Anda di halaman 1dari 40

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Perdarahan Subaraknoid (Subarachnoid Hemorrhage)

Perdarahan sub araknoid ialah perdarahan akut di dalam rongga, yaitu antara
otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarakhnoid ditandai
dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara
lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid mater) yang merupakan
bagian selaput yang membungkus otak (meningen). Pendarahan subaraknoid
dapat terjadi secara spontan atau tanpa adanya trauma, dan secara non-spontan
karena adanya trauma. Penyebab utama perdarahan non-trauma ialah rupturnya
aneurisma intrakranial yang mencakup 80% kasus, dan mempunyai angka
kematian dan komplikasi neurologis.

Meningen
Meningen adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat. Meningen tersusun
atas unsur kolagen dan fibril yang elastis serta cairan serebrospinal. Meningen terbagi menjadi
tiga lapisan, yaitu duramater, arachnoid dan piameter. Duramater juga disebut sebagai
pachymeninges (membran keras), sedangkan arachnoid mater dan pia disebut sebagai
leptomeninges(Membran halus).5
1) Duramater
Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen fibrosa karena tebal, kuat,
dan mengandung serabut kolagen. Pada dura mater dapat diamati adanya serabut elastis, fibrosit,
saraf, pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam dura mater terdiri dari beberapa lapis fibrosit
pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid.4,5

2) Arakhnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen. Lapisan
arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan dengan dura mater
dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di
antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan sama
sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi dura mater,
dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam sinus venous dura mater.
Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal
ke darah sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan. Arachnoid
berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan piameter terdapat ruangan berisi cairan
yang berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter
kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.3
3) Piamater
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini melekat pada otak.
Pia mater mengandung sedikit serabut kolagen dan membungkus seluruh permukaan sistem saraf
pusat dan vaskula besar yang menembus otak.
3.2 Anatomi Suplai Pembuluh Darah Otak

Gambar 3. Anatomi pembuluh darah otak

Suplai darah serebral berasal dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Arteri
karotis interna pada kedua sisi yang menaghantarkan darah keotak melalui percabangan
utamanya, arteri serebri media, arteri serebri anterior dan arteri khoroidalis anterior (sirkulasi
anterior). Kedua arteri vertebralis bergabung digaris tengah pada batas kaudal pons untuk
membentuk arteri basilaris, yang menghantarkan darah ke otak dan serebelum, serta sebagian
hemisfer serebri melalui cabang terminal, arteri serebri posterior (sirkulasi posterior). Sirkulasi
anterior dan posterior berhubungan satu dengan lainnya melalui sirkulus arteriosus willisi.
Terdapat pula banyak anastomosis lain diantara arteri-arteri yang mendarahi otak dan antara
sirkulasi intrakranial dan ekstrakranial.
Struktur di fossa kranii anterior dan fossa kranii media terutama disuplai oleh arteri
karotis interna yang disebut sebagai sirkulasi anterior. Sedangkan struktur difosa kranii posterior
diperdarahi oleh arteri vertebralis yang disebut sirkulasi posterior
Gambar 4. Suplai pembuluh darah mata
Arteri fosa kranialis Anterior dan Media4,5

Arteri Karotis Interna (ICA)

Setelah keluar dari kanalis karotikus, arteri karotis interna berjalan kearah rostral
bersebelahan dengan klivus dan dibawah duramater kesinus kavernosus, membentuk suatu
lengkung yang terbuka kearah posterior. Cabang-cabang ekstradural yang halus dari arteri karotis
interna memperdarahi dasar kavitas timpani, duramater klivus ganglion semilunare dan kelenjar
hipofisis. Cedera atau ruptur arteri karotis interna didalam sinus kavernosus menimbulkan sirkuit
pendek antara darah arteri dan darah vena didalam sirkuit (fistul karotis kavernosus). Jika
sembuh aneurisma intrakavernosus diarteri karotis interna ruptur maka akan terjadi eksoftalmus
tetapi tidak disertai subarachnoid karena aneurisma terletak di ekstradural. Penglihatan mata
ipsilateral akan terganggu karena obstruksi dan kongesti aliran darah vena. Ada 3 cabang utama
arteri karotis interna, yaitu : arteri serebri anterior, arteri serebri media dan arteri oftalmika.

Ateri oftalmika
Arteri karotis interna memasuki ruang subarakhnoid dimedial prosesus klinoedeus
anterior. Arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna dititik ini, dengan demikian sudah ada
di intaradural sejak pertama kali. Arteri ini masuk keorbita bersama dengan nervus optikus dan
tidak hanya menyuplai isi orbita, tetapi juga sinus sfenoidalis, selulae ethmoidalis, mukosa nasal,
dura mater fosa kranialis anterior, kulit dahi, pangkal hidung, dan kelopak mata. Cabang
kutaneus arteri opftalmika membentuk anastomosis dengan cabang arteri karotis eksterna yang
mendapat jalur sirkulasi kolateral penting disekitar stenosis atau oklusi arteri karotis eksterna
(kolateral oftalmika). Ruptur aneurisma atau cedera disekitar tempat arteri oftalmika
menyebabkan perdarahan subarakhnoid.

Arteri Serebri Media (MCA)


Arteri serebri media cabang terbesar arteri karotis interna. Setelah keluar dari Arteri
karotis interna diatas processus klinoideus anterior, pembuluh darah ini berjalan dilateral fisura
silvii ( sulkus lateralis ). Trunkus utama arteri serebri media membentuk banyak cabang
perforantes ke ganglia basalis, ke crus anterior, dan genu kapsula internae, serta kapsula eksterna
dan klaustrum.
Cabang arteri serebri media adalah arteri orbito fontalis, arteri prerolandika, arteri
rolandika, arteri parietalis anterior, arteri parietalis posterior, arteri giri angularis, arteri
temporooksipitalis temporalis posterior, serta arteri temporalis anterior. Arteri serebri media
terbagi menjadi cabang-cabang kortikal utama didalam sisterna insularis. Cabang-cabang ini
memperdarahi area lobus parietalis, frontalis, dan temporalis yang luas.

Arteri Serebri Anterior (ACA)


Arteri serebri anterior berasal dari bifurkatio arteri karotis interna dan kemudian berjalan
kearah medial dan rostral. Arteri serebri anterior kedua sisi terletak berdekatan antara satu
dengan lainnya, pada garis tengah didepan lamina terminalis, dari lokasi ini kedua arteri berjalan
secara paralel keatas dan keposterior. Tempat ini juga merupakan tempat hubungan anastomosis
antara kedua arteri serebri anterior melalui arteri komunikans anterior, komponen penting
lainnya dari sirkulus willisi. Arteri komunikans anterior dan segmen arteri serebri anterior yang
berdekatan merupakan lokasi terbentuknya aneurisma yang sering disebut Aneurisma Acomm.
Segmen proksimal arteri serebri anterior membentuk banyak cabang perforantes kecil
yang memperdarahi regio paraseptalis, bagian rostral ganglia basalis dan diensefalon serta krus
anterior kapsula interna. Arteri rekurens heubner merupakan cabang besar segmen proksimal
arteri serebri anterior yang mendarahi ganglia basalis, arteri ini kadang-kadang terlihat pada
angiogram. Arteri serebri anterior membentuk cabang ke korpus kolosum, permukaan medial
hemisfer serebri dan regio parasagitalis. Area otak yang mendapat suplai darah dari arteri serebri
anterior adalah area kortek motorik, sensorik primer yang luas dan girus cinguli. Arteri serebri
anterior membuat hubungan anastomosis dengan arteri serebri media dan arteri serebri posterior.
Gambar 5. Suplai pembuluh darah otak. a potongan coronal. b Potongan horizontal

Arteri Fosa posterior


Arteri vertebralis
Tepat setelah memasuki duramater, arteri vertebralis bercabang kemedula spinalis
servikalis. Anatomi vaskuler pada area ini bervariasi tetapi arteri spinalis anterior hampir selalu
berasal dari bagian intradural arteri vertebralis.

Arteri inferior posterior serebri (PICA)


merupakan cabang terbesar arteri vertebralis dan berasal dari bagian intraduralnya, tepat
sebelum arteri vertebralis bergabung dengan sisi kontralateral untuk membentuk arteri basilaris.
PICA menyuplai bagian basal hemisfer serebeli, bagian bawah vermis, sebagai nuklei serebeli,
dan pleksus khoroideus ventrikel keempat serta bagian dorsolateralis medula.

