Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi
Epidural hematoma (EDH) didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang
potensial antara dura, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteum tengkorak, dan
tulang yang berdekatan. EDH dapat terjadi intrakranial atau intraspinal dan dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan secara klinis dan atau kematian jika tidak
segera didiagnosis dan diobati. Hematom epidural terjadi secara akut dan biasanya
disebabkan oleh perdarahan arteri yang mengancam jiwa. 1,2
Anatomi Meninges

Gambar 2.1Anatomi Kepala13


Menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS),lapisan kulit kepala terdiri dari
5 lapisan yaitu:14
1. Skin atau kulit.
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung.
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan langsung
dengan tengkorak.
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Merupakan tempat
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium.
Otak diliputi oleh tiga membran atau meninges yaitu duramater, arachnoidea mater,
dan piamater.3,10
a. Duramater
Secara konvensional, duramater otak digambarkan terdiri dari dua lapis, yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Lapisan tersebut bersatu erat, kecuali pada
garisgaris tertentu, tempat mereka berpisah untuk membentuk sinus venosus.3,10

Gambar 2.2 Tengkorak bagian dalam10


Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan dalam
tulang tengkorak.Pada foramen magnum, lapisan ini tidak bersambung duramater
medulla spinalis.Di sekitar pinggir semua semua foramina di dalam tengkorak,
lapisan ini menyambung dengan periosteum pada permukaan luar tengkorak.Pada
sutura sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura.Lapisan
endosteal melekat paling kuat pada tulang tulang di atas basis cranii.3,10
Lapisan meningeal adalah lapisan duramater yang sebenarnya; merupakan
membran fibrosa yang kuat dan padat meliputi otak dan serta bersambung dengan
duramater medulla spinalis melalui foramen magnum.Lapisan meningeal ini
membentuk selubung tubular untuk saraf cranial saat saraf cranial tersebut melintasi
foramina di tengkorak.Di luar cranium, selubung ini menyatu dengan epineurium
saraf.3,10

Gambar 2.3 Falx cerebri dan tentorium cerebelli15


Falx serebri adalah lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit yang terletak
di garis tengah di antara kedua hemispherium cerebri.Ujung anteriornya yang
sempit melekat pada crista frontalis interna dan crista galli.Bagian posteriornya
yang lebar bergabung di garis tengah dengan permukaan atas tentorium
cerebella.Sinus sagittalis superior berjalan pada pinggir atasnya yang terfiksasi,
sinus sagitalis inferior berjalan pada pinggir bawah yang bebas dan berbentuk
konkaf, serta sinus rectus berjalan di sepanjang perlekatannya dengan tentorium
cerebelli.3,10
1) Tentorium Cerebelli

Gambar 2.4 Penampang superior diaphragma


sellae dan tentorium cerebelli10
Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit yang
membentuk atap di atas fossa cranii posterior. Tentorium menutupi pemukaan atas
cerebellum dan menyokong lobus occipitalis hemispherium cerebri. 3,10
Secara berturut-turut, falx cerebri dan falx cerebelli melekat pada permukaan
atas atau bawah tentorium. Sinus rectus berjalan disepanjang perlekatannya dengan
falx cerebri, sinus petrosus superior, sepanjang tempat perlekatannya dengan os
petrosus dan sinus transversus disepanjang tempat perlekatannya dengan os
occipitale.3,10
Falx cerebelli merupakan lipatan duramater kecil yang berbentuk sabit melekat
pada krista occipitalis interna dan menonjol ke depan di antara kedua hemispherium
cerebelli. Pinggir posteriornya yang terfiksasi berisi sinus occipitalis.3,10
Diaphragma sellae adalah lipatan duramater kecil dan berbentuk sirkular, yang
membentuk atap sella turcica. Sebuah lubang kecil dibagian tengahnya
memungkinkan untuk dilalui oleh tangkai hypophysis cerebri.3,10
2) Persarafan Duramater
Cabang-cabang nervus trigeminus, nervus vagus, dan tiga nervus cervicalis
bagian atas serta cabang-cabang truncus sympathicus berjalan menuju
duramater.3,10
Duramater memiliki banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka terhadap
regangan yang menimbulkan sensasi nyeri kepala. Stimulasi ujung-ujung sensorik
nervus trigeminus di atas tingkat tentorium cerebelli menimbulkan nyeri alih ke
daerah kulit kepala sisi yang sama. Stimulasi ujung-ujung saraf sensorik duramater
di bawah tingkat tentorium menimbulkan nyeri alih ke arah tengkuk dan belakang
kulit kepala di sepanjang persarafan nervus occipitalis major.3,10
3) Vaskularisasi Duramater
Berbagai arteri memperdarahi duramater, yaitu arteri carotis interna, arteri
maxillaris, arteri pharingea ascendens, arteri occipitalis, dan arteri vertebralis. Dari
sudut pandang klinis, arteri yang paling penting adalah arteri meningea media yang
dapat mengalami kerusakan akibat cedera kepala.3,10
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaris di dalam fossa
infratemporalis. Arteri ini masuk rongga tengkorak melalui foramen spinosum, dan
terletak diantara lapisan meningeal dan lapisan endosteal duramater. Selanjutnya
arteri ini berjalan ke depan dan lateral di dalam sebuah sulcus, pada permukaan atas
pars squamosa temporale. Ramus anterior terletak di dalam sulcus atau saluran pada
angulus anterior-inferior os pariatale, dan perjalanannya di anggap sesuai dengan
jalur gyrus precentralis otak yang ada dibawahnya. Ramus posterior melengkung
ke belakang dan mempersarafi bagian posterior duramater.3,15
Vena-vena meningea terletak di dalam lapisan endosteal duramater. Vena
meningea media mengikuti cabang-cabang arteri meningea media dan bermuara ke
dalam plexus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena-vena terletak
di lateral arteri.3,10
4) Sinus venosus duramater
Sinus venosus cavum cranii terletak di antara lapisan-lapisan duramater. Fungsi
utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena-vena cerebri dan cairan
serebrospinal dari ruang subarakhnoid melalui villi arachnoidales. Darah dari sinus-
sinus duramater akhirnya mengalir ke dalam vena jugularis interna di daerah
leher.Sinus-sinus dura dilapisi oleh endotelium, dindingnya tebal tetapi tidak
mempunyai jaringan otot. Sinus tersebut tidak memiliki katup. Vena-vena emissaria
yang juga tidak mempunyai katup menghubungkan sinus venosus dura dengan
vena-vena diploica cranii dan dengan vena-vena di kulit kepala.3,10

Gambar 2.5 Penampang superior kepala10


Nervus cranialis III dan IV, serta divisi opthalmica dan divisi maxillaris nervi
trigemini berjalan ke depan di dalam dinding lateral sinus. Saraf-saraf ini terletak
di antara lapisan endotel dan duramater. Masing-masing sinus memiliki hubungan
penting dengan vena facialis melalui vena opthalmica superior (infeksi dari kulit
wajah dapat berjalan menuju sinus cavernosus melalui rute ini).3,10

