PENDAHULUAN
Dengan semakin meningkatnya teknologi dan industri dinegara kita terutama kendaraan
bermotor serta peningkatan kriminalitas, maka akan meningkat pula angka kejadian trauma,
termasuk cidera kepala dan trauma thorax. Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. 80 % di kelompokan sebagai cidera kepala ringan, 10% termasuk cidera
sedang dan 10 % termasuk cidera kepala berat. Angka mortalitas trauma thorax di Amerika
Utara adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena
trauma yang terjadi.
Cidera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam
pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan
usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah,
disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Cidera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai
pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian
oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cidera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat
penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Trauma thorax adalah luka atau cidera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Banyak penderita trauma thorax meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak
kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi.
Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax
yang membutuhkan tindakan thorakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan
tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus
penyelamatan kasus trauma thorax.
Schulpen mengemukakan jumlah terbanyak penderita trauma adalah golongan umur 16 - 25
tahun dengan angka kematian 35% pada yang disertai dengan trauma thorax dan 18% tanpa
trauma thorax. Sedang Glinz W mendapatkan penderita trauma tumpul thorax bersamaan
dengan trauma lainnya, yaitu 51% dengan trauma kapitis, 20% dengan trauma abdomenen, 38%
1
dengan fraktur ekstremitas, 12% dengan fraktur maksilo-fasial, 13% dengan fraktur pelvis dan
6% dengan fraktur tulang belakang. Pneumothorax, hemothorax, pneumomediastinum dan
emfisema subkutis merupakan manifestasi klinik yang paling sering didapati pada penderita-
penderita dengan trauma thoraxs. Dalam penatalaksanaan trauma harus selalu diingat ABC
yaitu airway, breath dan circulation.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).
B. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,fosa media
tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum (American college of surgeon, 1997).
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri
atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cidera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat(Japardi,2004).
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
4
sering mengalami cidera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cidera kepala (American college
of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak
dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi
otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004)
D. Otak
6
TIK seteelah cidera kepala,semakin buruk prognosisnya (American college of
surgeon,1997)
H. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar
dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama
dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan
otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V
br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
I. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata mean
arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari
70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American
college of surgeon,1997)
J. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang.
Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami
kematian dan kerusakan yang menetap (American college of surgeon, 1997).
2.1.4 PATOFISIOLOGI CIDERA KEPALA
Pada cidera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cidera
primer dan cidera sekunder.Cidera primer merupakan cidera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh prosesak selarasi deselarasi gerakan kepala.
7
Dalam mekanisme cidera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cidera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid)dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cidera sekunder merupakan cidera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
2.1.5 KLASIFIKASI CIDERA KEPALA
Cidera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cidera kepala, dan
morfologinya.
A. Mekanisme cidera kepala
Berdasarkan mekanismenya cidera kepala dibagi atas cidera kepala tumpul dan
cidera kepala tembus. Cidera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.Sedang
cidera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,2009).
K. Beratnya cidera Cidera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma
Scale adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cidera kepala berat.
2. Cidera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
G
8
L. Morfologi cidera
Secara morfologis cidera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervusfasialis (Bernath, 2009) Fraktur cranium terbuka atau komplikata
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan
otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang
tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
banyak mempunyai cidera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20kali
9
pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan
(Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau
kedua bentuk cidera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cidera otak difusa,secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau
bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk
bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun
mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-
kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior.Walau hematoma epidural relatif
tidak terlalu sering (0.5% darikeseluruhan atau 9% dari pasien koma
cidera kepala), harus selaludiingat saat menegakkan diagnosis dan
ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena
penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama.
Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita
dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya ‘lucid interval´
yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang
tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah
saraf(Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex,
melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral
10
(tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas
duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media
kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan arakhnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukansekitar 30% penderita dengan cidera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining . Namun ia juga dapat berkaitan dengan
laserasi permukaan atau substansi otak.Fraktura tengkorak mungkin ada
atau tidak (American college of surgeon, 1997)Selain itu, kerusakan otak
yang mendasari hematoma subdural akuta biasanyasangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.Mortalitas umumnya
60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat
segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagimenjadi
akut dan kronis.
11
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah
yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah
lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisilainnya (countrecoup).Defisit neurologi yang
didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan
(Hafidh, 2007)
d. Cidera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cidera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cidera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cidera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis
yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cidera ini sering terjadi,
namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia.Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cidera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia
retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cidera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
12
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera.
Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa
waktu.defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cidera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana pendeerita mengalami koma pasca cidera yang berlangsung lama
ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa
waktuu.Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan
bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan
hidup.Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cidera
aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak mudah,
dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan (American
college of surgeon,1997)
13
a. Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia/anti muntah.
b. Adanya kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor - faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
d. Adanya lateralisasi.
e. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
f. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
g. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
h. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi luasnya
lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada
24 - 72 jam setelah injuri.
O. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
P. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
Q. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
R. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
S. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
T. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
U. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
V. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
W. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
X. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran (Haryo, 2008)
2.1.7 PENATALAKSANAAN
14
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cidera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cidera kepala
tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cidera kepala ringan, sedang,
atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cidera kepala khususnya dengan cidera
kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cidera otak sekunder
dan mencegah homeostasis otak (ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cidera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
A. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
Y. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
Z. Penurunan tingkat kesadaran
AA. Nyeri kepala sedang hingga berat
BB. Intoksikasi alkohol atau obat
CC. Fraktura tengkorak
DD. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
EE.Cidera penyerta yang jelas
FF. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
GG. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medika mentosa pada penderita cidera kepala dilakukan
untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian
manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa
kasus cidera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif
ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuro radiologi dan patofisiologi dari
lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
15
A. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau
lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
B. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
C. Tanda fokal neurologis semakin berat
D. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
E. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
F. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmhg.
G. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang ct scan
H. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
I. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
2.1.8 PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cidera kepala sudah mendapat
terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan
yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang
lebih rendah untuk pemulihan dari cidera kepala (American college
of surgeon,1997). Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat
trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
16
pektoralis minor, m. intercostalis eksternus, costae, m. intercostalis internus, m. intercostalis
intima, dan m. transverses thorakalis.
Anatomi Thoraks
Fungsi thorax antara lain :
A. Fungsi respirasi, proses inspirasi dan ekspirasi
HH. Melindungi organ-organ yang berada di dalam rongga thorax.
17
darah yang terjadi pada keadaan pernapasan yang menurun, dapat mengenai
penderita yang tidak sadar dan mengalami perubahan tekanan intrathorax.
Sedangkan asidosis metabolik akan terlihat pada keadaan perfusi jaringan yang
menurun.
2.3.2 Klasifikasi trauma
A. Trauma tumpul
KK. Trauma tembus : tajam, tembak, tumpul yang menembus.
2.3.3 Gejala umum trauma thorax
A. Gejala yang sering dilihat pada trauma thorax adalah : nyeri dada dan sesak nafas
atau nyeri pada waktu nafas.
LL.Pasien tampak sakit, sesak atau sianotik dengan tanda trauma thorax atau jejas
pada dadanya. Lebih dari 90 % trauma thoraxs tidak memerlukan tindakan
pembedahan berupa thoraxotomi, akan tetapi tindakan penyelamatan dini dan
tindakan elementer perlu dilakukan dan diketahui oleh setiap petugas yang
menerima atau jaga di unit gawat darurat. Tindakan penyelamatan dini ini sangat
penting artinya untuk prognosis pasien dengan trauma thoraxs.
2.3.4 Prinsip pengelolaan penderita dengan cidera thoraxs:
A. Pemeriksaan primer/awal
MM. Resusitasi fungsi vital
NN. Pemeriksaan sekunder/lanjutan secara terperinci
OO. Evaluasi diagnosis
PP. Perawatan definitif
Trauma thorax yang memerlukan tindakan dan atau pembedahan gawat/segera
adalah yang menunjukkan :
1. Obstruksi jalan nafas
2. Hemothorax massif
3. Tamponade pericardium/jantung
4. Tension pneumothorax
5. Flail chest
6. Pneumothorax terbuka
7. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial.
18
2.4 Flail Chest
Flail Chest adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga
multipel berturutan ≥ 3 iga, dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap iganya.
Flail Chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua
atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Akibatnya adalah: terbentuk area
"flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding
dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.
Flail chest dapat diperburuk oleh kontusio pulmonal. Adanya segmen flail chest
(segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika
kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka
akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu
trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-
stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan
ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding
dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan
dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan
tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur
tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat
fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat.
Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga
membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian
ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan
syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah
kelebihan pemberian cairan.
Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap
kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus
dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk
mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan
analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan
ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi
serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang
terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi
19
pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan
suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
2.4.1 Etiologi
Flail chest terjadi karena trauma tumpul yang kuat ke arah dada sehingga
menyebabkan fraktur costae di beberapa tempat. Trauma ini misalnya seperti
kecelakaan lalu lintas maupun jatuh. Meskipun flail chest menunjukkan adanya daya
kinetic sangat kuat yang mengenai dada, namun hal ini dapat terjadi akibat trauma
yang lebih ringan pada pasien dengan kelainan patologis, seperti osteoporosis, total
sternectomy, dan multiple myeloma.
Flail chest juga dapat terjadi karena trauma tembus, misalnya akibat luka tusuk,
luka tikam, maupun luka tembak.
Fraktur costae dapat terjadi dimana saja disepanjang costae tersebut. Dari kedua
belas costae yang ada, tiga costae pertama paling jarang mengalami fraktur, hal ini
disebabkan karena costae tersebut sangat terlindungi. Costae 4-9 paling banyak
mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang
sangat sedikit, sedangkan tiga costae terbawah yakni costae 10-12 juga jarang
mengalami fraktur oleh karena mobile.
2.4.2 Patofisiologi
Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping
ataupun dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan
trauma costa,tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada dinding dada,
maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa.1
Pada trauma langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costa pada
tempat traumanya .Pada trauma tidak langsung, fraktur costa dapat terjadi apabila
energi yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costa tersebut, seperti
pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan belakang, maka akan
terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costa, dimana pada tempat tersebut
merupakan bagian yang paling lemah.5
Fraktur costa yang “displace” akan dapat menciderai jaringan sekitarnya atau
bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat menciderai a.intercostalis,
pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya
hematotoraks, pneumotoraks ataupun laserasi jantung.5
Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai
dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
20
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang
mungkin terjadi (kontusio paru). Ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan
paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi.5
Gerakan paradoksal akan menyebabkan fungsi ventilasi paru menurun sebagai
akibat dari aliran udara yang kekurangan O2 dan kelebihan CO2 masuk ke sisi paru
yang lain (rebreathing). Pergerakan fraktur pada costae akan menyebabkan nyeri yang
sangat hebat dan akan membuat pasien takut bernafas. Hal ini akan menyebabkan
hipoksia yang serius. Hipoksia terjadi lebih karena faktor nyeri sehingga membatasi
gerakan dinding dada. Disamping itu, hal ini juga akan menimbulkan mediastinum
akan selalu bergerak mengikuti gerak nafas ke kiri dan ke kanan. Keadaan ini akan
menyebabkan gangguan pada venous return dari system vena cava, pengurangan
cardiac output, dan penderita jatuh pada kegagalan hemodinamik.
Flail chest menyebabkan hal-hal di bawah ini:
A. Segmen yang mengambang akan bergerak ke dalam selama fase inspirasi dan
bergerak ke luar selama fase ekspirasi, sehingga udara inspirasi terbanyak
memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini akan masuk pada paru
ipsilateral selama fase ekspirasi; keadaan ini disebut dengan respirasi pendelluft.
QQ. Pergerakan ke dalam dari segmen yang mengambang akan menekan paru-
paru di bawahnya sehingga mengganggu pengembangan paru ipsilateral.
RR. Mediastinum terdorong ke arah kontralateral selama fase inspirasi oleh
adanya peningkatan tekanan negatif hemitoraks kontralateral selama fase ini,
sehingga pengembangan paru kontralateral juga akan terganggu.
SS. Pergerakan mediastinum di alas akan mengganggu venous return jantung.
21
Mekanisme Flail Chest
2.4.3 Gejala Klinis
Awalnya mungkin tidak terlihat, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada.
Gerakan paradoksal segmen yang mengambang saat inspirasi ke dalam, ekspirasi
ke luar. Gerakan ini tidak terlihat pada pasien dengan ventilator.
Pada pemeriksaan, ditemui :
A. Sesak nafas
TT.Krepitasi iga, fraktur tulang rawan
UU. Takikardi
VV. Sianosis
WW. Pasien menunjukkan trauma hebat
XX. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen,
ekstremitas).