Arteri Basilaris
Berasal dari penggabungan antara arteri vertebralis kanan dan kiri di depan batang otak
setinggi pons bawah. Cabang utamanya adalah dua pasang arteri serebeli dan arteri serebri
posterior. Arteri basilaris juga membentuk banyak cabang arteri perforantes yang kecil ke
batang otak.

Arteri inferior anterior serebeli (AICA)


Merupakan cabang mayor utama pertama arteri basilaris yang menyuplai flokulus
serebeli dan bagian anterior hemisfer serebeli. Ukuran teritori bagian hemisfer serebeli
berbanding terbalik dangan teritori PICA ipsilateral. Pada beberapa individu bagian hemisfer
serebeli yang biasanya disuplai oleh PICA justru disuplai oleh AICA. AICA juga membentuk
cabang arteri labirinti ke telinga dalam.

Arteri superior serebeli ( SCA )


Cabang arteri basilaris ini memperdarahi bagian rostral hemisfer cerebeli dan bagian atas
vermis cerebeli, ketika membelok kearah mesensefalon arteri ini membentuk cabang – cabang ke
tegmentum.

Gambar 6. Cabang arteri basilaris


Gambar 7. Teritori arteri serebeli dan arteri batang otak pada potongan sagital garis tengah

Arteri serebri posterior (PCA)


Merupakan salah satu cabang utama arteri basilaris yang berasal dari bifurcatio basilaris
dan kemudian membelok kearah mesensefalon dan masuk kesisterna ambiens yang memiliki
hubungan spatial dengan tentorium. Didalam sisterna ambiens arteri serebri posterior bercabang
menjadi cabang-cabang kortikal utamanya, termasuk arteri kalkarina, arteri oksipitotemporalis
dan rami temporalis.

3.3 Epidemiologi Perdarahan Subaraknoid

Insiden perdarahan subaraknoid akut diperkirakan 2-22 kasus per 100.000 orang per
tahun, dan 60% dari semua perdarahan subarachnoid akut muncul pada orang berusia 40 hingga
60 tahun. Perdarahan subaraknoid aneurisma adalah suatu kondisi dengan variasi insiden yang
cukup besar di seluruh dunia. Finlandia adalah negara dengan insiden tertinggi, dengan 22,5
pasien per 100.000 penduduk. Di sisi lain, Cina memiliki insiden 2/100.000. AS melaporkan
14,5pasien per 100.000 populasi. Namun, karena 15% -30% kematian terjadi sebelum masuk
rumah sakit, kejadian sebenarnya dari SAH aneurisma mungkin lebih tinggi. Di Brazil,
epidemiologi pasti dari SAH aneurisma tidak diketahui. 4,16 berdasarkan data stroke registry
Indonesia dalam rentang waktu 2012 hingga 2014 didapatkan angka kejadian perdarahan
subaraknoid yaitu 181 orang dari total 5411 pasien stroke atau sekitar 3,3% dari total pasien
stroke. Perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu sekitar 53,59% dan usia terbanyak
pada usia lebih dari 60 tahun.5 Sementara berdasakan penelitian yang dilakukan
Venketasubramanian dkk yang dilakukan pada tahun 2015 didapatkan perdarahan subaraknoid
sebesar 1,4% dari total kejadian stroke di Indonesia. Perkiraan angka kematian selama 30 hari
adalah 35%, dengan morbiditas yang tinggi di antara mereka yang selamat (sepertiganya
membutuhkan perawatan penuh, dan sepertiganya tidak dapat kembali bekerja). Dalam beberapa
decade terakhir, angka kematian telah menurun dengan kemajuan teknis di bidang kedokteran.
Sebuah meta-analisis dari tahun 2009 telah menunjukkan bahwa antara tahun 1973 dan 2002,
telah terjadi penurunan kematian pasien sebesar 17%.

3.4 Etiologi Perdarahan Subaraknoid

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur


aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (AVM). Terdapat
beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti:

1. Aneurisma sakuler (berry)

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering aneurisma
sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii
(20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri
komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan defisit
neurologis dengan menekan struktur di sekitarnya bahkan sebelum ruptur. Misalnya, aneurisma
pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis
saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia).
2. Aneurisma fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut aneurisma


fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intrakranial arteri karotis interna,
trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan
oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris
dapat menekanbatang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat
mempercepat pembentukan bekuan intra-aneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini
biasanya tidak dapat ditangani secara pembedahan saraf, karena merupakan pembesaran
pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma
sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.

3. Aneurisma mikotik

sAneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya terdiri dari
terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma
mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan
subarakhnoid.

Penyebab lain pada perdarahan subaraknoid adalah adanya malformasi arteriovenosa


(AVM). Kondisi ini adalah anomali vaskuler yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal
tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada AVM, arteri berhubungan
langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena
tidak dapat menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan
merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan yang berasal dari
arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya
seperti yang terjadi pada aneurisma. AVM dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan
didapat. AVM yang didapat terjadi akibat trombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.
3.5 Patofisiologi Perdarahan Subaraknoid

Peradangan memainkan peran utama dalam pembentukan dan rupture aneurisma.


Aktivasi proinflamasi terjadi selama remodeling vaskular di area yang terkena tegangan geser
yang lebih tinggi. Ini termasuk aktivasi sintetase oksida nitrat yang diinduksi oleh endotel dan
pengaturan ke bawah dari ekuivalen konstitusional endotel (eNOS), induksi metaloproteinase
matriks (MMP), seperti MMP-2 dan MMP-9, dan sitokin proinflamasi lainnya [interleukin (IL) -
10, IL-1β, IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF) -α], serta komplemen dan kaskade koagulasi.
Selanjutnya, aktivasi inflamasi makrofag dan sel T berkontribusi pada peningkatan perubahan
jaringan dan fibrosis. Matriks ekstraseluler, yang disintesis terutama oleh sel-sel otot polos,
mempertahankan kekuatan structural dinding dan kekuatan kontraktil untuk mempertahankan
aliran darah otak. Matriks ini terganggu pada dinding aneurisma, karena lapisan pembuluh darah
menipis, oleh karena itu sel otot polos kurang berfungsi. Sistem komplemen berhubungan
dengan aneurisma intrakranial dan degenerasi dinding pembuluh darah. Setelah diaktifkan, selain
menginduksi peradangan oleh anafilotoksin, C3a dan C5a, juga menginduksi aktivasi dan
degranulasi sel endotel, sel mast, dan makrofag. Oleh karena itu secara tidak langsung
menyebabkan kontraksi sel otot polos dan permeabilitas kapiler. Stres mekanokimiawi
menginduksi perubahan aterosklerotik pada aneurisma intrakranial yang terkait dengan
akumulasi lipid, manifestasi akhir dari inflamasi kronis. Pada arteri perifer, akumulasi lipid dini
disertai dengan aktivasi komplemen dan infiltrasi sel inflamasi. Peran aterosklerosis dalam
etiologi aneurisma intrakranial telah diperdebatkan selama beberapa dekade, tetapi modifikasi
aterosklerotik hadir pada lebih dari setengah aneurisma intrakranial.

Cedera Otak Awal (Early Brain Injury) :

Segera setelah dari ruptur aneurisma di subaraknoid, akan terjadi suatu iskemia serebri
global yang transien dan proses patologis lain yang disebut dengan injuri otak awal (EBI). Gejala
ini muncul dalam waktu 2 hingga 72 jam pertama sejak kejadian. Cedera setelah perdarahan
subaraknoid ini tidak hanya terjadi pada daerah ruptur pembuluh darah, namun juga dapat
meliputi area diatas dari area perdarahan. Kaskade sinyal kemudian dipicu setelah perdarahan
yang kemudian menginisiasi kerusakan sawar darah otak, respon inflamasi, kerusakan sel, dan
stress oksidatif. Setelah ruptur aneurisma, stimulus awal ialah peningkatan cepat dari tekanan
intrakranial yang mencapai hampir dari tekanan arterial (sekitar 120mmHg) dalam 1 hingga 2
menit, dan kemudian kembali lagi ke angka sedikit tinggi dari pada angka dasar. Peningkatan
tekanan intrakranial ini menurunkan tekanan perfusi serebri yang kemudian akan menurunkan
aliran darah otak sehingga terjadi gangguan autoregulasi serebrovaskular. Penurunan dari perfusi
serebri hingga mencapai nol sering kali ditimbulkan oleh perdarahan subaraknoid. Meskipun
perfusi serebral membaik, akan tetapi penurunan aliran darah otak akan tetap yang mana
mengindikasikan vasokonstriksi akut dalam 6 jam. Hal ini yang menyebabkan EBI akibat dari
iskemia serebri secara global dengan reperfusi yang gradual.

