Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epidural hematoma (EDH) didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam
ruang potensial antara dura, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteum
tengkorak, dan tulang yang berdekatan. EDH dapat terjadi intrakranial atau
intraspinal dan dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan secara klinis
dan atau kematian jika tidak segera didiagnosis dan diobati.1
Hematom epidural terjadi secara akut dan biasanya disebabkan oleh
perdarahan arteri yang mengancam jiwa.2
Sumber perdarahan dapat berupa arteri, vena, atau keduanya. Dalam
kompartemen supratentorial, perdarahan timbul 50% pada arteri meningeal
media, 33% pada vena meningeal media, 10% pada sinus vena dural, dan
sumber-sumber perdarahan lainnya, termasuk 7% dari perdarahan garis
fraktur. Hematoma yang paling epidural di fossa posterior adalah karena
perdarahan sinus vena dural. Hematoma epidural terletak di daerah temporal
(biasanya di bawah squamous fraktur tulang temporal) dalam 70 persen
kasus, 15% pada daerah frontal, 10% pada daerah parieto-oksipital, dan 5%
pada parasagital atau di fossa posterior. Epidural hematoma disebakan oleh
cedera kepala traumatis, biasanya terkait dengan patah tulang tengkorak dan
laserasi arteri.3,4
Pada kerusakan vascular otak dapat terjadi perdarahan pada ruang
ekstradural atau epidural (antara dura endosteal dan tulang tengkorak), ruang
subdural (antara dura meningeal dan araknoid), ruang subaraknoid (antara
araknoid dan piamater), atau di bawah piamater ke dalam otak sendiri.
Pukulan keras pada daerah parietotemporal kepala menyebabkan cedera
arteri meningea media, yang merupakan penyebab tersering hematoma
ekstradural.5,6
Perdarahan epidural (ekstradural) disebabkan oleh cedera pada arteri atau
vena meningea. Pars anterior arteri meningea media adalah arteri yang paling
sering mengalami kerusakan. Suatu benturan yang relatif ringan di sisi kepala

1
menyebabkan fraktur pada tengkorak di daerah anteroinferior os parietale dan
dapat merusak arteri ini. Cedera arteri atau vena terjadi terutama jika
pembuluh-pembuluh masuk ke dalam canalis tulang di daerah ini
menimbulkan perdarahan dan terlepasnya lapisan meningeal duramater dari
permukaan dalam tengkorak.7
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk didalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporal.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma epidural. Desakan oleh
hematoma akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematoma bertambah besar.8
Tingkat kematian dilaporkan berkisar 5-43%. Tingkat yang lebih tinggi
berhubungan dengan berikut:9
1. Usia lanjut
2. Lesi intradural
3. Peningkatan volume hematoma
4. Pengembangan klinis cepat
5. Kelainan pupil
6. Peningkatan tekanan intrakranial ( ICP )
7. Penurunan koma Glasgow skala ( GCS )
Tingkat mortalitas pada dasarnya nihil untuk pasien tidak dalam keadaan
koma sebelum operasi dan sekitar 10% untuk pasien tidak sadar dan 20 %
untuk pasien dalam keadaan koma yang mendalam.9
Untuk itulah, pembuatan referat ini ingin mengkaji lebih jauh mengenai
epidural hematom yang cukup sering akibat cedera kepala dan umumnya
terjadi pada usia anak-anak sampai dewasa muda, guna mencegah prognosis
buruk yang mungkin terjadi. Sebab dari beberapa penelitian, EDH ini mudah
diobati dan bisa berakhir dengan prognosis baik.9

2
B. Definisi
Epidural atau biasa disebut dengan extradural merupakan suatu spatium
atau rongga kosong diantara dua lapisan dura mater (endosteal dan
meningeal). Di spatium ini menjadi tempat lewatnya aliran sinus venosus,
berisi jaringan ikat longgar dan lemak.10
Hematoma adalah salah satu bentuk perdarahan yang terjadi dimana
kumpulan darah berada di luar pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena
dinding dari dinding pembuluh darah, arteri, vena atau kapiler, telah rusak
dan darah telah bocor ke jaringan yang bukan seharusnya. Hematoma
mungkin kecil, dengan hanya satu titik darah atau ia dapat menjadi besar dan
menyebabkan pembengkakan yang signifikan.11

Gambar 1.1 Hematoma11

C. Insidensi dan Epidemiologi


Sebanyak 10-20 % dari semua pasien dengan cedera kepala diperkirakan
memiliki EDH, dengan tingkat kejadian pada anak yang lebih banyak. Sekitar
17 % dari pasien yang sebelumnya sadar kemudian memburuk hingga
menjadi koma setelah trauma selalu memiliki EDH.12