2.4.4 Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan cepat, yang perlu ditanyakan adalah waktu
kejadian, tempat kejadian, mekanisme trauma, bagaimana keadaan penderita
selama dalam perjalanan. Pada anamnesis didapatkan riwayat trauma yang
mengenai dinding dada.
a. Gejala: nyeri dada, sesak nafas
b. Riwayat benturan yang keras yang mengenai dinding dada
B. Pemeriksaan fisik
a. Airway
- Look benda2 asing di jalan nafas, fraktur tulang wajah, fraktur laring,
fraktur trakea
- Listen Dapat bicara, ngorok, berkumur-kumur, stridor
22
- Feel
b. Breathing
- Look pergerakan dinding dada asimetris, warna kulit, memar,
deformitas, gerakan paradoksal, pasien terlihat nyeri saat bernafas, pasien
menahan dadanya dan bernafas pendek, adanya tanda-tanda insufisiensi
pernafasan berupa nafas cepat
- Listen vesikular paru, suara jantung, suara tambahan
- Feel krepitasi, nyeri tekan, jika terjadi komplikasi berupa
pneumotoraks didapatkan perkusi hipersonor, jika terjadi komplikasi
berupa hemothorax didapatkan perkusi redup
c. Circulation
- Tingkat kesadaran
- Warna kulit
- Tanda-tanda laserasi
- Perlukaan eksternal
d. Disability
- Tingkat kesadaran
- Respon pupil
- Tanda-tanda lateralisasi
- Tingkat cidera spinal
e. Exposure
C. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen standar
- Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat menentukan jumlah dan
tipe costae yang fraktur.
- Pada pemeriksaan foto thoraks pasien dewasa dengan trauma tumpul
toraks, adanya gambaran hematotoraks, pneumothoraks atau kontusio
pulmo menunjukkan hubungan yang kuat dengan gambaran fraktur costa.
- Setelah dibuktikan dengan foto rontgen bahwa terjadi fraktur pada costa,
maka pada daerah cidera harus dipasang strapping/ balut tekan yang kuat
selama 2-3 minggu.
23
flail chest pada foto rontgen
b. EKG
c. Monitor laju nafas, analisis gas darah
Dapat ditemukan pada pemeriksaan lab yang berupa analisa gas darah
dengan penurunan PO2.
d. Pulse oksimetri
D. Penatatalaksanaan
1. Primary Survey
a. Airway dengan control servikal
Penilaian Manajemen
1) Perhatikan patensi airway 1) Lakukan chin lift dan atau jaw
(inspeksi, auskultasi, palpasi) thrust dengan kontrol servikal
2) Penilaian akan adanya in-line immobilisasi
obstruksi 2) Bersihkan airway dari benda
asing.
3) Memasang airway definitif
intubasi endotrakeal
d. Disability
o Menilai tingkat kesadaran memakai GCS
o Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi
tanda-tanda lateralisasi.
e. Exposure/environment
o Buka pakaian penderita
o Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan temapatkan pada ruangan
yang cukup hangat.
2. Tambahan Primary Survey
a. Pasang monitor EKG
b. Kateter urin dan lambung
c. Monitor laju nafas, analisis gas darah
d. Pulse oksimetri
26
e. Pemeriksaan rontgen standar
f. Lab darah
g. Resusitasi fungsi vital dan reevaluasi
h. Penilaian respon penderita terhadap pemberian cairan awal
i. Nilai perfusi organ (nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta
awasi tanda-tanda syok.
3. Secondary Survey
a. Anamnesis AMPLE dan mekanisme trauma
b. Pemeriksaan fisik
- Kepala dan maksilofasial
- Vertebra servikal dan leher
- Thorax
- Abdomen
- Perineum
- Musculoskeletal
- Neurologis
- Reevaluasi penderita
4. Terapi Definitif
a. Fiksasi internal dengan menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah
dengan operatif
b. Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
o Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (contoh:
hematotoraks masif, dsb)
o Gagal/sulit weaning ventilator
o Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
o Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
o Menghindari cacat permanen
c. Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak
didapatkan lagi area "flail"
E. Komplikasi
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air
movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada
pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada
daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari
27
dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara
keseluruhan.
F. Prognosis
Selama ini, pasien dengan flail chest dilaporkan memiliki angka mortalitas
sebesar 5-10% jika pasien sampai di RS dalam keadaan masih hidup. Pasien
yang tidak memerlukan ventilasi mekanis mempunyai statistic yang lebih baik
dan secara keseluruhan mortalitas akan meningkat dengan meningkatnya skor
keparahan luka, umur, dan jumlah costa yang mengalami fraktur.4
Hemothorax adalah adanya kumpulan darah di dalam ruang antara dinding
dada dan paru-paru (rongga pleura). Sumber darah mungkin dari dinding dada,
parenkim paru–paru, jantung atau pembuluh darah besar. Kondisi biasanya
merupakan akibat dari trauma tumpul atau tajam. Ini juga mungkin merupakan
komplikasi dari beberapa penyakit. (Puponegoro, 1995).