Vasokonstriksi awal diketahui merupakan faktor utama dari perubahan perfusi serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial. Meskipun penurunan perfusi serebri tidak selalu
berhubungan dengan prognosis buruk, akan tetapi penurunan aliran darah yang kurang dari 40%
dari nilai dasar dalam 1 jam pertama setelah perdarahan subaraknoid diprediksi menyebabkan
100% kematian. Oksigen dan aliran darah otak disediakan oleh respon kompensasi vaskular dari
autoregulasi otak secara metabolik, miogenik, dan neurologik. Perdarahan
subaraknoid menyebabkan gangguan autoregulasi serebral ini secara akut yang diawali dengan
ketidakcocokan hemodinamik antara neuron, pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan
aliran darah otak. Stres oksidatif memainkan peran penting dalam pembentukan EBI setelah
perdarahan subaraknoid melalui produksi radikal reactive oxygen species (ROS). ROS disintesis
setelah perdarahan subaraknoid terjadi, meliputi superoxide anion (O2-), hydroxyl radical (OH-),
hydrogen peroxide (H2O2), NO, dan peroxynitrate (ONOO-). Setelah perdarahan pada
subaraknoid ini, hipoksia dan penurunan kadar oksigen mulai untuk mengganggu fungsi
mitokondria dan autooksidasi dari pelepasan hemoglobin. Kemudian, peningkatan ROS juga
akan menyebabkan aktivitas dari sintesis oksidatif. Mitokondria yang terdapat pada sel rusak
akan memproduksi ROS yang berlebihan. ROS ini telah diketahui dapat merusak unit
neurovascular dengan memediasi kehancuran dari peroksidasi lipid, protein, dan DNA.
Selain itu, ROS juga akan meningkatan inflamasi, kerusakan BBB, dan pelepasan
vasokonstriktor. Dibawah kondisi fisiologis, respon kompensasi endogen antioksidatif akan
dimunculkan melalui faktor nuklear dan elemen respon antioksidan. Namun demikian,
antioksidan ini berkurang sejak 1 jam post perdarahan. Ketidakseimbangan ini yang kemudian
menjadi penyebab berkembangnya EBI. Sel utama yang berkontribusi dalam respon inflamasi
sistem saraf sentral ialah microglia dan astrosit. Sel microglia merupakan imunokompeten dan
memiliki sifat fagositik serta astrosit memiliki kemampuan untuk mensintesis dan mensekresi
faktor – faktor seperti sitokin dan kemokin setelah perdarahan dan memnyebabkan EBI. Faktor –
faktor mediator inflamatori lainnya ialah leukosit sitokin. (IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8, and TNF-α.
IL-1β, IL-6, dan ekspresi Jun N-terminal kinase (JNK)-mediated induction of MMP-9).

Peningkatan leukosit yang terjadi setelah perdarahan subaraknoid juga sangat


berhubungan erat dengan prognosis buruk. Dilain pihak, juga terdapat hubungan antara
perdarahan subaraknoid dan jalur apoptotik yang dipicu oleh neurotoksisitas, iskemia, injuri
reperfusi, dan vasokonstriksi akut yang terjadi di neuron kortikal, subkortikal, hipikampus,
endothelial, dan sel vaskular. Mediator yang meningkat setelah rupture aneurisma ialah
apoptosis-inducing factor, TNF-α, cytochrome C, P53, dan caspases. Apoptosis sel endothelial
dapat merusak BBB yang juga menyebabkan sel otot polos terekspos terhadap komponen
vasokonstriktor dalam darah dari rongga subaraknoid. Nekrosis merupakan bukti dari stadium
awal yang terjadi setelah perdarahan subaraknoid, yang dipicu oleh deplesi ATP, stress oksidatif,
dan peningkatan level kalsium intraselular dan mitokondrial. Setelah terjadi perdarahan juga
terjadi sekresi glutamat yang menyebabkan toksisitas neuron. Sintesis glutamate terjadi pada
astrosit dan microglia yang teraktivasi. Jalur utama dari glutamat ini meliputi aktivasi dari
reseptor N-Methyl-d Aspartate yang menyebabkan influks intraselular Ca2+ secara berlebihan
sehingga menyebabkan nekrosis dan apoptosis. Kemudian, influks Na+ yang dimedia oleh
reseptor glutamate ionotropik juga menyebabkan sel membengkak dan edema. Gangguan
terhadap homeostasis. dari gradient ion dan kanal ion di otak terjadi langsung setelah perdarahan
sehingga menyebabkan gangguan aktivitas elektrik. Kerusakan dari kanal gerbang K+
menyebabkan mikrotrombosis dan hemoglobin pada subaraknoid meningkat. Disregulasi dari
kanal non L-type Ca2+ dan peningkatan dari pelepasan Ca2+ dari reticulum endoplasma
menyebabkan apoptosis dari sel endothelial dan sel otot polos, gangguan BBB, dan
vasokonstriksi dalam 15 menit setelah kontak dengan oxyhemoglobin. Gangguan elektrik ini
menyebabkan depolarisasi kortikal yang luas dan menyebabkan EBI serta edema sitotoksik.
Konsekuensi kritis yang paling membahayakan setelah perdarahan subaraknoid ialah edema otak
yang terjadi dalam 6 – 8% pasien pada saat baru masuk kerumah sakit. Edema serebral ini
berkembang sangat cepat setelah perdarahan dan diketahui sebagai suatu vasogenik primer.
Iskemik Serebral Tunda (Delayed Cerebral Ischemia) :

Selama beberapa dekade, vasospasme serebri telah diketahui sebagai konsekuensi utama
dan satu-satunya kontributor untuk Delayed Cerebral Ischemia (DCI) pada perdarahan
subaraknoid. Vasospasme serebri dideskripsikan sebagai suatu penurunan lumen pembuluh darah
secara luas dan reversible akibat dari konstriksi otot polos arteri setelah perdarahan subaraknoid.
Pada neuroimaging akan teridentifikasi dengan menggunakan angiografi serebral, transkranial
Doppler, CT-scan, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Vasospasme serebri ini terdeteksi
secara angiografi pada hamper 70% kasus dan terjadi secara klinis pada 30% pasien.
Vasospasme terjadi pada 72 jam pertama setelah perdarahan dan memuncak pada hari ke 6
hingga 8, serta berkurang pada hari ke 21. Tingkat keparahan dari vasospasme sangat penting
sebagai faktor risiko klinis untuk perburukan neurologis dan luaran yang buruk. Perubahan
vaskular selama vasospasme meliputi konstriksi dari pembuluh darah kecil yaitu disfungsi
endothelial dan neuroinflamasi intramural serta konstriksi dari otot polos dari vaskularisasi
serebral. Endothelin-1 (ET-1) berperan pada reseptor endothelin-A yang berlokasi di sel otot
polos pembuluh darah dan menyebabkan influks dari Ca2+ dan vasokonstriksi dengan
mengaktivasi beberapa kaskade termasuk protein kinase C. Pelepasan oksihemoglobin akibat
dari hemolisis menginduksi pelepasan ET-1, inhibisi eNOS, dan apoptosis neuronal melalui
stimulasi pembentukan ROS, peroksidase lipid, dan jalur MAPK. ET-1 diketahui tinggi pada
plasma dan cairan serebrospinal selama 8-14 hari setelah perdarahan. Sebuah studi menyebutkan
bahwa antagonis reseptor ET-1 dapay menurunkan vasospasme setelah perdarahan subaraknoid.
Namun studi CONSCIOUS-2 tidak menunjukan perbaikkan, mortalitas dan angka kejadian
vasospasme dengan menggunakan antagonis reseptor ET-1. Perubahan penting secara molekular
terjadi di sel endotel dan hal ini diawali dengan pelepasan oksihemoglobin dan bilirubin dalam
darah. Hemoglobin yang teroksidasi memiliki afinitas yang tinggi terhadao NO dan dapat
memprovokasi gangguan permeabilitas endotel serta meningkatkan kadar Ca2+ intrasel.
Sedangkan produk bilirubin yang teroksidasi dilepaskan oleh bilirubin yang teroksidasi dengan
H2O2, superoksida, dan radikal NO. Peningkatan kada Ca2+ intrasel setelah perdarahan terjadi
melalui kanan gerbang Ca. Oleh sebab itu, nimodipin yang merupakan penghambat kanal Ca2+
merupakan satu – satunya obat yang diakui oleh Food and Drug Administration yang dapat
digunakan untuk vasospamse serebral. Obat ini digunakan untuk menurunkan risiko bukur yang
dapat terjadi setelah perdarahan. Meskipun demikian, trigger yang terpenting dalam
mempengaruhi vasospasme ialah iskemia yang luas, ketebalan, lama waktu klot dan produk
degradasi eritrosit pada rongga subaraknoid.

