Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Duramater normal terdiri dari dua lapisan, yang pertama terdiri atas dura endosteal

luar dan dura meningeal dalam. Kedua lapisan tersebut menyatu dalam bentuk sinus-sinus

dural, calvaria, tentorium, fisura-fisura interhemisfer. 1 Gambaran karakteristik dari

perdarahan ekstra aksial secara langsung berhubungan dengan anatomi dura, arachnoid,

dan piamater yang berfungsi melindungi otak bagian keras (skull) dari periosteum. 2

Dasar lokasi perdarahan dapat dikenali kedalam tiga tipe: 

1. Epidural Hematom 

2. Subdural Hematom 

3. Subarachnoid Hemoragik 

Epidural hematom (EDH) adalah suatu akumulasi atau penumpukan darah akibat

trauma yang berada diantara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan membrane

duramater, keadaan tersebut biasanya sering mendorong atau menyebabkan peningkatan

tekanan intrakranial yang akibatnya kepala seperti dipukul palu atau alat pemukul

baseball.2 Pada 85 – 95% pasien, fraktur terjadi akibat adanya trauma yang hebat.

Pembuluh – pembuluh darah otak yang berada didaerah fraktur atau dekat dengan daerah

fraktur akan mengalami perdarahan.4 Prognosa pasien dengan cedera otak traumatik

cenderung tidak baik tetapi perburukan dapat dicegah dengan penanganaan yang cepat

dan tepat. Epidural hematom biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap

pembuluh darah yang terletak diluar duramater, apakah itu terjadi pada tulang tengkorak

atau pada kolumna spinalis. Pada tulang tengkorak, tekanan yang berlebihan pada arteri

meningeal akan menyebabkan epidural hematom. Hematoma yang terbentuk secara luas

akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan akhirnya akan merusak otak.

Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas dan batang otak akan

mengalami herniasi. Gejala epidural hematom dapat berupa sakit kepala hebat yang
biasanya segera timbul, akan tetapi dapat juga baru muncul beberapa jam kemudian.

Kemudian sakit kepala tersebut akan menghilang dan akan muncul lagi setelah beberapa

jam kemudian dengan nyeri yang lebih hebat dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi

peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan, sampai koma. 1,4

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terjadi di dalam rongga diantara

otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarachnoid merupakan

penemuan yang sering pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya

pembuluh darah leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar

sebagai dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah serebral

major. Pasien yang mampu bertahan dari pendarahan subarachoid kadang mengalami

adhessi anachnoid, obstruksi aliran cairan cerebrospinal dan hidrocepalus. Cedera

intrkarnial yang lain kadang juga dapat terjadi. 4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Meningen Otak

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meningen. Lapisan luarnya adalah

pachymeningeal atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeningeal, dibagi menjadi

arachnoidea dan piamater.3

1.Duramater

Dura kranialis atau pachymeningeal adalah suatu struktur fibrosa yang kuat

dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua

lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat

dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus

(sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di

tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.

Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga

membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke

dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa

kuat yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. 3

Di antara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri.

falx cerebri melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang

sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu

dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars

superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing hemispherium

aman pada ruangnya sendiri.3


Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan

letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus

transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus.

Di sebelah meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya

trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam

dua lamina dura.3

2.Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan

hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia

menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum

subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa

yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang

saling berhubungan. Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip

jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni

(granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di

sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor

cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia

villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi

ke dalam vena diploe.

Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater

yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum,

namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar

otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama

menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas

dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum. Cisterna

magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di


antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung

dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek

ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah

cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga

ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna

supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara

peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis

dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvi). 3

3.Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang

menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan sekitar

pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure

transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela

choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan

pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari

ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel

keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu. 3


Gambar 1. Anatomi meningen

2.2 Sinus Venosus Duramater

Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan – lapisan

duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena

serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi

arachnoidalis. Darah dalam sinus – sinus duramater akhirnya mengalir kedalam vena –

vena jugularis interna dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater

dengan vena – vena diploika kranium dan vena – vena kulit kepala. 3

Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di

anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan

kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus

transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena serebralis

superior. Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk

sinus konfluens. Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan,
berhubungan dengan sinus transverses yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis. 3

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri, berjalan

kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli

membentuk sinus rektus. Sinus rektus menempati garis persambungan falx serebri dengan

tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri

magna, berakhir membelok kekiri membentuk sinus transfersus. Sinus transverses

merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna.

Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjut

dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada tentorium serebelli,

membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior os parietale. Mereka

menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena – vena

serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke bawah

sebagai sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus

tranversus yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna.

Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli di

sisi daalam tulang occipital, ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan bermuara

kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada

setiap sisi corpus os sphenoidalis. Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf

simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan

dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus superior dan

inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas – batas superior dan inferior pars

petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam sinus

transverses dan setiap sinus inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam vena

jugularis interna.3
2.3 Vaskularisasi Duramater

Arteri yang mensuplai duramater, meliputi; arteri karotis interna, arteri maxillaries,

arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi klinis, yang

paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan pada

cedera kepala.3

Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaris dalam fossa temporalis,

memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara

lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan

meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan ke lateral

dalam suatu sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior

(frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus antero – inferior os

parietale, perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di

bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian

posterior duramater.3

Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena meningea

media mengikuti cabang – cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus

venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.3


Gambar 2. Vaskularisasi Duramater

2.4 Inervasi Duramater

Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf servikalis

bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. resptor – reseptor nyeri

dalam dura mater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu

nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah

tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian

atas, dan nyeri kepala dirujuk ke belakang kepala dan leher. 3

2.5 Ventrikel Cerebri

Terdiri atas dua ventrikulus lateralis, ventrikulus tertius, dan ventrikulus quartus.

Ventrikulus lateralis berhubungan dengan ventrikulus tertius melalui foramina

interventrikularis sedangkan ventrikulus tertius berhubungan dengan ventrikulus quartus

melalui aqueductus cerebri. Ventrikulus-ventrikulus tersebut berisi liquor cerebrospinalis,

yang dihasilkan oleh plexus choroidalis kedua ventrikulus lateralis, ventrikulus tertius,

dan ventrikulus quartus. Liquor cerebrospinalis keluar dari sistem ventrikel masuk

kedalam spatium subarachnoid kemudian cairan ini mengalir ke atas, di atas permukaan

hemispherium cerebri dan ke bawah disekitar medulla spinalis. Spatium subarachnoid

spinalis meluas kebawah sampai setinggi vertebra sacralis ke dua. Akhirnya liquor masuk

kedalam aliran darah melalui villi arachnoideales dengan berdifusi melalui dindingnya.

Selain membawa sisa-sisa yang berhubungan dengan aktivitas neuron, liquor juga

merupakan cairan yang efektif sebagai pelindung otak terhadap trauma. 3

2.6 CT Scan

Computed Tomography adalah pemeriksaan pencitraan untuk mendapatkan

potongan melintang densitas dan citra terkomputerisasi dari pancaran sinar-X atau system
detector. CT Scan adalah pemeriksaan Gold Standard dalam membedakan infark dengan

perdarahan.5

 Gambaran dari potongan Ct scan kepala dapat memperlihatkan dengan jelas

kelainan-kelainan organ kepala dan ekstensinya. Beberapa Garis Penting yang harus

diketahui adalah:

 Orbitomeatal Line (OM Line)

 Antrophological Line (German Plane)

 Reid Base Line (infraorbito meatal Line)

 Supraorbitomeatal Line (SM Line)

Potongan lain yang dipergunakan adalah coronal section yang sejajar dengan

submentovertex line. Pemberian kontras untuk melihat adanya enhancement

dipergunakan untuk menilai pembuluh darah, meningen dan parenkim otak. 5

Densitas dari Lesi dibagi atas (pada window level normal) :

 High Density (Hiperdens)

Bila densitas lebih tinggi dari jaringan normal sekitarnya

 Isodensity (Isodens)

Bila densitas lesi sama dengan jaringan sekitarnya

 Low Density (Hipodens)

Memperlihatkan gambaran CT Scan dengan nilai absorpsi yang rendah seperti pada

infark.

2.7. Perdarahan Epidural

2.7.1. Definisi Perdarahan Epidural

Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara

meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.

Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak
dan medulla spinalis. Arti epidural adalah berada disisi luar duramater dan arti

hematoma adalah masa dari darah.5

2.7.2. Etiologi Epidural Hematom

Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya

disertai dengan fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural

hematom juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan,

hemophilia, penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi

lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada

medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak terjadinya

penekanan.5

2.7.3. Patofisiologi Epidural Hematom

Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau

menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling

otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan

hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek

yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.

Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa

merusak jaringan otak dan menyebabkan herniasi. Herniasi bisa berakibat fatal

karena meyebabkan penekanan batang otak yang mengendalikan fungsi vital

(denyut jantung dan pernafasan).

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan

kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi

antikoagulan, sangat rentan terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak. 6

Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena meningeal.

Arteri yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior arteri

meningea media. Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada daerah
anterior inferior os parietal, dapat merusak arteri. Cidera arteri dan venosa

terutama mudah terjadi jika pembuluh memasuki saluran tulang pada daerah ini.

Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan meningeal duramater dari permukaan

dalam kranium. Tekanan intracranial meningkat, dan hematom yang membesar

menimbulkan tekanan pada daerah motorik gyrus presentralis dibawahnya.

Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat

daya kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala,

sesuai dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka

perdarahan epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang

meningkat dengan cepat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan

membentuk hematom subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada arteri

atau vena yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara

cepat atau perlahan – lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri

dengan atau tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan

terjadi beberapa jam setelah trauma kapitis. 6

2.7.4. Manifestasi Klinis Epidural Hematom

 Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa – apa

Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan bangun

dalam kondisi kebingungan Lucid Interval

 Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala

 Muntah

 Kejang

 Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior dapat

menyebabkan penurunan aktivitas yang drastis. Penderita akan merasa


kebingungan dan berbicara kacau, dan jika tidak ditangani beberapa saat

kemudian pasien dapat apneu, koma, bahkan meninggal.

 Respon cushing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya

peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa:

 Hipertensi

 Bradikardi

 bradipneu

 dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah

lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi.

2.7.5. Gambaran CT Scan Epidural Hematom

Pada Ct-scan tampak area yang tidak selalu homogen, bentuknya

bikonveks sampai planokonveks, melekat pada tabula interna dan mendesak

ventrikel ke sisi kontra lateral (tanda space occupying lesion, Batas dengan

korteks licin, Densitas duramater biasanya jelas. 7

Gambar 4. CT Scan Perdarahan Epidural


2.8. Perdarahan Subdural

2.8.1. Definisi perdarahan Subdural

Subdural Hematoma atau Perdarahan subdural adalah salah satu bentuk

cedera otak dimana perdarahannya terjadi diantara duramater (lapisan pelindung

terluar dari otak) dan arachnoid (lapisan tengah meningen) yang terjadi akibat

dari trauma.

2.8.2. Etiologi Perdarahan Subdural

Hematom subdural disebabkan robekan vena – vena di korteks cerebri

atau bridging vein oleh suatu trauma. kebanyakan perdarahan subdural

disebabkan karena trauma kepala yang merusakkan vena-vena kecil didalam lapis

meningen.

2.8.3. Patofisiologi Perdarahan Subdural

Meningen terdiri dari duramater, arachnoid, dan piamater. Daerah yang

terdapat diantara arachnoid dan duramater disebut daerah subdural. Bridging

veins melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal menuju sinus dural.

Perdarahan pada vena-vena ini dapat terjadi akibat dari mekanisme

robekan di sepanjang permukaan subdural dan peregangan traumatic dari vena-

vena, yang dapat terjadi dengan cepat akibat dekompresi ventrikular. Karena

Permukaan subdural yang tidak dibatasi oleh sutura cranialis, darah dapat

menyebar di seleuruh hemisper dan masuk ke dalam fisura hemisfer.

Mekanisme yang bisa menyebabkan munculnya hematom subdural akut

adalah benturan yang cepat dan kuat pada tengkorak. Subdural Hematom akut

biasanya ada hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali disertai

dengan laserasi atau kontusi otak.8

2.8.4. Manifestasi Klinis Perdarahan Subdural

Subdural Hematom diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:


 Subdural Hematom Akut (Hiperdens)

Bila perdarahan terjadi kurang dari bebrapa hari atau dalam 24 – 48 jam setelah

trauma.

