Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Duramater normal terdiri dari dua lapisan, yang pertama terdiri atas dura endosteal

luar dan dura meningeal dalam. Kedua lapisan tersebut menyatu dalam bentuk sinus-sinus

dural, calvaria, tentorium, fisura-fisura interhemisfer. 1 Gambaran karakteristik dari

perdarahan ekstra aksial secara langsung berhubungan dengan anatomi dura, arachnoid,

dan piamater yang berfungsi melindungi otak bagian keras (skull) dari periosteum. 2

Dasar  lokasi perdarahan dapat dikenali kedalam tiga tipe: 

1. Epidural Hematom 

2. Subdural Hematom 

3. Subarachnoid Hemoragik 

Epidural hematom (EDH) adalah suatu akumulasi atau penumpukan darah akibat

trauma yang berada diantara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan membrane

duramater, keadaan tersebut biasanya sering mendorong atau menyebabkan peningkatan

tekanan intrakranial yang akibatnya kepala seperti dipukul palu atau alat pemukul

baseball.2 Pada 85 – 95% pasien, trauma terjadi akibat adanya fraktur yang hebat.

Pembuluh – pembuluh darah otak yang berada didaerah fraktur atau dekat dengan daerah

fraktur akan mengalami perdarahan. 4 Prognosanya biasanya baik apabila diterapi secara

agresiv. Epidural hematom biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap pembuluh

darah yang terletak diluar duramater, apakah itu terjadi pada tulang tengkorak atau pada

kolumna spinalis. Pada tulang tengkorak, tekanan yang berlebihan pada arteri meningeal

akan menyebabkan epidural hematom. Hematoma yang terbentuk secara luas akan

menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan akhirnya akan merusak otak, hematoma

yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas dan batang otak akan mengalami

herniasi. Gejala epidural hematom dapat berupa sakit kepala hebat yang biasanya segera

timbul, akan tetapi dapat juga baru muncul beberapa jam kemudian. Kemudian sakit
kepala tersebut akan menghilang dan akan muncul lagi setelah beberapa jam kemudian

dengan nyeri yang lebih hebat dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan

kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan, sampai koma. 1,4

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak

dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan

yang sering pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya pembuluh

darah leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai

dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah serebral major. Pasien

yang mampu bertahan dari pendarahan subarachoid kadang mengalami adhessi

anachnoid, obstruksi aliran cairan cerebrospinal dan hidrocepalus. Cedera intrkarnial

yang lain kadang juga dapat terjadi.4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Meningen Otak

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah

pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi

arachnoidea dan piamater.3

1.Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan

suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural

yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana

keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar

sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana

lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak . Duramater lapisan

luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum,

dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri;

lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal darinya

membentang jauh ke dalam cavum cranii.3

Di antara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri.

falx cerebri melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang

sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu

dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars

superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing hemispherium

aman pada ruangnya sendiri.3


Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan

letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus

transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus.

Di sebelah meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya

trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam

dua lamina dura.3

2.Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya

terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia

menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum

subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa

yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang

saling berhubungan. Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip

jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni

(granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di

sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor

cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia

villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi

ke dalam vena diploe.

Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang

secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun

rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak.

Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama

menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas

dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum. Cisterna

magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di


antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung

dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek

ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah

cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga

ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna

supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara

peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis

dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvi). 3

3.Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi

permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan sekitar pembuluh

darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis

di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari

ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-

pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-

ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan

membentuk tela choroidea di tempat itu.3


Gambar 1. Anatomi meninges

2.2 Sinus Venosus Duramater

Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan – lapisan

duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena

serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi

arachnoidalis. Darah dalam sinus – sinus duramater akhirnya mengalir kedalam vena –

vena jugularis interna dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater

dengan vena – vena diploika kranium dan vena – vena kulit kepala. 3

Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di

anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan

kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus

transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena serebralis

superior. Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk


sinus konfluens. Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan,

berhubungan dengan sinus transverses yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis. 3

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri, berjalan

kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli

membentuk sinus rektus.

Sinus rektus menempati garis persambungan falx serebri dengan tentorium

serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna,

berakhir membelok kekiri membentuk sinus transfersus.

Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada

protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis

superior, dan bagian kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang

melekat pada tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus

posterior os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis

inferior, vena – vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan

membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus.

Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan

melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna.

Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli

yang melekat, ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan bermuara kedalam

sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada setiap sisi

corpus os sphenoidalis. Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis,

berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari

darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior

merupakan sinus –sinus kecil pada batas – batas superior dan inferior pars petrosus os
temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam sinus transverses

dan setiap sinus inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna. 3

2.3 Vaskularisasi Duramater

Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries,

arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi klinis, yang

paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan pada

cedera kepala.3

Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,

memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara

lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan

meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan ke lateral

dalam suatu sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior

(frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus antero – inferior os

parietale, perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di

bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian

posterior duramater.3

Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena meningea

media mengikuti cabang – cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus

venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.3


Gambar 2. Vaskularisasi Duramater

2.4 Inervasi Duramater

Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf servikalis

bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. resptor – reseptor nyeri

dalam dura mater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu

nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah

tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian

atas, dan nyeri kepala dirujuk ke belakang kepala dan leher. 3

2.5 Ventrikel Cerebri

Terdiri atas dua ventrikulus lateralis, ventrikulus tertius, dan ventrikulus quartus.

Ventrikulus lateralis berhubungan dengan ventrikulus tertius melalui foramina

interventrikularis sedangkan ventrikulus tertius berhubungan dengan ventrikulus quartus

melalui aqueductus cerebri. Ventrikulus-ventrikulus tersebut berisi liquor cerebrospinalis,

yang dihasilkan oleh plexus choroidalis kedua ventrikulus lateralis, ventrikulus tertius,

dan ventrikulus quartus. Liquor cerebrospinalis keluar dari sistem ventrikel masuk
kedalam spatium subarachnoid kemudian cairan ini mengalir ke atas, di atas permukaan

hemispherium cerebri dan ke bawah disekitar medulla spinalis. Spatium subarachnoid

spinalis meluas kebawah sampai setinggi vertebra sacralis ke dua. Akhirnya liquor masuk

kedalam aliran darah melalui villi arachnoideales dengan berdifusi melalui dindingnya.

Selain membawa sisa-sisa yang berhubungan dengan aktivitas neuron, liquor juga

merupakan cairan yang efektif sebagai pelindung otak terhadap trauma. 3

2.6 CT Scan

Computed Tomography adalah pemeriksaan pencitraan untuk mendapatkan

potongan melintang densitas dan citra terkomputerisasi dari pancaran sinar-X atau system

detector. CT Scan adalah pemeriksaan Gold Standard dalam membedakan infark dengan

perdarahan.5

 Gambaran dari potongan Ct scan kepala dapat memperlihatkan dengan jelas

kelainan-kelainan organ kepala dan ekstensinya. Beberapa Garis Penting yang harus

diketahui adalah :

 Orbitomeatal Line (OM Line)

 Antrophological Line (German Plane)

 Reid Base Line (infraorbito meatal Line)

 Supraorbitomeatal Line (SM Line)

Potongan lain yang dipergunakan adalah coronal section yang sejajar dengan

submentovertex line. Pemberian kontras untuk melihat adanya enhancement

dipergunakan untuk menilai pembuluh darah, meningen dan parenkim otak. 5

Protokol CT Scan Kepala :

 Orientasi Pasien : Head first, Supine, Orbita meatal pararel terhadap scan
 Topogram : lateral dari base skull ke vertex

 Axial base line diambil dari garis inferoorbital floor ke EAM angle disesuaikan.

 Alternatif pilihan irisan (2/10 mm. 5/10 mm, 5/5 mm, 7/7 mm)

 KV 120-36

Densitas dari Lesi dibagi atas (pada window level normal) :

 High Density (Hiperdens)

Bila densitas lebih tinggi dari jaringan normal sekitarnya

 Isodensity (Isodens)

Bila densitas lesi sama dengan jaringan sekitarnya

 Low Density (Hipodens)

Memperlihatkan gambaran CT Scan dengan nilai absorpsi yang rendah seperti pada

infark.

2.7. Perdarahan Epidural

2.7.1. Definisi Perdarahan Epidural

Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara

meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.

Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak

dan medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar

duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah. 5

2.7.2. Etiologi Epidural Hematom

Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya

disertai dengan fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural

hematom juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan,

hemophilia, penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi

lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada


medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak terjadinya

penekanan.5

2.7.3. Patofisiologi Epidural Hematom

Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau

menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling

otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan

hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek

yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.

Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa

merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam

tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah, otak sebelah atas

bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak,

keadaan ini disebut dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak

kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum)

kedalam medulla spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak

mengendalikan fungsi fital (denyut jantung dan pernafasan).

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak

yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan, sangat peka

terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak. 6

Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena

meningeal. Arteri yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang

anterior arteri meningea media. Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur

kranium pada daerah anterior inferior os parietal, dapat merusak arteri. Cidera

arteri dan venosa terutama mudah terjadi jika pembuluh memasuki saluran tulang

pada daerah ini. Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan meningeal

duramater dari permukaan dalam kranium. Tekanan ntracranial meningkat, dan


bekuan darah yang membesar menimbulkan tekanan ntra pada daerah motorik

gyrus presentralis dibawahnya. Darah juga melintas kelateral melalui garis

fraktur, membentuk suatu pembengkakan di bawah m.temporalis. 3

Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat

daya kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala,

sesuai dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka

perdarahan epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang akan

cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk

hematom subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada arteri atau vena

yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau

perlahan – lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau

tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa

jam setelah trauma kapitis.6

2.7.4. Manifestasi Klinis Epidural Hematom

 Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa – apa

Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan bangun

bangun dalam kondisi kebingungan

 Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala

 Muntah – muntah

 Kejang – kejang

 Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan

menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.

Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa

saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.


 Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya

peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :

 Hipertensi

 Bradikardi

 bradipneu

 kontusio, laserasi atau tulang yang retak

 dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah

lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi.

 Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang

menetap, yaitu:

 Coma

 Fixasi dan dilatasi pupil

 Deserebrasi

 Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai

adanya epidural hematom.

2.7.5. Gambaran CT_Scan Epidural Hematom

Pada Ct-scan tampak area yang tidak selalu homogen, bentuknya

bikonveks sampai planokonveks, melekat pada tabula interna dan mendesak

ventrikel ke sisi kontra lateral (tanda space occupying lesion, Batas dengan

korteks licin, Densitas duramater biasanya jelas. 7


Gambar 4. CT Scan Perdarahan Epidural

2.8. Perdarahan Subdural

2.8.1. Definisi perdarahan Subdural

Subdural Hematoma atau Perdarahan subdural adalah salah satu bentuk

cedera otak dimana perdarahannya terjadi diantara duramater ( lapisan pelindung

terluar dari otak) dan arachnoid (lapisan tengah meningens) yang terjadi akibat

dari trauma.

2.8.2. Etiologi Perdarahan Subdural

Hematom subdural disebabkan robekan vena – vena di korteks cerebri

atau bridging vein oleh suatu trauma. kebanyakan perdarahan subdural

disebabkan karena trauma kepala yang merusakkan vena-vena kecil didalam lapis

meninges.

2.8.3. Patofisiologi Perdarahan Subdural


Meningen terdiri dari duramater, arachnoid, dan piamater. Daerah yang

terdapat diantara arachnoid dan duramater disebut daerah subdural. Bridging

veins melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal menuju sinus dural.

Perdarahan pada vena-vena ini dapat terjadi akibat dari mekanisme

sobekan di sepanjang permukaan subdural dan peregangan traumatic dari vena-

vena, yang dapat terjadi dengan cepat akibat dekompresi ventrikular. Karena

Permukaan subdural yang tidak dibatasi oleh sutura cranialis, darah dapat

menyebar di seleuruh hemisper dan masuk ke dalam fisura hemisfer.

Mekanisme yang bisa menyebabkan munculnya hematom subdural akut

adalah benturan yang cepat dan kuat pada tengkorak. Subdural Hematom akut

biasanya ada hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali disertai

dengan laserasi atau kontusi otak.8

2.8.4. Manifestasi Klinis Perdarahan Subdural

Subdural Hematom diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :

 Subdural Hematom Akut (Hiperdens)

Bila perdarahan terjadi kurang dari bebrapa hari atau dalam 24 – 48 jam setelah

trauma.

