Disusun Oleh :
Sarah Friskila (112022213)
Dokter Pembimbing :
STASE BEDAH
REFERAT
1. AKBP dr. Adi Purnomo, Sp.B selaku pembimbing klinis dan kepala SMF Ilmu Bedah RS
Bhayangkara Prof. Awaloedin Djamin, Semarang.
3. Seluruh staff instalasi klinis Ilmu Bedah RS Bhayangkara Prof. Awaloedin Djamin,
Semarang.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini. Akhirnya dengan
segala kerendahan hari, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembacanya.
II. Etiologi
Epidural hematoma utama nya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan
pembuluh darah kepala biasa nya karena fraktur. Akibat trauma kapitis, tengkorak retak.
Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika gaya destruktif nya lebih kuat, bisa timbul
fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulang nya
menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio). Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecah nya pembuluh darah, biasa
nya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak. 1
III. Epidemiologi
Epidural Hematoma terjadi pada sekitar 2% cedera kepala dan 15% cedera kepala
fatal melibatkan epidural hematoma. Kondisi ini lebih tinggi terjadi pada kalangan remaja
dan dewasa muda, usia rata-rata pasien yang terkena adalah 20-30 tahun, dan jarang terjadi
setelah usia 50 hingga 60 tahun, seiiring bertambah nya usia seseorang, duramater menjadi
lebih melekat pada tulang diatas nya. Hal ini mengurangi kemungkinan berkembang nya
hematoma di ruang antara tengkorak dan dura.1
IV. Anatomi
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar sebasea
(keringat).
Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea. Pembuluh
darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi
lebih dominan arteri karotis eksterna.
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang
melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior),
m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup,
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi
infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP
bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini disebut
Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering ditemukan setelah
cedera kepala, terutama anak-anak.
Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat
terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung
berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki
Banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala
akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkan nya.2
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal
adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang
otak dan serebelum
c. Meningen
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu:
Gambar 1. Lapisan Pelindung Otak 2
Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar, terdiri atas
dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung melekat pada endosteum
tabula interna dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater merupakan selaput yang
keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh
arteri meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari
arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media, dan arteri
vertebralis untuk yang posterior. Arteri meningea terletak antara duramater dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis.1-2
Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari kata ektoderm. Terletak tepat dibawah
duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskular, mendapatkan nutrisi dari GCS
(cairan serebospinal). Kearah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula yang melekat
pada lapisan epipial dari piameter. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium sudural, dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinal. Pendarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat
cidera kepala.
Piamater
Piamater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada
lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga
diliputi oleh pia mater.
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum
dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa
lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi
bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.1-2
Gambar 2. Bagian Otak2
e. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
Gambar 3. Aliran Cairan Serebrospinal2
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior
V. Patofisiologi
Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada anak- anak-
anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi arteri maupun vena
menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi kronis atau tertunda dapat terjadi
bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan perdarahan atau hematom tidak melewati suture
line karena duramater melekat ketat, hanya pada sebagian kecil kasus yang sedikit melewati
suture line. Perdarahan epidural intrakranial sebagian besar berasal dari rupturnya arteri
meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa terlibat dalam
cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus sigmoid pada. cedera oksipital,
dan sinus sagital superior pada trauma verteks. Perdarahan epidural intrakranial bilateral
terjadi 2-10% dari semua kasus perdarahan epidural akut pada orang dewasa tetapi sangat
jarang terjadi pada anak-anak. Perdarahan epidural pada fossa posterior mencapai 5% dari
semua kasus perdarahan epidural.
Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor, seperti
pungsi lumbal atau anestesi epidural. Perdarahan epidural spinal dapat berhubungan dengan
antikoagulan, trombolisis, diskrasia darah, koagulopati, trombositopenia, neoplasma, atau
malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural biasanya terlibat, meskipun perdarahan dari arteri
juga terjadi. Aspek dorsal di daerah thorakal atau lumbal yang paling umum terkena, dengan
ekspansi terbatas pada beberapa tingkat vertebra.3
Penyebab perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi menjadi
trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul pada kepala akibat
serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi- deselerasi dan gaya melintang.
Selain itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi baru lahir dapat terjadi akibat distosia,
ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir. Penyebab non trauma
perdarahan epidural diantaranya adalah obat antikoagulan, agen trombolisis, lumbal pungsi,
anesthesia epidural, koagulopati, penyakit hepar dengan hipertensi portal, kanker, alkholisme
kronik malformasi vascular, herniasi diskus, penyakit paget pada tulang, valsava manuever.
Gangguan sinus venosus dura (sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat
menyebabkan perdarahan epidural di fossa posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis
superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber nerdarahan enidural
vano non arterial diantaranya adalah venous lakes. dipoic veins, granulatio arachnoid
VI. Diagnosis
Foto polos kepala, CT-Scan dan MRI penting untuk memberikan penilaian perdarahan
intrakranial akibat trauma kepala.
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral pada sisi yang mengalami trauma untuk
mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.
