TINJAUAN PUSTAKA
Perdarahan sub araknoid ialah perdarahan akut di dalam rongga, yaitu antara
otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarakhnoid ditandai
dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara
lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid mater) yang merupakan
bagian selaput yang membungkus otak (meningen). Pendarahan subaraknoid
dapat terjadi secara spontan atau tanpa adanya trauma, dan secara non-spontan
karena adanya trauma. Penyebab utama perdarahan non-trauma ialah rupturnya
aneurisma intrakranial yang mencakup 80% kasus, dan mempunyai angka
kematian dan komplikasi neurologis.
Meningen
Meningen adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat. Meningen tersusun
atas unsur kolagen dan fibril yang elastis serta cairan serebrospinal. Meningen terbagi menjadi
tiga lapisan, yaitu duramater, arachnoid dan piameter. Duramater juga disebut sebagai
pachymeninges (membran keras), sedangkan arachnoid mater dan pia disebut sebagai
leptomeninges(Membran halus).5
1) Duramater
Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen fibrosa karena tebal, kuat,
dan mengandung serabut kolagen. Pada dura mater dapat diamati adanya serabut elastis, fibrosit,
saraf, pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam dura mater terdiri dari beberapa lapis fibrosit
pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid.4,5
2) Arakhnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen. Lapisan
arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan dengan dura mater
dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di
antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan sama
sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi dura mater,
dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam sinus venous dura mater.
Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal
ke darah sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan. Arachnoid
berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan piameter terdapat ruangan berisi cairan
yang berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter
kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.3
3) Piamater
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini melekat pada otak.
Pia mater mengandung sedikit serabut kolagen dan membungkus seluruh permukaan sistem saraf
pusat dan vaskula besar yang menembus otak.
3.2 Anatomi Suplai Pembuluh Darah Otak
Suplai darah serebral berasal dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Arteri
karotis interna pada kedua sisi yang menaghantarkan darah keotak melalui percabangan
utamanya, arteri serebri media, arteri serebri anterior dan arteri khoroidalis anterior (sirkulasi
anterior). Kedua arteri vertebralis bergabung digaris tengah pada batas kaudal pons untuk
membentuk arteri basilaris, yang menghantarkan darah ke otak dan serebelum, serta sebagian
hemisfer serebri melalui cabang terminal, arteri serebri posterior (sirkulasi posterior). Sirkulasi
anterior dan posterior berhubungan satu dengan lainnya melalui sirkulus arteriosus willisi.
Terdapat pula banyak anastomosis lain diantara arteri-arteri yang mendarahi otak dan antara
sirkulasi intrakranial dan ekstrakranial.
Struktur di fossa kranii anterior dan fossa kranii media terutama disuplai oleh arteri
karotis interna yang disebut sebagai sirkulasi anterior. Sedangkan struktur difosa kranii posterior
diperdarahi oleh arteri vertebralis yang disebut sirkulasi posterior
Gambar 4. Suplai pembuluh darah mata
Arteri fosa kranialis Anterior dan Media4,5
Setelah keluar dari kanalis karotikus, arteri karotis interna berjalan kearah rostral
bersebelahan dengan klivus dan dibawah duramater kesinus kavernosus, membentuk suatu
lengkung yang terbuka kearah posterior. Cabang-cabang ekstradural yang halus dari arteri karotis
interna memperdarahi dasar kavitas timpani, duramater klivus ganglion semilunare dan kelenjar
hipofisis. Cedera atau ruptur arteri karotis interna didalam sinus kavernosus menimbulkan sirkuit
pendek antara darah arteri dan darah vena didalam sirkuit (fistul karotis kavernosus). Jika
sembuh aneurisma intrakavernosus diarteri karotis interna ruptur maka akan terjadi eksoftalmus
tetapi tidak disertai subarachnoid karena aneurisma terletak di ekstradural. Penglihatan mata
ipsilateral akan terganggu karena obstruksi dan kongesti aliran darah vena. Ada 3 cabang utama
arteri karotis interna, yaitu : arteri serebri anterior, arteri serebri media dan arteri oftalmika.
Ateri oftalmika
Arteri karotis interna memasuki ruang subarakhnoid dimedial prosesus klinoedeus
anterior. Arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna dititik ini, dengan demikian sudah ada
di intaradural sejak pertama kali. Arteri ini masuk keorbita bersama dengan nervus optikus dan
tidak hanya menyuplai isi orbita, tetapi juga sinus sfenoidalis, selulae ethmoidalis, mukosa nasal,
dura mater fosa kranialis anterior, kulit dahi, pangkal hidung, dan kelopak mata. Cabang
kutaneus arteri opftalmika membentuk anastomosis dengan cabang arteri karotis eksterna yang
mendapat jalur sirkulasi kolateral penting disekitar stenosis atau oklusi arteri karotis eksterna
(kolateral oftalmika). Ruptur aneurisma atau cedera disekitar tempat arteri oftalmika
menyebabkan perdarahan subarakhnoid.
Arteri Basilaris
Berasal dari penggabungan antara arteri vertebralis kanan dan kiri di depan batang otak
setinggi pons bawah. Cabang utamanya adalah dua pasang arteri serebeli dan arteri serebri
posterior. Arteri basilaris juga membentuk banyak cabang arteri perforantes yang kecil ke
batang otak.