b. Arachnoidea mater
Arachnoidea mater merupakan membran yang halus dan bersifat impermeabel,
yang menutupi otak dan terletak diantara piamater dibagian dalamnya dan
duramater dibagian luar. Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial (ruang subdural) yang terisi oleh selapis cairan, dipisahkan dari piamater
oleh ruang subarakhnoid yang berisi cairan serebrospinal. Permukaan luar dan
dalam arakhnoid dilapisi oleh sel-sel mesotelial yang gepeng.3,10
Arakhnoid menjembatani antar sulcus pada permukaan otak, serta pada tempat-
tempat tertentu arakhnoid dan piamater terpisah agak lebar untuk membentuk
cisternae subarachnoidea. Cisterna cerebellomedullaris terletak diantara permukaan
inferioer cerebellum dan atap ventriculus quartus. Cisterna interpeduncularis
terletak diantara keduan pedunculus cerebri. Semua cisterna berhubungan bebas
antara satu dengan yang lain dan dengan ruang subarakhnoid lainnya.3,10
Di daerah tertentu, arakhnoid menonjol ke dalam sinus venosus untuk
membentuk villi arachnoidea. Villi arachnoidea paling banyak terdapat disepanjang
sinus sagittalis superior. Kumpulan villi arachnoidea disebut granulationes
arachnoidea. Villi arachnoidea berfungsi sebagai tempat difusi cairan serebrospinal
ke dalam aliran darah.3,10 Arachnoid dihubungkan dengan piamater dan melintas
ruang subarakhnoid yang berisi cairan dengan bantuan benang-benang halus
jaringan fibrosa.3,15
Struktur-struktur yang berjalan menuju dan dari otak ke kranium atau
foraminannya yang harus melalui ruang subarakhnoid. Seluruh arteri serebri dan
venanya terletak di dalam ruang subarachnoid, demikian pula dengan saraf-saraf
cranial. Arakhnoid menyatu dengan epinerium saraf di tempat keluar dari saraf
tersebut dari rongga tengkorak. Pada nervus opticus, arakhnoid membentuk
selubung saraf ini, yang membentang ke dalam rongga orbita melalui canalis
opticus dan menyatu dengan sklera bola mata. Dengan demikian, ruang
subarkhnoid terbentang di sekitar nervus opticus hingga ke bola mata.
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plexus choroideus di dalam ventriculus
lateralis, ventriculus tertius, dan ventriculus quartus. Cairan ini keluar dari system
ventricular atau melalui tiga buah foramina di atap ventriculus quartus, lalu masuk
ke dalam ruang subarachnoid. Selanjutnya, cairan ini mengalir ke atas di atas
permukaan hemispherium cerebri dan ke bawah di sekitar medulla spinalis. Ruang
subarachnoid spinal membentang ke bawah sampai sejauh vertebrae sacralis II.
Akhirnya, cairan serebrospinal masuk ke dalam aliran darah melalui villi
arachnoidales dan berdifusi melalui dindingnya.3,10
Selain berfungsi mengeluarkan produk sisa hasil aktivitas neuron, cairan
serebrospinal merupakan suatu medium cair tempat otak mengapung di dalamnya.
Mekanisme ini melindungi otak dari trauma secara efektif. Selain itu, saat ini cairan
serebrospinal juga dianggap berperan di dalam transportasi hormon.3,15

c. Piamater
Piamater adalah membrane vascular yang diliputi oleh sel-sel mesotelial yang
gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi gyrus-gyrus, dan turun
hingga mencapai bagian sulcus yang mencapai bagian sulcus yang paling dalam.
Lapisan ini meluas keluar hingga mencapai saraf cranial dan menyatu dengan
epineriumnya. Arteri cerebri masuk ke dalam jaringan otak setelah di bungkus oleh
piamater.3,10
Piamater membentuk tela choroidea di atap ventriculus tertius dan quartus, dan
bergabung dengan ependyma untuk membentuk plexus choroideus di ventriculus
lateralis, tertius, dan quartus di dalam otak.3,10

B. Etiologi
Sumber perdarahan dapat berupa arteri, vena, atau keduanya. Dalam
kompartemen supratentorial, perdarahan timbul 50% pada arteri meningeal media,
33% pada vena meningeal media, 10% pada sinus vena dural, dan sumber-sumber
perdarahan lainnya, termasuk 7% dari perdarahan garis fraktur. Hematoma yang
paling epidural di fossa posterior adalah karena perdarahan sinus vena dural.
Hematoma epidural terletak di daerah temporal (biasanya di bawah squamous
fraktur tulang temporal) dalam 70 persen kasus, 15% pada daerah frontal, 10% pada
daerah parieto-oksipital, dan 5% pada parasagital atau di fossa posterior. Epidural
hematoma disebakan oleh cedera kepala traumatis, biasanya terkait dengan patah
tulang tengkorak dan laserasi arteri.3,4

C. Klasifikasi
Klasifikasi Trauma kapitis
Klasifikasi Trauma kapitisBerdasarkanLokasi Anatomi6
Berdasarkanlokasianatomi Trauma kapitisdigolongkandalamduabagianyaitu :
Trauma kapitis yang tidakmembutuhkantindakanoperasi craniotomy dan Trauma
kapitis yang membutuhkantindakanoperasi craniotomy.
1. Trauma kapitis yang tidakmembutuhkantindakanoperasi craniotomy
Trauma kapitis yang tidakmembutuhkantindakanoperasi craniotomy adalah:
o Komosioserebriyaitudisfungsi neuron otaksementara yang disebabkanoleh
trauma kapitistanpamenunjukkankelainanmakroskopisjaringanotak
o Kontusioserebri (memarotak) yaitu trauma kapitis yang
menimbulkanlesiperdarahanintersinialpadajaringanotaktanpaterganggunya
kontinuitasjaringanotakdandapatmengakibatkangangguanneurologis yang
menetap
2. Trauma kapitis yang membutuhkantindakanoperasi craniotomy
Trauma kapitis yang membutuhkantindakanoperasi craniotomy adalah :
o Hematoma epidural adalahperdarahandalamruangantara tabula
internakraniidenganduramater. Padaanak-
anakduramatermelekatpadadindingperiosteumkraniumsedangkanpadadewa
saduramater paling lemah di daerah temporal
o Hematoma subdural adalahperdarahan yang
terjadiantaraduramaterdanaraknoid, biasanyasering di daerah frontal,
parientaldan temporal.
o Hematoma subdural iniseringbersamaandengankontusioserebri
o Hematoma
intraserebraladalahperdarahandalamjaringanotakkarenapecahnyaarteri
yang besar di dalamjaringanotak, sebagaiakibatdari trauma kapitisberat
o Higroma (Hidroma) subdural
adalahpenimbunancairandiantaraduramaterdanaraknoid.
Higromainiseringterjadi di daerah frontal dan temporal
o Hematoma serebriadalahmassadarah yang mendesakjaringan di
sekitarnyaakibatrobeknyasebuaharteri, biasanyaterjadi di
dalamserebelumdandiensefalon
o Frakturkraniiterbukaadalahfrakturpadadasartengkorakdanjaringanotak
yang biasanyadisebabkanoleh trauma kapitisberat.
Penderitabiasanyamasukrumahsakitdengankesadaranmenurun,
bahkanseringdalamkeadaankomadalambeberapaharidanbilapenderitasiuma
nseringterjadi amnesia

BAB II
PATOMEKANISME

Pada kerusakan vascular otak dapat terjadi perdarahan pada ruang ekstradural
atau epidural (antara dura endosteal dan tulang tengkorak), ruang subdural (antara
dura meningeal dan araknoid), ruang subaraknoid (antara araknoid dan piamater),
atau di bawah piamater ke dalam otak sendiri. Pukulan keras pada daerah
parietotemporal kepala menyebabkan cedera arteri meningea media, yang
merupakan penyebab tersering hematoma ekstradural.5,6
Perdarahan epidural (ekstradural) disebabkan oleh cedera pada arteri atau vena
meningea. Pars anterior arteri meningea media adalah arteri yang paling sering
mengalami kerusakan. Suatu benturan yang relatif ringan di sisi kepala
menyebabkan fraktur pada tengkorak di daerah anteroinferior os parietale dan dapat
merusak arteri ini. Cedera arteri atau vena terjadi terutama jika pembuluh-pembuluh
masuk ke dalam canalis tulang di daerah ini menimbulkan perdarahan dan
terlepasnya lapisan meningeal duramater dari permukaan dalam tengkorak.7
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk didalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporal. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematoma epidural. Desakan oleh hematoma akan
melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematoma
bertambah besar.8
Tingkat kematian dilaporkan berkisar 5-43%. Tingkat yang lebih tinggi
berhubungan dengan berikut:9
1. Usia lanjut
2. Lesi intradural
3. Peningkatan volume hematoma
4. Pengembangan klinis cepat
5. Kelainan pupil
6. Peningkatan tekanan intrakranial ( ICP )
7. Penurunan koma Glasgow skala ( GCS )
Tingkat mortalitas pada dasarnya nihil untuk pasien tidak dalam keadaan koma
sebelum operasi dan sekitar 10% untuk pasien tidak sadar dan 20 % untuk pasien
dalam keadaan koma yang mendalam.9