Gambar 4. Temporoparietal Yang Berakibat Perdarahan Epidural3
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya di satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks, paling epidural di spinal dapat
dikerjakan CT myelografi terutama pada yang tidak memungkinkan atau kontraindikasi
dikerjakan MRI.
Pada MRI kepala akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI kepala juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan
yang dipilih untuk menegakkan diagnosis. Pada perdarahan epidural spinal MRI penting
untuk memastikan lokasi segmen yang mengalami perdarahan
d. Laboratorium
1. Darah lengkap penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit terkait perdarahan
non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi untuk menyingkirkan diagnosis banding
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah juga perlu
diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik perdarahan epidural intrakranial
maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait penyebab trauma
kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif darurat.4
IX. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Tatalaksana umum
Resusitasi pasien trauma kepala bervariasi karena heterogenitas dari penyakit
itu sendiri. Tujuan dari semua upaya resusitasi awal yang baik adalah untuk memulai
sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit, dengan perhatian jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Sejak pasien datang ke ruang gawat darurat pasien
segera dipersiapkan evaluasi trauma menyeluruh, dimulai dengam inspeksi fraktur,
evaluasi mekanisme cidera untuk menilai daya benturan baik pada kranium maupun
daerah spinal, imobilisasi spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis.
Tiga penanda prediktor keluaran klinis yang buruk saat penanganan di departemen
gawat darurat adalah hipotermia, hipoksia, dan hipotensi. Hipotermia saat awal
menjadi penanda resusitasi yang jelek, dan sebaiknya suhu tubuh inti harus
dihangatkan secara pasif selama fase awal resusitasi. Resusitasi volume agresif untuk
hipotensi dan ventilasi yang memadai adalah fokus utama dalam upaya resusitasi
awal. Resusitasi pra-rumah sakit dengan hipertonik salin pada trauma kepala gagal
menunjukkan manfaat jangka panjang, Pada sebuah analisis post-hoc cairan "Saline
vs Albumin", resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan tingkat kematian lebih
tinggi daripada yang resusitasi dengan garam. Oleh karena itu, administrasi kristaloid
isotonik adalah metode yang disukai untuk resusitasi volume. Semua pasien dengan
trauma kepala harus memiliki ventilasi yang baik dan menjaga PO2 dan PCO2.
Suplementasi oksigen diberikan untuk mendapatkan SpO2 > 90%. Selama fase
resusitasi awal sangat penting untuk menyadari langkah-langkah yang sederhana
seperti elevasi kepala tidur (30 derajat), posisi kepala yang tepat untuk mencegah
penekanan vena jugularis dan kontrol nyeri yang memadai dan sedasi merupakan
metode yang sangat sederhana dan efektif untuk mengurangi tekanan intrakranial
(ICP).5
b. Tatalaksana Khusus
Terapi Medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital. Mempertahankan kontrol jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi yang telah ditangani saat resusitasi awal. Jalan nafas
harus selalu bebas dengan memastikan tidak ada lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal
dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena:
gunakan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi tekanan intrakranial. Beberapa cara yang dapat dicoba untuk
mengurangi tekanan intrakranial:
- Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan pa02 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila
dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 25-30
mmHg.
- Cairan Hiperosmoler
Cairan hiperosmoler diberikan untuk "menarik" air secara osmotik dari jaringan
otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-vaskular lalu melalui diuresis.
Cairan yang umum digunakan adalah Manitol 10-15% 0,25- 1g/KgBB diberikan
per infus selama 10-15 menit. Efek ini dapat berhasil dengan baik jika sawar darah
otak dalam keadaan normal. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu
tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;
mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau
keesokan harinya. Hati-hati dengan kontraindikasi pemberian manitol seperti gagal
jantung, gagal ginjal akut (AKI), hiperkalemia dan hipotensi. Selain manitol dapat
diberikan hipertonik salin. Hipertonik salin merupakan agen osmotik yang telah
lama digunakan sebagai tambahan terapi manitol atau pada individu yang telah
menjadi toleran terhadap manitol. Namun pada studi terbaru ternyata hipertonik
salin merupakan sebagai pengukur utama untuk mengontrol tekanan intrakranial.
Hipertonik saline bertujuan untuk meningkatkan natrium serum dan osmolalitas,
sehingga membentuk gradien osmotik. Air dapat berdifusi secara pasif dari ruang
intraseluler dan interstitial otak ke kapiler sehingga menurunkan tekanan
intrakranial. Meskipun cara kerja mirip dengan manitol, natrium klorida memiliki
koefisien refleksi yang lebih baik (1.0) dibandingkan manitol (0,9) dan
membuatnya menjadi zat osmotik yang lebih baik selain itu juga dapat
menormalkan potensial istirahat pada membrane dan volume sel dengan
mengembalikan keseimbangan elektrolit intraseluler pada sel yang rusak. Dosis
hipertonik salin dan administrasinya sangat bervariasi, bolus berkisar antara 30 mL
23,4% NaCl dan 150 mL 3% NaCl, sedangkan yang lain telah menganjurkan
penggunaan infus kontinu baik 2% atau 3% NaCl hingga mencapai tujuan Na
serum 150 mmol/L.5
- Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dexametason pernah
dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4x4 mg. Selain itu
juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6x15 mg dan Triamsinolon
dengan dosis 6x10 mg.