Beberapa studi telah menunjukkan terdapat beberapa mekanisme yang ikut serta dalam
DCI disamping dari vasospasme serebral. Aktivasi jalur proapoptotik, gangguan sawar darah
otak, mikrotrombosis, gangguan mikrosirkulasi, dan depolarisasi luas kortikal yang mana
memiliki peran pada EBI kemudian juga berkontribusi secara signifikan dalam perkembangan
DCI. Dengan bukti ini, maka diketahui bahwa terdapat hubungan antara EBI dan DCI.
3.6 Manifestasi Klinis Perdarahan Subaraknoid

Gejala yang paling sering muncul adalah sakit kepala, yang biasanya digambarkan
sebagai sakit kepala terparah yang pernah dirasakan, tiba-tiba dan intensitasnya paling lama
dalam satu jam. Sekitar 10–40% pasien mengalami episode sentinel, yang merupakan sakit
kepala serupa yang mendahului pendarahan selama dua hingga delapan minggu. Kehadiran
episode sentinel meningkatkan kemungkinan kematian atau cacat empat kali lipat. Mual dan
muntah terjadi pada 77% kasus, kehilangan kesadaran pada 53%, meningismus pada 35%, defisit
fokal pada 10%, dan sindrom Terson (perdarahan vitreous yang berhubungan dengan SAH) pada
40% pasien. Pada pasien dengan gejala ini, ambang batas bagi seorang dokter gawat darurat
untuk memesan tomografi komputer otak (CT) non-kontras harus rendah. Jika dilakukan dalam
waktu enam jam setelah ictus, sensitivitasnya hampir 100%. Itu turun menjadi 93% setelah 24
jam dan menjadi kurang dari 60% setelah lima hari. SAH dapat menimbulkan berbagai defisit
neurologis fokal dengan mekanisme yang beragam yaitu :

a. Parese nervus kranialis akibat penekanan aneurisma (termasuk parese N III akibat kompresi
internal carotid-posterior communicating artery junction)

b. Defisit neurologis fokal akibat hasil dari kompresi lokal jaringan otak

c.Defisit neurologis fokal akibat iskemik jaringan oleh emboli


d. Epilepsi fokal hasil dari reorganisasi sel glia akibat kompresi local dan iskemik jaringan oleh
penekanan aneurisma

e. Hemiparesis akibat SAH yang besar di fisura Sylvii

f.Ataksia serebelar akibat diseksi arteri vertebralis

g.Paraparesis akibat penekanan aneurisma arteri komunikans anterior atau malformasi


arteriovena (arteriovenous malformation/AVM) spinal

h. Gangguan melirik ke atas yang mungkin disebabkan hidrosefalus atau penekanan pada bagian
proksimal dari akuaduktus Sylvii.

3.7 Diagnosis Perdarahan Subaraknoid

Diagnosis perdarahan subaraknoid harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan


onset yang parah dan tiba-tiba atau sakit kepala yang meningkat dengan cepat. Karena
banyaknya keluhan pasien dengan nyeri kepala, seringkali sulit membedakan antara sakit kepala
emergensi (termasuk perdarahan subaraknoid) dengan non emergensi. Secara klasik sakit kepala
perdarahan subaraknoid sebagai "thunderclap headache", yang didefinisikan sebagai sakit kepala
parah yang tibatiba yang sering digambarkan sebagai yang terburuk dalam hidup pasien. Sakit
kepala biasanya timbul secara tiba-tiba, yang biasanya ditandai terjadi dalam beberapa menit,
meskipun parameter penelitian termasuk sakit kepala yang mencapai intensitas maksimum dalam
satu jam. Gejala yang meningkatkan kemungkinan perdarahan subaraknoid sebagai penyebab
sakit kepala meliputi onset saat aktivitas, sinkop, muntah, nyeri leher, dan kejang. Defisit
neurologis fokal, fotofobia, diplopia, meningismus, dan/atau perdarahan retinal dapat dijumpai,
namun pada sekitar hampir 50% pasien perdarahan subaraknoid didapatkan pemeriksaan
neurologis normal. Penurunan kesadaran juga dapat dijumpai karena adanya peningkatan
tekanan intrakranial yang diikuti oleh berkurangnya tekanan perfusi serebral. Hal ini harus
dibedakan dengan kejang.6,19 Pada pemeriksaan fisik dan neurologis harus diperiksa adanya
meningismus seperti tanda Kernig atau Brudzinki. Perlu juga dilihat adanya tanda trauma untuk
mengevaluasi kemungkinan adanya faktor trauma pada perdarahan subaraknoid. Pemeriksaan
neurologis harus dilakukan secara menyeluruh mencakup asesmen status mental, saraf-saraf
kranial, fungsi motorik dan refleks, fungsi sensorik serta pemeriksaan serebelar. Kompresi saraf
kranial III secara klasik dapat terjadi dari aneurisma pada arteri komunikans posterios, namun
juga dapat timbul dengan aneurisma arteri serebral posterior atau arteri serebelah posterior.

Herniasi uncal menyebabkan dilatasi pupil, parese nervus III, dan penerunan kesadaran
yang merupakan prognosis buruk. Kelumpuhan rektus lateralis (N.VI) dapat mengindikasikan
adanya peningkatan tekanan intrakranial, namun secara umum tidak terlokalisir. Pada
pemeriksaan retina didapatkan perdarahan subhialoid pada 13% pasien perdarahan subaraknoid
(sindrom Terson). Setelah diagnosis SAH, penting untuk mengklasifikasikan perdarahan
berdasarkan gambaran klinis dan radiologis. Klasifikasi ini penting untuk menentukan nilai
prognosis. Prediktor terkuat dari luaran adalah derajat keparahan kerusakan neurologis saat
admisi dan jumlah darah pada ruang subaraknoid. Yang paling banyak digunakan yaitu skala
Hunt and Hess serta WFNS seperti tercantum pada tabel 1 dan 2. Skala ini digunakan untuk
mendeteksi tingkat keparahan dari perdarahan subaraknoid. Skala ini juga dapat memprediksi
angkakeberhasilan hidup atau mortalitas.
Adapun algoritma untuk pasien nyeri kepala yang dicurigai mengalami perdarahan
subaraknoid tercantum sebagaimana bagan di bawah ini. Perlu dilakukan pemeriksaan radiologis
terutama CT-scan. Juga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan seperti CTA dan MRI. Lumbal pungsi
dapat dilakukan apabila hasil CT-scan meragukan.
Keterangan: HA, headache; SAH, subarachnoid hemorrhage; NCHCT, noncontrast head
computed tomagraphy; LP, lumbar puncture; CTA, computed tomography angiography; MRI,
magnetic resonance imaging

Pemeriksaan Penunjang pada Perdarahan Subaraknoid

1. Computed Tomography

Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik awal yang harus dilakukan pada pasien yang
dicurigai perdarahan subaraknoid. CT scan juga dapat menyingkirkan kemungkinan proses
patologis lainnya seperti perdarahan intrakranial, keganasan, atau abses. Pada saat onset
perdarahan, darah subaraknoid paling terlihat pada CT, namun akan menjadi sulit saat terjadi
proses degradasi sel darah merah. Kemajuan pada neuroimaging meningkatkan sensitivitas CT
non kontras sehingga menimbulkan pertanyaan apakah masih perlu dilakukan pungsi lumbal
pada CT negatif. Sebuah metaanalisis yang dilakukan pada 2016 menunjukkan bahwa CT non
kontras yang dilakukan dalam 6 jam sejak onset sakit kepala memiliki sensitivitas sebesar 98,7%
dengan confidence intervals 97,1-99,4%.

2. Pungsi Lumbal

Jika hasil CT kepala tidak definitif (waktu, faktor pasien seperti anemia, ketebatasan
interpretasi seperti artefak) maka alat diagnostik yang direkomendasikan adalah pungsi lumbal.
Pada pungsi lumbal hal yang akan dicari yaitu adanya sel darah merah dan xanthocromia
(bilirubin pada CSS).