 Subdural HEmatom SubAkut (Isodens)

Bila perdarahan berlangsung antara 2-3 minggu setelah trauma

 Subdural Hematom Kronik

Bila perdarahan lebih dari 3 minggu setelah trauma

Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran

hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya

bersifat unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul adalah :

1. Perubahan tingkat kesadaran

2. Dilatasi pupil ipsilateral hematom 

3. Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya

4. Hemiparesis kontralateral 

5. Papiledema 

Pada penderita subdural hematom subakut, dapat terjadi karena trauma

kepala yang menyebabkan penurunan kesadaran, yang diikuti rasa nyeri kepala

yag hebat. Manifestasi klinis dari subdural hematom kronik biasanya tersembunyi

dengan gejala-gejala berupa penurunan kesadaran, gangguan keseimbangan,

disfungsi kognitif dan gangguan memori, hemiparesis, sakit kepala dan afasia. 1,8

2.8.5. Gambaran CT Scan Perdarahan Subdural

Subdural Hematom Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens crescent (seperti bulan sabit) didekat

tabula interna, kadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial

hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissura interhemisfer dan

tentorium juga menunjukkan adanya hematom subdural.


Gambar 5. CT Scan kepala Polos: Subdural hematom akut

Subdural Hematom Kronik

Pada CT Scan tampak area hipodens, isodens dan sedikit hiperdens, berbentuk

bulan sabit, berbatas tegas, melekat pada tabula.

Ada 4 macam tampilan CT scan untuk subdural hematom kronik, yaitu:

1. Tipe I : Hypodens Chronic Subdural Hematom

2. Tipe II : Chronic Subdural Hematom densitas inhomogen

3. Tipe III : isodens Chronic Subdural Hematom

4. Tipe IV : Sligthly hyperdens chronic subdural hematom

Gambar 6. CT Scan Subdural hematom Kronik


2.9. Perdarahan Subarachnoid

2.9.1. Definisi Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan Subarakhnoid merupakan gangguan sistem vaskuler pada

intracranial yang menyebabkan masuknya darah ke dalam ruang subarachnoid,

yang dapat terjadi karena trauma ataupun secara spontan.

2.9.2. Etiologi Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan

pecahnya aneurisma (85%). kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak

kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Penyebab lain adalah

malforasi arteri vena (AVM), dura arteri vena fistula (DAF), kavernous

hemangioma, trombosis vena, serebral amiloid agiopati, vaskulitis, tumor,

kelainan koagulopati, dan trauma menjadi penyebab lain dari pendarahan

subarachnoid.

2.9.3. Patofisiologi Perdarahan Subarachnoid

Aneurisma merupakan luka yang disebabkan karena tekanan

hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji

aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan

suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu

pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam

ruang subarachnoid.9

Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari bagian terminal dalam arteri

karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari

lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi  terhadap 125

pasien bahwa pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi,

cerebral atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala,

hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan


riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk

aneurisma sakular. 2,9

Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang

subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid

diisi dengan CSF. Perdarahan subarachnoid karena trauma disebabkan pecahnya

pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya sma pada

perdarahan subdural.2,9

2.9.4. Manifestasi Klinis

 Gejala prodromal: nyeri kepala, rasa pusing, gangguan penglihatan, nyeri

pada mata, kejang, dan kelemahan angota tubuh.

 Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tidak sadar sebentar,

sedikit delirium sampai koma.

 Gejala / tanda rangsangan meningeal: kaku kuduk, tanda kernig ada.

 Fundus okuli:  10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah

pendarahan. Sering terdapat pedarahan subarachnoid karena pecahnya

aneurisma pada arteri komunikans anterior, atau arteri karotis interna

 Gejala-gejala neurologik fokal:  bergantung pada lokasi lesi.

 Gangguan fungsi saraf otonom: demam setelah 24 jam, demam ringan

karena rangsangan meningen, dan demam tinggi bila pada hipotalamus.

Begitu pun muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi, adanya hubungan

dengan hipotalamus9
2.9.5. Gambaran CT Scan Perdarahan Subarakhnoid

Pemeriksaan CT scan berfungsi untuk mengetahui adanya massa

intracranial. Pada pembesaran ventrikel yang berhubungan dengan darah

(densitas tinggi) dalam ventrikel atau dalam ruang subarachnoid. Lesi hiperdens

diantar girus, yang nampak paling jelas saat 1 minggu pertama terjadinya

pendarahan.

