Anda di halaman 1dari 30

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Trauma intrakranial transorbita (transorbital intracranial injury) merupakan
trauma penetrasi pada mata yang mengenai struktur kranium (otak). Gangguan pada
otak sebagai sistem saraf pusat terjadi berhubungan dengan susunan anatomi tulang
orbita yang memungkinkan benda penyebab trauma dapat menembus jaringan
otak.3,11

3.2 Anatomi 4,5


Anatomi mata
Anatomi mata terdiri dari : Organ okuli assesoria yaitu: kavum orbita,
supersilium, palpebra, aparatus lacrimalis, muskulus okuli, konjungtiva dan okulus
terdiri dari: tunika okuli, tunika vaskulosa okuli dan tunika nervosa.

Gambar 1 Anatomi rongga bola mata

Kavum orbita adalah rongga berbentuk piramid dengan basis di depan dan
apeks di belakang. Berisi jaringan lemak, otot, fascia, saraf, pembuluh darah, &
aparatus lakrimalis. Dindingnya dibentuk oleh tulang : os frontalis, os zigomatikum,

16
os sfenoidal, os ethmoidal, os palatum, os lakrimal. Terdapat beberapa celah yang
menghubungkannya dengan rongga otak, rongga hidung, rongga ethmoidal, dll

Meningen
Meningen adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat.
Meningen tersusun atas unsur kolagen dan fibril yang elastis serta cairan
serebrospinal. Meningen terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu duramater, arachnoid dan
piameter. Duramater juga disebut sebagai pachymeninges (membran keras),
sedangkan arachnoid mater dan pia disebut sebagai leptomeninges(Membran halus).5

Gambar 2 : Lapisan meningen

1) Duramater
Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen fibrosa karena
tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada dura mater dapat diamati adanya
serabut elastis, fibrosit, saraf, pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam dura mater
terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid.4,5

2) Arakhnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen.
Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan
dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut
dengan pia mater. Ruangan di antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang

17
berisi cairan serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada
beberapa daerah, arachnoid melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan
yang membentuk trabekula di dalam sinus venous dura mater. Bagian ini dikenal
dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke
darah sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan.
Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan piameter
terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi
benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai
leptomeninges.3
3) Piamater
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini melekat
pada otak. Pia mater mengandung sedikit serabut kolagen dan membungkus seluruh
permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar yang menembus otak.

Suplai pembuluh darah otak4,5

Gambar 3. Anatomi pembuluh darah otak

Suplai darah serebral berasal dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis.
Arteri karotis interna pada kedua sisi yang menaghantarkan darah keotak melalui

18
percabangan utamanya, arteri serebri media, arteri serebri anterior dan arteri
khoroidalis anterior (sirkulasi anterior). Kedua arteri vertebralis bergabung digaris
tengah pada batas kaudal pons untuk membentuk arteri basilaris, yang menghantarkan
darah ke otak dan serebelum, serta sebagian hemisfer serebri melalui cabang terminal,
arteri serebri posterior (sirkulasi posterior). Sirkulasi anterior dan posterior
berhubungan satu dengan lainnya melalui sirkulus arteriosus willisi. Terdapat pula
banyak anastomosis lain diantara arteri-arteri yang mendarahi otak dan antara
sirkulasi intrakranial dan ekstrakranial.
Struktur di fossa kranii anterior dan fossa kranii media terutama disuplai oleh
arteri karotis interna yang disebut sebagai sirkulasi anterior. Sedangkan struktur
difosa kranii posterior diperdarahi oleh arteri vertebralis yang disebut sirkulasi
posterior

19
Gambar 4. Suplai pembuluh darah mata

Arteri fosa kranialis Anterior dan Media4,5

Arteri Karotis Interna (ICA)

Setelah keluar dari kanalis karotikus, arteri karotis interna berjalan kearah
rostral bersebelahan dengan klivus dan dibawah duramater kesinus kavernosus,
membentuk suatu lengkung yang terbuka kearah posterior. Cabang-cabang
ekstradural yang halus dari arteri karotis interna memperdarahi dasar kavitas timpani,
duramater klivus ganglion semilunare dan kelenjar hipofisis. Cedera atau ruptur arteri
karotis interna didalam sinus kavernosus menimbulkan sirkuit pendek antara darah
arteri dan darah vena didalam sirkuit (fistul karotis kavernosus). Jika sembuh
aneurisma intrakavernosus diarteri karotis interna ruptur maka akan terjadi
eksoftalmus tetapi tidak disertai subarachnoid karena aneurisma terletak di
ekstradural. Penglihatan mata ipsilateral akan terganggu karena obstruksi dan
kongesti aliran darah vena. Ada 3 cabang utama arteri karotis interna, yaitu : arteri
serebri anterior, arteri serebri media dan arteri oftalmika.