• Sel darah merah

Sel darah merah yang utuh akan terlihat di awal perjalanan penyakit dan menurun saat sel
rusak dan diresorbsi kembali. Sesuai dengan patofisiologi, keberadaan sel darah merah di tabung
keempat CSF dianggap mewakili SAH. Sayangnya, pungsi lumbal seringkali merupakan
prosedur yang sulit secara teknis dan tingkat "traumatic tap", atau adanya eritrosit akibat trauma
local dan manipulasi jarum dapat mendekati 30%. Hal ini mempersulit diagnosis SAH dengan
hasil RBC. Karena membedakan antara SAH yang sebenarnya dan tap yang traumatis adalah
yang paling penting secara klinis, penulis telah meneliti kriteria untuk membantu membedakan
keduanya. Pasien dianggap mengalami SAH jika mereka memiliki salah satu dari berikut ini: CT
Kepala positif terdapat darah di ruang subarachnoid; xanthochromia pada LP; atau sel darah
merah 2.000 x 106 di tabung akhir CSS dengan aneurisma pada CT angiografi (CTA) yang
membutuhkan intervensi saraf atau mengakibatkan kematian.
• Xanthochromia

True xanthochromia adalah patognomonik untuk SAH. Hal ini berguna jika terdapat
kecurigaan klinis yang tinggi dan jumlah sel darah merah tidak cukup tinggi untuk membedakan
dari diagnosis tap traumatis. Xantokromia dideteksi baik dengan inspeksi visual tabung CSS vs
tabung air, atau dengan spektrofotometri. Sel darah merah yang telah terlepas ke CSS dari SAH
pada akhirnya akan memecah dan melepaskan oksihemoglobin, yang kemudian diubah menjadi
bilirubin in vivo, yang diartikan sebagai xanthochromia, atau secara harfiah "warna kuning".
Perlu dicatat bahwa darah dari tap traumatis dapat menghasilkan oksihemoglobin saat terkena
cahaya alami, yang dapat menghasilkan warna kuning, tetapi karena berada di luar tubuh maka
tidak akan menghasilkan bilirubin. Melindungi spesimen dari cahaya akan meminimalkan
konversi sel darah merah menjadi oksihemoglobin. Sebagai alternatif, spektrofotometri dapat
membedakan oksihemoglobin tap traumatis dari bilirubin SAH. Inspeksi visual, bagaimanapun,
masih digunakan di sebagian besar institusi.

3. Computed Tomography Angiography6

Selama dekade terakhir, CTA otak telah menjadi bagian dari diskusi untuk
mengesampingkan SAH. Sebagai cara non-invasif untuk menyoroti anatomi vaskular dan
mendeteksi aneurisma, CTA memiliki banyak keuntungan. Sama seperti CT kepala non-kontras,
kemajuan dalam pencitraan saraf telah menunjukkan CTA memiliki sensitivitas hingga 98% dan
spesifisitas 100% untuk aneurisma pada pasien dengan SAH yang diketahui. Statistik ini berasal
dari kumpulan data kecil (n = 65) di mana hasil CTA dibandingkan dengan standar emas digital
subtraction angiography atau temuan bedah. Sensitivitas CTA adalah 92,3% untuk aneurisma
<4mm, dan berbeda dengan patologi di mana ukuran lesi berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit (yaitu, emboli paru), aneurisma otak kecil yang pecah masih dapat menyebabkan
morbiditas yang signifikan dan kematian.

4. Magnetic Resonance Imaging

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menilai SAH, dengan
batasan tertentu. Tantangan dalam menggunakan MRI untuk SAH adalah darah yang
digabungkan dengan CSS yang memiliki konsentrasi oksigen tinggi, sehingga menunda transisi
produk darah ke keadaan deoksihemoglobin yang lebih baik dicitrakan dengan MRI. Karena
tidak ada data yang menunjukkan kerangka waktu yang berbeda untuk penggunaan MRI,
keputusan untuk menggunakan MRI untuk menilai darah harus digunakan dengan berkonsultasi
dengan radiologi dan neurologi atau bedah saraf. Kombinasi pemulihan inversi yang dilemahkan
cairan dan pencitraan berbobot kerentanan telah terbukti 100% sensitif untuk SAH, meskipun
kebanyakan kasus dicitrakan lebih dari 24 jam setelah iktus sakit kepala. Jika MRI negatif untuk
SAH, pungsi lumbal tetap direkomendasikan. MRI sensitif 95% untuk aneurisma> 3 mm.
Dengan semua keterbatasan ini, pencitraan MRI tidak direkomendasikan sebagai modalitas
pencitraan primer, tetapi mungkin berguna pada kasus atipikal tertentu, khususnya pada pasien
dengan penundaan yang lama dari iktus hingga presentasi.

5. Digital Subtraction Angiography

Baku emas untuk mendeteksi aneurisma serebral sebagai sebab perdarahan pada
perdarahan subaraknoid akut basalis adalah digital subtraction angiography, yang dapat
memberikan visualisasi yang baik pada daerah dan konfigurasi aneurisma, ingoing and outgoing
vessels, dan hubungannya dengan vaskularisasi di sekitarnya. Informasi yang penting adalah
pemeriksaan ini digunakan sebagai dasar perencanaan tatalaksana untuk aneurisma. DSA
memiliki sedikit risiko terhadap rebleeding aneurisma yaitu sekitar 1-2% dan defisit neurologis
baru sekitar 1,8%. Sepanjang kondisi pasien tidak membahayakan jiwa, DSA merupakan pilihan
modalitas imaging dan tidak perlu digantikan CT angiography. Untuk memprediksi kejadian
vasospasme dapat digunakan Fisher Grading pada perdarahan subaraknoid dimana risiko
terjadinya vasospasme ini meningkat seiring dengan peningkatan grading fisher.

Tabel 3. Skala Grading Fisher dan Fisher Termodifikasi untuk Perdarahan


Subaraknoid
3.8 Komplikasi Terkait Perdarahan Subaraknoid

Komplikasi yang dapat terjadi pada perdarahan subaraknoid dapat terjadi secara akut,
subakut, dan kronik. Komplikasi yang timbul dapat berupa komplikasi neurologis maunpun non
neurologis.

1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut yang dapat terjadi yaitu rebleeding, hidrosefalus akut, lesi iskemik akut.
Sementara itu dapat pula muncul komplikasi non neurologis seperti gangguan repolarisasi EKG,
distres miokardial, gangguan elektrolit, serta acute respiratory injury.

a. Rebleeding

Rebleeding merupakan komplikasi serius dan dapat terjadi pada tiga hari pertama setelah
perdarahan awal dengan estimasi risiko 7-22% pada tiga hari pertama. Pada 24 jam pertama atau
dikenal dengan ultra-early rebleeding memiliki insidensi 15% dengan tingkat mortalitas sebesar
70%. Hal ini sering dihubungkan dengan prognosis yang buruk dan skoring Fisher yang lebih
tinggi. Konsekuensi dari rebleeding cukup berat ditandai dengan tingkat mortalitas mencapai
60%. Adapun faktor risiko timbulnya rebleeding di antaranya adalah hipertensi (>160 mmHg),
nilai WFNS pada saat admisi, ukuran aneurisma yang lebih besar, adanya perdarahan
intraserebral, nilai mFisher yang tinggi, dan drainase cairan serebrospinal sebelum
koreksi aneurisma. Oklusi dari aneurisma yang ruptur pada 12-24 jam pertama dapat
mengurangi risiko perdarahan ulang. Sebuah studi ISAT yang dilakukan pada tahun 2002
menunjukkan coiling merupakan terapi yang efektif dibandingkan dengan operasi dengan
estimasi risiko 23,7% dibandingkan operasi 30,6%. Pemasangan external ventricular shunt
meningkatkan risiko ini. Rekomendasi dari AHA ASA terhadap rebleeding yaitu kontrol tekanan
darah dan tekanan perfusi serebral. Adapun tekanan darah dapat diturunkan hingga sistolik
mencapai <160 mmHg, serta direkomendasikan pemberian asam traneksamat atau asam
aminokaproid dalam 72 jam pertama jika tidak ada kontraindikasi untuk mengurangi risiko
terjadinya rebleeding.
c. Lesi iskemik akut

Edema serebral masif akut adalah komplikasi yang jarang terjadi, dengan patofisiologi
yang kurang dipahami, yang dapat menyebabkan cedera iskemik kortikal difus yang
menyebabkan kematian dalam beberapa jam setelah perdarahan subarachnoid. Secara klasik ini
semua mempengaruhi usia muda terlepas dari tingkat keparahan perdarahan awal dan melibatkan
edema serebral difus onset mendadak dengan fase akselerasi mendadak meningkatkan tekanan
intrakranial. Hal ini dapat ditunjukkan dengan memasukkan sensor tekanan intrakranial. MRI
serebral dengan diffusion-weighted images dapat membantu diagnosis pada pasien yang
mengalami kelainan kesadaran yang tiba-tiba. Pengobatannya adalah dengan kombinasi terapi
medis untuk edema dan bedah saraf dengan pemasangan pirau ventrikel eksternal, tetapi dalam
kebanyakan kasus ini tidak memperbaiki prognosis.