3
Di Amerika Serikat, epidural hematoma terjadi pada 1-2 % dari semua
kasus trauma kepala dan sekitar 10 % pasien yang hadir dengan koma
traumatis. Tingkat kematian dilaporkan berkisar 5-43 %.9
Pasien yang lebih muda dari 5 tahun dan lebih tua dari 55 tahun memiliki
tingkat kematian lebih tinggi. Pasien yang lebih muda dari 20 tahun beresiko
60 % untuk mengalami EDH. EDH jarang terjadi pada pasien usia lanjut
karena dura sangat berpegang pada lapisan dalam tengkorak. Dalam kasus
serangkaian EDH, kurang dari 10 % pasien yang lebih tua dari 50 tahun.9

4
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI MENINGES

A. Anatomi Meninges

Gambar 2.1Anatomi Kepala13

Menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS),lapisan kulit kepala


terdiri dari 5 lapisan yaitu:14
1. Skin atau kulit.
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung.
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan langsung
dengan tengkorak.
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Merupakan tempat
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium.
Otak diliputi oleh tiga membran atau meninges yaitu duramater,
arachnoidea mater, dan piamater.3,10

5
a. Duramater
Secara konvensional, duramater otak digambarkan terdiri dari dua
lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Lapisan tersebut
bersatu erat, kecuali pada garisgaris tertentu, tempat mereka berpisah
untuk membentuk sinus venosus.3,10

Gambar 2.2 Tengkorak bagian dalam10

Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan


dalam tulang tengkorak.Pada foramen magnum, lapisan ini tidak
bersambung duramater medulla spinalis.Di sekitar pinggir semua semua
foramina di dalam tengkorak, lapisan ini menyambung dengan
periosteum pada permukaan luar tengkorak.Pada sutura sutura,
lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura.Lapisan
endosteal melekat paling kuat pada tulang tulang di atas basis
cranii.3,10
Lapisan meningeal adalah lapisan duramater yang sebenarnya;
merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat meliputi otak dan
serta bersambung dengan duramater medulla spinalis melalui foramen
magnum.Lapisan meningeal ini membentuk selubung tubular untuk
saraf cranial saat saraf cranial tersebut melintasi foramina di
tengkorak.Di luar cranium, selubung ini menyatu dengan epineurium
saraf.3,10

6
Gambar 2.3 Falx cerebri dan tentorium cerebelli15
Falx serebri adalah lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit
yang terletak di garis tengah di antara kedua hemispherium
cerebri.Ujung anteriornya yang sempit melekat pada crista frontalis
interna dan crista galli.Bagian posteriornya yang lebar bergabung di
garis tengah dengan permukaan atas tentorium cerebella.Sinus sagittalis
superior berjalan pada pinggir atasnya yang terfiksasi, sinus sagitalis
inferior berjalan pada pinggir bawah yang bebas dan berbentuk konkaf,
serta sinus rectus berjalan di sepanjang perlekatannya dengan tentorium
cerebelli.3,10
1) Tentorium Cerebelli

Gambar 2.4 Penampang superior diaphragma


sellae dan tentorium cerebelli10

7
Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater yang berbentuk
bulan sabit yang membentuk atap di atas fossa cranii posterior.
Tentorium menutupi pemukaan atas cerebellum dan menyokong
lobus occipitalis hemispherium cerebri. 3,10
Secara berturut-turut, falx cerebri dan falx cerebelli melekat pada
permukaan atas atau bawah tentorium. Sinus rectus berjalan
disepanjang perlekatannya dengan falx cerebri, sinus petrosus
superior, sepanjang tempat perlekatannya dengan os petrosus dan
sinus transversus disepanjang tempat perlekatannya dengan os
occipitale.3,10
Falx cerebelli merupakan lipatan duramater kecil yang berbentuk
sabit melekat pada krista occipitalis interna dan menonjol ke depan
di antara kedua hemispherium cerebelli. Pinggir posteriornya yang
terfiksasi berisi sinus occipitalis.3,10
Diaphragma sellae adalah lipatan duramater kecil dan berbentuk
sirkular, yang membentuk atap sella turcica. Sebuah lubang kecil
dibagian tengahnya memungkinkan untuk dilalui oleh tangkai
hypophysis cerebri.3,10
2) Persarafan Duramater
Cabang-cabang nervus trigeminus, nervus vagus, dan tiga nervus
cervicalis bagian atas serta cabang-cabang truncus sympathicus
berjalan menuju duramater.3,10
Duramater memiliki banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka
terhadap regangan yang menimbulkan sensasi nyeri kepala.
Stimulasi ujung-ujung sensorik nervus trigeminus di atas tingkat
tentorium cerebelli menimbulkan nyeri alih ke daerah kulit kepala
sisi yang sama. Stimulasi ujung-ujung saraf sensorik duramater di
bawah tingkat tentorium menimbulkan nyeri alih ke arah tengkuk
dan belakang kulit kepala di sepanjang persarafan nervus occipitalis
major.3,10