20
Ateri oftalmika
Arteri karotis interna memasuki ruang subarakhnoid dimedial prosesus
klinoedeus anterior. Arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna dititik ini,
dengan demikian sudah ada di intaradural sejak pertama kali. Arteri ini masuk
keorbita bersama dengan nervus optikus dan tidak hanya menyuplai isi orbita, tetapi
juga sinus sfenoidalis, selulae ethmoidalis, mukosa nasal, dura mater fosa kranialis
anterior, kulit dahi, pangkal hidung, dan kelopak mata. Cabang kutaneus arteri
opftalmika membentuk anastomosis dengan cabang arteri karotis eksterna yang
mendapat jalur sirkulasi kolateral penting disekitar stenosis atau oklusi arteri karotis
eksterna (kolateral oftalmika). Ruptur aneurisma atau cedera disekitar tempat arteri
oftalmika menyebabkan perdarahan subarakhnoid.

Arteri Serebri Media (MCA)


Arteri serebri media cabang terbesar arteri karotis interna. Setelah keluar dari
Arteri karotis interna diatas processus klinoideus anterior, pembuluh darah ini
berjalan dilateral fisura silvii ( sulkus lateralis ). Trunkus utama arteri serebri media
membentuk banyak cabang perforantes ke ganglia basalis, ke crus anterior, dan genu
kapsula internae, serta kapsula eksterna dan klaustrum.
Cabang arteri serebri media adalah arteri orbito fontalis, arteri prerolandika,
arteri rolandika, arteri parietalis anterior, arteri parietalis posterior, arteri giri
angularis, arteri temporooksipitalis temporalis posterior, serta arteri temporalis
anterior. Arteri serebri media terbagi menjadi cabang-cabang kortikal utama didalam
sisterna insularis. Cabang-cabang ini memperdarahi area lobus parietalis, frontalis,
dan temporalis yang luas.

Arteri Serebri Anterior (ACA)


Arteri serebri anterior berasal dari bifurkatio arteri karotis interna dan
kemudian berjalan kearah medial dan rostral. Arteri serebri anterior kedua sisi
terletak berdekatan antara satu dengan lainnya, pada garis tengah didepan lamina
terminalis, dari lokasi ini kedua arteri berjalan secara paralel keatas dan keposterior.
Tempat ini juga merupakan tempat hubungan anastomosis antara kedua arteri serebri

21
anterior melalui arteri komunikans anterior, komponen penting lainnya dari sirkulus
willisi. Arteri komunikans anterior dan segmen arteri serebri anterior yang berdekatan
merupakan lokasi terbentuknya aneurisma yang sering disebut Aneurisma Acomm.
Segmen proksimal arteri serebri anterior membentuk banyak cabang
perforantes kecil yang memperdarahi regio paraseptalis, bagian rostral ganglia
basalis dan diensefalon serta krus anterior kapsula interna. Arteri rekurens heubner
merupakan cabang besar segmen proksimal arteri serebri anterior yang mendarahi
ganglia basalis, arteri ini kadang-kadang terlihat pada angiogram. Arteri serebri
anterior membentuk cabang ke korpus kolosum, permukaan medial hemisfer serebri
dan regio parasagitalis. Area otak yang mendapat suplai darah dari arteri serebri
anterior adalah area kortek motorik, sensorik primer yang luas dan girus cinguli.
Arteri serebri anterior membuat hubungan anastomosis dengan arteri serebri media
dan arteri serebri posterior.

Gambar 5. Suplai pembuluh darah otak. a potongan coronal. b Potongan horizontal

22
Arteri Fosa posterior
Arteri vertebralis
Tepat setelah memasuki duramater, arteri vertebralis bercabang kemedula
spinalis servikalis. Anatomi vaskuler pada area ini bervariasi tetapi arteri spinalis
anterior hampir selalu berasal dari bagian intradural arteri vertebralis.

Arteri inferior posterior serebri (PICA)


merupakan cabang terbesar arteri vertebralis dan berasal dari bagian
intraduralnya, tepat sebelum arteri vertebralis bergabung dengan sisi kontralateral
untuk membentuk arteri basilaris. PICA menyuplai bagian basal hemisfer serebeli,
bagian bawah vermis, sebagai nuklei serebeli, dan pleksus khoroideus ventrikel
keempat serta bagian dorsolateralis medula.

Arteri Basilaris
Berasal dari penggabungan antara arteri vertebralis kanan dan kiri di depan
batang otak setinggi pons bawah. Cabang utamanya adalah dua pasang arteri serebeli
dan arteri serebri posterior. Arteri basilaris juga membentuk banyak cabang arteri
perforantes yang kecil ke batang otak.

Arteri inferior anterior serebeli (AICA)


Merupakan cabang mayor utama pertama arteri basilaris yang menyuplai
flokulus serebeli dan bagian anterior hemisfer serebeli. Ukuran teritori bagian
hemisfer serebeli berbanding terbalik dangan teritori PICA ipsilateral. Pada beberapa
individu bagian hemisfer serebeli yang biasanya disuplai oleh PICA justru disuplai
oleh AICA. AICA juga membentuk cabang arteri labirinti ke telinga dalam.