Hemathothoraks (hemotoraks) adalah terakumulasinya darah pada rongga
thoraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada. Hemathothoraks biasanya
terjadi karena cidera di dada. Penyebab lainnya adalah pecahnya sebuah
pembuluh darah atau kebocoran aneurisma aorta yang kemudian mengalirkan
darahnya ke rongga pleura.
2.5 Hemothorax
2.5.1 Definisi
Hemothoraks adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura (antara pleura
viseralis dan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada dinding dada
bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan mengakibatkan darah
mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan penekanan pada paru.
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria
interna. Rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan
yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga
toraks.
2.5.2 Etiologi
Penyebab utama hemothorax adalah trauma, seperti luka penetrasi pada paru,
jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada. Trauma tumpul pada dada juga
28
dapat menyebabkan hemothorax karena laserasi pembuluh darah internal (Mancini,
2011).
Menurut Magerman (2010) penyebab hemothorax antara lain :
a. Traumatis
- Trauma tumpul.
- Penetrasi trauma (Trauma tembus, termasuk iatrogenik).
b. Non traumatic atau spontan
- Neoplasia (primer atau metastasis).
- Diskrasia darah, termasuk komplikasi antikoagulasi.
- Emboli paru dengan infark.
- Robek adhesi pleura berkaitan dengan pneumotorax spontan.
- Bullous emfisema.
- Tuberkulosis.
- Paru atriovenosa fistula.
- Nekrosis akibat infeksi.
- Telangiektasia hemoragik herediter.
- Kelainan vaskular intratoraks non pulmoner.
- Sekuestrasi inralobar dan ekstralobar.
- Patologi abdomen.
Hemothoraks massif lebih sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak
pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
2.5.3 Patofisiologi
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan
dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis
terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik
dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan
kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah perdarahan dan
kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria 70-
kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal
syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah).
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk terjadi
dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena rongga
29
pleura seorang pria 70-kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah, perdarahan
dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk organ cidera, tingkat keparahan cidera, dan cadangan
paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru, dan
struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat defibrination
darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam penghentian
perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan
cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar
dan gejala efusi pleura berdarah.
Hemotoraks traumatik
trauma laserasi pembuluh darah atau struktur parenkim paru perdarahan darah
berakumulasi di rongga pleura hemotoraks.
30
Skema Patofisiologi Trauma Toraks
2.5.4 Klasifikasi
Pada orang dewasa secara teoritis hemothorax dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
a. Hemothorax ringan
Jumlah darah kurang dari 400 cc
Tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada foto thoraks
Perkusi pekak sampai iga IX
b. Hemothorax sedang
Jumlah darah 500 cc sampai 2000 cc
15% - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
Perkusi pekak sampai iga VI
c. Hemothorax berat
Jumlah darah lebih dari 2000 cc
35% tertutup bayangan pada foto thoraks
Perkusi pekak sampai iga IV
31
a. b. c.
A. Respon hemodinamik
Respon hemodinamik sangat tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi.
Tanda-tanda shock seperti takikardi, takipnea, dan nadi yang lemah dapat muncul
pada pasien yang kehilangan 30% atau lebih volume darah
B. Respon respiratori
Akumulasi darah pada pleura dapat menggangu pergerakan napas. Pada kasus
trauma, dapat terjadi gangguan ventilasi dan oksigenasi, khususnya jika terdapat
injuri pada dinding dada. Akumulasi darah dalam jumlah yang besar dapat
menimbulkan dispnea. (Mancini, 2011)
Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan hilangnnya
darah. Perdarahan hingga 750 mL biasanya belum mengakibatkan perubahan
hemodinamik. Perdarahan 750-1500 mL akan menyebabkan gejala gejala awal syok
(takikardi, takipneu, TD turun).
Adapun tanda dan gejala adanya hemotoraks dapat bersifat simptomatik namun
dapat juga asimptomatik. Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan
32
hemothoraks yang sangat minimal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan
symptom, diantaranya:
2.5.6 Diagnosa
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang diperoleh dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan
penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Juga bisa didapatkan
keterangan bahwa penderita sebelumnya mengalami kecelakaan pada dada. Pada
pemeriksaan fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin didapatkan
gerakan napas tertinggal atau adanya pucat karena perdarahan. Pada perkusi
didapatkan pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada auskultasi didapatkan
bunyi napas menurun atau bahkan menghilang.
34
CT-scan Hematotoraks
USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk
pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
2.5.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan hemodinamik
pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga
pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik adalah dengan resusitasi
seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi darah, dilanjutkan pemberian
analgetik dan antibiotik.