Gambar 8. Perdarahan subarachnoid

2.9 Perdarahan Intraventrikuler

2.9.1 Definisi

Merupakan rupturnya dinding ventrikel pada tepi ependymal dan

vaskuler sub ependymal, perdarahan/petechie di sekitar ganglia basalis yang

disebabkan Akselerasi traumatik dan distorsi otak. 10


2.9.2 Patofisiologi

Akselerasi traumatik dan distorsi otak menyebabkan dinding ventrikel

pada tepi ependymal dan vaskuler sub ependymal, perdarahan/petechie di sekitar

ganglia basalis kemudian darah menghambat aliran CSF menyebabkan ventrikel

melebar.10

2.9.3 Gambaran CT Scan perdarahan intraventrikuler

Daerah berbatas tegas dengan densitas meningkat pada sistem ventrikel dan

tampak pelebaran ventrikel.

Gambar 9. Perdarahan Intraventrikel

3. Penatalaksanaan

3.1 EPIDURAL HEMATOME

Penanganan darurat:

1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana

2. Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma

Indikasi operasi:
EDH : GCS <9 denagn volume 30cc atau midline shift > 0,5 cm

SDH : GCS <9, thickness 1cm atau midline shift > 0,5 cm

ICH : GCS <9 dengan volume 30cc atau volume 50cc tanpa penurunan gcs

atau midline shift > 0,5 cm

SAH : Pendarahan biasa bisa terserap dengan sendirinya.

Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang

dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/

orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk

membuka jalur intravena: guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in

saline.11

2. Mengurangi edema otak

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a. Hiperventilasi.

Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah

vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat

membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100

mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler.

Umumnya digunakan cairan Manitol 20% per infus untuk “menarik”

air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian

dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki,


manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat,

umumnya diberikan: 0,5-1 gram/kg BB dalam 10-30 menit. Cara ini

berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada

umumnya, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound terutama pada

pasien hipotensi sistemik dan pada pasien dengan gangguan funsi ginjal;

mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam

atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid.

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung

menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus

cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini

menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga

bervariasi: Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg

bolus yang diikuti dengan pemeberian 4 mg sebanyak 4 kali. Selain itu

juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 15 mg sebanyak 6

kali sehari, dan Triamsinolon dengan dosis 10 mg sebanyak 6 kali sehari.

d. Barbiturat.

Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat

ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan

menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung

dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen

berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang

ketat.10

a.
BAB III
KESIMPULAN

Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak

diantara meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat

trauma. Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang

melapisi otak dan medulla spinalis. Sedangkan Subdural Hematoma atau

Perdarahan subdural adalah salah satu bentuk cedera otak dimana perdarahannya

terjadi diantara duramater (lapisan pelindung terluar dari otak) dan arachnoid

(lapisan tengah meningen) yang terjadi akibat dari trauma, dan terahkir

perdarahan Subarakhnoid merupakan gangguan sistem vaskuler pada intracranial

yang menyebabkan masuknya darah ke dalam ruang subarachnoid, yang dapat

terjadi karena trauma ataupun secara spontan.

Masing-masing penyakit memiliki persamaan dan perbedaan, tapi untuk

semua penyakit yang dibahas diperlukan CT-scan untuk gold standard diagnosis,

selain pemeriksaan penunjang yang diperlukan semua penyakit yang dibahas

merupakaan suatu kegawat daruratan yang memerlukan penatalaksanaan segera

untuk mendapatkan prognosa yang terbaik. Penaganan untuk penyakit yang

dibahas memerlukan kolaborasi dari beberapa tenaga medis terutama di bidang

neurologi dan dalam bidang pembedahan (Bedah Saraf) untuk memberikan

pelayanan yang maksimal kepada pasien.

Untuk penatalaksanaan penyakit yang dibahas ada berbagai pilihan dari

yang bersifat konservatif hinga yang bersifat invasif, unntuk terapi invasif sendiri

ada berbagai prosedur yang dapat dilakukan tergantung dari letak pendarahan itu

sendiri, tetapi untuk mempertimbangkan tindakan operatif bebrapa hal perlu

dipertimbangkan, dari keuntungan dan resiko yang dapat terjadi, karena dalam

beberapa situasi tindakan konservatif dapat menajdi pilihan yang lebih baik.
Daftar Pustaka

1. Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency

Medicine www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

2. Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada

cedera otak traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2015;1-2

3. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M.

(n.d.). Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to

Brains and Meningens, NJ : 2012

4. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding:

evolving understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013

5. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural

Hematoma: Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011

6. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head

Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013

7. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section :

Neurotrauma, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012

8. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of

Post- Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–

817: 2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231

9. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute

Epidural Hematome : 2006,

http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8

10. Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case

Report and Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012


Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar Epidural

Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016

Anda mungkin juga menyukai