Arteri superior serebeli ( SCA )


Cabang arteri basilaris ini memperdarahi bagian rostral hemisfer cerebeli dan
bagian atas vermis cerebeli, ketika membelok kearah mesensefalon arteri ini
membentuk cabang – cabang ke tegmentum.

23
Gambar 6. Cabang arteri basilaris

Gambar 7. Teritori arteri serebeli dan arteri batang otak pada potongan sagital garis
tengah

24
Arteri serebri posterior (PCA)
Merupakan salah satu cabang utama arteri basilaris yang berasal dari
bifurcatio basilaris dan kemudian membelok kearah mesensefalon dan masuk
kesisterna ambiens yang memiliki hubungan spatial dengan tentorium. Didalam
sisterna ambiens arteri serebri posterior bercabang menjadi cabang-cabang kortikal
utamanya, termasuk arteri kalkarina, arteri oksipitotemporalis dan rami temporalis.

3.3 Etiologi 11,12


Trauma intrakranial transorbita terjadi melalui mekanisme trauma penetrasi
pada mata. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kejadian trauma penetrasi pada
mata antara lain:
 Pekerja industri yaitu terbanyak pada industri logam
 Pekerja pertanian misalnya karena tusukan duri ranting atau dirunduk oleh hewan
seperti sapi seperti yang terjadi di India
 Peralatan rumah tangga seperti pisau, gunting, jarum
 Kelalaian yang mengakibatkan cedera akibat benda tajam seperti pisau, pecahan
kaca
 Bencana perang
 Penggunaan senjata api

3.4 Epidemiologi
Pada anak-anak terjadi akibat kecelakaan yang tidak disengaja dan mengenai
satu mata. Pada dewasa, trauma intrakranial transorbita dapat terjadi akibat
kecelakaan kerja dengan kejadian lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan.
Prevalensi trauma dengan mekanisme ini terjadi pada 24% kasus trauma penetrasi
kepala pada dewasa dan 45% pada anak-anak.2,3

25
Tabel Laporan Kasus Trauma Intrakranial Transorbita2,3

26
3.5 Patofisiologi
Orbita merupakan pathway atau jalur trauma dengan resistensi yang rendah.
Struktur orbita berupa piramidal, dengan dasar segiempat dibentuk oleh orbital rim,
dengan sisi segitiga yang dibentuk oleh dinding orbita dan sebuah apeks yang
berujung pada fisura orbita superior dan fisura orbita inferior, serta kanalis optikus.
Oleh karena struktur piramid dan sklera yang kuat serta mobilitas relatif, bola mata
jarang terlibat pada trauma penetrasi. 2,3.

27
Keutuhan struktur anatomi mata dapat terganggu karena adanya paparan
benda seperti jarum, stik, pensil, pisau, mata panah, pulpen, kaca maupun benda
tajam lainnya yang menyebabkan perlukaan pada mata atau bisa juga karena peluru
berkecepatan tinggi atau potongan logam. Beratnya trauma bergantung pada ukuran
objek, kecepatan menembus dan kandungan yang terdapat didalamnya. Benda yang
tajam seperti pisau akan mengakibatkan laserasi sempurna pada mata. Sementara
benda yang melayang ditentukan oleh energi kinetik dalam hal menyebabkan berat
ringannya trauma yang dialami penderita.2,3
Trauma transorbita terjadi dengan mekanisme kecepatan rendah dan akibat
objek kecil yang mampu mencapai jaringan otak. Benda penyebab trauma yang
pernah dilaporkan antara lain: pensil, jarum yang digunakan untuk merajut, peluru,
ujung runcing payung dan sebagainya. Oleh karena mekanisme ini, trauma seringkali
dianggap terjadi hanya lokal. Trauma akibat benda dengan kecepatan tinggi seperti
peluru dapat menimbulkan fraktur pada tulang. Trauma dengan arah vertikal dapat
mencapai atap orbita dan menyebabkan gangguan pada lobus frontal otak. Sedangkan
trauma dengan arah horizontal menyebabkan fraktur pada etmoid atau dinding
superior orbita. Sedangkan trauma pada dinding lateral orbita dapat melewati garis
tengah dan mengenai struktur kontralateral.11
Tiga daerah anatomi mata yang paling sering menyebabkan trauma penetrasi
ialah atap orbita, fisura orbita superior, dan kanalis optikus. Namun, jalur utama yang
paling sering menyebabkan trauma terutama pada atap orbita. Hal ini terjadi karena
bagian superior orbita dari tulang frontal lebih rapuh, dan saat trauma berlangsung,
biasanya terjadi ekstensi kepala ke belakang, sehingga mengenai atap orbita. Jalur
kedua yang paling banyak ialah melalui fisura orbita superior. Benda penyebab
trauma dapat langsung menembus bagian tulang menuju fisura orbita superior dengan
kecepatan rendah. Selain itu, trauma dapat terjadi melalui bagian tengan atau melalui
bola mata 11
Penetrasi melalui fisura orbita superior paling banyak menyebabkan lesi di
sekitar sinus cavernosus yang bermanifestasi pada thrombosis sinus kavernosus,
terbentuknya fistula carotis-kavernosus.10,11