8
3) Vaskularisasi Duramater
Berbagai arteri memperdarahi duramater, yaitu arteri carotis
interna, arteri maxillaris, arteri pharingea ascendens, arteri
occipitalis, dan arteri vertebralis. Dari sudut pandang klinis, arteri
yang paling penting adalah arteri meningea media yang dapat
mengalami kerusakan akibat cedera kepala.3,10
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaris di dalam
fossa infratemporalis. Arteri ini masuk rongga tengkorak melalui
foramen spinosum, dan terletak diantara lapisan meningeal dan
lapisan endosteal duramater. Selanjutnya arteri ini berjalan ke depan
dan lateral di dalam sebuah sulcus, pada permukaan atas pars
squamosa temporale. Ramus anterior terletak di dalam sulcus atau
saluran pada angulus anterior-inferior os pariatale, dan perjalanannya
di anggap sesuai dengan jalur gyrus precentralis otak yang ada
dibawahnya. Ramus posterior melengkung ke belakang dan
mempersarafi bagian posterior duramater.3,15
Vena-vena meningea terletak di dalam lapisan endosteal
duramater. Vena meningea media mengikuti cabang-cabang arteri
meningea media dan bermuara ke dalam plexus venosus
pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena-vena terletak di
lateral arteri.3,10
4) Sinus venosus duramater
Sinus venosus cavum cranii terletak di antara lapisan-lapisan
duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak
melalui vena-vena cerebri dan cairan serebrospinal dari ruang
subarakhnoid melalui villi arachnoidales. Darah dari sinus-sinus
duramater akhirnya mengalir ke dalam vena jugularis interna di
daerah leher.Sinus-sinus dura dilapisi oleh endotelium, dindingnya
tebal tetapi tidak mempunyai jaringan otot. Sinus tersebut tidak
memiliki katup. Vena-vena emissaria yang juga tidak mempunyai

9
katup menghubungkan sinus venosus dura dengan vena-vena
diploica cranii dan dengan vena-vena di kulit kepala.3,10

Gambar 2.5 Penampang superior kepala10

Nervus cranialis III dan IV, serta divisi opthalmica dan divisi
maxillaris nervi trigemini berjalan ke depan di dalam dinding lateral
sinus. Saraf-saraf ini terletak di antara lapisan endotel dan duramater.
Masing-masing sinus memiliki hubungan penting dengan vena
facialis melalui vena opthalmica superior (infeksi dari kulit wajah
dapat berjalan menuju sinus cavernosus melalui rute ini).3,10
b. Arachnoidea mater
Arachnoidea mater merupakan membran yang halus dan bersifat
impermeabel, yang menutupi otak dan terletak diantara piamater
dibagian dalamnya dan duramater dibagian luar. Arachnoidea mater
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial (ruang subdural) yang
terisi oleh selapis cairan, dipisahkan dari piamater oleh ruang
subarakhnoid yang berisi cairan serebrospinal. Permukaan luar dan
dalam arakhnoid dilapisi oleh sel-sel mesotelial yang gepeng.3,10
Arakhnoid menjembatani antar sulcus pada permukaan otak, serta
pada tempat-tempat tertentu arakhnoid dan piamater terpisah agak lebar

10
untuk membentuk cisternae subarachnoidea. Cisterna
cerebellomedullaris terletak diantara permukaan inferioer cerebellum
dan atap ventriculus quartus. Cisterna interpeduncularis terletak
diantara keduan pedunculus cerebri. Semua cisterna berhubungan bebas
antara satu dengan yang lain dan dengan ruang subarakhnoid
lainnya.3,10
Di daerah tertentu, arakhnoid menonjol ke dalam sinus venosus
untuk membentuk villi arachnoidea. Villi arachnoidea paling banyak
terdapat disepanjang sinus sagittalis superior. Kumpulan villi
arachnoidea disebut granulationes arachnoidea. Villi arachnoidea
berfungsi sebagai tempat difusi cairan serebrospinal ke dalam aliran
darah.3,10
Arachnoid dihubungkan dengan piamater dan melintas ruang
subarakhnoid yang berisi cairan dengan bantuan benang-benang halus
jaringan fibrosa.3,15
Struktur-struktur yang berjalan menuju dan dari otak ke kranium
atau foraminannya yang harus melalui ruang subarakhnoid. Seluruh
arteri serebri dan venanya terletak di dalam ruang subarachnoid,
demikian pula dengan saraf-saraf cranial. Arakhnoid menyatu dengan
epinerium saraf di tempat keluar dari saraf tersebut dari rongga
tengkorak. Pada nervus opticus, arakhnoid membentuk selubung saraf
ini, yang membentang ke dalam rongga orbita melalui canalis opticus
dan menyatu dengan sklera bola mata. Dengan demikian, ruang
subarkhnoid terbentang di sekitar nervus opticus hingga ke bola mata.
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plexus choroideus di dalam
ventriculus lateralis, ventriculus tertius, dan ventriculus quartus. Cairan
ini keluar dari system ventricular atau melalui tiga buah foramina di
atap ventriculus quartus, lalu masuk ke dalam ruang subarachnoid.
Selanjutnya, cairan ini mengalir ke atas di atas permukaan
hemispherium cerebri dan ke bawah di sekitar medulla spinalis. Ruang
subarachnoid spinal membentang ke bawah sampai sejauh vertebrae

