Anda di halaman 1dari 24

TRAUMATIC BRAIN INJURY

Disusunoleh:
JeanneMevrayano

1010312029

Pembimbing
dr.SyaifulSaanin,Sp.B,Sp.BS

BAGIANILMUBEDAH
FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITASANDALAS
PADANG

2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda
paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi
cerebral sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan
lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia
produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih
rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta
rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80%
dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang
dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan
para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan
pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah
identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan
yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

1.

ANATOMI KEPALA
Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan

yang disebut sebagai SCALP yaitu:


a. Skin atau kulit
b. Connective tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
e. Pericranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu Lama untuk
mengeluarkannya. (American college of surgeon, 1997).

2. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
dasar tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior tempat lobus
frontalis, fossa media tempat temporalis dan fossa posterior ruang bagi

bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon,


1997)
.

Gambar
3.

....................

Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
a.

Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial

(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana


sering dijumpai perdarahan subdural (Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan
pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan

perdarahan

subdural.

Sinus

sagitalis

superior

mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.


Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat
(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
b. Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan
dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater (Japardi, 2004).

4.

Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang
dewasa sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan


dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).

5. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (Hafidh, 2007).
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (japardi,2004)
7. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
(japardi,2004).
B. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
1. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang
tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.
TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg

dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,


semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)
2. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena
sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial
(Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya
yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf)
dan volume darah (Vbl). (American college of surgeon,1997)

Vic = V br + V csf + V bl
3. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri ratarata (mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai
TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.(American college of surgeon,1997)
4. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila
ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American
college of surgeon, 1997).
B. TRAUMA KAPITIS
A. DEFINISI
Trauma Kapitis atau Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala
yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial,
yang dapat bersifat temporer ataupun permanen.

Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu


kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
B. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasideselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang

tengkorak

(substansi

solid)

dan

otak

(substansi

semisolid)

menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.


Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
(japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
C. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis


dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera
kepala, dan morfologinya.
1. Berdasarkan Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda
tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan
(Bernath, 2009).
2. Berdasarkan Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
a. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat.
b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
c. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
Respon membuka mata (E)

Nilai

Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon verbal (V)

Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah

Nilai
6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5


Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

3. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur kranium dan
lesi intrakranial.
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign),
kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis
(Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan
yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang
tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi

risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan (Davidh, 2009)
b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difus,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,
2009)
1) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba

meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah


memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf (Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogen, bentuknya bikonveks sampai planokonvex,
melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi
kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks
licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat
diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak
lebih jelas (Gazali, 2007).

2) Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college
of surgeon, 1997).
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut. Biasanya
sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas
umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera
dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
a) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural
(Bernath, 2009).
b) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada
pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit
hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin
lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
3) Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada
setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi
dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,

terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).

Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma
ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih
berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan
amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).

Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya


atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam
bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.
Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia,
dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi massa atau serangan iskemik. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis
dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedera
otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan
tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam
bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah
ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan
menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5
cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas
kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal
neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi
jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi
syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos
posisi AP/lateral dan oblique.
2.

CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Indikasi CT Scan adalah :

a) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang


setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
b) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
c) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
f) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
g) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
3. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah

pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial


6. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

akibat

peningkatan tekanan intrkranial

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung
pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat
(Ariwibowo, 2008).

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.


Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)


Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktura tengkorak
Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan


dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
a.

Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial


Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
Tanda fokal neurologis semakin berat
Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmhg.
Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang ct scan
Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (bernath, 2009)

F. PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat
terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan

yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang
lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American college of
surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga
sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB III
ILUSTRASI KASUS
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. A

No. Registrasi

: 916788

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 42 tahun

ANAMNESIS
Keluhan utama

: Penurunan kesadaran sejak 7 jam sebelum masuk rumah

sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :

Awalnya pasien mengendarai sepesa motor lalu ditiba-tiba ditabrak oleh

mobil. Pasien tidak sadar setelah kejadian


Mual (-), muntah (-)
Keluar darah dari hidung dan telinga (-)
Kejang (-)
Trauma di tempat lain (-)

Riwayat Penyakit Dahulu : tidak pernah menerima keluhan seperti ini


sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan seperti ini
III.