BAB III

PENEGAKKAN DIAGNOSIS

A. Anamnesis
Epidural hematoma pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan
tekanan intracranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual, dan muntah
diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah
pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran
pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang ada pada permulaan masih
positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia.
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral
juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi
cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Ciri khas hematom epidural murni
adalah terdapatnya interval bebas antara saat terjadinya trauma dan tanda pertama
yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.Jika hematoma epidural
disertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat,
sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.11
Pada pendarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur
linear ataupun stellata, manifestasi neurogenic akan terjadi beberapa jam setelah
trauma kapitis. Gejala yang sangat menonjolialah kesadaran yang menurun secara
progresif. Pupil pada sisi pendarahan pertama-tama sempit, tetapi kemudian
menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Gejala-gejala
respirasi yang biasa timbul berikutnya, mencerminkan tahap-tahap disfungsi
rostrokaudal batang otak. Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa
dijumpai hemiparesis atau serangan epilepsi fokal. Hanya dekompresi bisa
menyelamatkan kehidupan.12

B. Pemeriksaan Fisik

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura
meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteri meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital.11
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.11
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.11
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteri yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.8
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong
kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul
tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.11
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini
selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena
lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom.
Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.11,38
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf
karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura
sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans
dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh
nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di
rawat dan diperiksa dengan teliti.11

C. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan Scan Computer Tomografi Otak (CT Scan)
Hematom epidural yang kadang sulit dibedakan dari subdural, mempunyai ciri
gambaran khas berupa bikonveks atau lentikuler (ada perlekatan yang erat antara
dura dengan tabula interna tulang sehingga hematom ini mejadi terbatas).Hematom
subdural lebih cenderung lebih difus dibandingkan dengan hematom epidural di
atas dan mempunyai tampilan batas dalam yang konkav sesuai dengan permukaan
otak. Perbedaan gambaran scan computer tomografi otak antara lesi akut, subakut,
dan kronis agak sulit. Kebanyakan hematom berkembang setelah terjadi cedera,
tetapi ada juga yang baru timbul kemudian (sampai 1 minggu). Tampilannya berupa
lesi hiperdens dan dikelilingi oleh zona yang hipodens (edema).15

Gambar 4.1. CT Scan EDH lobus temporal11


ii. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Meskipun CT scan adalah studi pilihan dalam mengevaluasi EDH intrakranial,
modalitas ini terbatas dalam evaluasi EDH tulang belakang karena kesulitan dalam
memeriksa segmen panjang tulang belakang dengan gambaran aksial CT scan dan
karena atenuasi rendah dari subakut atau kronis EDH. Meskipun sangat sensitif
dalam evaluasi spinal EDH, MRI jarang menjadi modalitas awal pilihan untuk
menilai EDH intrakranial karena ketajaman dan tingkat keparahan EDH.Kurangnya
unit MRI tersedia di luar daerah perkotaan juga membatasi kegunaannya.Dalam
EDH tulang belakang, MRI menunjukkan cekung ganda, massa memanjang dalam
ruang epidural.1
MRI mampu menunjukkan gambaran yang lebih jelas terutama untuk memberi
identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens pada CT scan atau lesi dibedakan
densitasnya dengan korteks. MRI akan menggambarkan massa hiperintens
bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI
merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan
diagnosis.15
Epidural hematoma menunjukkan konfigurasi lenticular klasik yang
ignimbrit aspek lateral lobus temporal kiri. Area redaman berkurang di hematoma
menyarankan perdarahan yang sedang berlangsung.
Hematoma epidural yang ditunjukkan di atas meluas superior untuk
berbaring di atas aspek lateral lobus frontal kiri dengan terkait penipisan sulcal,
serta pergeseran garis tengah ke kanan dari 5-6 mm.
Ini mengindikasikan perdarahan terus pada saat pemeriksaan. Atasnya
pembengkakan jaringan lunak hadir dalam aspek frontal kanan kulit kepala.

Ketebalan menggumpal, Volume hematoma, dan pergeseran garis tengah


pada pra operasi computed tomography (CT) scan telah terbukti sesuai dengan
hasil. Pada pasien dengan EDH nonoperative, pertama tindak lanjut CT scan harus
diperoleh dalam waktu 6-8 jam setelah cedera otak traumatis (TBI).
Lokasi temporal EDH telah terbukti berhubungan dengan kegagalan manajemen
nonoperative dan karena itu harus menurunkan ambang untuk operasi (lihat gambar
di bawah).
Fraktur linear nondisplaced hadir di wilayah temporoparietal sebelah kiri.

Gambar menggambarkan fraktur anterior tulang frontal kanan ke jahitan koronal.

BAB IV
TATA LAKSANA
A. Persiapan
1. Fase Pre-Rumah Sakit
Pada fase pre-rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan airway, kontrol
perdarahan dan syok, imobilisasi penderita dan segera ke rumah sakit terdekat yang
fasilitas cocok, dan sebaiknya ke suatu pusat trauma yang diakui.14
2. Fase Rumah Sakit
Harus direncanakan sebelum penderita tiba.Sebaiknya ada ruangan/daerah
khusus untuk resusitasi. Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube dsb)
sudah dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan ditempat yang mudah terjangkau.
Cairan kristaloid (misalnya Ringers lactate) yang sudah dihangatkan disiapkan dan
diletakkan pada tempat yang mudah dicapai. Perlengkapan monitoring yang
diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan tenaga medik tambahan
sudah harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi.14
B. Triase
Triase adalah cara penilaian penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber
daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol
vertebra servikal, Breathing, dan Circulation) dengan kontrol perdarahan.14
Dua jenis keadaan triase dapat terjadi :14
1. Multiple Casualities
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit.Dalam keadaan ini penderita dengan masalah
yang mengancam jiwa dan multitraumaakan dilayani terlebih dahulu.
2. Masss Casualities
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu
adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan
waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit.

Dalam melakukan triase terdapat tiga hal yang seharusnya diketahui:16


a. Prinsip Seleksi Korban
Proses pilih dan pindah pasien berdasarkan atas:16
1. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran menit
2. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran jam
3. Ruda paksa ringan
4. Sudah meninggal
b. Prioritas Pertolongan
Untuk tahap ini, sebaiknya pada pelayanan gawat darurat pada kondisi
bencana berhubungan jumlah ketenagaan dan fasilitas kesehatan
minimal/lumpuh maka dahulukan pertolongan pada korban yang paling minimal
menggunakan sumber daya yang tersedia.16
Pelaksanaan triage dapat bermacam-macam. Salah satunya adalah metode triage
START (Simple triage and Rapid Treatment) dimana cara penilaiannya tetap
berdasarkan prinsip ABC:16
a. Prioritas Nol (Hitam): Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah): Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shock atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera
yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam
waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas
(misal : cedera abdomen tanpa shock, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat,
serta luka bakar ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien dengan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi
ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat
darurat psikologis).
e. Sebagian protokol yang kurang praktis membedakan prioritas 0 sebagai Prioritas
Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyakit kritis dan
berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan
Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.16
Gambar 3.1 Algoritma Sistem START17

Hitam = Deceased (Tewas), Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed


(Tunda), Hijau = Minor. Semua korban diluar algoritma diatas: Kuning. Disini tidak
ada resusitasi dan C-spine control. Satu pasien maksimal 60 detik. Segera pindah
ke pasien berikut setelah tagging.17
C. Periksa kesadaran
Evaluasi dengan menggunakan metode AVPU, yaitu:14
1. A : Alert, sadar
2. V : Vocal, adanya respon terhadap rangsangan vokal
3. P : Painful, adanya respon hanya pada rangsang nyeri
4. U: Unresponsive, tidak ada respon sama sekali.