 Subdural HEmatom SubAkut (Isodens)

Bila perdarahan berlangsung antara 2-3 minggu setelah trauma

 Subdural Hematom Kronik

Bila perdarahan lebih dari 3 minggu setelah trauma

Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran

hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya

bersifat unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul adalah :

1. Perubahan  tingkat  kesadaran,  terjadi  penurunan kesadaran 

2. Dilatasi pupil ipsilateral hematom 
3. Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya

4. Hemiparesis kontralateral 

5. Papiledema 

Pada penderita subdural hematom subakut, terdapat trauma kepala yang

menyebabkan penurunan kesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

neurologic yang perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu tertentu pasien

memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. 8

Manifestasi klinis dari subdural hematom kronik biasanya tersembunyi

dengan gejala-gejala berupa penurunan kesadaran, gangguan keseimbangan,

disfungsi kognitif dan gangguan memori, hemiparesis, sakit kepala dan afasia. 1,8

2.8.5. Gambaran CT Scan Perdarahan Subdural

Subdural Hematom Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit) didekat

tabula interna, kadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial

hematom seperti bergerigi. adanya hematom di daerah fissura interhemisfer dan

tentorium juga menunjukkan adanya hematom subdural.

Gambar 5. CT Scan kepala Polos : Subdural hematom akut

Subdural Hematom Kronik


Pada CT Scan tampak area hipodens, isodens dan sedikit hiperdens, berbentuk

bikonveks, berbatas tegas, melekat pada tabula.

Ada 4 macam tampilan CT Scan untuk subdural hematom kronik, yaitu:

1. Tipe I : Hypodens Chronic Subdural Hematom

2. Tipe II : Chronic Subdural Hematom densitas inhomogen

3. Tipe III : isodens Chronic Subdural Hematom

4. Tipe IV : Sligthly hyperdens chronic subdural hematom

Gambar 6. CT Scan Subdural hematom Kronik


Gambar 7. CT Scan Subdural hematom kronik

2.9. Perdarahan Subarachnoid

2.9.1. Definisi Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan Subarakhnoid merupakan gangguan mekanikal system

vaskuler pada intracranial yang menyebabkan masuknya darah ke dalam ruang

subarachnoid.

2.9.2. Etiologi Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan

pecahnya aneurisma (85%). kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak

kasus PSA merupakan kaitan dari  pendarahan aneurisma.

2.9.3. Patofisiologi Perdarahan Subarachnoid

Aneurisma merupakan luka yang  yang disebabkan karena tekanan

hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji

aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan

suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu

pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam

ruang subarachnoid.9
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri

karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari

lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi  terhadap 125

pasien bahwa pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi,

cerebral atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala,

hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan

riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk

aneurisma sakular. 2,9

Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang

subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid

diisi dengan CSF. Trauma perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan

pecahnya pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya

sma pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah penyebab utama

subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf serebral

atau kerusakan arterivenous.2,9

2.9.4. Manifestasi Klinis

 Gejala prodromal   : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90% tanpa

keluhan sakit kepala.

 Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar,

sedikit delirium sampai koma.

 Gejala / tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig ada.

 Fundus okuli    :  10% penderita mengalami edema papil beberapa jam

setelah pendarahan. Sering terdapat pedarahan subarachnoid karena

pecahnya  aneurisma pada arteri komunikans anterior, atau arteri karotis

interna

 Gejala-gejala neurologik fokal   :  bergantung pada lokasi lesi.


 Gangguan fungsi saraf otonom  : demam setelah 24 jam, demam ringan

karena rangsangan meningen, dan demam tinggi bila pada hipotalamus.

Begitu pun muntah,berkeringat,menggigil, dan takikardi, adanya hubungan

dengan hipotalamus9

2.9.5. Gambaran CT Scan Perdarahan Subarakhnoid

Pemeriksaan ct scan berfungsi untuk mengetahui adanya massa

intracranial. Pada pembesaran ventrikel yang berhubungan dengan darah

(densitas tinggi) dalam ventrikel atau dalam ruang subarachnoid.