11
sacralis II. Akhirnya, cairan serebrospinal masuk ke dalam aliran darah
melalui villi arachnoidales dan berdifusi melalui dindingnya.3,10
Selain berfungsi mengeluarkan produk sisa hasil aktivitas neuron,
cairan serebrospinal merupakan suatu medium cair tempat otak
mengapung di dalamnya. Mekanisme ini melindungi otak dari trauma
secara efektif. Selain itu, saat ini cairan serebrospinal juga dianggap
berperan di dalam transportasi hormon.3,15
c. Piamater
Piamater adalah membrane vascular yang diliputi oleh sel-sel
mesotelial yang gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi
gyrus-gyrus, dan turun hingga mencapai bagian sulcus yang mencapai
bagian sulcus yang paling dalam. Lapisan ini meluas keluar hingga
mencapai saraf cranial dan menyatu dengan epineriumnya. Arteri
cerebri masuk ke dalam jaringan otak setelah di bungkus oleh
piamater.3,10
Piamater membentuk tela choroidea di atap ventriculus tertius dan
quartus, dan bergabung dengan ependyma untuk membentuk plexus
choroideus di ventriculus lateralis, tertius, dan quartus di dalam otak.3,10

B. Fisiologi Meninges
1. Meninges
Meninges adalah membrane tipis yang mebungkus otak. Terdapat tiga
meninges: duramater (thick mother) di bagian luar, araknoid (seperti laba
laba) sebagai lapisan tengah, dan pia mater (little mother) yang terdapat
tepatdi atas otak. Ruang antara lapisan lapisan tersebut diisi
cairanserebrospinal(CSS).2
Ruangan di atas duramater disebut epidural, dan ruangan di bawah
duramater, tetapi di atas araknoid disebut subdural.Ruang epidural dan
subdural berisi banyak pembuluh darah kecil. Kerusakan pada pembuluh
darah tersebut menyebabkan penimbunan darah di ruang epidural atau

12
subdural. CSS bersirkulasi di ruang subaraknoid (di bawah araknoid, di
atas pia mater).2
2. Cairan Serebrospinal dan Ventrikel
Cairan serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang mengelilingi
otak.CSS bersirkulasi di ruang subaraknoid, dan memberikan perlindungan
kepada otak terhadap getaran fisik.Antara CSS dan jaringan saraf terjadi
beberapa pertukaran zat gizi dan produk zat sisa. Walaupun CSS dibentuk
dari plasma yang mengalir melalui otak, konsentrasi elektrolit dan
glukosanya berbeda dari konsentrasi plasma.2
Cairan serebrospinal dibentuk sebagai hasil filtrasi, difusi, dan transport
aktif yang melintasi kapiler khusus ke dalam ventrikel (rongga) otak,
terutama ventrikel lateral.Jaringan kapiler yang berperan dalam
pembentukan CSS disebut pleksus koroideus. Saat berada di dalam
ventrikel, CSS mengalir ke arah batang otak. Melalui lubang kecil di
batang otak, CSS bersirkulasi ke permukaan otak dan medulla spinalis.Di
permukaan otak, CSS masuk terus menerus mengalami resirkulasi melalui
dan pada system saraf pusat. Apabila jalur konduksi ventrikel untuk CSS
mengalami sumbatan, dapat terjadi penimbunan cairan, yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan di dalam dan di permukaan
otak.2
3. Doktrin Monro Kellie

Gambar 2.6 Kurva volume14

13
Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi
penting untuk memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial harus selalu konstan, karena rongga cranium pada
dasarnya merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin mekar. Darah
didalam vena dan cairan serebrospinal dapat dikeluarkan/dipindahkan dari
rongga tengkorak, sehingga tekanan intrakranial tetap normal. Sehingga
segera setelah cedera otak suatu massa seperti perdarahan dapat terus
bertambah dengan TIK masih tetap normal. Namun, sewaktu batas
pemindahan/pengeluaran CSS dan darah intravaskuler tadi terlewati maka
TIK secara sangat cepat akan meningkat.14
Tekanan intrakranial pada awalnya dapat mengkompensasi suatu massa
intrakranial yang baru seperti perdarahan epidensial atau subdential. Sekali
volume perdarahan ini melebihi batas kompensasi maka tekanan
intrakranial akan meningkat dengan cepat, yang akan menyebabkan
pengurangan atau penghentian aliran darah otak.14