Insiden perdarahan subaraknoid akut diperkirakan 2-22 kasus per 100.000 orang per
tahun, dan 60% dari semua perdarahan subarachnoid akut muncul pada orang berusia 40 hingga
60 tahun. Perdarahan subaraknoid aneurisma adalah suatu kondisi dengan variasi insiden yang
cukup besar di seluruh dunia. Finlandia adalah negara dengan insiden tertinggi, dengan 22,5
pasien per 100.000 penduduk. Di sisi lain, Cina memiliki insiden 2/100.000. AS melaporkan
14,5pasien per 100.000 populasi. Namun, karena 15% -30% kematian terjadi sebelum masuk
rumah sakit, kejadian sebenarnya dari SAH aneurisma mungkin lebih tinggi. Di Brazil,
epidemiologi pasti dari SAH aneurisma tidak diketahui. 4,16 berdasarkan data stroke registry
Indonesia dalam rentang waktu 2012 hingga 2014 didapatkan angka kejadian perdarahan
subaraknoid yaitu 181 orang dari total 5411 pasien stroke atau sekitar 3,3% dari total pasien
stroke. Perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu sekitar 53,59% dan usia terbanyak
pada usia lebih dari 60 tahun.5 Sementara berdasakan penelitian yang dilakukan
Venketasubramanian dkk yang dilakukan pada tahun 2015 didapatkan perdarahan subaraknoid
sebesar 1,4% dari total kejadian stroke di Indonesia. Perkiraan angka kematian selama 30 hari
adalah 35%, dengan morbiditas yang tinggi di antara mereka yang selamat (sepertiganya
membutuhkan perawatan penuh, dan sepertiganya tidak dapat kembali bekerja). Dalam beberapa
decade terakhir, angka kematian telah menurun dengan kemajuan teknis di bidang kedokteran.
Sebuah meta-analisis dari tahun 2009 telah menunjukkan bahwa antara tahun 1973 dan 2002,
telah terjadi penurunan kematian pasien sebesar 17%.
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering aneurisma
sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii
(20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri
komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan defisit
neurologis dengan menekan struktur di sekitarnya bahkan sebelum ruptur. Misalnya, aneurisma
pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis
saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia).
2. Aneurisma fusiformis
3. Aneurisma mikotik
sAneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya terdiri dari
terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma
mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan
subarakhnoid.
Segera setelah dari ruptur aneurisma di subaraknoid, akan terjadi suatu iskemia serebri
global yang transien dan proses patologis lain yang disebut dengan injuri otak awal (EBI). Gejala
ini muncul dalam waktu 2 hingga 72 jam pertama sejak kejadian. Cedera setelah perdarahan
subaraknoid ini tidak hanya terjadi pada daerah ruptur pembuluh darah, namun juga dapat
meliputi area diatas dari area perdarahan. Kaskade sinyal kemudian dipicu setelah perdarahan
yang kemudian menginisiasi kerusakan sawar darah otak, respon inflamasi, kerusakan sel, dan
stress oksidatif. Setelah ruptur aneurisma, stimulus awal ialah peningkatan cepat dari tekanan
intrakranial yang mencapai hampir dari tekanan arterial (sekitar 120mmHg) dalam 1 hingga 2
menit, dan kemudian kembali lagi ke angka sedikit tinggi dari pada angka dasar. Peningkatan
tekanan intrakranial ini menurunkan tekanan perfusi serebri yang kemudian akan menurunkan
aliran darah otak sehingga terjadi gangguan autoregulasi serebrovaskular. Penurunan dari perfusi
serebri hingga mencapai nol sering kali ditimbulkan oleh perdarahan subaraknoid. Meskipun
perfusi serebral membaik, akan tetapi penurunan aliran darah otak akan tetap yang mana
mengindikasikan vasokonstriksi akut dalam 6 jam. Hal ini yang menyebabkan EBI akibat dari
iskemia serebri secara global dengan reperfusi yang gradual.
Vasokonstriksi awal diketahui merupakan faktor utama dari perubahan perfusi serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial. Meskipun penurunan perfusi serebri tidak selalu
berhubungan dengan prognosis buruk, akan tetapi penurunan aliran darah yang kurang dari 40%
dari nilai dasar dalam 1 jam pertama setelah perdarahan subaraknoid diprediksi menyebabkan
100% kematian. Oksigen dan aliran darah otak disediakan oleh respon kompensasi vaskular dari
autoregulasi otak secara metabolik, miogenik, dan neurologik. Perdarahan
subaraknoid menyebabkan gangguan autoregulasi serebral ini secara akut yang diawali dengan
ketidakcocokan hemodinamik antara neuron, pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan
aliran darah otak. Stres oksidatif memainkan peran penting dalam pembentukan EBI setelah
perdarahan subaraknoid melalui produksi radikal reactive oxygen species (ROS). ROS disintesis
setelah perdarahan subaraknoid terjadi, meliputi superoxide anion (O2-), hydroxyl radical (OH-),
hydrogen peroxide (H2O2), NO, dan peroxynitrate (ONOO-). Setelah perdarahan pada
subaraknoid ini, hipoksia dan penurunan kadar oksigen mulai untuk mengganggu fungsi
mitokondria dan autooksidasi dari pelepasan hemoglobin. Kemudian, peningkatan ROS juga
akan menyebabkan aktivitas dari sintesis oksidatif. Mitokondria yang terdapat pada sel rusak
akan memproduksi ROS yang berlebihan. ROS ini telah diketahui dapat merusak unit
neurovascular dengan memediasi kehancuran dari peroksidasi lipid, protein, dan DNA.