Gambar 14. Gambaran MRI pada pasien dengan Perdarahan Subaraknoid dengan grading Fisher 4 (A) karena ruptur Arteri
komunikans anterior pada rekonstruiksi MIP sagital (B) dan arteriografi serebral (C). Pada MRI cerebri ditunjukkan lesi
kortikosubkortikal dengan hiperintens b1000 (D) dan gambaran T2 (E). Tidak ada gambaran vasospasme (F), sugestif lesi

iskemik kortika difus.


d. Komplikasi non neurologis

Komplikasi non neurologis yaitu termasuk gangguan repolarisasi elektrokardiografi


difus, peningkatan troponin karena distress miokardial, dan sindrom Tako-Tsubo dengan injuri
respiratori akut (edema paru akut, ARDS). Juga dapat terjadi gangguan elektrolit seperti natrium
dan kalium. Gangguan natrium dan air sering terjadi setelah SAH, dengan hiponatremia terjadi
pada 30-50% pasien, hipovolemia pada 17-30%, keduanya dikaitkan dengan hasil negatif.
Patofisiologi tidak sepenuhnya dipahami, tetapi peningkatan konsentrasi peptide natriuretik,
hiperaktivasi sistem saraf simpatis, dan hipoaldosteronisme hiperreninemia dapat berkontribusi.
Hiponatremia mungkin disebabkan oleh SIADH (volume intravaskular normal) atau sindrom
cerebral salt wasting (volume intravaskular berkurang).

2. Komplikasi Subakut (hari ke 3-30) : Vasospasme

Vasospasme adalah komplikasi tersering setelah perdarahan subaraknoid. Risiko


vasospasme terjadi lebih lambat daripada risiko perdarahan ulang, biasanya antara hari ke 4 dan
hari ke 15, tetapi kasus late vasospasme juga telah dilaporkan. Risiko ini berkorelasi dengan
sejauh mana perdarahan awal dan dengan klasifikasi Fisher. Ini secara
istimewa mempengaruhi wanita muda. Degradasi dan lisis gumpalan darah ekstravaskular di
dalam cairan serebral menyebabkan pelepasan mediator vasoaktif, yang menyebabkan
vasokonstriksi serebral yang menyebabkan penurunan aliran darah otak. Meskipun temuan tidak
konsisten, hal itu dapat diikuti dengan perkembangan area hipoperfusi serebral dengan risiko
infark serebral, yang dapat berakibat fatal. Secara klinis, tandabahayanya adalah perburukan
defisit neurologis fokal pada hari ketiga setelah perdarahan subaraknoid. Adanya demam tanpa
adanya petunjuk lain ke arah infeksi, atau berkeringat, agitasi, atau kebingungan juga harus
dicurigai vasospasme. Diagnosis harus dipastikan secara radiologis jika dicurigai secara klinis.
Ultrasonografi Doppler transkranial merupakan lini pertama dan menunjukkan peningkatan
kecepatan rata-rata peredaran darah arteri sistolik di arteri spastik. Peningkatan kecepatan
sirkulasi arteri serebral tengah sebanding dengan tingkat keparahan vasospasme. Gambaran
vasospasme pada Doppler Transkranial tergambar pada tabel di bawah ini.
Namun, Doppler transkranial memiliki batasan tertentu: pembuluh darah yang kecepatannya
paling tinggi terlihat tidak harus terletak di wilayah yang sesuai dengan gejala iskemia; Iskemia
simptomatik tidak selalu bermanifestasi pada arteri yang terletak dekat dengan area di mana
perdarahan terbesar telah terjadi dan arteri serebral bagian distal sulit untuk diperiksa. Mengingat
keterbatasan ini, MRI serebral atau angiografi CT serebral dengan gambar perfusi dapat
memastikan diagnosis yang sebenarnya dan menyingkirkan diagnosis yang berbeda, yang
meliputi hidrosefalus akut. Pengobatan untuk vasospasme awalnya adalah terapi peningkatan
farmakologis dengan nimodipine intravena dan menjaga tekanan darah tinggi. Hipervolemia
masih diperdebatkan. Jika pasien resisten terhadap pengobatan altreatment farmakologis,
pendekatan endovaskular dapat ditawarkan yang melibatkan pemberian intra-arteri berulang
beberapa hari insuccession di dekat arteri pada spasme, nitrat (milrinoneCOROTROP®) dan
mungkin arterial balloon angioplasty.

3. Komplikasi Kronis (setelah hari ke 30) :

Hidrosefalus kronikKomplikasi ini terjadi terlambat setelah perdarahan subaraknoid


awal. Gejala klasik adalah kesulitan berjalan, gangguan sfingter dan gangguan kognitif,
disorientasi dan kebingungan. Hal ini disebabkan partisi di ruang arachnoid, yang mencegah
reabsorpsi normal cairan serebrospinal dan menyebabkan dilatasi sistem ventrikel. Pemeriksaan
CT serebral harus dilakukan untuk mencari dilatasi ventrikel jika pasien mengalami masalah
neurologis onset lambat setelah perdarahan subarachnoid. Tergantung pada usia dan tanda-tanda
klinis, pengobatan hidrosefalus kronis terdiri pungsi lumbal deplesi atau pemasangan VP shunt.
Penelitian juga menunjukkan bahwa komplikasi kognitif atau perilaku dapat terjadi. Dua puluh
lima persen pasien mengalami depresi sedang setelah perdarahan subarachnoid dan beberapa
tahun setelah perdarahan, sekitar 50% pasien yang selamat melaporkan bahwa mereka berpikir
bahwa kepribadian mereka telah berubah, umumnya menjadi lebih buruk, kasus yang dilaporkan
sebagian besar adalah kelemahan, iritabilitas berlebihan, kesulitan memori, kantuk di siang hari
dan insomnia Herniasi pada Sub Arachnoid Hemorrhage. Herniasi serebri merupakan kondisi
mengancam jiwa yang harus didiagnosis secara tepat. Herniasi serebri terdiri dari beberapa jenis
yaitu subfalcine, transtentorial descending, transtentorial ascending, dan tonsillar.

1. Herniasi subfalcine/cingulate

Herniasi ini diakibatkan oleh pendesakan unilateral baik itu dari lobus frontal, parietal,
maupun temporal yang menyebabkan efek massa dengan arah medial mendorong girus cingulate
ipsilateral turun ke bawah falx serebri. Pada hernia subfalcine, derajat midline shift berhubungan
dengan prognosis, dimana deviasi 5 mm memiliki prognosis yang lebih baik dan deviasi 15 mm
memiliki prognosis yang buruk. Herniasi ini dapat berakibat infark serebri sepanjang
territory A. Serebral anterior (ACA). Gejala untuk herniasi cingulate tidak dapat dijelaskan
secara jelas.

2. Herniasi Transtentorial Desendens (DTH)

Herniasi ini dibagi menjadi dua tipe yaitu lateral (anterior dan posterior) dan
sentral.

a. Herniasi lateral
Herniasi lateral terjadi ketika lobus temporal bergeser ke bawah melalui insisura
tentorium. Herniasi lateral subtype anterior atau dikenal dengan herniasi uncal
merupakan herniasi yang terjadi ketika lesi supratentorial unilateral (biasanya fossa
medial) menyebabkan efek massa yang mendorong uncus melewati batas tentorium.
Pergeseran uncus menghasilkan tidak terlihatnya sisterna suprasellar. Selama terjadi
progresivitas herniasi, terjadi pelebaran sisterna perimesenfalik ipsilateral dengan
pergeseran dan rotasi batang otak. Pada herniasi selanjutnya terjadi kompresi midbrain
dan pedunculus serebral kontralateral. Traktus kortikospinal desendens dan kortikobulbar
dapat terkena di atas dekusasio mengakibatkan kelemahan motoric sesisi lesi yang
dikenal dengan nama Kernohan notch phenomenon (false localizing sign). Kompresi dari
PCA, nervus III, dan aquaduktus Sylvii mengakibatkan infark temporomedial
dan oksipital, dilatasi pupil, hemiparesis, dan hidrosefalus. Herniasi lateral subtipe
posterior merupakan herniasi pada lobus oksipital dan temporal medial yang terjadi lebih
posterior. Girus parahipokampal dibelakang uncus tergeser ke insisura tentorial bagian
posterolateral. Apabila terdaoat keterlibatan tectum setinggi level coliculus superior,
dapat terjadi sindrom Perinaud.

b. Herniasi sentral

Pada herniasi sentral, terdapat penurunan diencephalon, midbrain, dan pons.