Gambar 2.7 Doktrin Monro Kellie14

14
Doktrin Monro Kellietentang kompensasi intrakranial terhadap
penambahan massa volume intrakranial. Bila ada penambahan volume
seperti perdarahan akan menyebabkan pengeluaran LCS dan darah vena
sehingga tekanan intrakranial tetap normal akan tetapi, ketika mekanisme
kompensasi ini terlewati maka akan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial dengan cepat walaupun penambahan perdarahan sedikit lagi
saja.14
4. Aliran Darah Otak dan Metabolisme Otak
Otak menerima sekitar 15 % curah jantung. Tingginya kecepatan alian
darah ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan otak yang terus menerus
tinggi akan glukosa dan oksigen.2
Otak bersifat unik karena otak biasanya hanya menggunakan glukosa
sebagai sumber untuk fosforilasi oksidatif dan produksi adenosine trifosfat
(ATP). Tidak seperti sel yang lain, sel otak tidak menyimpan glukosa
sebagai glikogen, dengan demikian, otak harus secara terus-menerus
menerima oksigen dan glukosa melalui aliran darah otak. Deprivasi
oksigen selama 5 menit, atau deprivasi glukosa selama 15 menit, dapat
menyebabkan kerusakan otak yang signifikan.2
Nilai normal aliran darah otak (ADO) berkisar 55-60 ml/100gram
jaringan otak/menit. Pada massa kelabu alirannya kira kira 75 mL/110
gram jaringan otak/menit, sedangkan massa putih hanya 45 ml/100gram
jaringan otak/menit. Aliran ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik otak. Yang paling berperan dalam menentukan aliran darah otak
adalah tekanan perfusi otak (TPO), yang merupakan tekanan darah untuk
masuk ke dalam otak. Tekanan perfusi merupakan selisih antara tekanan
arteri rata rata (MAP) dengan tekanan intracranial. Tekanan arteri rata
rata adalah hasil dari dua pertiga nilai tekanan diastolik ditambah sepertiga
tekanan sistolik. Kenaikan tekanan intracranial (TIK) cenderung
menyebabkan penurunan TPO.15
Dalam keadaan fisiologis ada tiga faktor utama yang berperan pada
pengaturan aliran darah otak, yaitu tekanan darah sistemik,

15
karbondioksida, dan kadar ion H+ dalam darah arteri. Kemampuan untuk
memelihara tingkat aliran darah ke dalam otak pada nilai yang konstan di
dalam rentang tekanan arteri rata rata yang cukup lebar, yaitu disebut
sebagai mekanisme otoregulasi. Bila tekanan arteri rata-rata rendah,
arteriol serebral akan mengalami dilatasi untuk membuat ADO yang
adekuat pada tekanan yang rendah sebaliknya pada tekanan darah sistemik
yang tinggi, arteriol akan mengalami konstriksi sehingga ADO akan tetap
terpelihara dalam keadaan fisiologis.ADO tidak selalu dapat diatur. Bila
tekanan arteri rata-rata menurun sampai di bawah 90 mmHg seperti pada
keadaan presyok atau syok, perfusi otak menjadi tidak adekuat.Bila
tekanan arteri rata-rata melebihi 150 mmHg, otoregulasi juga tidak
berjalan.Terjadi peningkatan ADO secara pasif sebanding dengan
peningkatan tekanan sistemik, pada keadaan yang ekstrim dapat terjadi
eksudasi dari system vaskuler ke ruang intertisial dan akhirnya terbentuk
edema, edema semacam ini yang disebut edema vasogenik. Peristiwa
semacam ini dapat terjadi pada kasus kasus hipertensi ensefalopati.15
Kadar karbondioksida dalam darah merupakan faktor paling potensial
untukmenyebabkan dilatasi vaskuler otak. Peningkatan PCO2 dalam darah
dari 15 80 mmHg akan meningkatkan aliran darah otak secara bertahap.
Hiperventilasi (menurunkan CO2 darah) akan menurunkan aliran darah dan
volume darah otak. Akan tetapi, bila PCO2 dalam darah kurang dari 15
mmHg atau lebih dari 80 mmHg maka yang terjadi adalah kelumpuhan
pembuluh darah atau disebut vasoparalisa.15

16
BAB III
DIAGNOSIS DAN PENANGANAN EPIDURAL HEMATOM

A. Anamnesis dan Gambaran Klinis


Epidural hematoma pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intracranial. Penderita akan mengalami sakit kepala,
mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik
yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar.
Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahaya yang ada pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi
pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia.Pada tahap akhir, kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami
pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi
yang merupakan tanda kematian.Ciri khas hematom epidural murni adalah
terdapatnya interval bebas antara saat terjadinya trauma dan tanda pertama
yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.Jika hematoma
epidural disertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak
akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.11
Pada pendarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur
linear ataupun stellata, manifestasi neurogenic akan terjadi beberapa jam
setelah trauma kapitis. Gejala yang sangat menonjolialah kesadaran yang
menurun secara progresif.Pupil pada sisi pendarahan pertama-tama sempit,
tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap penyinaran
cahaya.Gejala-gejala respirasi yang biasa timbul berikutnya, mencerminkan
tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batang otak.Pada tahap kesadaran sebelum
stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparesis atau serangan epilepsi fokal.
Hanya dekompresi bisa menyelamatkan kehidupan.16
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah
satu cabang arteri meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila

17
fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi
di daerah frontal atau oksipital.11
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan
oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar.11
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat
dikenal oleh tim medis.11
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteri yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat,
dan tanda babinski positif.8
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.11
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara
dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural

18
hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung
tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.11,17
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah
saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma
kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif
memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.11