Selain itu, ROS juga akan meningkatan inflamasi, kerusakan BBB, dan pelepasan
vasokonstriktor. Dibawah kondisi fisiologis, respon kompensasi endogen antioksidatif akan
dimunculkan melalui faktor nuklear dan elemen respon antioksidan. Namun demikian,
antioksidan ini berkurang sejak 1 jam post perdarahan. Ketidakseimbangan ini yang kemudian
menjadi penyebab berkembangnya EBI. Sel utama yang berkontribusi dalam respon inflamasi
sistem saraf sentral ialah microglia dan astrosit. Sel microglia merupakan imunokompeten dan
memiliki sifat fagositik serta astrosit memiliki kemampuan untuk mensintesis dan mensekresi
faktor – faktor seperti sitokin dan kemokin setelah perdarahan dan memnyebabkan EBI. Faktor –
faktor mediator inflamatori lainnya ialah leukosit sitokin. (IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8, and TNF-α.
IL-1β, IL-6, dan ekspresi Jun N-terminal kinase (JNK)-mediated induction of MMP-9).
Selama beberapa dekade, vasospasme serebri telah diketahui sebagai konsekuensi utama
dan satu-satunya kontributor untuk Delayed Cerebral Ischemia (DCI) pada perdarahan
subaraknoid. Vasospasme serebri dideskripsikan sebagai suatu penurunan lumen pembuluh darah
secara luas dan reversible akibat dari konstriksi otot polos arteri setelah perdarahan subaraknoid.
Pada neuroimaging akan teridentifikasi dengan menggunakan angiografi serebral, transkranial
Doppler, CT-scan, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Vasospasme serebri ini terdeteksi
secara angiografi pada hamper 70% kasus dan terjadi secara klinis pada 30% pasien.
Vasospasme terjadi pada 72 jam pertama setelah perdarahan dan memuncak pada hari ke 6
hingga 8, serta berkurang pada hari ke 21. Tingkat keparahan dari vasospasme sangat penting
sebagai faktor risiko klinis untuk perburukan neurologis dan luaran yang buruk. Perubahan
vaskular selama vasospasme meliputi konstriksi dari pembuluh darah kecil yaitu disfungsi
endothelial dan neuroinflamasi intramural serta konstriksi dari otot polos dari vaskularisasi
serebral. Endothelin-1 (ET-1) berperan pada reseptor endothelin-A yang berlokasi di sel otot
polos pembuluh darah dan menyebabkan influks dari Ca2+ dan vasokonstriksi dengan
mengaktivasi beberapa kaskade termasuk protein kinase C. Pelepasan oksihemoglobin akibat
dari hemolisis menginduksi pelepasan ET-1, inhibisi eNOS, dan apoptosis neuronal melalui
stimulasi pembentukan ROS, peroksidase lipid, dan jalur MAPK. ET-1 diketahui tinggi pada
plasma dan cairan serebrospinal selama 8-14 hari setelah perdarahan. Sebuah studi menyebutkan
bahwa antagonis reseptor ET-1 dapay menurunkan vasospasme setelah perdarahan subaraknoid.
Namun studi CONSCIOUS-2 tidak menunjukan perbaikkan, mortalitas dan angka kejadian
vasospasme dengan menggunakan antagonis reseptor ET-1. Perubahan penting secara molekular
terjadi di sel endotel dan hal ini diawali dengan pelepasan oksihemoglobin dan bilirubin dalam
darah. Hemoglobin yang teroksidasi memiliki afinitas yang tinggi terhadao NO dan dapat
memprovokasi gangguan permeabilitas endotel serta meningkatkan kadar Ca2+ intrasel.
Sedangkan produk bilirubin yang teroksidasi dilepaskan oleh bilirubin yang teroksidasi dengan
H2O2, superoksida, dan radikal NO. Peningkatan kada Ca2+ intrasel setelah perdarahan terjadi
melalui kanan gerbang Ca. Oleh sebab itu, nimodipin yang merupakan penghambat kanal Ca2+
merupakan satu – satunya obat yang diakui oleh Food and Drug Administration yang dapat
digunakan untuk vasospamse serebral. Obat ini digunakan untuk menurunkan risiko bukur yang
dapat terjadi setelah perdarahan. Meskipun demikian, trigger yang terpenting dalam
mempengaruhi vasospasme ialah iskemia yang luas, ketebalan, lama waktu klot dan produk
degradasi eritrosit pada rongga subaraknoid.