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks adalah
mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan cara:
35
Chest tube (Tube thoracostomy drainage) : tube thoracostomy drainage
merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks. Insersi chest tube
melalui dinding dada untuk drainase darah dan udara. Pemasangannya
selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke ukuran normal.
Indikasi untuk pemasangan thoraks tube antara lain:
Adanya udara pada rongga dada (pneumothorax)
Perdarahan di rongga dada (hemothorax)
Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax or
hemothorax)
abses paru atau pus di rongga dada (empyema).
Adapun langkah-langkah dalam pemasangan chest tube thoracostomy adalah
sebagai berikut:
Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan
menggunakan alkohol atau povidin iodine pada ICS VI atau ICS VII posterior
Axillary Line
Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakn
lidokain
Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line
Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan
selanjutnya dihubungkan dengan WSD (Water Sealed Drainage)
Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube
Prosedur torakotomi
Trombolitik agent : trombolitik agent digunakan untuk memecahkan bekuan
darah pada chest tube atau ketika bekuan telah membentuk massa di rongga
pleura, tetapi hal ini sangat berisiko karena dapat memicu terjadinya
perdarahan dan perlu tindakan operasi segera.
2.5.8 Komplikasi
Komplikasi dapat berupa :
a. Kegagalan pernafasan (Paru-paru kolaps sehingga terjadi gagal napas dan
meninggal).
b. Fibrosis atau skar pada membran pleura.
c. Pneumothorax.
d. Pneumonia.
e. Septisemia.
f. Syok.
37
Perbedaan tekanan yang didirikan di rongga dada oleh gerakan diafragma (otot
besar di dasar toraks) memungkinkan paru-paru untuk memperluas dan kontak. Jika
tekanan dalam rongga dada berubah tiba-tiba, paru-paru bisa kolaps. Setiap cairan
yang mengumpul di rongga menempatkan pasien pada risiko infeksi dan mengurangi
fungsi paru-paru, atau bahkan kematian.
2.5.9 Prognosis
Prognosis berdasarkan pada penyebab dari hemothoraks dan seberapa cepat
penanganan diberikan. Apabila penanganan tidak dilakukan segera maka kondisi
pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di rongga thoraks
yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum serta trakea ke
sisi yang sehat.
38
BAB III
LAPORAN KASUS
I.1 Identitas
Nama : Tn. J
Usia : 35 tahun
TTL : 4 Januari 1984
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Watupawon, RT 4, RW 5 Kawengen, Ungaran
No. CM : 251440
Tanggal masuk : 22 Juli 2019 pukul 14.40 WIB
Keluhan utama
-
39
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat hipertensi dan diabetes melitus dalam keluarga disangkal.
Riwayat sosial :
Riwayat konsumsi minuman beralkohol disangkal
Riwayat konsumsi obat-obatan disangkal
E. Pemeriksaan penunjang
( Tanggal 22 Juli 2019 )
Laboratorium
Hb : 13,2 g/dl
Lekosit : 13.790 /ul
Trombosit : 241.000/ul
41
Hematokrit : 38,6 %
Eritrosit : 4,47 x 106 /ul
Radiologi :
X foto Thorax PA :
Gambaran kontusio pulmo kanan
Multiple fraktur costa 2, 3, 4, 5, 6 posterolateral kanan
Emfisema subcutis hemithorax kanan
X foto Cranium :
Tak Nampak fraktur ossa calvaria
Soft tissue swelling regio occipital kanan
Foto Polos Abdomen :
Tak Nampak pneumoperitoneum
USG Abdomen :
Tak tampak jejas pada hepar, lien saat ini
Cairan bebas minimal paravesika
Efusi pleura kanan dd hemothorax
42
X - foto thorax PA (22 Juli 2019)
43
Foto Polos Abdomen (22 Juli 2019)
44
I.4 Diagnosis Kerja
Cidera Kepala Sedang
Flail Chest
Hemothorax
I.6 Tatalaksana
Planning diagnosis : -
Planning Terapi :
O2 Nasal Canul 3 lpm
Pasang Collar brace
Pasang Dower catheter
Rawat luka dan hecting
Infus RL loading 500 cc
Injeksi Citicolin 500mg/12 jam
Injeksi Mecobalamin 500mg/12 jam
Injeksi Ketorolac 30mg/12 jam
Injeksi Ranitidin 1A/12 jam
Injeksi Ceftriaxone 1gr/12 jam
Injeksi Asam Tranexamat 1A/8 jam
Injeksi vitamin K 1A/12 jam
Pantau TTV dan KU pasien di ruangan
Konsul dr. SpB dengan Advis :
o Cito WSD
o Cito Laparoskopi diagnostik
Planning monitoring :
Pengawasan kesadaran
Pengawasan tanda vital
Pengawasan saturasi oksigen
Pengawasan produksi WSD
I.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
45
I.8 Follow-up
22 Juli 2019 (di ruangan)
• S : Nyeri pada dada sisi kanan terutama saat menarik napas terasa seperti terganjal, sesak
napas . Keluhan tidak berkurang dengan perubahan posisi. Nyeri kepala
23 Juli 2019
• S : Pasien mengatakan nyeri dada dan sesak napas.