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Scan Computer Tomografi Otak (CT Scan)
Hematom epidural yang kadang sulit dibedakan dari subdural,
mempunyai ciri gambaran khas berupa bikonveks atau lentikuler (ada
perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna tulang sehingga
hematom ini mejadi terbatas). Hematom subdural lebih cenderung lebih
difus dibandingkan dengan hematom epidural di atas dan mempunyai
tampilan batas dalam yang konkav sesuai dengan permukaan otak.
Perbedaan gambaran scan computer tomografi otak antara lesi akut,
subakut, dan kronis agak sulit. Kebanyakan hematom berkembang setelah
terjadi cedera, tetapi ada juga yang baru timbul kemudian (sampai 1
minggu). Tampilannya berupa lesi hiperdens dan dikelilingi oleh zona
yang hipodens (edema).15

Gambar 4.1. CT Scan EDH lobus temporal11

19
2. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Meskipun CT scan adalah studi pilihan dalam mengevaluasi EDH
intrakranial, modalitas ini terbatas dalam evaluasi EDH tulang belakang
karena kesulitan dalam memeriksa segmen panjang tulang belakang
dengan gambaran aksial CT scan dan karena atenuasi rendah dari subakut
atau kronis EDH. Meskipun sangat sensitif dalam evaluasi spinal EDH,
MRI jarang menjadi modalitas awal pilihan untuk menilai EDH
intrakranial karena ketajaman dan tingkat keparahan EDH. Kurangnya unit
MRI tersedia di luar daerah perkotaan juga membatasi
kegunaannya.Dalam EDH tulang belakang, MRI menunjukkan cekung
ganda, massa memanjang dalam ruang epidural.1
MRI mampu menunjukkan gambaran yang lebih jelas terutama untuk
memberi identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens pada CT scan atau lesi
dibedakan densitasnya dengan korteks. MRI akan menggambarkan massa
hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara
tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas

20
fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang
dipilih untuk menegakkan diagnosis.15

C. Penanganan
1. Penanganan Berdasarkan Klasifikasi Derajat Cedera Kepala
Pembagian derajat cedera kepala dibedakan sebagai berikut, ditentukan
berdasarkan tingkat kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama pasca
trauma:15
Cedera kepala ringan : GCS 14-15
Cedera kepala sedang : GCS 9-13
Cedera kepala berat : GCS 8
a. Cedera kepala ringan
Penangannya mencangkup anamnesa yang berkaitan dengan jenis
dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau pingsan,
riwayat adanya amnesia (retrograde atau antegrade) serta keluhan-
keluhan lain yang berkaitan dengan peninggian tekanan intrakranial
seperti nyeri kepala,pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung
merupakan tertanda ada tidaknya trauma pada kepala, sedangkan
amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat-
ringannya konkusi cedera kepala yang terjadi. Pemeriksaan fisik disini
ditekankan untuk meningkirkan adanya gangguan sistemik lainnya
serta, mendeteksi defesit neurologis yang mungkin ada. Kepentingan
pemeriksaan radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk
mengetahui adanya: fraktur tengkorak, posisi kelenjar pineal,
sedangkan foto servical atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai
dengan indikasi. Pemerikasaan CT Scan memang secara ideal perlu
dilakukan bagi semua cedera kepala.15
b. Cedera kepala sedang
Penanganan pertama selain mencangkup anamnesa dan pemerikssan
fisis serta foto polos tengkorak, juga mencangkup pemeriksaan scan
tomografi computer otak (CT-Scan).Pada tingkat ini semua kasus

21
mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di
rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologi setiap stengan jam
sekali, sedangkan follow up scan tomografi computer otak pada hari ke
3 atau bila ada perburukan neurologis.15
c. Cedera kepala berat
Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita
dalam kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai
resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana
tindakan menunggu (wait and see) disini dapat berakibat sangat fatal.
Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencangkup
tujuh tahap yaitu:15
1) Stabilisasi kardiopulmoner mencangkup prinsip-prinsip ABC
(Airway-Breathing-Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia,
hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian
tekanan intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
Semua penderita cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi
pada kesempatan pertama.
2) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan di bagian tubuh lainnya.
3) Pemeriksaan neurologis mencangkup respon mata,motorik, verbal,
pemriksaan pupil, reflex oculosefalik dan refleks okulovestibuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
masih rendah (syok).
4) Pemberian pengobatan seperti: antiedema serebri, antikejang, dan
natrium bikarbonat.
5) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti scan tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
2. Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada
cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi
tekanan intrakranial (TIK) dan meningkatkan drainase vena.1