Evaluasi dengan Skala Koma Glasgow (GCS)8


Membuka Mata (eye) Nilai
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada saraf supraorbita
atau kuku jari) 2
Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak
membuka mata) 1
Respon Bicara (verbal)
Baik dan tidak disorientasi (dapat menjawab dengan 5
kalimat yang tidak baik dan tahu dimana ia berada,
tahu waktu, hari, bulan)
Kacau (confused) (dapat bicara dalam kalimat, namun 4
ada disorientasi waktu dan tempat)
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun 3
tidak berupa kalimat dan tidak tepat)
Mengerang (tidak menggunakan kata, hanya suara 2
mengerang)
Tidak ada jawaban 1
Respon Gerakan (motoric)
Menurut perintah 6
(misalnya, suruh: angkat tangan!)
Mengetahui lokasi nyeri (berikan rangsang nyeri, 5
misalnya menekan dengan jari pada supraorbita. Bila
oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya sampai
melewati dagu untuk maksud menapis rangsangan
tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
Reaksi menghindar
Reaksi flexi (dekortikasi) 4
(berikan rangsang nyeri, misalkan menekan dengan 3
objek keras, seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila
sebagai jawaban siku flexi terhadap nyeri (flexi pada
pergelangan tangan mungkin ada atau tidak )
Reaksi ekstensi (deserbrasi)
2
(dengan rangsang nyeri tersebut di atas terjadi ekstensi
pada siku. Ini selalu disertai flexi spastik pada
pergelangan tangan) 1
Tidak ada reaksi
(sebelum memutuskan bahwa rangsang nyeri memang
cukup adekuat diberikan)

Interpretasi :18
Nilai tertinggi : E + M + V = 13 - 15 (responsiveness)
Nilai sedang : E + M + V = 9 - 12
Nilai terendah : E + M + V = 3 - 8 (coma)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi:19
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi
jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
D. Primary survey
Penilaian keadaan penderita dan prioritas tetapi dilakukan bedasarkan jenis
perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma.Pada penderita yang
terluka parah tetapi diberikan berdasarkan prioritas.Tanda vital penderita harus
dinilai secara cepat dan efisien. Proses ini berusaha mengenali keadaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada Airway,
Breathing, Circulation (ABC). Bila ditemukan keadaan yang mengancam jiwa,
maka harus diresusitasi saat itu juga.14
1. Airway
Pemeriksaan
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas.Ini meliputi
pemeriksaan adanya sumbatan jalan napas yang dapat disebabkan benda asing,
adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea/larings. Harus diperhatikan
pula secara cermat mengenai kelainan yang mungkin terdapat pada vertebra
servikalis dan apabila ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan yang
berlebihan pada tempat ini dan diberikan alat bantu. Pada penderita yang dapat
berbicara, dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian
ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.14
Look, listen, and feel diawali dengan mendekatkan telinga ke mulut dan
hidung penderita sambil menjaga jalan napas tetap terbuka. Kemudian pada
saat yang sama mengamati dada penderita.14
1. Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kekurangan oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit
sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan
yang apabila ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.14
2. Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi
(napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin
berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Penderita yang
melawan dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia
dan tidak boleh dianggap karena keracunan/mabuk.14
3. Rasakan (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan apakah trakea ada
ditengah. Juga merasakan adanya atau tidaknya hembusan nafas penderita.14
Gambar3.4 Look, Listen and Feel20
a. Permasalahan
Adanya suara nafas tambahan (noisy breathing) menunjukkan suatu
sumbatan airway parsial yang mendadak dapat berubah menjadi total. Tidak
adannya pernafasan menunjukkan bahwa sumbatan total telah terjadi. Apabila
tingkat kesadaran menurun, deteksi sumbatan airway menjadi lebih sulit.
Adanya dispnea mungkin hanya satu-satunya bukti adanya sumbatan airway
atau cedera trakheobronkhial.14
Obstruksi jalan nafas merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat
dibandingkan gangguan breathing dan circulation.Lagipula perbaikan breathing
tidak mungkin dilakukan bila tidak ada airway yang paten. Obstruksi jalan nafas
dapat berupa obstruksi total atau parsial.21
Pada obstruksi total mungkin ditemukan penderita masih sadar atau dalam
keadaan tidak sadar. Pada obstruksi total yang akut, biasanya disebabkan
tertelannya benda asing yang lalu menyangkut dan menyumbat di pangkal
laring. Bila obstruksi total timbul perlahan maka akan berawal dari obstruksi
parsial yang kemudian menjadi total.21
1. Bila Penderita masih Sadar
Penderita akan memegang leher dalam keadaan sangat gelisah. Sianosis
mungkin ditemukan dan mungkin ada kesan masih bernafas (walaupun tidak ada
ventilasi). Penanganannya adalah chest thrust atau abdominal thrust
menggunakan Heimlich Manouvere. Tindakan Heimlich dapat dilakukan
dengan merangkul korban dari belakang dan meletakkan kepalan tinju pada ulu
hati korban (abdominal thrust) atau pada dada (chest thrust), kemudian dengan
tangan lainnya menekan tinju tersebut kearah superior dan posterior.
Kontraindikasi abdominal thrust adalah kehamilan tua dan bayi serta dewasa
gemuk. Jika penderita adalah bayi/dewasa gemuk maka untuk mengeluarkan
benda asing tersebut dilakukan chest thrust, back slaps, atau back blow. Pada ibu
hamil sebaiknya menggunakan back blow atau back slap yaitu dengan menepuk
atau memukul punggung pada pertengahan daerah diantara kedua scapula.21
2. Bila Penderita ditemukan Tidak Sadar
Tidak ada gejala apa-apa mungkin hanya sianosis saja.Pada saat melakukan
pernapasan buatan mungkin ditemukan resistensi (tahanan) terhadap ventilasi.
Dalam keadaan ini harus ditentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan
sapuan jari ke dalam faring sampai di belakang epiglottis. Apabila tidak berhasil
mengeluarkan dengan Finger Sweep dan tidak ada perlengkapan sesuai maka
terpaksa dilakukan Abdominal Thrust atau chest thrust dalam keadaan penderita
berbaring. Tindakannya berupa menekan diafragma atau dada kearah superior
dan posterior secara berulang-ulang sehingga menghasilkan batuk buatan/
sumbatan keluar.21
Pada obstruksi parsial dapat disebabkan berbagai hal. Biasanya
penderitanya masih bisa bernafas sehingga timbul berbagai macam suara,
tergantung penyebabnya:21

1. Cairan (Darah, secret, aspirasi lambung dsb.)


Timbul suara gurgling, suara bernafas bercampur suara cairan.Dalam
keadaan ini harus dilakukan penghisapan. Atau bisa melakukan finger
sweep yaitu menyapu cairan dalam rongga mulut menggunakan jari tangan
yang dilapisi dengan bahan yang dapat menyerap (contoh: kain, kasa), tapi
tidak boleh menggunakan bahan yang mudah hancur bila basah dan dapat
menyebabkan sumbatan baru (contoh: tissue, kapas)
2. Lidah yang jatuh ke belakang
Keadaan ini bisa terjadi karena keadaan tidak sadar atau patahnya
rahang bilateral. Timbul suara mengorok (Snoring) yang harus diatasi
dengan perbaikan Airway, secara manual bisa dengan head tilt dan chin lift,
atau bisa dengan menggunakan alat seperti orofaringeal tube (guedel)
3. Penyempitan di Laring atau Trachea
Dapat disebabkan udema karena berbagai hal (luka bakar, radang, dsb.)
ataupun desakan neoplasma.Timbul suara crowing atau stridor
respiratori.Keadaan ini hanya dapat diatasi dengan perbaikan Airway distal
dari sumbatan,misalnya dengan Trakheostomi.