• O : Keadaan umum pasien nampak kesakitan. Kesadaran komposmentis.
• TD 110/70, SpO2 96%, N 101x/m, suhu 36.7’C.
• Hasil USG abdomen ditemukan cairan bebas minimal paravesica
• Efusi pleura kanan, tak tampak jejas pada hepar dan lien.
• Produksi WSD (+)
• gerakan paradoxal area flail chest hemithorax kanan (+)
• A : CKS, Flail Chest, Hemothorax
• P:
• Injeksi Dexktoprofen 1A /12 jam
• Injeksi Ranitidin 1A /12 jam
• Injeksi Ceftriaxone 1gr /12 jam
• Injeksi Asam Tranexamat 500 mg /8 jam
• Konsul dr. SpB dengan advis tingkatkan hisapan WSD dari 5mmHg menjadi
10mmHg jika pasien tidak sangat kesakitan, posisi setengah duduk dan jika terjadi
distensi, CITO laparotomi.
46
24 Juli 2019
• S : Nyeri dada dan sesak napas berkurang.
25 Juli 2019
Pagi hari
• S : Nyeri dada dan sesak napas minimal.
• O : Keadaan umum pasien Nampak sedikit kesakitan.
• Kesadaran composmentis.
• TD 110/60, SpO2 98%, N 74x/m, suhu 36.7’C.
• Produksi WSD (-).
• Chest tube – WSD di klem.
• gerakan paradoxal area flail chest hemithorax kanan (+)
• A : CKS, Flail Chest, Hemothorax
• P : Dilakukan klem chest tube
• Injeksi Dexktoprofen 1A /12 jam
• Injeksi Ranitidin 1A /12 jam
• Injeksi Ceftriaxone 1gr /12 jam
• Injeksi Asam Tranexamat 500 mg /8 jam
Malam hari
• S : Nyeri dada (+) dan sesak napas meningkat.
• O : Keadaan umum pasien gelisah.
• Kesadaran composmentis.
• TD 110/70, SpO2 98%, N 96x/m, suhu 38.6’C.
47
• A : CKS, Flail Chest, Hemothorax, Hipertermi
• P:
• Injeksi Dexktoprofen 1A /12 jam
• Injeksi Ranitidin 1A /12 jam
• Injeksi Ceftriaxone 1gr /12 jam
• Injeksi Asam Tranexamat 500 mg /8 jam
• Paracetamol drip 500mg (E)
26 Juli 2019
Pagi hari
• S : nyeri dada dan sesak napas minimal.
• O : Keadaan umum pasien nampak sedikit kesakitan.
• Kesadaran composmentis.
• TD 110/90, SpO2 98%, N 70x/m, suhu 36.5’C.
• gerakan paradoxal area flail chest hemithorax kanan (+)
• A : CKS, Flail Chest, Hemothorax
• P : Dilakukan pemeriksaan rontgen thorax
• Injeksi Dexktoprofen 1A /12 jam
• Injeksi Ranitidin 1A /12 jam
• Injeksi Ceftriaxone 1gr /12 jam
• Injeksi Asam Tranexamat 500 mg /8 jam
• Paracetamol tab 4x500 mg
Malam hari
• S : Kedinginan, menggigil, sesak napas bertambah
• O : Keadaan umum pasien apatis,
• TD 130/70, suhu 39.1’C, SpO2 91%, Nadi 90x/m.
• Hasil pemeriksaan penunjang:
• Hasil rontgen thorax ditemukan gambaran hemothorax kanan.
• A : CKS, Flail Chest, Hemothorax, Hipertermi
• P:
• Dilakukan pemasangan NRM dengan O2 10lpm, Paracetamol drip 500mg/6 jam dan
pengawasan KU per jam, cek darah rutin cito.