Beberapa studi telah menunjukkan terdapat beberapa mekanisme yang ikut serta dalam
DCI disamping dari vasospasme serebral. Aktivasi jalur proapoptotik, gangguan sawar darah
otak, mikrotrombosis, gangguan mikrosirkulasi, dan depolarisasi luas kortikal yang mana
memiliki peran pada EBI kemudian juga berkontribusi secara signifikan dalam perkembangan
DCI. Dengan bukti ini, maka diketahui bahwa terdapat hubungan antara EBI dan DCI.
3.6 Manifestasi Klinis Perdarahan Subaraknoid
Gejala yang paling sering muncul adalah sakit kepala, yang biasanya digambarkan
sebagai sakit kepala terparah yang pernah dirasakan, tiba-tiba dan intensitasnya paling lama
dalam satu jam. Sekitar 10–40% pasien mengalami episode sentinel, yang merupakan sakit
kepala serupa yang mendahului pendarahan selama dua hingga delapan minggu. Kehadiran
episode sentinel meningkatkan kemungkinan kematian atau cacat empat kali lipat. Mual dan
muntah terjadi pada 77% kasus, kehilangan kesadaran pada 53%, meningismus pada 35%, defisit
fokal pada 10%, dan sindrom Terson (perdarahan vitreous yang berhubungan dengan SAH) pada
40% pasien. Pada pasien dengan gejala ini, ambang batas bagi seorang dokter gawat darurat
untuk memesan tomografi komputer otak (CT) non-kontras harus rendah. Jika dilakukan dalam
waktu enam jam setelah ictus, sensitivitasnya hampir 100%. Itu turun menjadi 93% setelah 24
jam dan menjadi kurang dari 60% setelah lima hari. SAH dapat menimbulkan berbagai defisit
neurologis fokal dengan mekanisme yang beragam yaitu :
a. Parese nervus kranialis akibat penekanan aneurisma (termasuk parese N III akibat kompresi
internal carotid-posterior communicating artery junction)
b. Defisit neurologis fokal akibat hasil dari kompresi lokal jaringan otak
h. Gangguan melirik ke atas yang mungkin disebabkan hidrosefalus atau penekanan pada bagian
proksimal dari akuaduktus Sylvii.
Herniasi uncal menyebabkan dilatasi pupil, parese nervus III, dan penerunan kesadaran
yang merupakan prognosis buruk. Kelumpuhan rektus lateralis (N.VI) dapat mengindikasikan
adanya peningkatan tekanan intrakranial, namun secara umum tidak terlokalisir. Pada
pemeriksaan retina didapatkan perdarahan subhialoid pada 13% pasien perdarahan subaraknoid
(sindrom Terson). Setelah diagnosis SAH, penting untuk mengklasifikasikan perdarahan
berdasarkan gambaran klinis dan radiologis. Klasifikasi ini penting untuk menentukan nilai
prognosis. Prediktor terkuat dari luaran adalah derajat keparahan kerusakan neurologis saat
admisi dan jumlah darah pada ruang subaraknoid. Yang paling banyak digunakan yaitu skala
Hunt and Hess serta WFNS seperti tercantum pada tabel 1 dan 2. Skala ini digunakan untuk
mendeteksi tingkat keparahan dari perdarahan subaraknoid. Skala ini juga dapat memprediksi
angkakeberhasilan hidup atau mortalitas.
Adapun algoritma untuk pasien nyeri kepala yang dicurigai mengalami perdarahan
subaraknoid tercantum sebagaimana bagan di bawah ini. Perlu dilakukan pemeriksaan radiologis
terutama CT-scan. Juga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan seperti CTA dan MRI. Lumbal pungsi
dapat dilakukan apabila hasil CT-scan meragukan.
Keterangan: HA, headache; SAH, subarachnoid hemorrhage; NCHCT, noncontrast head
computed tomagraphy; LP, lumbar puncture; CTA, computed tomography angiography; MRI,
magnetic resonance imaging
1. Computed Tomography
Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik awal yang harus dilakukan pada pasien yang
dicurigai perdarahan subaraknoid. CT scan juga dapat menyingkirkan kemungkinan proses
patologis lainnya seperti perdarahan intrakranial, keganasan, atau abses. Pada saat onset
perdarahan, darah subaraknoid paling terlihat pada CT, namun akan menjadi sulit saat terjadi
proses degradasi sel darah merah. Kemajuan pada neuroimaging meningkatkan sensitivitas CT
non kontras sehingga menimbulkan pertanyaan apakah masih perlu dilakukan pungsi lumbal
pada CT negatif. Sebuah metaanalisis yang dilakukan pada 2016 menunjukkan bahwa CT non
kontras yang dilakukan dalam 6 jam sejak onset sakit kepala memiliki sensitivitas sebesar 98,7%
dengan confidence intervals 97,1-99,4%.
2. Pungsi Lumbal
Jika hasil CT kepala tidak definitif (waktu, faktor pasien seperti anemia, ketebatasan
interpretasi seperti artefak) maka alat diagnostik yang direkomendasikan adalah pungsi lumbal.
Pada pungsi lumbal hal yang akan dicari yaitu adanya sel darah merah dan xanthocromia
(bilirubin pada CSS).