Penanganan
1. Penanganan tanpa Alat
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dengan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing.14
Keluarkan semua benda asing yang terlihat atau muntahan dari mulut,
keluarkan cairan dari mulut dengan memakai jari-jari yang dibungkus
dengan sarung tangan atau dibungkus selembar kain.14

Gambar3.5 Finger sweep22


Ada 3 manuver yang dianjurkan untuk dilakukan jika didapatkan
benda asing pada jalan napas tersebut, yaitu:14
a. Tepuk pada punggung (back blows)
Untuk mengeluarkan benda asing pada bayi/dewasa gemuk
maka dilakukan chest thrust, back slaps, atau back blow. Pada ibu
hamil sebaiknya menggunakan back blow atau back slap yaitu
dengan menepuk atau memukul punggung pada pertengahan
daerah diantara kedua scapula.21

Gambar 3.6 Back blows22

b. Tekanan pada dada (chest thrust)


untuk mengeluarkan benda asing pada bayi/dewasa gemuk
maka dilakukan chest thrust, back slaps, atau back blow. Tindakan
Heimlich dapat dilakukan dengan merangkul korban dari belakang
dan meletakkan kepalan tinju pada dada (chest thrust), kemudian
dengan tangan lainnya menekan tinju tersebut kearah superior dan
posterior.18

Gambar 3.7 Chest thurst22


c. Tekanan pada abdomen (abdominal thrust)
Tindakan Heimlich dapat dilakukan dengan merangkul korban
dari belakang dan meletakkan kepalan tinju pada dada (chest
thrust), kemudian dengan tangan lainnya menekan tinju tersebut
kearah superior dan posterior. Kontraindikasi abdominal thrust
adalah kehamilan tua dan bayi serta dewasa gemuk.21

Gambar3.8 Abdominal thurst22


Ada dua cara untuk membebaskan obstruksi jalan napas:
1) Head Tilt-Chin Lift
Teknik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera
kepala, leher, dan tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan
tehnik ini adalah :20
a. Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling
dekat dengan dahi korban).
b. Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi
kearah belakang.
c. Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian
tulang dari dagu korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya
jari telunjuk dan diletakkan dibawah dagu.
d. Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan
sampai mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan
terlalu menengadahkan kepala.
e. Pertahankan posisi ini.
Gambar3.9 Head tilt- Chin lift22
2) Jaw Thrust
Jaw thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang
bawah (angulus mandibula) kiri dan kanan dan mendorong rahang
bawah ke depan. Bila cara ini dilakukan sambil menggunakan
masker dari alat bag-valve dapat dicapai kerapatan yang baik dan
ventilasi yang adequat. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati
untuk mencegah ekstensi kepala.14

Gambar 3.10 Jaw Thrust22


Indikasi jaw thrust: pasien trauma responsif dengan cedera
tulang belakang dicurigai tidak mampu mempertahankan jalan
napas paten. Sedangkan kontraindikasinya: trauma pasien
responsif yang mulutnya tidak dapat dibuka.20
2. Penanganan dengan Menggunakan Alat
a. Pipa nasofaringeal
Alat ini berfungsi untuk menjaga jalan napas agar tetap bebas
dari sumbatan. Alat ini lebih baik daripada oropharingeal airway
pada penderita sadar karena tidak akan menyebabkan muntah dan
lebih ditolerir penderita. Bila pada pemasangan ditemui hambatan,
berhenti dan pindah ke lubang hidung yang lain.21

Gambar 3.11 Pipa Nasofaringeal23


Tahap tahap menggunakan alat ini:14
a) Lumasi pipa nasofaringeal sebelum disisipkan
b) Nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung yang
tampak tidak tertutup
c) Lewatkan dengan hati-hati di orofaring posterior.
d) Bila hambatan dirasakn sebelum pemasangan airway hentikan
dan coba melalui lubang hidung satunya.
e) Bila ujung pipa nasofaring tampak di orofaring posterior alat ini
dapat menjadi saran yang nyaman untuk memasang pipa
nasogastric tube pada penderita dengan fraktur tulang wajah.
f) Pada penderita yang masih memberi respon nasofaringeal lebih
baik karena tidak merangsang muntah dibanding bila
menggunakan pipa orofaringeal.
b. Pipa orofaringeal
Alat ini berfungsi untuk menjaga jalan napas agar tetap bebas
dari sumbatan.Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke belakang
karena akanmenyumbat faring. Alat ini juga tidak boleh dipakai
pada penderita sadar karena akan menyebabkan muntah dan
kemudian aspirasi.21
Gambar 3.12 Pipa Orofaringeal24

Tahap tahap menggunakan alat ini:14


a) Pipa orofaringeal disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah
b) Gunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan sisipkan airway
tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke
belakang karena akan menyumbat airway.
c) Teknik dengan menyisipkan orofaringeal secara terbalik
sehingga bagian cekung menghadap ke arah cranial sampai di
daerah palatum molle.
d) Pada titik ini alat di putar 180 derajat, bagian cekung menghadap
ke arah kaudal, alat diselipkan ke tempatnya di atas lidah.
e) Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak karena rotasi alat
ini dapat merusak mulut dan faring.

Gambar 3.13 Pipa Endotracheal25


c. Cricothyroidotomy
Jika seluruh cara pembebasan jalan napas sudah dilakukan tetapi
tidak menunjukkan keberhasilan (masih ada obstruksi airway),
maka dilakukan Cricothyroidotomi, yaitu dengan melakukan insisi
pada membran cricothyroid yang terletak di antara cartilago
thyroid dan cricoids lalu memasukkan benda yang berongga.21

2. Breathing
Pemeriksaan
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas.Ini meliputi
pemeriksaan adanya sumbatan jalan napas yang dapat disebabkan benda
asing, adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea/larings. Harus
diperhatikan pula secara cermat mengenai kelainan yang mungkin
terdapat pada vertebra servikalis dan apabila ditemukan kelainan, harus
dicegah gerakan yang berlebihan pada tempat ini dan diberikan alat
bantu. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan napas
bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap
dilakukan.14
Look, listen, and feel diawali dengan mendekatkan telinga ke mulut
dan hidung penderita sambil menjaga jalan napas tetap terbuka.
Kemudian pada saat yang sama mengamati dada penderita.14
1. Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia dan penurunan
kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan
hipoksemia yang disebabkan oleh kekurangan oksigenasi dan dapat
dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya
retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada
merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.14
2. Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang
berbunyi (napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara
mendengkur (snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing
sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada
faring atau laring. Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar
(gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan/mabuk.14
3. Rasakan (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan apakah
trakea ada ditengah.Juga merasakan adanya atau tidaknya hembusan
nafas penderita.14

Gambar 3.14 look, listen, and feel19


d. Permasalahan
Tanda distres nafas:14
1. Nafas dangkal dan cepat.
2. Gerak cuping hidung (flaring nostril)
3. Tarikan sela iga (retraksi).
4. Tarikan otot leher (tracheal tug).
5. Nadi cepat.
6. Hipotensi.
7. Vena leher distensi.
8. Sianosis (tanda lambat).
e. Penanganan
1. Tanpa alat
Teknik mulut ke mulut (mouth to mouth) ini adalah teknik yang
cepat dan efektif untuk memberikan oksigen pada seorang korban.14
a. Ventilasi mouth to mouth
Pelaksanaan pernapasan buatan dari mulut ke mulut melalui
tahapan sebagai berikut :14
1. Korban ditelentangkan.
2. Bersihkan mulut, hidung dan tenggorokkan korban.
3. Kepala korban ditengadahkan ke atas, satu tangan penolong
diletakkan di bawah leher dan satu tangan di dahi.
4. Leher korban kemudian diangkat ke atas dan dahinya ditekan ke
bawa, untuk membuka jalan napas.
5. Isap udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru sendiri
(penolong), kemudian hembuskan ke dalam mulut korban yang
sudah terbuka dengan cukup kuat.
6. Usahakan jangan sampai ada udara yang bocor ke luar, dengan
menutup hidung korban dengan jari.
7. Perhatikan dada korban, apabila berkembang berarti udara
masuk paru-paru. Pada saat itu mulut penolong dilepaskan dari
korban.
8. Hembuskan sebanyak 12-15 kali permenit, sambil selalu
memperhatikan apakah rongga dada bergerak.
9. Bila perut korban mengembung, tekanlah sekali-kali bagian
sebelah kiri dari perutnya untuk mengeluarkan udara dari
lambung.