28
Cedera vaskular berkebalikan dengan mekanisme terjadinya komplikasi lain.
Pada umumnya, cedera vaskular terjadi akibat trauma dengan kecepatan tinggi seperti
yang disebabkan oleh peluru. Trauma ini dapat menembus pembuluh darah. Hal ini
juga didukung bahwa secara anatomi, arteri otak memiliki lapisan tunika adventitia
yang tipis tanpa lamina interna.10
Berdasarkan anatominya, terdapat beberapa zona mekanisme trauma penetrasi
pada mata yang dapat menyebabkan komplikasi intrakranial. Zona pertama ialah
melalui kelopak mata atas, lateral, tengah, dan konjungtiva bagian superior. Zona
kedua melalui kelopak mata bawah bagian lateral atau tengah. Zona ketiga ialah pada
semua kasus trauma mata melalui bagian kantus medial. Zona terakhir, yaitu zona
keempat merupakan gabungan zona pertama dan kedua. Kebanyakan kasus yang
dilaporkan ialah trauma pada mata melalui zona pertama (83,3%)11,12

Gambar 6. Skematik zona trauma

3.6 Komplikasi
Komplikasi yang pernah dilaporkan dari literatur review antara lain:
a. Laserasi serebral
b. Hematoma

29
c. Abses serebral
d. Meningitis dan ensefalitis
e. Traumatik pseudoaneurisme
f. Leakage cairan serebrospinal
g. Subarachnoid haemorrhage ( SAH) dan Intracerebral haemorrhage (ICH)
h. Kematian

3.7 Subarachnoid haemorrhage (SAH) dan Intracerebral haemorrhage (ICH)


SAH atau Perdarahan Subarakhnoid adalah ektravasasi darah menuju ruang
subarakhnoid, diantara membran arakhnoid dan pial. Perdarahan dapat terdistribusi di
sistem ventrikel, sisterna, dan fisura. Istilah Perdarahan subarakhnoid dapat
digunakan untuk kasus traumatik atau non traumatik. Perdarahan subarakhnoid
merupakan kasus kegawatan neurologi yang ditandai dengan perdarahan yang terjadi
di rongga subarakhnoid. Penyebab perdarahan subarakhnoid adalah 80 % pecahnya
aneurisma intracranial dan memiliki insiden komplikasi dan kematian yang tinggi.
Perdarahan subarakhnoid non aneurysmal, termasuk isolated perimesencephalic dan
perdarahan subarakhnoid akibat trauma, terjadi pada sekitar 20 % kasus dan
membawa prognosis yang baik dengan komplikasi neurologis yang jarang terjadi.1,2,3
Ada dua mekanisme terjadinya ICH dan SAH karena trauma yang pertama
disebabkan akibat traumanya sendiri atau traumatika yang diakibatkan ruptur
pembuluh darah kecil di serebri atau di ruang subarakhnoid. Yang kedua SAH
aneurismal (aneurisma yang telah ada sebelumnya terjadi ruptur setelah trauma
kepala). SAH yang terjadi karena trauma harus di bedakan apakah hal ini akibat
aneurisma yang telah ada sebelumnya atau bukan. Selain anamnesis keadaan tersebut
dapat kita bedakan berdasarkan hasil imaging. Dimana pada aneurismal SAH darah
lebih banyak terdapat pada cisterna basal, sedangkan perdarahan SAH traumatika
yang terjadi lebih sering terdapat pada sulkus perifer dan fisura interhemisfer.2,3,6

Komplikasi dari SAH traumatika adalah :