Gambar 8. Perdarahan subarachnoid

2.9 Perdarahan Intraventrikuler

2.9.1 Definisi

Merupakan rupturnya dinding ventrikel pada tepi ependymal dan

vaskuler sub ependymal, perdarahan/petechie di sekitar ganglia basalis yang

disebabkan Akselerasi traumatik dan distorsi otak. 10

2.9.2 Patofisiologi

Akselerasi traumatik dan distorsi otak menyebabkan dinding ventrikel

pada tepi ependymal dan vaskuler sub ependymal, perdarahan/petechie di sekitar

ganglia basalis kemudian darah menghambat aliran CSF à ventrikel melebar.10

2.9.3 Gambaran CT Scan perdarahan intraventrikuler


Daerah berbatas tegas dengan densitas meningkat pada sistem ventrikel dan

tampak pelebaran ventrikel.

Gambar 9. Perdarahan Intraventrikel

3. Penatalaksanaan

3.1 EPIDURAL HEMATOME

Penanganan darurat :

1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana

2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma

Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang

dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/

orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk


membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in

saline.11

2. Mengurangi edema otak

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a. Hiperventilasi.

Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah

vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat

membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100

mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15%

per infus untuk “menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-

vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk

memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis

yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB

dalam 10-30 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu

tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek

rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah

beberapa jam atau keesokan harinya. c. Kortikosteroid. Penggunaan

kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu

yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa

kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.

Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan

sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi:

Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang

diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah


digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd

10 mg. d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien sehingga

metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan

oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif

lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun

suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan

pengawasan yang ketat.10


BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala adalah istilah luas yang menggambarkan serangkaian cedera yang
terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta pembuluh darah
di kepala. Sementara cedera otak adalah cedera kepala yang menyebabkan terjadinya
gangguan fungsi otak. Cedera otak secara garis besar diklasifikasikan menjadi cedera
otak traumatik (COT) yang berasal dari sumber eksternal dan cedera otak non-traumatik
yang berasal dari sumber internal.

COT adalah gangguan pada fungsi otak yang disebabkan oleh faktor eksternal.
Hal ini seringkali disebabkan oleh pukulan, benturan, sentakan, atau luka tembus di
kepala. Namun, tidak semua pukulan atau sentakan pada kepala menyebabkan COT,
beberapa hanya menyebabkan kerusakan tulang tengkorak, tanpa diikuti cedera otak.

COT ringan disebut dengan gegar otak. Setiap tahunnya sekitar 235.000 orang
dirawat rumah sakit karena COT. Hampir 1,1 juta orang dirawat di unit gawat darurat,
dan 50.000 meninggal. Distribusi COT untuk kelompok usia pada anak-anak dan orang
tua merupakan populasi dengan risiko tertinggi. Pada jenis kelamin laki-laki usia yang
paling berisiko antara 10 dan 20 tahun sementara pada perempuan antara usia 70 dan 80
tahun.

Akses ke layanan darurat dan bedah saraf mempengaruhi mortalitas dan


morbiditas COT di seluruh wilayah dunia. Di negara-negara berpenghasilan rendah, akses
ini cenderung terbatas sehingga mengakibatkan jumlah kecacatan dan kematian yang
lebih tinggi. Sama seperti dua orang yang tidak persis sama, tidak ada dua cedera otak
yang persis sama. Oleh karena itu, pendekatan rehabilitasi neurologis dan fisioterapi
setelah COT harus memperhatikan prinsip neuroplastisitas serta mengambil pendekatan
yang berpusat pada pasien dengan keterlibatan individu dalam penetapan tujuan dan
pilihan prosedur perawatan.
Daftar Pustaka

1. Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency

Medicine www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

2. Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada

cedera otak traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2015;1-2

3. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M.

(n.d.). Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to

Brains and Meningens, NJ : 2012

4. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding:

evolving understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013

5. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural

Hematoma: Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011

6. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head

Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013

7. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section :

Neurotrauma, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012

8. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of

Post- Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–

817: 2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231

9. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute

Epidural Hematome : 2006,

http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8

10. Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case

Report and Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012


Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar Epidural

Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016

Anda mungkin juga menyukai