Gambar 3.15 mouth to mouth20


b. Ventilasi Mouth to Nose
Metode ventilasi dari mulut ke hidung dapat digunakan di mana
penyelamat memilih ketika rahang korban erat terkatup, atau ketika
resusitasi bayi dan anak kecil.Teknik untuk mulut ke hidung sama
dengan mulut ke mulut kecuali untuk menyegel jalan napas. Tutup
mulut korban dengan tangan mendukung rahang dan mendorong
bibir bersama-sama dengan ibu jari.14
Ambil napas dan menempatkan mulut Anda terbuka lebar
melalui hidung korban (atau mulut dan hidung pada bayi) dan
meniup untuk menggelembungkan paru-paru korban.Angkat mulut
Anda dari hidung korban dan mencari jatuhnya dada, dengarkan
dan rasakan untuk melarikan diri dari udara dari hidung dan
mulut.Jika dada tidak bergerak, ada obstruksi, segel tidak efektif,
atau udara cukup ditiup ke paru-paru.14
Dalam resusitasi mulut ke hidung kebocoran dapat terjadi jika
mulut penyelamat itu tidak terbuka cukup, atau jika mulut korban
tidak disegel memadai.Jika masalah ini terus berlanjut, gunakan
mulut ke mulut resusitasi. Ini mungkin akan menemukan bahwa
penyumbatan hidung mencegah inflasi yang memadai. Jika hal ini
terjadi, mulut ke mulut resusitasi harus digunakan.14

Gambar3.16 mouth to nose27


2. Dengan Menggunakan Alat
Memberikan pernafasan buatan dengan alat ambu bag (self
inflating bag). Pada alat tersebut dapat pula ditambahkan
oksigen.Pernapasan buatan dapat pula di berikan dengan
menggunakan ventilator mekanik(ventilator/ respirator).20
a. Mulut ke sungkup :
Hembuskan udara ekshalasi penolong melalui sungkup yang
cocok menutup lubang hidung dan mulut pasien memberikan
konsentrasi O2, 16%.21
Gambar 3.17 mouth to mask28
b. Bag Valve Mask Ventilation (Ambu Bag)
Merupakan cara pemberian napas buatan dengan menggunakan
alat. Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada
katup. Konsentrasi oksigen tergantung dari adanya suplementasi
oksigen. Untuk mendapatkan penutupan masker yang baik maka
sebaiknya masker di pegang satu petugas sedangkan petugas lain
memompa.29

Gambar 3.18Bag Valve Mask Ventilation29


c. Oxygen Tabung (Oxycan)
Merupakan oxygen dalam tabung kecil yang berisi O2. Cara
menggunakannya: penutup tabung dibuka lalu dihubungkan
dengan penyemprotan. Penutup tabung ini berfungsi sebagai mask.
Sambil menyemprotkan oxygen, penderita disuruh menarik napas
panjang.21
Gambar 3.19 Oxycan30
d. Kanul hidung (Nasale canule)
Kanal hidung lebih dapat ditolerir oleh anak anak, face mask
akan ditolak karena merasa dicekik. Orang dewasa juga kadang
kadang menolak face mask karena dianggap mencekik.
Kekurangan kanul hidung adalah dalam konsentrasi oksigen yang
dihasilkannya. Pemberian oksigen melalui kanul hidung tidak bisa
lebih dari 6 liter/menit karena tidak berguna untuk meningkat
konsentrasi oksigen dan iritatif untuk penderita.21

Gambar 3.20 Nasale canule)31

e. Face mask (Breathing Mask)


Masker dengan lubang pada sisinya. Pemakaian dengan face
mask dalam pemberian oksigen lebih baik dibandingkan kanul
hidung karena konsentrasi oksigen yangdihasilkannya lebih
tinggi.21
f. Non Breathing Mask
Pada face mask dipasang reservoir oksigen yang mempunyai
katup. Bila diinginkan konsentrasi oksigen yang tinggi maka non
breathing mask paling baik.21
3. Circulation

Pemeriksaan
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-trauma yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah
sakit.Suatu keadaan hipotensi pada pasien trauma harus dianggap
disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik.14
Pemeriksaan pada circulationadalah :
1. Dapat mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal14
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka.
2. Mengetahui sumber perdarahan internal14
Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah perdarahan rongga
toraks, abdomen, sekitar fraktur tulang, retro-peritoneal atau fraktur
pelvis.
3. Tingkat kesadaran14
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik; pasien yang
sadar belum tentu normo-volemik)
4. Nadi 34
Pemeriksaan sistem sirkulasi darah (Circulation) dilakukan dengan
menilai adanya pulsasi arteri femoralis atau arteri karotis (kiri-
kanan).Pemeriksaan ini maksimal dilakukan selama 5 detik.Tidak
ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
dipelukannya resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan
cardiac output.
5. Warna kulit34
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia.Pasien trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas,
jarang yang dalam keadaan hipovolemia.Sebaliknya wajah pucat
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.

Permasalahan
Harus berhati-hati pada kelompok umur muda, tua, atlit dan
pemakaian obat-obatan tertentu, karena penderita tidak bereaksi secara
normal.14
1. Orang tua walaupun dalam keadaan sehat, sulit untuk meningkatkan
denyut jantung dalam keadaan hipovolemia. Akibatnya adalah bahwa
takikardia mungkin tidak terlihat pada orang tua walaupun sudah
hipovolemia. Pada oran tua sering tidak ada hubungan antara tekanan
darah dengan curah jantung.
2. Anak kecil mempunyai cadangan fisiologis yang besar. Bila jatuh
dalam keadaan syok, akan berlangsung tiba-tiba dan katastrofik.
3. Atlit juga mempunyai cadangan fisiologis yang besar, lagipula
biasanya dalam keadaan bradikardia dan mungkin tidak ditemukan
takikardia walaupun sudah hipovolemia.
4. Kerapkali anamnesis yang meliputi AMPLE (dibicarakan dalam
survay sekunder) tidak dilakukan sehingga tim trauma tidak sadar
akan pemakaian obat-obatan tertentu.

a. Penanganan
Supaya RJP yang dilakukan efektif dan mencegah cedera yang serius
pada korban maka kompresi dada eksternal harusdilakukan pada titik
kompresi RJP. Yang harus diperhatikan adalah :19
1. Menentukan Titik Kompresi.
2. Posisikan diri Anda berlutut disamping korban.
3. Gunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan Anda untuk menentukan
batas bawah dari sangkar costa.
4. Jika sudah Anda dapatkan, gerakkan jari Anda menelusuri lengkung
costa sampai ke takik pada ujung sternum (proc. Xiphoideus).
5. Letakkan jari tengah Anda di atas atau pada takik dan jari telunjuk di
sebelah atasnya.
6. Letakkan tumit tangan Anda yang lain (tangan yang dekat dengan
kepala korban) di atas sternum, di sebelah atas jari telunjuk.
7. Angkat jari-jari Anda dari takik dan letakkan tangan tersebut di atas
tangan yang lain pada dada