Sel darah merah yang utuh akan terlihat di awal perjalanan penyakit dan menurun saat sel
rusak dan diresorbsi kembali. Sesuai dengan patofisiologi, keberadaan sel darah merah di tabung
keempat CSF dianggap mewakili SAH. Sayangnya, pungsi lumbal seringkali merupakan
prosedur yang sulit secara teknis dan tingkat "traumatic tap", atau adanya eritrosit akibat trauma
local dan manipulasi jarum dapat mendekati 30%. Hal ini mempersulit diagnosis SAH dengan
hasil RBC. Karena membedakan antara SAH yang sebenarnya dan tap yang traumatis adalah
yang paling penting secara klinis, penulis telah meneliti kriteria untuk membantu membedakan
keduanya. Pasien dianggap mengalami SAH jika mereka memiliki salah satu dari berikut ini: CT
Kepala positif terdapat darah di ruang subarachnoid; xanthochromia pada LP; atau sel darah
merah 2.000 x 106 di tabung akhir CSS dengan aneurisma pada CT angiografi (CTA) yang
membutuhkan intervensi saraf atau mengakibatkan kematian.
• Xanthochromia
True xanthochromia adalah patognomonik untuk SAH. Hal ini berguna jika terdapat
kecurigaan klinis yang tinggi dan jumlah sel darah merah tidak cukup tinggi untuk membedakan
dari diagnosis tap traumatis. Xantokromia dideteksi baik dengan inspeksi visual tabung CSS vs
tabung air, atau dengan spektrofotometri. Sel darah merah yang telah terlepas ke CSS dari SAH
pada akhirnya akan memecah dan melepaskan oksihemoglobin, yang kemudian diubah menjadi
bilirubin in vivo, yang diartikan sebagai xanthochromia, atau secara harfiah "warna kuning".
Perlu dicatat bahwa darah dari tap traumatis dapat menghasilkan oksihemoglobin saat terkena
cahaya alami, yang dapat menghasilkan warna kuning, tetapi karena berada di luar tubuh maka
tidak akan menghasilkan bilirubin. Melindungi spesimen dari cahaya akan meminimalkan
konversi sel darah merah menjadi oksihemoglobin. Sebagai alternatif, spektrofotometri dapat
membedakan oksihemoglobin tap traumatis dari bilirubin SAH. Inspeksi visual, bagaimanapun,
masih digunakan di sebagian besar institusi.
Selama dekade terakhir, CTA otak telah menjadi bagian dari diskusi untuk
mengesampingkan SAH. Sebagai cara non-invasif untuk menyoroti anatomi vaskular dan
mendeteksi aneurisma, CTA memiliki banyak keuntungan. Sama seperti CT kepala non-kontras,
kemajuan dalam pencitraan saraf telah menunjukkan CTA memiliki sensitivitas hingga 98% dan
spesifisitas 100% untuk aneurisma pada pasien dengan SAH yang diketahui. Statistik ini berasal
dari kumpulan data kecil (n = 65) di mana hasil CTA dibandingkan dengan standar emas digital
subtraction angiography atau temuan bedah. Sensitivitas CTA adalah 92,3% untuk aneurisma
<4mm, dan berbeda dengan patologi di mana ukuran lesi berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit (yaitu, emboli paru), aneurisma otak kecil yang pecah masih dapat menyebabkan
morbiditas yang signifikan dan kematian.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menilai SAH, dengan
batasan tertentu. Tantangan dalam menggunakan MRI untuk SAH adalah darah yang
digabungkan dengan CSS yang memiliki konsentrasi oksigen tinggi, sehingga menunda transisi
produk darah ke keadaan deoksihemoglobin yang lebih baik dicitrakan dengan MRI. Karena
tidak ada data yang menunjukkan kerangka waktu yang berbeda untuk penggunaan MRI,
keputusan untuk menggunakan MRI untuk menilai darah harus digunakan dengan berkonsultasi
dengan radiologi dan neurologi atau bedah saraf. Kombinasi pemulihan inversi yang dilemahkan
cairan dan pencitraan berbobot kerentanan telah terbukti 100% sensitif untuk SAH, meskipun
kebanyakan kasus dicitrakan lebih dari 24 jam setelah iktus sakit kepala. Jika MRI negatif untuk
SAH, pungsi lumbal tetap direkomendasikan. MRI sensitif 95% untuk aneurisma> 3 mm.
Dengan semua keterbatasan ini, pencitraan MRI tidak direkomendasikan sebagai modalitas
pencitraan primer, tetapi mungkin berguna pada kasus atipikal tertentu, khususnya pada pasien
dengan penundaan yang lama dari iktus hingga presentasi.
Baku emas untuk mendeteksi aneurisma serebral sebagai sebab perdarahan pada
perdarahan subaraknoid akut basalis adalah digital subtraction angiography, yang dapat
memberikan visualisasi yang baik pada daerah dan konfigurasi aneurisma, ingoing and outgoing
vessels, dan hubungannya dengan vaskularisasi di sekitarnya. Informasi yang penting adalah
pemeriksaan ini digunakan sebagai dasar perencanaan tatalaksana untuk aneurisma. DSA
memiliki sedikit risiko terhadap rebleeding aneurisma yaitu sekitar 1-2% dan defisit neurologis
baru sekitar 1,8%. Sepanjang kondisi pasien tidak membahayakan jiwa, DSA merupakan pilihan
modalitas imaging dan tidak perlu digantikan CT angiography. Untuk memprediksi kejadian
vasospasme dapat digunakan Fisher Grading pada perdarahan subaraknoid dimana risiko
terjadinya vasospasme ini meningkat seiring dengan peningkatan grading fisher.