1. Vasospasme.

30
Mekanisme bagaimana SAH dapat menyebabkan vasospasme arteri masih
dalam penelitian dan menjadi bahan perdebatan. Vasospasme arteri paling
mungkin melibatkan beberapa perubahan pada struktur dinding pembuluh
darah. Penelitian menunjukkan bahwa vasospasme arterial terutama merupakan
akibat kontraksi otot polos yang berkepanjangan. Hipertrofi, fibrosis dan
degenerasi serta perubahan inflamatorik lain pada dinding pembuluh
merupakan efek sekunder yang berlangsung kemudian. Penelitian yang
ekstensif menunjukkan bahwa kejadian utama yang menimbulkan inisiasi
vasospasme adalah pelepasan oksihemoglobin (OxyHb) yang merupakan
produk dari perombakan darah. Namun, mekanisme pasti bagaimana OxyHb
memicu vasokonstriksi masih belum diketahui.3,10,14,15
2. Hidrosefalus.
Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan resorpsi LCS karena oklusi vili
arakhnoid oleh perdarahan dan metabolit darah (hidrosefalus komunikans).
Penyebab lain yang lebih jarang adalah sumbatan di ventrikel III atau IV yang
menimbulkan hidrosefalus obstruktif. Gejala-gejala dan tanda klinis yang
mengarahkan pada dugaan hidrosefalus antara lain adalah mual, muntah,
nyeri kepala, papiledema, demensia, ataksia dan inkontinensia. Diagnosis
hidrosefalus ditegakkan jika secara klinis ditemukan gejala dan tanda yang
sesuai serta hasil pencitraan (MRI, CT atau sisternografi) yang menunjukkan
hidrosefalus. Hidrosefalus karena SAH traumatik lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan pada SAH pada aneurisma, karena darah yang
terakumulasi lebih sedikit. Jika hidrosefalus yang ditimbulkan cukup parah,
mungkin dibutuhkan drainase ventrikel melalui ventrikulostomi darurat,
sebelum dilakukan pemasangan VP shunt.12,15
3. Kejang.
SAH traumatik berkaitan erat dengan kontak langsung antara darah dengan
jaringan korteks. Hemolisis darah pada ruang subarakhnoid akan menghasilkan
deposisi ion Fe yang mengaktifkan kaskade asam arakhidonat dan osilasi
kalsium dalam sel-sel glia yang selanjutnya menyebabkan kematian neuron

31
yang berakhir dengan terbentuknya gliosis (parut glia) yang menjadi pusat
aktivitas epileptiform. Khusus untuk pasien SAH traumatik pemberian
antikejang sebagai profilaksis tidak dianjurkan.8,9,10,11

3.8 Diagnosis
a. Anamnesa6,7
Diagnosis cedera intrakranial akibat trauma transorbita dapat mudah
ditegakkan dengan adanya riwayat trauma pada mata. Akan tetapi misdiagnosis dapat
terjadi ketika hanya terdapat laserasi kecil pada jaringan lunak mata tanpa kelainan
klinis. Laserasi pada kelopak mata pada beberapa kasus seringkali dijahit tanpa
investigasi lebih lanjut. Hal ini menyebabkan terlambatnya diagnosis sehingga telah
terjadi komplikasi yang berat. Oleh karena itu, kecurigaan adanya trauma penetrasi
intrakranial transorbita harus selalu dipikirkan pada kasus trauma penetrasi pada
mata. Pada beberapa kasus, gejala neurologis dapat saja tidak muncul segera dengan
kelainan pada struktur mata yang minimal.
b. Pemeriksaan Klinis6,7,8
Akibat iritasi meningen oleh darah, maka pasien menunjukkan gejala nyeri
kepala yang sangat berat disertai fotofobia, mual, muntah. Kesadaran dapat terganggu
segera atau dalam beberapa jam pertama.
Temuan pada pemeriksaan fisik bisa jadi normal, atau dapat menemukan
beberapa hal berikut:
a. Tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda kernig)
b. Pada SAH yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan
gangguan kesadaran
c. Tanda-tanda oftalmologis. Perdarahan retina subhyaloid (perdarahan bulat
kecil, mungkin terlihat miniskus, dekat dengan pangkal nervus optikus),
perdarahan retina lainnya. Bila terjadi peningkatan TIK dapat ditemukan papil
edema.
d. Tanda – tanda vital

32
 Sekitar setengah pasien memiliki peningkatan tekanan darah (TD)
ringan sampai sedang.
 TD menjadi labil seiring meningkatnya TIK.
 Demam tidak biasa pada awalnya namun umum setelah hari keempat
dari gangguan darah didalam ruang subarachnoid.
 Takikardi mungkin muncul selama beberapa hari setelah kejadian
perdarahan.

c. Pemeriksaan Penunjang8,9,11,12
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Apabila diduga sebagai suatu trauma tembus pada mata maka dapat
dilakukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang tersebut antara lain dengan plain radiography, USG dan CT
scan yang dapat memberikan informasi yang adekuat apabila ada benda asing yang
tertinggal di dalam mata. Pemeriksaan MRI segera direkomendasikan apabila
terdapat kecurigaan yang tinggi trauma penetrasi.

Gambar 7. CT Scan Kepala 3D


(Penetrasi benda asing yang tertinggal pada atap orbita media )