Gambar 3.24. Posisi tangan saat RJP20


a) RJP pada orang dewasa
Langkah melakukan RJP :14
1. Lakukan 30 kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali nafas buatan
ini berulang selama 2 menit.
2. Setelah 2 menit (7-8 siklus) raba nadi leher 30 : 2.
3. Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 x pijat
jantung dan 2 x nafas buatan. Ini merupakan satu siklus.
4. Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah sudah ada
denyut jantung. Bila belum ada, ulangi kembali siklus sampai
datang bantuan atau ambulans.
Gambar 3.25 RJP pada orang dewasa dengan 1 penolong20
Cara memberi nafas buatan:14
1. Pertahankan posisi kepala tetap tengadah.
2. Jepit hidung dengan tangan yang mempertahankan kepala tetap
tengadah.
3. Buka mulut penolong lebar-lebar sambil menarik nafas panjang.
4. Tempelkan mulut penolong diatas mulut korban dengan rapat.
Hembuskan udara kemulut korban sampai terlihat dada terangkat/
bergerak naik
5. Lepaskan mulut penolong, biarkan udara keluar dari mulut korban,
dada korban tampak bergerak turun.
6. Berikan hembusan nafas kedua dengan cara yang sama.
b) RJP untuk Anak
Pada dasarnya resusitasi pada anak dilakukan seperti pada orang
dewasa. Pembebasan jalan nafas diusahakan dengan ekstensi kepala
dan mengangkat rahang bawah pada dagu, kemudian ditentukan ada
tidaknya pernafasan, denyut nadi dicari di leher dengan satu atau dua
jari yang digeser dari garis tengah rawan tiroid sampai ke lateral laring
tempat denyut arteri carotis atau dicari di arteri brahialis.32
c) RJP untuk Bayi
Masase jantung dilakukan dengan ibu jari pada sternum yang
ditekan sedalam satu setengah sampai dua setengah sentimeter
tergantung pada usia dan besarnya bayi. Karena hanya ada satu tempat
untuk satu penyelamat. Harus dilakukan sekali insuflasi setelah lima
kompaan thorax. Penekanan harus dilakukan secara berbeda untuk
bayi daripada mereka akan lebih besar untuk anak-anak dan orang
dewasa karena ukurannya lebih kecil.14

Gambar 3.26 RJP untuk Bayi28


CPR Guidelines Overview 2010

Tingkat kompresi (Dewasa, Bayi, & Setidaknya 100 kompresi per


Children): menit.
Kedalaman kompresi (Dewasa & 2 inci / 5 sentimeter.
Anak):

Tabel 3.2 Kedalaman kompresi (Bayi): 1/3 kedalaman dada.

CPR Rasio kompresi untuk napas 30 kompresi untuk 2


(Dewasa): penyelamatan napas.
Rasio kompresi untuk napas (Anak 30 kompresi untuk 2
/ Bayi): penyelamatan
napas. (Kesehatan Non atau
Recuer Single)
15 kompresi untuk 2
Rasio kompresi untuk napas (Anak penyelamatan
/ Bayi): napas. (Kesehatan di Tim
Penyelamat)
Guidelines Overview 2010 34
b. Indikasi Pengakhiran Resusitasi
Resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari berikut ini:14
1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung
jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).
3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter
sebelumnya).
4. Penolong terlalu capek sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi.
5. Pasien dinyatakan mati.
6. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien
berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat
disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral
tidak akan pulih (yaitu sesudah - 1 jam terbukti tidak ada nadi pada
normotermia tanpa RJP).
1) Resusitasi yang berhasil
Resusitasi dikatakan berhasil jika :14
a. Dada harus naik dan turun dengan setiap tiupan (ventilasi).
b. Pupil bereaksi atau tampak berubah normal
c. Denyut jantung kembali terdengar
d. Reflek pernapasan spontan dapat terlihat
e. Kulit penderita pucat berkurang atau kembali normal
f. Penderita dapat menggerakkan tangan atau kakinya.
g. Penderita berusaha untuk menelan, penderita menggeliat atau
memberontak.

2) Resusitasi yang tidak berhasil


Resusitasi dikatakan tidak berhasil jika:14
1. Telah terjadi kematian otak, antara lain dengan tanda-tanda
hilangnyafungsi otak pada pemeriksaan klinis selang waktu
minimal 2 jam seperti:
a) Tidak adanya napas spontan
b) Tidak adanya reflex syaraf otak dan pupil
c) Pupil tetap berdilatasi selama 15-30 menit
2. Tidak adanya respon jantung terhadap tindakan resusitasi
E. Secondary Survey
Secondary survey diilakukan setelah primary survey selesai.Prinsipnya
adalah melakukan pemeriksaan ulang dari kepala sampai kaki (head to toe
examination) dan tanda vital. Peluang untuk membuat kesalahan yang cukup
besar sehingga diperlukan pemeriksaan teliti yang menyeluruh.14
1. Pada survey sekunder dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk
mencatat GCS bila belum dilakukan pada survey primer. Pada survey
sekunder ini dilakukan anamnesa singkat dengan metode di bawah ini:14
A : Alergi
M : Medical (obat yang diminum saat ini)
P : Past illness (penyakit penyerta) atau pregnancy
L : Last Meal
E : Event atau Environment (lingkungan) yang berhubungan dengan
kejadian perlukaan.
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas harus
melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis perlukaan dapat diramalkan dari
mekanisme perlukaan tersebut.14
2. Posisi pemulihan digunakan pada penatalaksanaan penderita yang tidak
berespon tapi dapat bernapas. Saat penderita tidak berespon/ tidak sadar
berbaring terlentang dan bernapas spontan, jalan napas dapat tersumbat oleh
lidah atau mucus dan muntahan. Masalah ini dapat dicegah saat penderita
dimiringkan, karena cairandapat mengalir keluar dengan mudah dari
mulut.11
Beberapa penyesuaian diperlukan antara posisi yang ideal agar jalan napas
tetap terbuka dan bantuan yang diperlukan dan tetap dilakukan.Terdapat
beberpa pendapat tentang recovery position, setiap pendapat tersebut
mempunyai keuntungan tersendiri. Tidak ada posisi yang terbaik untuk
semua penderita, namun yang harus dipertimbangkan adalah:14
a. Penderita ditempatkan dengan posisi yang hampir mendekati lateral
penuh dengan mempertahankan kepala agar cairan dapat mengalir
dengan bebas.
b. Posisi penderita dalam keadaan stabil.
c. Mencegah terjadinya penekanan pada dada yang dapat menganggu
pernapasan.
d. Harus sedapat mungkin mengembalikan posisi penderita dengan mudah
dan aman dengan mempertimbangkan kemungkinan trauma servikal.
e. Observasi dan penilaian jalan napas harus dapat dilakukan dengan sebaik
mungkin.
f. Posisi itu sendiri tidak menyebabkan trauma pada penderita.
g. Jika penderita tetap berada pada recovery position selama lebih dari 30
menit, penderita dibalik ke sisi yang berlawanan.