Komplikasi yang dapat terjadi pada perdarahan subaraknoid dapat terjadi secara akut,
subakut, dan kronik. Komplikasi yang timbul dapat berupa komplikasi neurologis maunpun non
neurologis.
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut yang dapat terjadi yaitu rebleeding, hidrosefalus akut, lesi iskemik akut.
Sementara itu dapat pula muncul komplikasi non neurologis seperti gangguan repolarisasi EKG,
distres miokardial, gangguan elektrolit, serta acute respiratory injury.
a. Rebleeding
Rebleeding merupakan komplikasi serius dan dapat terjadi pada tiga hari pertama setelah
perdarahan awal dengan estimasi risiko 7-22% pada tiga hari pertama. Pada 24 jam pertama atau
dikenal dengan ultra-early rebleeding memiliki insidensi 15% dengan tingkat mortalitas sebesar
70%. Hal ini sering dihubungkan dengan prognosis yang buruk dan skoring Fisher yang lebih
tinggi. Konsekuensi dari rebleeding cukup berat ditandai dengan tingkat mortalitas mencapai
60%. Adapun faktor risiko timbulnya rebleeding di antaranya adalah hipertensi (>160 mmHg),
nilai WFNS pada saat admisi, ukuran aneurisma yang lebih besar, adanya perdarahan
intraserebral, nilai mFisher yang tinggi, dan drainase cairan serebrospinal sebelum
koreksi aneurisma. Oklusi dari aneurisma yang ruptur pada 12-24 jam pertama dapat
mengurangi risiko perdarahan ulang. Sebuah studi ISAT yang dilakukan pada tahun 2002
menunjukkan coiling merupakan terapi yang efektif dibandingkan dengan operasi dengan
estimasi risiko 23,7% dibandingkan operasi 30,6%. Pemasangan external ventricular shunt
meningkatkan risiko ini. Rekomendasi dari AHA ASA terhadap rebleeding yaitu kontrol tekanan
darah dan tekanan perfusi serebral. Adapun tekanan darah dapat diturunkan hingga sistolik
mencapai <160 mmHg, serta direkomendasikan pemberian asam traneksamat atau asam
aminokaproid dalam 72 jam pertama jika tidak ada kontraindikasi untuk mengurangi risiko
terjadinya rebleeding.
c. Lesi iskemik akut
Edema serebral masif akut adalah komplikasi yang jarang terjadi, dengan patofisiologi
yang kurang dipahami, yang dapat menyebabkan cedera iskemik kortikal difus yang
menyebabkan kematian dalam beberapa jam setelah perdarahan subarachnoid. Secara klasik ini
semua mempengaruhi usia muda terlepas dari tingkat keparahan perdarahan awal dan melibatkan
edema serebral difus onset mendadak dengan fase akselerasi mendadak meningkatkan tekanan
intrakranial. Hal ini dapat ditunjukkan dengan memasukkan sensor tekanan intrakranial. MRI
serebral dengan diffusion-weighted images dapat membantu diagnosis pada pasien yang
mengalami kelainan kesadaran yang tiba-tiba. Pengobatannya adalah dengan kombinasi terapi
medis untuk edema dan bedah saraf dengan pemasangan pirau ventrikel eksternal, tetapi dalam
kebanyakan kasus ini tidak memperbaiki prognosis.
Gambar 14. Gambaran MRI pada pasien dengan Perdarahan Subaraknoid dengan grading Fisher 4 (A) karena ruptur Arteri
komunikans anterior pada rekonstruiksi MIP sagital (B) dan arteriografi serebral (C). Pada MRI cerebri ditunjukkan lesi
kortikosubkortikal dengan hiperintens b1000 (D) dan gambaran T2 (E). Tidak ada gambaran vasospasme (F), sugestif lesi
1. Herniasi subfalcine/cingulate
Herniasi ini diakibatkan oleh pendesakan unilateral baik itu dari lobus frontal, parietal,
maupun temporal yang menyebabkan efek massa dengan arah medial mendorong girus cingulate
ipsilateral turun ke bawah falx serebri. Pada hernia subfalcine, derajat midline shift berhubungan
dengan prognosis, dimana deviasi 5 mm memiliki prognosis yang lebih baik dan deviasi 15 mm
memiliki prognosis yang buruk. Herniasi ini dapat berakibat infark serebri sepanjang
territory A. Serebral anterior (ACA). Gejala untuk herniasi cingulate tidak dapat dijelaskan
secara jelas.
Herniasi ini dibagi menjadi dua tipe yaitu lateral (anterior dan posterior) dan
sentral.
a. Herniasi lateral
Herniasi lateral terjadi ketika lobus temporal bergeser ke bawah melalui insisura
tentorium. Herniasi lateral subtype anterior atau dikenal dengan herniasi uncal
merupakan herniasi yang terjadi ketika lesi supratentorial unilateral (biasanya fossa
medial) menyebabkan efek massa yang mendorong uncus melewati batas tentorium.