• Konsul dr. SpB dengan advis dilakukan repair chest tube – WSD tanggal 27 Juli
2019
• Hasil Pemeriksaan penunjang 26 Juli 2019
48
• Hasil lab darah rutin :
• Hb 9.5 g/dL
• Leukosit 5600 /ul
• Trombosit 151.000 /ul
• Hematokrit 26.7 %
• Eritrosit 3.19 x 106 /ul
49
.
28 Juli 2019
• S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan, sudah tidak sesak.
29 Juli 2019
• S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan, sudah tidak sesak.
30 Juli 2019
• S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan, sudah tidak sesak.
50
• Tekanan darah 120/80 mmHg, HR 76x/menit, RR 20x/menit, Suhu 36.5’C,
saturasi 98% (Tanpa nasal canul)
• Gerakan paradoxal area flail chest hemithorax kanan (+)
• A : CKS, Flail Chest, Hemothorax
• P : Dilakukan klem chest tube.
• Injeksi Dexktoprofen 1A /12 jam
• Injeksi Ranitidin 1A /12 jam
• Injeksi Ceftriaxone 1gr /12 jam
• Injeksi Asam Tranexamat 500 mg /8 jam
• Paracetamol tab 4x500 mg
31 Juli 2019
• S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan, sudah tidak sesak.
51
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 35 tahun datang ke IGD dalam kondisi tak sadar setelah terjatuh dari
jurang dengan ketinggian ± 5 meter saat berkendara motor 15 menit sebelum masuk rumah
sakit. Dari pemeriksaan kesadaran pasien didapatkan GCS E2V2M5. Pada pemeriksaan fisik
generalis, wajah ditemukan vulnus excoriatum multiple, luka terbuka pada telinga kiri.
Pemeriksaan thorax di hemithorax dextra ditemukan adanya area dengan jejas serta gerakan
paradoxal setinggi costa 2,3,4,5,6. Dari pemeriksaan penunjang foto thorax didapatkan fraktur
costa pada costa 2, 3, 4, 5, 6 dengan 2 atau lebih garis fraktur. Ditemukan pula adanya efusi
pleura dextra. Hasil pemeriksaan ini sesuai dengan diagnosis cidera kepala sedang (GCS 9-12),
Flail chest (gerakan paradoxal pada hemithorax kanan, fraktur costa multiple segmented dari x
foto thorax), dan Hemothorax (efusi pleura dextra).
Penegakan diagnosis hemothorax selain dari hasil gambaran efusi pada x foto thorax juga
didukung dengan adanya flail chest yang dapat menciderai a.intercostalis, pleura visceralis, paru
maupun jantung, dan menyebabkan terjadinya hemothorax (Davignon, 2004) dan tidak adanya
riwayat penyakit jantung dan paru yang diketahui sebelumnya.
Prinsip penanganan pasien yang paling awal dilakukan pada pasien trauma adalah Primary
survey untuk mengetahui tingkat kegawatan dan menentukan tindakan awal yang harus
dilakukan sehingga dapat mencegah pasien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Tatalaksana
untuk pasien ini antara lain :
Pemberian suplai oksigen dan pengawasan kesadaran serta tanda vital pasien,
Pemasangan neck collar sebagai pencegahan cidera medulla spinalis bila dicurigai ada
fraktur atau kelainan pada daerah cervical
Pemasangan chest tube yang disambungkan dengan WSD untuk mengevakuasi cairan
maupun udara pada cavum pleura yang dapat timbul setelah adanya trauma.
Pemasangan Dower catheter dengan tujuan immobilisasi dan balans cairan
Pemberin neuroprotecor dan vitamin :
Injeksi Citicolin 500mg/12 jam
Injeksi Mecobalamin 500mg/12 jam
Pemberian anti nyeri
Pemberian antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi
Prognosis dari pasien ini mengingat kesadaran pasien yang dapat pulih sempurna, serta fungsi
penunjang kehidupan lain yang baik, maka untuk Quo ad sanationam, Quo ad vitam dan Quo ad
functionam adalah dubia ad bonam
52
Daftar Pustaka
Bruce J.Simon. The Journal of Trauma_ Injury, Infection, and Critical CareJ Trauma.
2005;59:1256–1267. Available from: http://www.jtrauma.com/pt/re/jtrauma/pdfhandler.
Kluwer wolters. 2009.Trauma and acute care surger. Philadelphia: LippicottWilliams and Wilkins
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Setiawan, I., Tengadi K.A, Santoso, A. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC.
Jakarta.
Syamsuhidayat. R., Jong, W de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal. 403-
413
53