33
Gambar 8. CT Scan Kepala
Benda asing penyebab trauma, massa hipodens

Gambar 9. MRI trauma penetrasi melalui lobus temporal anteromedia

34
Lumbal Punksi dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosa SAH. Punksi lumbal diindikasikan jika pasien memiliki
kemungkinan perdahan subarachnoid dan temuan CT-scan negatif. Punksi lumbal
bisa jadi negatif jika dilakukan kurang dari 2 jam setelah perdarahan, punksi
lumbal paling sensitif pada 12 jam setelah onset gejala. Sel darah merah pada
cairan serebrospinal meningkat secara konsisten dalam 2 contoh tabung pada
perdarahan subarachmoid, dimana jumlah sel darah merah pada trauma punksi
secara teknis menurun seiring berjalannya waktu. Xanthochromia (supernatan
cairan serebrospinal kuning-merah muda) biasanya terlihat 12 jam setelah onset
perdarahan, idealnya diukur secara spektrografis walaupun banyak laboratorium
bersandar pada inspeksi visual.8,11,12
Transcranial Dopler Ultrasonografi (TCD) merupakan metode non
invasive untuk menilai kecepatan CBF, yang berguna menilai komplikasi yang
mungkin terjadi seperti vasospasme, peningkatan drastis ICP, penurunan CPP,
diseksio karotis, cerebral circulatory arrest. Sensitivitas TCD untuk mengukur
ICP dan CP sebesar 75-88%, dengan spesifisitas 98 %.9

3.9 Tata Laksana


1) Tatalaksana umum 8,11,12,13
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang
gawat darurat
 Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30˚ dan nyaman, bila
perlu berikan O2 2-3 L/menit atau sesuai indikasi.
 Cegah hipotensi MAP harus dipertahankan ≥ 80 mmHg. Jika resusitasi
tidak memenuhi target MAP dapat diberikan vasopresor norepineprin.
Dopamin tidak direkomendasikan karena mempunyai efek vasodilatasi dan
dapat meningkatkan ICP. Cegah hipertensi dengan tekanan diastole > 80
mmHg atau MAP >130 mmHg
 Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat
sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul.

35
 Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif.
 Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu
dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila
didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial.
 Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penilaian status neurologi.
2) Tatalaksana khusus7,8,9,12
 Pada ICH dapat menyebabkan peningkatan TIK. Terapi manitol 20 %
dapat diberikan jika tidak ada kontraindikasi (dosis awal 1gr/kgBB dalam
30 menit sampai 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5 gr/kgBB setelah 6 jam
pemberian pertama7
 Tatalaksana khusus pada SAH dapat diberikan nimodipin. Nimodipin
merupakan penghambat kanal kalsium kelompok dihidropiridin.
Mekanisme kerjanya terutama dikaitkan dengan penghambatan influks
kalsium melalui kanal kalsium tipe L terutama pada otot polos arteriol
serebral, karena kemampuannya menembus sawar darah otak. Penelitian in
vitro dan pada hewan coba menunjukkan nimodipin menurunkan spasme
(kontraksi otot polos vaskular) dan proliferasi sel otot polos vaskular.8,12
 Penatalaksanaan tripel H (hipervolemi, hipertensi dan hemodilusi) yang
menjadi acuan utama penatalaksanaan SAH karena aneurisma tidak
terbukti efektif untuk SAH traumatik, dan dapat menimbulkan komplikasi
pada pasien trauma yang seringkali mengalami peningkatan tekanan
intrakranial. Yang perlu diupayakan adalah mencegah euvolemia untuk
menjaga perfusi jaringan otak.8, 12
 Penanganan hidrosefalus karena SAH traumatik dilakukan pemasangan VP
shunt. Hidrsefalus karena SH traumatika lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan pada SAH pada aneurisma, karena darah yang terakumulasi lebih
sedikit. Jika hidrosefalus yang ditimbulkan cukup parah, mungkin
dibutuhkan drainase ventrikel melalui ventrikulostomi darurat, sebelum
dilakukan pemasangan VP shunt.9, 12

36
 Tindakan operasi pada ICH traumatika dapat dilakukan dengan indikasi :
Penurunan kesadaran progresif, Hipertensi, bradikardi, tanda-tanda
gangguan nafas (cushing reflex) dan perburukan defisit neurologis. Dengan
mempertimbangkan faktor usia, lokasi letak perdarahan, dan volume
perdarahan.7

3.10 Prognosa8,12,13
Mortalitas dan morbiditas pada trauma ini terjadi akibat komplikasi pada
mata maupun jaringan otak. Komplikasi vaskular yang terjadi akibat trauma
intrakranial transorbita terdiri dari terjadinya aneurisma, oklusi, perdarahan
subarakhnoid, perdarahan intrakranial, vasospasme, dan terbentuknya fistula. Akan
tetapi insidensi komplikasi vaskular tidak diketahui dengan jelas akibat tingginya
mortalitas sebelum pasien mendapatkan pertolongan medis. Penelitian sebelumnya
yang berfokus pada komplikasi terjadinya aneurisma menyebutkan insidensi pada
pasien yang berhasil diselamatkan yaitu 3 hingga 42%.
Pada banyak studi mengenai perdarahan subarakhnoid ini dipakai sistem
skoring untuk menentukan berat tidaknya keadaan SAHt ini dan dihubungkan dengan
keluaran pasien. studi cedera kepala yaitu modified Hijdra score dan Fisher grade.