Pergeseran uncus menghasilkan tidak terlihatnya sisterna suprasellar. Selama terjadi
progresivitas herniasi, terjadi pelebaran sisterna perimesenfalik ipsilateral dengan
pergeseran dan rotasi batang otak. Pada herniasi selanjutnya terjadi kompresi midbrain
dan pedunculus serebral kontralateral. Traktus kortikospinal desendens dan kortikobulbar
dapat terkena di atas dekusasio mengakibatkan kelemahan motoric sesisi lesi yang
dikenal dengan nama Kernohan notch phenomenon (false localizing sign). Kompresi dari
PCA, nervus III, dan aquaduktus Sylvii mengakibatkan infark temporomedial
dan oksipital, dilatasi pupil, hemiparesis, dan hidrosefalus. Herniasi lateral subtipe
posterior merupakan herniasi pada lobus oksipital dan temporal medial yang terjadi lebih
posterior. Girus parahipokampal dibelakang uncus tergeser ke insisura tentorial bagian
posterolateral. Apabila terdaoat keterlibatan tectum setinggi level coliculus superior,
dapat terjadi sindrom Perinaud.
b. Herniasi sentral
Herniasi ini terjadi ketika efek massa berasal dari fossa posterior dengan arah ke atas
menggeser vermis cerebelli dan hemisfer melalui insisura tentorial. Biasanya terjadi ketika assa
yang berasal dekat insisura seperti vermis cerebelli. Kemungkinan lainnya yaitu perbaikan
mendadak hipertensi intracranial supratentorial. Akan terjadi pergeseran anterior pada midbrain
dan digantikan aquaduktus serebri. Konfigurasi konkaf pada sisterna quadrigeminal menjadi
datar atau konveks. Hidrosefalus dapat terjadi karena kompresi aquaduktus. Secara klinis, akan
tampak tanda kompresi serebelar dan batang otak, seperti dilatasi pupil bilateral.
4. Herniasi Tonsilar
Ini umumnya dikenal sebagai coning, ketika tonsil serebelar bergeser ke bawah melalui
foramen magnum. Herniasi tonsil memberikan tekanan pada batang otak bagian bawah dan
sumsum tulang belakang leher bagian atas terhadap foramen magnum yang sempit. Kompresi
batang otak menyebabkan penurunan kesadaran, paralisis flaksid, dan depresi pernapasan dan
jantung. Pada CT scan sagital, penurunan tonsil serebelum inferior,> 5 mm pada orang dewasa
dan> 7 mm pada anak-anak, dibawah foramen magnum dianggap signifikan. Sisterna di sekitar
batang otak juga bisa tidak terlihat.
5. Herniasi extracranial
Herniasi eksternal jarang dijumpai, dan umumnya karena defek post operasi/traumatika.
Defek kraniektomi yang besar memungkinkan otak mengembang tanpa adanya penyempitan.
Jika defeknya terlalu kecil, otak yang bengkak bisa mengalami herniasi dengan tampilan
“mushroom cap”. Hal ini dapat mengakibatkan kompresi vena kortikal dan menyebabkan infark
vena dan memar otak di tepi kraniektomi. Baik CT dan MRI efektif untuk menggambarkan
hernia ini.
Pada SAH, berbagai herniasi ini dapat terjadi tergantung pada mekanisme mana yang dialami
penderita. Penelitian yang dilakukan oleh Baraff dkk menunjukkan adanya herniasi tonsillar dan
subfalcine pada 4 penderita SAH dari keseluruhan 73 pasien yang dibuktikan dengan hasil CT
Scan.
1. Stabilisasi
Stabilisasi keadaan yang mengancam jiwa terutama pada pasien yang koma.
Penjagaan terhadap airway, fungsi kardiovaskular, dan tatalaksana kejang merupakan
langkah awal sebelum melakukan tindakan lainnya seperti tindakan diagnostik.
2. Pencegahan Rebleeding
Tujuan utama pengobatan adalah untuk mengeluarkan sacus aneurisma dari sirkulasi
intrakranial sambil mempertahankan arteri induk. Pada aneurisma yang tidak pecah, keputusan
untuk merawat atau mengamati malformasi dibuat berdasarkan kasus per kasus. Dalam hal ini,
sejarah alam harus dievaluasi dengan cermat. The International Study of Unruptured Intracranial
Aneurysm (ISUIA) telah menyarankan bahwa ukuran dan lokasi aneurisma adalah prediktor
independen untuk pecahnya aneurisma. ISUIA memeriksa 1692 pasien dengan aneurisma
serebral dengan rata-rata tindak lanjut selama 4,1 tahun. Tingkat ruptur berbeda tergantung pada
ukuran dan lokasinya, mulai dari 0% pada aneurisma kurang dari 7 mm yang terletak di arteri
karotis interna, sirkulasi anterior, atau arteri serebral tengah hingga 50% pada aneurisma yang
berukuran lebih dari 25 mm yang terletak di sirkulasi posterior.
