Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


SUBARCHNOID HEMMORAGE DENGAN INTRAVENTICULAR HEMMORAGE

Disusun Oleh:
Ida Bagus Ram Kalpika Putra Mayun / 01073210144

Pembimbing:
dr. Elizabeth Angeline, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
PERIODE FEBRUARI – MARET 2023
TANGERANG
BAB I

PENDAHULUAN

Hemorrhage sendiri didefinisikan sebagia sebuah keadaan dimana


terdapatnya kehilangan darah secara akut yang disebabkan oleh kerusakan
pembuluh darah. Perdarahan ini bisa terjadi secara minor, seperti saat pembuluk
darah superficial yang terdapat di kulit rusak dan menyebabkan petichiae maupun
ekimosis namun bisa juga terjadi secara signifikan yan menyebabkan lebih
banyak gejala. Salah satu gejalanya antara lain adalah penuruan kesadaran dan
fluktasinya tanda-tanda vital. Hemorrhage juga bisa terjadi secara internal
maupun external.
Subarachnoid hemorrhage adalah salah satu dan intraventricular
hemmorage adalah beberapa tipe hemorrhage yang terjadi pada otak.
Subarachnoid hemmorage sendiri disebabkan oleh ruptur anurisma atau cedera
kepala. Hal ini menyebabkan perdarahan di subarchnoid space yang terdapat
diantara arachnoid membrane dan pia matter yang mengelili otak. Sementara
intraventricular hemorrhage adalah perdarah yang biasanya terjadi diakibatkan
oleh anurisme.
Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO
(Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul
pertama kali pada usia 40-60 tahun. Sementara perdarahan intraventirikular
memiliki epidemiologi diman terdapat 12-45% kasus, dimana kasus
intraventrikular hemorrhage Pada pasien ICH primer 40% mengalami
intraventrikular hemorrhage.
Perdarahan subarchnoid serta intraventrikuler biasanya disebabkan oleh
aneurisma. Aneurisma intrakranial tergolong abnormalitas pembuluh darah otak
yang banyak terjadi dan menimbulkan masalah kesehatan di seluruh dunia
Insidensi seluruh dunia ialah sekitar 2% dari populasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vaskularisasi Otak


Lebih dari 15 persen dari cardiac output harian akan dipakai oleh otak kita.
Hal ini disebabkan oleh perlunya konsentrasi oksigen dan nutrisi yang tinggi oleh
organ. Secara anatomis, vaskulisasi otak manusia dibagi menjadi dua yaitu
anterior circuit yang disuplai oleh arteri karotis interna dan sirkuit posterior yang
disuplai oleh sistem vertebrobasilar.

2.1.1 Sirkulusasi Anterior

Gambar 2.1. Vaskulisasi Otak


Sirjulasi anterior melibatkan semua arteri yang berasal dari arteri
karotis interna, arteri ini bertanggung jawab untuk suplai darah dari aspek
anterior dan otak tengah. Arteri yang termasuk dalam arteri sirkuit anterior
antara lain adalah ; arteri karotis interna, arteri serebral anterior, arteri
komunikans anterior dan arteri serebral tengah.

Arteri Karotis Interna


Arteri karotis interna adalah salah satu dari dua cabang arteri karotis
umum. Arteri ini bertanggung jawab untuk mengsuplai sebagain besar
bagian dari otak depan dan otak tengah. Sistem klasifikasi baru membagi
arteri karotis interna menjadi empat bagian ; serviks di leher, petrosa di dasar
tengkorak, karvernosa di dalam sinus karvenosus dan intrakranial di atas
sinus kavernosus. Sebelumnya klasifikasi Cincinnati mengklasifikasikan
arteri karotis interna menjadi tujuh segmen ; serviks, petrous, laserum,
kavernosa, clinoid, pthamalmic atau supracliniod, dan communicating atau
terman. Perbedaan dari kedua klasifikasi ini dapat terlihat dari dua hal.
Bagian dari arteri yang dulunya dinamai sebagai segmen laerum kini adalah
percabangan dari segmen petrous. Bagian intracarnial dari arteri
mencangkum arteri clinoid, opthalamic dan ccommunicating.

Gambar 2.2. Ateri Karotid Interna


Bagian Petrous arteri mengeluarkan arteri caroticotympanic dan
arteri vidian. Sementara segmen karvernosa memberi banyak cabang ke
dinding sinus karvernosa dan saraf serta dura mater yang terdapat
disekelilingnya. Arteri hipofisis inferior juga berasal dari segmen ini.

