simetris atau tidak, lemah, luka pada kepala, akumulasi pada
saluran nafas kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui dengan baik yang
berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit
sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit keturunan atau
menular.
4. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subjektif. Data - data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.

a. Pengkajian Primer
1. Airway: Kaji kepatenan jalan nafas, observasi adanya lidah
jatuh,adanya benda asing pada jalan nafas (bekas muntahan,
darah, sekret yang tertahan), adanya edema pada mulut, faring,
laring, disfagia, suara stridor, gargling atau whezing yang
menandakan adanya masalah pada jalan nafas.
2. Breathing: Kaji keefektifan pola nafas, Respiratory Rate,
abnormalitas pernapasan, pola nafas, bunyi nafas tambahan,
penggunaan otot bantu nafas, adanya nafas cuping hidung,
saturasi oksigen.
3. Circulation: kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi,
capillary refill, akral, suhu tubuh, warna kulit, kelembapan kulit,
perdarahan ekternal jika ada.
4. Disability: berisi pengkajian kesadaran dengan GCS, ukuran dan
reaksi pupil.
5. Exposure: berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury
atau kelainan lain atau lingkungan yang ada disekitar klien.
b. Pengkajian Sekunder
1. Keadaan/ penampilan umum

a. Kesadaran: composmentis
b. Tanda-tanda vital
1. TD: 120 / 80 mmhg
2. Nadi: Frekuensi: 80 – 100 kali per menit, Irama: teratur
3. Respirasi: Frekuensi: 16 – 24 kali per menit, Irama: teratur
4. Suhu : 36,5 – 37,5°C
c. History (Sample)
1. Subjektif: berisi keluhan utama yang dirasakan pasien.
2. Alergi: kaji adanya alergi terhadap makanan atau obat.
3. Medikasi: kaji penggunaan obat yang sedang atau pernah
dikonsumsi.
4. Riwayat penyakit sebelumnya: riwayat penyakit sebelumnya
yang berhubungan dengan yang sekarang.
5. Last meal: berisi hasil pengkajian makanan atau minuman
terakhir yang pernah dikonsumsi oleh pasien sebelum datang ke
IGD.
6. Event leading: berisi kronologi kejadian, lamanya gejala yang
dirasakan, penanganan yang telah dilakukan, gejala lain yang
telah dirasakan, lokasi nyeri atau keluhan lain yang dirasakan
d. Pemeriksaan fisik
Aspek neurologis yang di kaji adalah : tingkat kesadaran, biasanya
GCS < 15, disorentasi orang, tempat dan waktu, perubahan nilai
tanda– tanda vital, kaku kuduk, hemiparese.
2.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan hipoksia serebral
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
2.9.3 Intervensi keperawatan

Anda mungkin juga menyukai