Baru-baru ini, the Unruptured Cerebral Aneurysm Study (UCAS) memberikan hasil yang
mirip dengan ISUIA. Namun, terdapat laporam persentase yang lebih tinggi dari aneurisma kecil
di antara rangkaian kasus aneurisma intrakranial yang pecah. Hal ini menunjukkan perbedaan
antara data ISUIA dan UCAS dan ukuran ruptur aneurisma yang terlihat dalam praktik klinis
rutin. Oleh karena itu, kesimpulan yang dibuat tentang ukuran aneurisma dalam kaitannya
dengan tingkat ruptur masih dapat dipertanyakan.Untuk aneurisma serebral yang ruptur, telah
diketahui dengan baik bahwa eksklusi malformasi vaskular dari sirkulasi serebral harus
dilakukan secepat mungkin. Dalam skenario ini, teknik clipping dan endovaskular merupakan
modalitas pengobatan yang valid untuk mencapai tujuan tersebut. Tiga studi prospektif acak
utama telah membandingkan kedua teknik tersebut. Diantaranya, International Subarachnoid
Aneurysm Trial (ISAT) melaporkan peningkatan survival rate dengan coiling, yang secara
statistik signifikan bila dibandingkan dengan perawatan bedah pada 12 bulan tindak lanjut.
Walaupun tingkat oklusi lebih tinggi pada aneurisma yang dilakukan clipping (82%)
dibandingkan dengan coiling (66%), coiling menghasilkan penurunan yang signifikan pada
tingkat kematian atau ketergantungan dibandingkan dengan clipping.
Adapun rekomendasi AHA ASA terkait metode bedah dan endovaskular yaitu
a. Bedah clipping atau coiling pada ruptur aneurisma harus dilakukan sedini mungkin pada
sebagian besar pasien untuk mengurangi tingkat perdarahan ulang setelah SAH.
c. Penentuan pengobatan aneurisma, seperti yang dinilai oleh ahli bedah serebrovaskular dan
spesialis endovaskular harus bersifat multidisiplin.
d. Keputusan berdasarkan karakteristik pasien dan aneurisma. Untuk pasien dengan aneurisma
pecah yang dinilai secara teknis dapat dilakukan coiling endovaskular harus dipertimbangkan.
e. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien yang menjalani coiling atau clipping aneurisma yang
pecah seharusnya menunda pencitraan vaskular lanjutan (waktu dan modalitas individu) dan
harus dipertimbangkan dengan kuat terapi ulang, baik dengan cara mengulangi coiling maupun
microsurgical clipping, jika masih ada sisa klinis yang signifikan.
c. Hipervolemia profilaksis atau angioplasti balon sebelum terjadinya spasme angiografi tidak
dianjurkan
f. Induksi hipertensi direkomendasikan untuk pasien dengan iskemia serebral tertunda, kecuali
tekanan darah meningkat pada awal atau adanya status jantung yang menghalangi. Terapi
vasodilator serebral dan/atau terapi vasodilator intra-arterial selektif dapat digunakan pada pasien
dengan vasospasme serebral simptomatik, terutama yang tidak respons terhadap terapi hipertensi.
g. Angioplasti serebral dan/atau terapi vasodilator intra-arterial selektif cukup beralasan pada
pasien dengan vasospasme serebral simtomatik, khususnya pada yang tidak berespon dengn
terapi hipertensi
5. Manajemen Hidrosefalus
b. Hidrosefalus simtomatik kronik terkait SAH seharusnya dikelola dengan pengalihan LCS
permanen
c. Penghentian drainase ventrikel eksternal selama >24 jam tidak efektif dalam mengurangi
kebutuhan shunting ventrikel
d. Fenestrasi rutin lamina terminalis tidak berguna untuk mengurangi kecepatan hidrosefalus
yang tergantung pada shunt. Oleh kerena itu sebaiknya tidak dilakukan secara rutin.
6. Manajemen Kejang
Kejang dapat terjadi dengan insidensi 4-26% pada pasien rupture aneurisma. AHA ASA
tahun 2012 merekomendasikan penatalaksanaan kejang sebagai berikut:
a. Pemberian cairan hipotonik volume besar dan retriksi volume intravaskular tidak
dianjurkan setelah SAH
b. Monitor status volume pada pasien SAH tertentu dengan beberapa kombinasi central
venous pressure, pulmonary wedge pressure, dan keseimbangan cairan, seperti terapi
kontraksi volume dengan cairan kristaloid atau koloid
c. Kontrol demam secara agresif dengan target normotermia menggunakan sistem modulasi
suhu standar atau lanjutan pada fase akut SAH
e. Penggunaan transfusi PRC untuk mengatasi anemia pada pasien SAH berisiko terkena
iskemia serebral. Target hemoglobin yang optimal masih harus ditentukan
f. Penggunaan larutan garam fludrokortison asetat dan hipertonik untuk mencegah dan
memperbaiki hiponatremia
g. Trombositopenia yang disebabkan oleh heparin dan trombosis vena dalam ialah
komplikasi yang relatif sering setelah SAH. Identifikasi awal dan pengobatan yang
ditargetkan direkomendasikan, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengidentifikasikan paradigma skrining yang