Modified Hijdra score10

37
Fisher grade10

Hunt and hess Scale10

Hunt and Hess scale


Grade 1 : 70 % survival
Grade 2 : 60 % survival
Grade 3 : 50 % survival
Grade 4 : 20 % survival
Grade 5 : 10 % survival

38
BAB IV
ANALISA KASUS

Penderita laki-laki umur 17 tahun, dikonsulkan kebagian neurologi dengan


penurunan kesadaran setelah tertusuk pisau pada mata kiri dan sudah dilakukan
pengangkatan bola mata kiri. Keluhan disertai dengan sakit kepala, muntah dan
defisit neurologis berupa gerak ragsang meningeal (GRM ) positif, kelemahan sesisi
tubuh sebelah kiri dan mulut mengot kekanan. Hal ini menunjukkan adanya lesi
intrakanial disertai tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial ( TIK ) dengan
kecurigaan trauma tusuk menembus sampai ke cerebri. Selain itu adanya GRM positif
mendukung adanya kecurigaan perdarahan subarakhoid. Pada riwayat perjalanan
penyakit sebelumnya tidak ada riwayat hipertensi ataupun riwayat trauma kepala,
riwayat sering sakit kepala sebelumnya tidak ada, sehingga kemungkinan adanya
peningkatan TIK karena sol intrakranial dapat disingkirkan.
Pada hasil pemeriksaan CT-scan kepala tampak perdarahan di cerebelum
kanan disertai dengan perifokal edema mengakibatkan penekanan pada mesensefalon
lateral kanan. Perdarahan juga mengisi ruang subarakhnoid di tentorium serebellaris,
di cisterna sagitalis dan falxs interhemisfer posterior hal ini menunjukkan adanya
perdarahan sub arakhnoid traumatika pada pasien ini. Selain itu terdapat pneumo
ensefalus dan hidrosefalus non komunikans. Fraktur dinding medial orbita kiri , sinus
ethmoidalis kanan kiri dan sinus sphenoidalis kanan meyebabkan hemato sinus
ethmoidalis kanan kiri dan sphenoidalis kanan disertai ruptur bulbus okuli kiri.
Berdasarkan hasil ct scan kepala Perdarahan di rongga orbita sampai ke
cerebelum diduga diakibatkan karena luka tusuk pisau yang berbentuk runcing kecil
dan panjang dengan posisi miring ke arah medial menembus bola mata sampai
rongga orbita. Melalui canalis optikus dan menyebabkan fraktur dinding medial
orbita kiri pisau menembus sinus ethmoidalis kiri menyilang mencapai dinding sinus
sphenoidalis sehingga meyebabkan fraktur pada tulang dan perdarahan pada sinus

39
ethmoidalis kanan kiri dan sphenoidalis kanan. Diduga pisau menembus area basilaris
tanpa merobek arteri carotis interna terus hingga menyebabkan pecahnya arteri
cerebellar superior cabang dari arteri basiler.
`

( Gambar ilustrasi kasus)

Pada hasil Ct-scan kepala selain perdarahan diserebelum terjadi juga perdarahan
disubarakhnoid space, hal ini didukung oleh pemeriksaan fisik kaku kuduk (+) dan
penurunan kesadaran sehingga kita simpulkan pada penderita ini mengalami SAH
traumatika dengan hunt and hess derajat 3. Atau dengan skala fisher derajat 3.
Kelemahan sesisi tubuh sebelah kiri pada penderita disebabkan karena
adanya perifokal edema yang mendesak mesensefalon bagian lateral kanan
( pedunkulus cerebri ) Berdasarkan literatur lesi di mesensefalon setingkat
pedunkulus serebri seperti proses vaskular perdarahan, infark atau tumor akan
menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh kelumpuhan
nervus okulomotorius ipsilateral. Pada penderita ini tidak didapatkan lesi pada NIII
hal ini diduga karena letak nukleus okulomotorius ada di bagian tengah sehingga lesi
tidak mengenai nukleus nervus okulomotorius.

40
( Gambar ilustrasi kasus )

Berdasarkan literatur terapi pada Intracerebral hemorrhage (ICH) dan


subarachnoid hemorrhage (SAH) traumatika adalah penatalaksanaan ABC sesuai
dengan protokol pasien diruang gawat darurat, tirah baring total dengan posisi kepala
ditinggikan 30˚ dan nyaman, bila perlu berikan O2 2-3 L/menit. Kemudian pasang
infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat sistem
kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul. Tatalaksana 3H pada penderita
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya vasospasme, Tekanan darah sistole
dipertahankan ≥ 80 mmHg, diberikan cairan infus nacl 0,9 % gtt 30. Terapi
nimodipin pada SAH traumatika dapat diberikan langsung pada hari pertama, pada
penderita ini terapi nimodipin 4x60 mg diberikan pada hari ke-6 (penderita ini
dikonsulkan pada hari ke-6 ). Vasospasme sendiri dapat menyebakan nyeri kepala
hebat, diduga hal ini juga yang menyebabkan penderita mengalami nyeri kepala dan
gelisah. Parasetamol 1000 mg dipilih sebagai terapi pilihan untuk analgetik,
berdasarkan beberapa literatur guidelines penanganan nyeri menurut WHO untuk