Gambar 3.27 Position Recovery20

F. Algoritma Initial Assesment


Gambar3.28 Initial Assessment35
Gambar 3.29 Algoritma Cedera Kepala14
Gambar 3.30 Algoritma Cedera Kepala14
1. Penanganan Berdasarkan Klasifikasi Derajat Cedera Kepala
Pembagian derajat cedera kepala dibedakan sebagai berikut, ditentukan
berdasarkan tingkat kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama pasca trauma:15
Cedera kepala ringan : GCS 14-15
Cedera kepala sedang : GCS 9-13
Cedera kepala berat : GCS 8
a. Cedera kepala ringan
Penangannya mencangkup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan
waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat
adanya amnesia (retrograde atau antegrade) serta keluhan-keluhan lain
yang berkaitan dengan peninggian tekanan intrakranial seperti nyeri
kepala,pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan
tertanda ada tidaknya trauma pada kepala, sedangkan amnesia antegrade
(pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat-ringannya konkusi cedera
kepala yang terjadi. Pemeriksaan fisik disini ditekankan untuk
meningkirkan adanya gangguan sistemik lainnya serta, mendeteksi
defesit neurologis yang mungkin ada. Kepentingan pemeriksaan
radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk mengetahui
adanya: fraktur tengkorak, posisi kelenjar pineal, sedangkan foto servical
atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi.
Pemerikasaan CT Scan memang secara ideal perlu dilakukan bagi semua
cedera kepala.15
b. Cedera kepala sedang
Penanganan pertama selain mencangkup anamnesa dan pemerikssan
fisis serta foto polos tengkorak, juga mencangkup pemeriksaan scan
tomografi computer otak (CT-Scan).Pada tingkat ini semua kasus
mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di
rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologi setiap stengan jam
sekali, sedangkan follow up scan tomografi computer otak pada hari ke
3 atau bila ada perburukan neurologis.15
c. Cedera kepala berat
Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita
dalam kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai
resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana
tindakan menunggu (wait and see) disini dapat berakibat sangat fatal.
Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencangkup tujuh
tahap yaitu:15
1) Stabilisasi kardiopulmoner mencangkup prinsip-prinsip ABC
(Airway-Breathing-Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia,
hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian
tekanan intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
Semua penderita cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi
pada kesempatan pertama.
2) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan di bagian tubuh lainnya.
3) Pemeriksaan neurologis mencangkup respon mata,motorik, verbal,
pemriksaan pupil, reflex oculosefalik dan refleks okulovestibuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
masih rendah (syok).
4) Pemberian pengobatan seperti: antiedema serebri, antikejang, dan
natrium bikarbonat.
5) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti scan tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
2. Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada
cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi
tekanan intrakranial (TIK) dan meningkatkan drainase vena.1
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi
edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam
memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaksis dengan memberikan fenitoin dengan sedini mungkin (24 jam
pertama) untuk mencegah timbulnya fokus epileptogenik dan untuk
menggunakan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri
hidroksimetil amino metana (THAM) merupakan suatu buffer yang
dapat masuk kedalam susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior
dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan
intracranial (TIK). Barbiturat dapat digunakan untuk mengatasi tekanan
intracranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari
anoksia dan iskemik. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10
mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB
setiap 3 jam serta drips 1 mg/kgBB/jam untuk mencapai kadar serum 3 4
mg%.15
Obat yang digunakan selain untuk operasi akan bervariasi sesuai dengan
jenis dan keparahan gejala dan kerusakan otak yang terjadi.Obat
antikonvulsan (misalnya fenitoin) dapat digunakan untuk mengontrol atau
mencegah kejang . Beberapa obat yang disebut agen hyperosmotic (seperti
manitol, gliserol, dan salin hipertonik ) dapat digunakan untuk mengurangi
pembengkakan otak.38
3. Terapi Operatif 15,1
Operasi darurat hampir selalu diperlukan untuk mengurangi tekanan
dalam otak.Ini mungkin termasuk pengeboran lubang kecil di tengkorak
untuk mengurangi tekanan dan memungkinkan drainase darah dari
otak.Hematoma besar atau bekuan darah yang solid mungkin perlu dihapus
melalui lubang yang besar di tengkorak (kraniotomi).38
1. Dekompresi dengan trepanase sederhana.
2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom.
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif
adalah adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm
(kecuali penderita sudah mati otak).15
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya
menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan
oleh lesi desak ruang.8
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :11
1. > 25 cc = desak ruang supratentorial
2. > 10 cc = desak ruang infratentorial
3. > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan:1
1. Penurunan klinis,
2. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif, dan
3. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
BAB V
KOMPLIKASI

Adapun komplikasi dari epidural hematoma berupa:


1. Defisit neurologis atau kematian mungkin terjadi.12
2. Efek epidural hematoma yang tertunda termasuk post concussion syndrome,
yang ditandai dengan sakit kepala, pusing, vertigo, gelisah, lability emosional,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, dan kelelahan.12
3. Ada risiko cedera otak permanen apakah perdarahan tersebut ditangani maupun
tidak ditangani.38
4. Gejala (seperti kejang) dapat bertahan selama beberapa bulan, bahkan setelah
pengobatan, tetapi dalam beberapa waktu kejang biasanya menjadi kurang
sering atau hilang sepenuhnya. Kejang mungkin mulai terjadi selama 2 tahun
setelah cedera.Pada orang dewasa, sebagian besar pemulihan terjadi pada 6
bulan pertama, dengan beberapa perbaikan selama sekitar 2 tahun. Anak-anak
biasanya sembuh lebih cepat dan benar-benar sembuh daripada orang dewasa.
Post traumatic kejang akibat kerusakan kortikal dapat berkembang 1-3 bulan
setelah cedera awal, dengan penurunan frekuensi dari waktu ke waktu.
Alkoholisme meningkatkan risiko kejang pasca trauma.12 Pemulihan yang
tidak lengkap adalah gambaran dari kerusakan otak.38
5. Komplikasi lainnya termasuk gejala permanen seperti kelumpuhan atau
hilangnya sensasi (yang dimulai pada saat cedera), herniasi otak dan koma
permanen, hidrosefalus, lemah, sakit kepala, inkontinensia, dan kesulitan
berjalan.38
BAB VI
KESIMPULAN

1. Epidural hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi diantara tulang
dan lapisan duramater.
2. Hematoma yang terjadi di ruang epidural (epidural hematom) merupakan suatu
akibat serius dari cedera kepala dengan angka mortalitas tinggi sekitar 50%.
Hematoma ini paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan A.
Meningea media.
3. Pasien dengan epidural hematoma mengalami hilang kesadaran singkat setelah
trauma kepala, di ikuti interval lusid dan kemunduran neurologik.
4. Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal
atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi tekanan
intrakranial (TIK) dan meningkatkan drainase vena.
5. Primary survey mengevaluasi dan mengelolah airway(jalan napas), breathing
(pernafasan), circulation (sirkulasi).
6. Pemeriksaan airway dengan mengenali ada tidaknya sumbatan jalan napas
dapat dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen), dan
rasakan(feel).Pengelolaan gangguan pada jalan napas meliputi:
a. Chest thrust, abdominal thrust and back blow
b. Head tilt,Chin lift, jaw thrust
7. Pemeriksaan Breathing untuk melihat adekuatnya nafas atau tidakdapat
dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen), dan rasakan(feel).Pemberian
ventilasi dengan:
a. mouth to mouth
b. mouth to nose
c. mouth to mask
8. Pemeriksaan sirkulasi dengan melihat tanda-tanda vital dan penanganan
sirkulasi dengan CPR dengan rasio 30:2 (compression:ventilasi).
9. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis Epidural
Hematom yaitu: Computer Tomography (CT-Scan) dan Magnetic
resonanceImaging (MRI).
10. Terapi pada pasien dengan Epidural Hematoma:Medikamentosa (menurunkan
tekanan intra kranial) dan Operatif (dekompresi dan kraniotomi).
11. Komplikasi yang dapat terjadi berupa, defisit neurologis, kejang dan cedera
otak permanen serta kematian apabila tidak ditangani dengan baik.
BAB VII
AYAT-AYAT AL-QURAN BERKAITAN EPIDURAL HEMATOM

32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi ini, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya.Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul
Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak
diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi.

Anda mungkin juga menyukai