Herniasi ini biasanya terjadi bersamaan tipe DTH lainnya. Kondisi penyakit
supratentorial bilateral yang menyebabkan efek massa, massa midline, edema serebri
berat, atau hidrosefalus supratentorial dapat menyebabkan hernia tipe ini. Tidak
terlihatnya sisterna perimesenfalik merupakan temuan penting dan konsisten. Pergeseran
kaudal dari arteri basiler dan kelenjar pineal, pendataran pons terhadap clivus, dan
pergeseran quadrigeminal secara inferior dan posterior merupakan indikator.
Hidrosefalus dan infark teritori PCA dapat terjadi sebagai komplikasi. Herniasi sentral
progresif dapat mengakibatkan kelumpuhan oculomotor, postur deserebrasi, koma,
hingga kematian.

3. Herniasi Transtentorial Ascendens

Herniasi ini terjadi ketika efek massa berasal dari fossa posterior dengan arah ke atas
menggeser vermis cerebelli dan hemisfer melalui insisura tentorial. Biasanya terjadi ketika assa
yang berasal dekat insisura seperti vermis cerebelli. Kemungkinan lainnya yaitu perbaikan
mendadak hipertensi intracranial supratentorial. Akan terjadi pergeseran anterior pada midbrain
dan digantikan aquaduktus serebri. Konfigurasi konkaf pada sisterna quadrigeminal menjadi
datar atau konveks. Hidrosefalus dapat terjadi karena kompresi aquaduktus. Secara klinis, akan
tampak tanda kompresi serebelar dan batang otak, seperti dilatasi pupil bilateral.

4. Herniasi Tonsilar

Ini umumnya dikenal sebagai coning, ketika tonsil serebelar bergeser ke bawah melalui
foramen magnum. Herniasi tonsil memberikan tekanan pada batang otak bagian bawah dan
sumsum tulang belakang leher bagian atas terhadap foramen magnum yang sempit. Kompresi
batang otak menyebabkan penurunan kesadaran, paralisis flaksid, dan depresi pernapasan dan
jantung. Pada CT scan sagital, penurunan tonsil serebelum inferior,> 5 mm pada orang dewasa
dan> 7 mm pada anak-anak, dibawah foramen magnum dianggap signifikan. Sisterna di sekitar
batang otak juga bisa tidak terlihat.

5. Herniasi extracranial

Herniasi eksternal jarang dijumpai, dan umumnya karena defek post operasi/traumatika.
Defek kraniektomi yang besar memungkinkan otak mengembang tanpa adanya penyempitan.
Jika defeknya terlalu kecil, otak yang bengkak bisa mengalami herniasi dengan tampilan
“mushroom cap”. Hal ini dapat mengakibatkan kompresi vena kortikal dan menyebabkan infark
vena dan memar otak di tepi kraniektomi. Baik CT dan MRI efektif untuk menggambarkan
hernia ini.
Pada SAH, berbagai herniasi ini dapat terjadi tergantung pada mekanisme mana yang dialami
penderita. Penelitian yang dilakukan oleh Baraff dkk menunjukkan adanya herniasi tonsillar dan
subfalcine pada 4 penderita SAH dari keseluruhan 73 pasien yang dibuktikan dengan hasil CT
Scan.

3.9 Tatalaksana Perdarahan Subaraknoid

1. Stabilisasi

Stabilisasi keadaan yang mengancam jiwa terutama pada pasien yang koma.
Penjagaan terhadap airway, fungsi kardiovaskular, dan tatalaksana kejang merupakan
langkah awal sebelum melakukan tindakan lainnya seperti tindakan diagnostik.

2. Pencegahan Rebleeding

Rekomendasi AHA ASA terkait pencegahan rebleeding pada perdarahan subaraknoid


yaitu kontrol tekanan darah sistolik <160 mmHg adalah beralasan. Juga direkomendasikan
pemberian asam traneksamat atau asam aminokaproat jangka pendek (<72 jam) studi di Swedia
menunjukkan adanya penurunan kejadian rebleedingi dari 10,4% ke 2,8% pada penggunaan
asam traneksamat 1 gram per 6 jam selama maksimal 72 jam. Pasien yang mengalami reruptur
aneurisma memiliki risiko kematian dan cedera neurologis yang jauh lebih tinggi daripada pasien
yang mengalami ruptur aneurisma tunggal. Risiko rerupture adalah 4 hingga 14% dalam 24 jam
pertama setelah perdarahan subarachnoid aneurysmal, tetapi risiko tetap meningkat selama 30
hari setelah rupture awal jika aneurisma tidak diobati. Hipertensi dapat meningkatkan risiko
rerupture, tetapi tujuan pengobatan tetap kurang jelas, dengan sedikit data percobaan yang
tersedia untuk mendukung target tekanan darah tertentu. Terapi antifibrinolitik dapat
menstabilkan trombus awal di tempat perdarahan. Dalam uji coba terkontrol secara acak,
kejadian aneurisma rerupture adalah 2% di antara pasien yang menerima terapi antifibrinolitik
dibandingkan dengan 11% di antara pasien yang tidak menerima terapi tersebut. Meskipun terapi
antifibrinolitik mungkin bermanfaat ketika pengobatan aneurisma ditunda (misalnya, ketika
pasien dipindahkan kefasilitas lain), penggunaannya tidak meningkatkan hasil secara
keseluruhan dan dikaitkan dengan peningkatan risiko trombosis vena dalam dan iskemia serebral
yang tertunda. Kejang terjadi pada hingga 20% pasien, terutama pada pasien dengan perdarahan
intraparenkim, dan dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik yang memicu reruptur
aneurisma; Namun, data yang kurang dari uji coba secara acak untuk mendukung administrasi
rutin obat anti kejang, dan profilaksis rutin tidak direkomendasikan.29

3. Tatalaksana pembedahan dan endovaskular terhadap aneurisma.

Tujuan utama pengobatan adalah untuk mengeluarkan sacus aneurisma dari sirkulasi
intrakranial sambil mempertahankan arteri induk. Pada aneurisma yang tidak pecah, keputusan
untuk merawat atau mengamati malformasi dibuat berdasarkan kasus per kasus. Dalam hal ini,
sejarah alam harus dievaluasi dengan cermat. The International Study of Unruptured Intracranial
Aneurysm (ISUIA) telah menyarankan bahwa ukuran dan lokasi aneurisma adalah prediktor
independen untuk pecahnya aneurisma. ISUIA memeriksa 1692 pasien dengan aneurisma
serebral dengan rata-rata tindak lanjut selama 4,1 tahun. Tingkat ruptur berbeda tergantung pada
ukuran dan lokasinya, mulai dari 0% pada aneurisma kurang dari 7 mm yang terletak di arteri
karotis interna, sirkulasi anterior, atau arteri serebral tengah hingga 50% pada aneurisma yang
berukuran lebih dari 25 mm yang terletak di sirkulasi posterior.

Baru-baru ini, the Unruptured Cerebral Aneurysm Study (UCAS) memberikan hasil yang
mirip dengan ISUIA. Namun, terdapat laporam persentase yang lebih tinggi dari aneurisma kecil
di antara rangkaian kasus aneurisma intrakranial yang pecah. Hal ini menunjukkan perbedaan
antara data ISUIA dan UCAS dan ukuran ruptur aneurisma yang terlihat dalam praktik klinis
rutin. Oleh karena itu, kesimpulan yang dibuat tentang ukuran aneurisma dalam kaitannya
dengan tingkat ruptur masih dapat dipertanyakan.Untuk aneurisma serebral yang ruptur, telah
diketahui dengan baik bahwa eksklusi malformasi vaskular dari sirkulasi serebral harus
dilakukan secepat mungkin. Dalam skenario ini, teknik clipping dan endovaskular merupakan
modalitas pengobatan yang valid untuk mencapai tujuan tersebut. Tiga studi prospektif acak
utama telah membandingkan kedua teknik tersebut. Diantaranya, International Subarachnoid
Aneurysm Trial (ISAT) melaporkan peningkatan survival rate dengan coiling, yang secara
statistik signifikan bila dibandingkan dengan perawatan bedah pada 12 bulan tindak lanjut.
Walaupun tingkat oklusi lebih tinggi pada aneurisma yang dilakukan clipping (82%)
dibandingkan dengan coiling (66%), coiling menghasilkan penurunan yang signifikan pada
tingkat kematian atau ketergantungan dibandingkan dengan clipping.