PEMERIKSAAN FISIS
PRIMARY SURVEY
Aiway

: Clear

Breathing :I : Dada simetris kiri=kanan, RR=22x/menit, retraksi (-), deviasi


trachea (-)
P : Krepitasi (-), nyeri tekan (-)
P : Sonor kiri=kanan.
A: BP : Vesikuler, simetris kiri=kanan, BT: Rh-/-, Wh -/Circulation : kuat angkat, CRT< 2, akral
dingin (-).
Disability : GCS 12 (E2M6V5), pupil isokor, diameter 2mm/2mm, RC
+/+
SECONDARY SURVEY
Status Generalisata
Vital Sign
Keadaan umum

: sakit berat

Kesadaran

: GCS 12 (E2M5V5)

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 88x/menit

Nafas

: 22x/menit

Suhu

: 36,7oC

Kepala :
-

Telinga
- Mata

: Otore (-), perdarahan (-)


: Konjungtiva kedua mata tidak anemis, sklera tidak
ikterus, perdarahan subkonjungtiva (-).

Hidung

: I: Rhinorea(-),epistaksis (-),edem (-), hematom (-)


P: nyeri tekan (-) krepitasi (-)

- Zigomaticus

: I: edem (-) , hematom (-)


P: nyeri tekan (-) krepitasi (-)

Leher :
- Inspeksi

: Warna kulit sama dengan sekitar, tidak tampak


massa tumor.

- Palpasi

:Nyeri tekan (-), massa tumor (-), JVP 5+2 cmH2O

Thorax :
- Inspeksi

- Perkusi

:P : 22x/menit, simetris kiri=kanan,


thoracoabdominal type, normochest, , edema (-),
hematome (-).
: Nyeri tekan (-), krepitasi (-), vocal fremitus (+)
kedua hemithorax
: Sonor pada kedua lapangan paru. Batas paru hepar ICS

- Auskultasi

V kanan.
: Vesikuler..Wh-/-, Rh-/-

- Palpasi

Jantung
-

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

:
:
:
:

Iktus kordis tidak tampak


Iktus kordis tidak teraba
Pekak, batas jantung midclavicularis sinistra.
Bunyi jantung I/II dalam batas normal, bising (-)

Abdomen
- Inspeksi

: Cembung, ikut gerak napas, darm contour (-), darm

- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi

steifung (-)
: Peristaltik (+) kesan normal.
: Nyeri tekan (-), massa tumor (-), Hepar/lien ttb.
: Timpani (+), shifting dullness (-).

Vertebra
- Inspeksi

: Alignment tulang baik,. warna kulit sama dengan

- Palpasi

sekitarnya.
: tidak teraba massa tumor.

Ekstremitas
Inspeksi : Deformitas (-), edema (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa tumor (-)
Organ Genitalia
I : Dalam batas normal

Status Lokalis :
Regio Occipital:

IV.

Inspeksi : Tampak luka yang telah dijahit. hematom(-), edema (-), aktive

bleeding (-) pus (+).


Palpasi : Nyeri tekan (+), krepitasi (-)

Pemeriksaan Penunjang
Lab 08/12/2013

Pemeriksaan

Hasil

WBC

11,53 x103

RBC

4.24x106

HGB

12,1 g/dl

HCT

34,1 %

PLT

253 x 103

CT

700

BT

300

PT

12,7 control 10.9

APTT

23,7 control 25,0

GDS

149

Ureum

22

Kreatinin

0,6

SGOT

27

SGPT

14

Prot. Total

7,6

Na/K/Cl
HbsAg
Anti HCV
CT Scan Kepala (07/12/2013)

Kesan : Bone window : WNL


Brain window :Epidural dan Cerebellar hemorrhage
V.

DIAGNOSIS
Traumatic Brain Injury GCS 15 (E4M6V5) + SDH

VI.

RENCANA
-

Awasi KU, VS, A-B-C

Awasi GCS

Bedrest

O2 4 liter/menit

OVFD NaCl 0,9%

Th/ - Cefoperazon 2 x 1 gr IV

Ranitidin 2 x 1 amp

Ketorolac 2 x 1 amp

Manitol

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra
Utara: USU Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott
Williams and Wilkins

Anda mungkin juga menyukai