22
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi
edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam
memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaksis dengan memberikan fenitoin dengan sedini mungkin (24 jam
pertama) untuk mencegah timbulnya fokus epileptogenik dan untuk
menggunakan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri
hidroksimetil amino metana (THAM) merupakan suatu buffer yang
dapat masuk kedalam susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior
dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan
intracranial (TIK). Barbiturat dapat digunakan untuk mengatasi tekanan
intracranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak
dari anoksia dan iskemik. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali
dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5
mg/kgBB setiap 3 jam serta drips 1 mg/kgBB/jam untuk mencapai kadar
serum 3 4 mg%.15
Obat yang digunakan selain untuk operasi akan bervariasi sesuai
dengan jenis dan keparahan gejala dan kerusakan otak yang terjadi.Obat
antikonvulsan (misalnya fenitoin) dapat digunakan untuk mengontrol atau
mencegah kejang . Beberapa obat yang disebut agen hyperosmotic (seperti
manitol, gliserol, dan salin hipertonik ) dapat digunakan untuk mengurangi
pembengkakan otak.17
3. Terapi Operatif 15,1
Operasi darurat hampir selalu diperlukan untuk mengurangi tekanan
dalam otak.Ini mungkin termasuk pengeboran lubang kecil di tengkorak
untuk mengurangi tekanan dan memungkinkan drainase darah dari
otak.Hematoma besar atau bekuan darah yang solid mungkin perlu dihapus
melalui lubang yang besar di tengkorak (kraniotomi).17
1. Dekompresi dengan trepanase sederhana.
2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom.

23
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan
operatif adalah adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis
tengah 5 mm (kecuali penderita sudah mati otak).15
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan
untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka
operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini
disebabkan oleh lesi desak ruang.8
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :11
1. > 25 cc = desak ruang supratentorial
2. > 10 cc = desak ruang infratentorial
3. > 5 cc = desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang


signifikan:1
1. Penurunan klinis,
2. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif, dan
3. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

24
BAB IV

KOMPLIKASI EPIDURAL HEMATOMA

Adapun komplikasi dari epidural hematoma berupa:


1. Defisit neurologis atau kematian mungkin terjadi.12
2. Efek epidural hematoma yang tertunda termasuk post concussion syndrome,
yang ditandai dengan sakit kepala, pusing, vertigo, gelisah, lability
emosional, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, dan kelelahan.12
3. Ada risiko cedera otak permanen apakah perdarahan tersebut ditangani
maupun tidak ditangani.17
4. Gejala (seperti kejang) dapat bertahan selama beberapa bulan, bahkan setelah
pengobatan, tetapi dalam beberapa waktu kejang biasanya menjadi kurang
sering atau hilang sepenuhnya. Kejang mungkin mulai terjadi selama 2 tahun
setelah cedera.Pada orang dewasa, sebagian besar pemulihan terjadi pada 6
bulan pertama, dengan beberapa perbaikan selama sekitar 2 tahun. Anak-anak
biasanya sembuh lebih cepat dan benar-benar sembuh daripada orang dewasa.
Post traumatic kejang akibat kerusakan kortikal dapat berkembang 1-3 bulan
setelah cedera awal, dengan penurunan frekuensi dari waktu ke waktu.
Alkoholisme meningkatkan risiko kejang pasca trauma.12 Pemulihan yang
tidak lengkap adalah gambaran dari kerusakan otak.17
5. Komplikasi lainnya termasuk gejala permanen seperti kelumpuhan atau
hilangnya sensasi (yang dimulai pada saat cedera), herniasi otak dan koma
permanen, hidrosefalus, lemah, sakit kepala, inkontinensia, dan kesulitan
berjalan.17

25
BAB V
KESIMPULAN

1. Epidural hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi diantara


tulang dan lapisan duramater.
2. Hematoma yang terjadi di ruang epidural (epidural hematom) merupakan
suatu akibat serius dari cedera kepala dengan angka mortalitas tinggi sekitar
50%. Hematoma ini paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat
robekan A. Meningea media.
3. Pasien dengan epidural hematoma mengalami hilang kesadaran singkat setelah
trauma kepala, di ikuti interval lusid dan kemunduran neurologik.
4. Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi tekanan
intrakranial (TIK) dan meningkatkan drainase vena.
5. Primary survey mengevaluasi dan mengelolah airway(jalan napas), breathing
(pernafasan), circulation (sirkulasi).
6. Pemeriksaan airway dengan mengenali ada tidaknya sumbatan jalan napas
dapat dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen), dan
rasakan(feel).Pengelolaan gangguan pada jalan napas meliputi:
a. Chest thrust, abdominal thrust and back blow
b. Head tilt,Chin lift, jaw thrust
7. Pemeriksaan Breathing untuk melihat adekuatnya nafas atau tidakdapat
dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen), dan
rasakan(feel).Pemberian ventilasi dengan:
a. mouth to mouth
b. mouth to nose
c. mouth to mask
8. Pemeriksaan sirkulasi dengan melihat tanda-tanda vital dan penanganan
sirkulasi dengan CPR dengan rasio 30:2 (compression:ventilasi).

26
9. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis Epidural
Hematom yaitu: Computer Tomography (CT-Scan) dan Magnetic
resonanceImaging (MRI).
10. Terapi pada pasien dengan Epidural Hematoma:Medikamentosa (menurunkan
tekanan intra kranial) dan Operatif (dekompresi dan kraniotomi).
11. Komplikasi yang dapat terjadi berupa, defisit neurologis, kejang dan cedera
otak permanen serta kematian apabila tidak ditangani dengan baik.