41
nyeri ringan sampai sedang masih dapat digunakan golongan Acethaminopen. Pada
penderita ini sulit untuk menilai VAS score karena penderita mengalami penurunan
kesadaran, pada tahap awal diberikan parasetamol 1 gr /8 jam dan penderita
memberikan respon yang baik, gelisah mulai berkurang.
Penderita ini mengalami komplikasi dari trauma transorbita yaitu ICH,
SAH dengan hidrosefalus non komunikans. Hidrosefalus disebabkan karena adanya
edema dicerebelum kemudian menekan aquaduktus silvii dan sebagian ventrikel IV
sehingga terjadi obstruksi aliran dari ventrikel lateral dan ventrikel III mengakibatkan
pelebaran pada ventrikel lateral dan ventrikel III. Selanjutnya penderita dikonsulkan
kebagian bedah saraf dan disarankan untuk konservativ oleh karena itu terapi
glaucon (asetazolamid) diberikan dimana berdasarkan literatur asetazolamid sebagai
anhidronic acid inhibitor yang efektif untuk terapi hidrosefalus terutama pada
penderita-penderita pre operatif vp shunt.
Pada perawatan hari ke-17 penderita mengalami perbaikan klinis, kesadaran
penderita E4M6V5, kekuatan motorik lengan dan tungkai kiri 4. Penderita rawat jalan
pada perawatan hari ke-22.

42
BAB V
KESIMPULAN

Intracerebral hemorrhage (ICH) dan subaracnoid hemorrhage (SAH ) akibat


trauma intrakranial transorbita (transorbital intracranial injury) sangat jarang terjadi.
Bahkan insidensi komplikasi vaskular ini tidak diketahui dengan jelas akibat
tingginya mortalitas sebelum pasien mendapatkan pertolongan medis. Trauma
intrakranial transorbita adalah merupakan jenis trauma penetrasi kepala. Insidennya
kurang lebih 0,4% dari semua jenis trauma kepala. Sedangkan trauma penetrasi
periorbita yang terjadi 30% sampai 50% dari kasus trauma mata. Akan tetapi, benda
penyebab trauma biasanya tidak mecapai jaringan otak.
Pada laporan kasus ini dibahas tentang intracerebral hemorrhage (ICH) dan
subaracnoid hemorrhage (SAH ) yang diakibatkan karena trauma intracranial
transorbita yaitu luka tusuk pisau pada mata kiri, penderita laki-laki usia muda dan
rensponsif terhadap terapi konservatif.
Diharapkan dengan adanya laporan kasus ini dapat dijadikan sebagai
pembelajaran dalam hal diagnosa dan pendekatan klinis serta tatalaksana pasien
trauma intrakranial transorbita dengan komplikasi ICH dan SAH.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Martin Th A van Duinen, editor. The transorbital intracranial penetrating


injury: a review of the literature from a neurosurgical viewpoint. Boston:
Kluwer Academic Publishers, 163. p. 2012
2. Lin HL, Lee HC, Cho DY. Management of transorbital brain injury. J Chin
Med Assoc 2012 70:36–8
3. Abdul Baki A, et al. Transorbital Craniocerebral Occult Penetrating Injury
with Cerebral Abscess Complication. Hindawi Publishing Co. 2013:1-6
4. Adam RD, Victor M. Principles of Neurology. 7th Edition, McGraw-Hill
International Edition, Singapore, 2001.
5. M.Baehr and Frotscher. Duus tropic neurologi Anatomi, Fisiologi and
Symptom 4ed.
6. W.campbell William. DeJong’s THE Neurologic Examination, seventh
edition
7. Braton S et al. Guidlines For the Management of Severe Traumatic brain
Injury 3rd editions.
8. Mayza A, Dkk. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi. FKUI. 2017
9. Ramli Yetty, dkk. Neuro Trauma. 2015
10. Kakarieka Algirdas. Traumatic Subarachnoid Haemorrhage.2010
11. Pluta M. R. Et al. Cerebral vasospasm following subarachnoid hemorrhage:
time for a new world of thought. 2010 March ; 31(2): 151–158.
12. Lin HL, Lee HC, Cho DY. Management of transorbital brain injury. J Chin
Med Assoc 2012 70:36–8
13. Sukati VN. 2012. Ocular injuries-a review. The South African Optometrist
2012;71(2):86,89
14. Lycette et all. Neurosurgical critical care. In : Bongard FS, Sue DY, editor.
Current critical care diagnosis & treatment. 2 nd edition. Unitedd State of
America : The Mc Graw-Hill Companies, Inc ; 2003

44
15. Armin S et al. Vasospasm in traumatic brain injury. 2008 August 1; 104(13): 421–
425.

45

Anda mungkin juga menyukai