- Barbiturat
Barbiturat digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat
ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat
digunakan dengan pengawasan yang ketat.
- Hipotermia
Terapi hipotermia masih menjadi pilihan untuk mengatasi peningkatan tekanan
intrakranial. Biasanya terapi hipotermia diberikan pada pasien yang inteloran terhadap
terapi hipertonik. Adanya perangkat modern untuk memodulasi suhu tubuh
memungkinkan terapi ini akan makin rutin digunakan. Karena tekanan intrakranial
sangat tergantung pada suhu tubuh inti, setiap penurunan suhu kurang dari 37° C akan
menurunkan tekanan intrakranial mengakibatkan pengurangan ICP namun terapi ini
umumnya ditargetkan untuk mendapatkan suhu inti tubuh yang lebih rendah yaitu
32°C sampai 34°C. Risiko komplikasi infeksi karena terapi hipotermia tergantung
durasi terapi, tingkat komplikasi infeksi meningkat tajam pada terapi lebih dari 72
jam. Hipotermia juga dapat memicu koagulopati dan peningkatan risiko pendarahan
tapi saat ini belum ada peningkatan yang signifikan kejadian perdarahan intrakranial
karena hipotermia yang banyak Randomized Controlled Trial (RCT).4-5
c. Terapi Bedah
Servadei dkk melaporkan sebuah studi yang dilakukan oleh ahli bedah saraf pada 158
pasien yang mengalami trauma kepala minor dan pada hasil CT scan kepala
didapatkan perdarahan epidural. Pada CT scan kepala tanpa kontras dinilai ukuran
dari hematom, pergeseran garis tengah dan lokasi untuk menilai keputusan perlu
tidaknya tindakan operatif. Terapi konservatif dikerjakan pada hematom ketebalan <
10 mm dan pergeseran garis tengah < 5mm. Pada kedua kelompok baik yang
menerima terapi operatif maupun terapi konservatif memiliki keluaran klinis yang
tidak jauh berbeda pada studi ini. Chen Tzu-Yung dkk melaporkan 74 pasien dengan
perdarahan epidural, terapi non operatif dikerjakan pada pasien dengan nilai GCS >12
sedangkan sisanya mendapat tindakan operatif. Mereka melaporkan bahwa hanya
perdarahan epidural supratentorial dengan volume > 30cc, ketebalan > 15mm dan
pergeseran garis tengah > 5mm yang mendapat tindakan operatif. Sedangkan Sullivan
dkk melaporkan serial kasus 252 pasien dengan perdarahan epidural akut, 160
diantaranya mendapat terapi konservatif dan hasilnya cukup memuaskan. Offner dkk
dalam studinya pada 84 pasien dengan perdarahan epidural di Rumah Sakit Trauma
Saint antony didapatkan bahwa 87% dari 64% pasien yang mendapat terapi
nonoperatif memiliki keluaran klinis yang memuaskan dan dianggap sukses.
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial menurut Guidelines for
the Surgical Management of Traumatic Brain Injury yaitu :
Volume hematom > 30 ml
Keadaan pasien memburuk
Midline Shift melebihi 5 mm
Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan kedalaman
>1 cm
Ketebalan hematom lebih dari 15 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang.6
Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial adalah defisit
neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena kerusakan kortikal (biasanya 1-3
bulan setelah trauma kepala), delayed effect termasuk postconccusion syndrome seperti
nyeri kepala, dizziness, vertigo, restlessness, emosi yang labil dan kertidakmampuan untuk
berkonsentrasi dan kelelahan. Sedangkan komplikasi pada perdarahan epidural di spinal
umumnya adalah spastisitas, nyeri neuropatik dan komplikasi pada sistem berkemih.6
Prognosis pasien dengan perdarahan epidural tergantung pada usia, kesadaran awal
masuk (GCS), perberatan klinis, perberatan yang tertunda antara saat trauma dan intervensi
bedah. Pada perdarahan epidural di spinal prognosis tergantung pada keterlibatan medulla
spinalis.6
XIV. Kesimpulan
Epidural Hematoma terjadi pada sekitar 2% cedera kepala dan 15% cedera kepala
fatal melibatkan epidural hematoma. Kondisi ini lebih tinggi terjadi pada kalangan remaja
dan dewasa muda, usia rata-rata pasien yang terkena adalah 20-30 tahun, dan jarang terjadi
setelah usia 50 hingga 60 tahun, seiiring bertambah nya usia seseorang, duramater menjadi
lebih melekat pada tulang diatas nya. Hal ini mengurangi kemungkinan berkembang nya
hematoma di ruang antara tengkorak dan dura.
3. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.). Atlas of
Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition: Arteries to Brains and Meningens, NJ:
2012
4. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving
understanding, page 739-745, United Kingdom: 2013
6. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head Injuries, A John
Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013