27
BAB VI
AYAT-AYAT AL-QURAN BERKAITAN EPIDURAL HEMATOM

32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi ini, maka seakan-
akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan dimuka bumi.18

Selain itu ada pula:

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)18

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Eugene C Lin MD. Imaging in Epidural Hematoma. [online]. 2011 Mei 25


[cited 2012 Desember 5]; Availabe from: URL: http://emedicine.
medscape.com/article/340527-overview.
2. EgiKornaraYudha, dkk. Editor. BukuSakuPatofisiologi. EdisiRevisi 3.
Jakarta: EGC; h. 224,225,245.
3. Wismaji Sadewo, Hilman Mahyuddin. Hubungan Keadaan Klinis, Radiologis,
dan Temuan Operatif terhadap KeluaranPasien Hematoma Epidural. Dalam:
BasoekiWirjawidjojo, R.M. Padmosantjojo, Satyanegara, M.
sajidDarmadipura, Umar Kasan, KahdarWiriadisastra, IskandarJapardi. Editor.
Media BedahSaraf, Official Journal of The Indonesia Neurosurgery Society,
Volume IV. Surabaya:
BagianIlmuBedahSarafFakultasKedokteranUniversitasAirlangga RSUD. Dr.
Soetomo;2006. h. 302, 305,306
th
4. Michael Jeffrey Aminoff, Editor. Neurology and General Medicine, 4 ed.
Philadelphia : Elsevier Health Sciences; 2008. p. 596
5. HuriawatiHartanto, Pita Wulansari, Natalia Suci, DewiAsih Maharani. Editor.
Patofisiologi, KonsepKlinis Proses Proses Penyakit, Edisi6, Volume 2.
Jakarta: EGC; 2005. h. 736-753, 1018.
6. Prince, SA, Wilson, LM. Editor. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 4, Jilid 2. Jakarta: EGC; 1995.h.1017-8.
7. AlifDimanti. Editor. NeuroanatomiKlinikuntukMahasiswaKedokteran.
Jakarta: EGC; 2006. h.475-483
8. R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Editor. Buku Ajar IlmuBedah, edisi 2.
Jakarta: EGC; 2005.h. 818-9,421-2.
9. Daniel D. Price, MD. Epidural Hematoma in Emergency Medicine Clinical
Presentation. [online]. 2012 November 9 [cited 2012 Desember 2]; Available
from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/824029-clinical#a0218

29
10. TheopilusBuranda, dkk. Editor. AnatomiUmum, System Neurologi. Makassar:
BagianAnatomiFakultaskedokteranUniversitasHasanuddin; 2008. h. 4.
11. Mary D. Nettleman. Hematoma. [online]. 2012 Desember 5 [cited 2012
Desember 5]; Available from: URL: http://www.medicinenet.com/
hematoma/article.html
12. Jamie S Ullman, MD. Epidural Hematoma. [online]. 2012 Juli13 [cited
2012Juli 13]; Available from:
URL:http://emedicine.medscape.com/article/248840-overview.
13. R. Putzdan R. Pabst. Editor.AnatomiKepala. Atlas AnatomiSobotta. Jilid: 1,
Edisi 22. Jerman: Elsevier GmbH; 2007.h. 261.
14. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi IV. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama;
2010. H.198-220.
15. Satyanegara. Editor. IlmuBedahSarafEdisi IV. Jakarta: PT
GramediaPustakaUtama; 2010. h. 156-7,212,213,219
16. Neurologi klinik dasar. Prof.DR. MaharMardjono, Pof. Dr. prigunaSidharta
17. Biros MH, Heegaard WG. Head injury. In: Marx JA, ed. Rosens Emergency
Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, Pa: Mosby
Elsevier; 2009:chap 38.
18. Matthew A. Carter. Cardiopulmonaryresucitation. [online]. 2012 September
24. [cited] 16 May 2013. Available from: URL:
http://www.cardiopulmonaryresuscitation.net

30
BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2017

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT
EPIDURAL HEMATOMA

DISUSUN OLEH
Titin Suhartina Rahman
111 2016 2134

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Ummu Atiah, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

31
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Titin Suhartina Rahman

NIM : 111 2016 2134

Judul Referat : Epidural Hematoma

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian


Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 20 Agustus 2017

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Ummu Atiah, Sp.S

32
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Definisi .................................................................................................... 3
C.Insidensi dan Epidemiologi ...................................................................... 3
II. ANATOMI FISIOLOGI............................................................................... 5
A. Anatomi Meninges .................................................................................. 5
B. Fisiologi Meninges .................................................................................. 12
III. DIAGNOSIS/TERAPI/PENANGANAN ..................................................... 17
A. Anamnesis dan Gambaran Klinik .......................................................... 17
B. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 19
C. Penanganan ............................................................................................... 20
IV. KOMPLIKASI ............................................................................................. 25
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 26
VI. AYAT/SURAH BERKAITAN DENGAN EPIDURAL HEMATOM ....... 28
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29

33

Anda mungkin juga menyukai