Adapun rekomendasi AHA ASA terkait metode bedah dan endovaskular yaitu

a. Bedah clipping atau coiling pada ruptur aneurisma harus dilakukan sedini mungkin pada
sebagian besar pasien untuk mengurangi tingkat perdarahan ulang setelah SAH.

b. Penghilangan lengkap aneurisma disarankan bila memungkinkan.

c. Penentuan pengobatan aneurisma, seperti yang dinilai oleh ahli bedah serebrovaskular dan
spesialis endovaskular harus bersifat multidisiplin.

d. Keputusan berdasarkan karakteristik pasien dan aneurisma. Untuk pasien dengan aneurisma
pecah yang dinilai secara teknis dapat dilakukan coiling endovaskular harus dipertimbangkan.

e. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien yang menjalani coiling atau clipping aneurisma yang
pecah seharusnya menunda pencitraan vaskular lanjutan (waktu dan modalitas individu) dan
harus dipertimbangkan dengan kuat terapi ulang, baik dengan cara mengulangi coiling maupun
microsurgical clipping, jika masih ada sisa klinis yang signifikan.

f. Microsurgical clipping mungkin lebih dipertimbangkan pada pasien yang mengalami


hematoma intraparenkim (>50 mL) dan aneurisma arteri serebri media. Coiling endovaskular
lebih dipertimbangkan pada orang tua (>70 tahun), pada pasien dengan SAH aneurisma derajat
buruk (klasifikasi WFNS IV/V), dan pada pasien dengan aneurisma apeks basilar.
g. Stenting aneurisma yang pecah dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan
seharusnya hanya dipertimbangkan bila pilihan yang lebih tidak berisiko telah diekslusi.

4. Manajemen vasospasme dan delayed cerebral ischemic

Penyempitan arteri serebral yang terlihat secara angiografis setelah perdarahan


subaraknoid aneurisma (vasospasme) terjadi pada 70% pasien; proses ini umumnya dimulai 3
hingga 4 hari setelah pecahnya aneurisma, puncaknya pada 7 hingga 10 hari, dan menghilang
dalam 14 hingga 21 hari. Iskemia serebral yang terlambat adalah sindrom klinis dari defisit
neurologis fokal yang berkembang pada sepertiga pasien, biasanya 4 sampai 14 hari setelah
pecahnya aneurisma, dan
merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan setelah perdarahan subaraknoid terjadi.
Untuk mencegah DCI, satu-satunya terapi yang disetujui secara farmakologis adalah nimodipine
60 mg setiap empat jam selama 21 hari. Telah terbukti mengurangi infark serebral, hasil yang
buruk dan kematian, tetapi tidak mengurangi kejang angiografik. Jika terjadi hipotensi, dosis
dapat dibagi dalam 30 mg setiap dua jam atau dikurangi menjadi 30 mg setiap empat jam.
Rekomendasi ini adalah kelas I, tingkat bukti A, menurut pedoman saat ini. “Terapi triple H”
klasik sebelumnya (hipertensi, hemodilusi, dan hipervolemia) tidak lagi direkomendasikan
karena tidak ada bukti bahwa terapi ini meningkatkan hasil neurologis dan dapat meningkatkan
risiko disfungsi jantung, edema paru, koagulopati, gangguan elektrolit, dan infeksi. Pemberian
cairan berupa normal saline 15mL/kg.

Menurut panduan AHA ASA, manajemen yang dapat dilakukan yaitu:

a.Nimodipin oral harus diberikan kepada semua pasien SAH

b.Pemeliharaan euvolemia dan volume darah sirkulasi normal direkomendasikan untuk


mencegah iskemia serebral yang tertunda

c. Hipervolemia profilaksis atau angioplasti balon sebelum terjadinya spasme angiografi tidak
dianjurkan

d. TCD untuk memantau perkembangan vasospasme arteri


e. CT scan atau MRI dapat berguna untuk mengindentifikasi daerah potensial iskemia otak

f. Induksi hipertensi direkomendasikan untuk pasien dengan iskemia serebral tertunda, kecuali
tekanan darah meningkat pada awal atau adanya status jantung yang menghalangi. Terapi
vasodilator serebral dan/atau terapi vasodilator intra-arterial selektif dapat digunakan pada pasien
dengan vasospasme serebral simptomatik, terutama yang tidak respons terhadap terapi hipertensi.

g. Angioplasti serebral dan/atau terapi vasodilator intra-arterial selektif cukup beralasan pada
pasien dengan vasospasme serebral simtomatik, khususnya pada yang tidak berespon dengn
terapi hipertensi

5. Manajemen Hidrosefalus

Hidrosefalus ditatalaksana utamanya adalah dengan prosedur bedah berupa pemasangan


shunt. Namun sebelum dilakukan operasi dapat diberikan tatalaksana medikal, mencakup
acetazolamide dan manitol. Pengobatan tidak dapat menggantikan peran drainase bedah.
Tatalaksana bedah pada hidrosefalus dapat berupa fenestrasi terminalis lamina, namun kurang
direkomendasikan oleh AHA ASA. Metode operasi yang lebih diterima yaitu berupa Ventricle-
Peritoneal Shunting (VPS), Lumbar-Peritoneal Shunting (LPS), dan External
Ventrikel Drainage (EVD).

Adapun rekomendasi AHA ASA terkait hidrosefalus yaitu


a. Hidrosefalus simtomatik akut terkait SAH seharusnya dikelola dengan pengalihan LCS
(drainase ventrikel eksternal atau drainase lumbal, tergantung kondisi klinis)

b. Hidrosefalus simtomatik kronik terkait SAH seharusnya dikelola dengan pengalihan LCS
permanen

c. Penghentian drainase ventrikel eksternal selama >24 jam tidak efektif dalam mengurangi
kebutuhan shunting ventrikel

d. Fenestrasi rutin lamina terminalis tidak berguna untuk mengurangi kecepatan hidrosefalus
yang tergantung pada shunt. Oleh kerena itu sebaiknya tidak dilakukan secara rutin.
6. Manajemen Kejang

Kejang dapat terjadi dengan insidensi 4-26% pada pasien rupture aneurisma. AHA ASA
tahun 2012 merekomendasikan penatalaksanaan kejang sebagai berikut:

a. Penggunaan antikonvulsan profilaksis dapat dipertimbangkan segera pasca-perdarahan


b. Penggunaan antikonvulsan jangka panjang rutin tidak disarankan, tetapi dapat
b. dipertimbangkan untuk pasien dengan faktor risiko yang diketahui untuk gangguan
kejang tertunda, seperti kejang sebelumnya, hematoma intraserebral, hipertensi yang sulit
dikontrol, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media Namun berbagai penelitian
terkini menyebutkan bahwa obat anti konvulsan profilaksis tidak terbukti mengurangi
risiko kejang pada pasien SAH spontan, dan justru dapat memperburuk luaran klinis
seperti vasospasme, perburukan defisit neurologis, infark serebra dan peningkatan suhu
tubuh selama perawatan.

7. Manajemen komplikasi terkait SAH

a. Pemberian cairan hipotonik volume besar dan retriksi volume intravaskular tidak
dianjurkan setelah SAH

b. Monitor status volume pada pasien SAH tertentu dengan beberapa kombinasi central
venous pressure, pulmonary wedge pressure, dan keseimbangan cairan, seperti terapi
kontraksi volume dengan cairan kristaloid atau koloid

c. Kontrol demam secara agresif dengan target normotermia menggunakan sistem modulasi
suhu standar atau lanjutan pada fase akut SAH

d. Manajemen glukosa secara hati-hati dengan menghindari hipoglikemia dapat dianggap


sebagai bagian dari manajemenperawatan kritis umum pasien SAH

e. Penggunaan transfusi PRC untuk mengatasi anemia pada pasien SAH berisiko terkena
iskemia serebral. Target hemoglobin yang optimal masih harus ditentukan

f. Penggunaan larutan garam fludrokortison asetat dan hipertonik untuk mencegah dan
memperbaiki hiponatremia
g. Trombositopenia yang disebabkan oleh heparin dan trombosis vena dalam ialah
komplikasi yang relatif sering setelah SAH. Identifikasi awal dan pengobatan yang
ditargetkan direkomendasikan, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengidentifikasikan paradigma skrining yang

Anda mungkin juga menyukai