Segmen opthalmic memberikan cabang kepada arteri opthalamic


dan arteri hypophyseal superior. Segmen yang berkomunkasi
mengeluarkan arteri serebral anterior (ACA), serebral tengah (MCA) dan
koroid anterior (AchA). AchA mengsuplai mesencephalic, diencephalic
dan telencephalic.

Arteri Serebral Anterior


Arteri serebral anterior (ACA) adalah cabang yang jauh lebih kecil
dari arteri karotis interna (jika dibandingkan dengan arteri serebral
tengah). Arteri ini dimulai di bagian terminal arteri karotis interna tepat
sebelah cabang oftalmik dilebasikan, dibagian medial fisura sylvian.
Arteri ini bergerak dalam jalur anteromedial di atas saraf optik (CN II)
menuju fisura serebral longitudinal. Disini, artieri tersebut beranastomosis
dengan bagian kontralateral melalui arteri komunikans anterior pendek
(ACOMM). Arteri berpasangan kemudian berjalan melalui fisura serebtal
longitudinal disepanjang genu corpus callosum.

Arteri seberal anterior juga mengeluarkan cabang sentral dan


kortikal. Cabang sentral muncul dari Acomm untuk memperfusi kiasma
optik, lamina terminalis, hipotalamus, area para-olfaktorius, girus
cingulata dan kolom anterior forniks.

Arteri Serebral Tengah (MCA)

Arteri serebral tengah (MCA) adalah cabang terminal terbesar dari


arteri karotis interna. Arteri ini bergerak melalui celah Sylvian (lateral)
sebelum mengalir ke arah posterosuperior di pulau Reil (insula).
Kemudian membagi untuk menyuplai darah ke permukaan kortikal lateral
bersama dengan insula.

Pembuluh darah memberikan banyak darah ke daerah pusat dan


kortikal otak. Cabang sentral arteri relatif lebih kecil dan termasuk arteri
leticulostriate yang melewati substansi perforasi anterior untuk menyuplai
nukleus lentiformis dan tungkai posteriror kapsula interna.

Cabang kortikal diberi nama untuk daerah yang mereka suplai.


Mereka bertanggng jawab atas korteks somatoensori dan motorik tungkai.
Cabang kortikal anatara lainnya adalah sebagai berikut ; arteri frontal
yang memperdarahi girius frontal, tengah dan presental inferior. Bagian
orbital lateral lobus frontal, serta gyrus frontal yang disuplai oleh cabang
orbital. Lobus parietal inferior, bagian inferior lobus parietal dan gyrus
postcentral menerima darah dari cabang parietal. Beberapa arteri temporal
juga kemenudian mengalirkan darah ke aspek lateral lobus temporal

Gambar 2.3 Sirkulsi Anterior


2.1.2 Sistem Posterior2
Sirkulasi posterior mengacu pada semua pembuluh darah yang
muncul dari sistem vertobrobasilar. Pembuluh darah ini memperdarahi
otak belakang, lobus oksipital otak besar, serebelum dan thalamus. Sistem
posterior terdiri atas arteri vertebralis, arteri basilaris dan cabang-
cabangnya, srteri seberal posterior dan arteri kominkans posterior.

Oklusi padasistem posterior akan menghasilkan manifestasi klinis


berupa disfungsi serebelumatau batang otak, seperti coma, drop attacks,
vertigo, mual dan muntah, palsi saraf kranialis, ataksia, crossed sensory
motor deficits (kelemahan pada wajah pada satu sisi dan ekstremitas di
sisi yang berlawanan). Hemiparesis dan hemisensorik dapat terjadi namun
tidak spesifik untuk oklusi pada sistem posterior.

Arteri vertebra mendapatkan aksess ke ruang kranial melalui


formen magnum anterolateral ke belakang otak. Mengenai cabang-
cabangnya. Masing-masing arteri vertebralis melepaskan arteri cebellar
inferior posterior, berkontribusi pada pembetukan arteri tulang belakang
anterior dengan cara berkumpul di garis tengah anterior ke medula
oblongata. Berkontribusi cabang meningeal dekat foramen magnum yang
memperdarahi falx cerebelli dan tulang sekitarnya, mempunyai
kemungkinan untuk berccabang menjadi arteri tulang belakang posterior,
meskipun pembuluh ini biasanya muncul dari arteri cerebellar inferior
posterior dan terakhir bisa bercabang menjadi arteri medula yang
memperdarahi medula oblongata. Arteri vertebralis bersatu di graris
tengah di persimpangan pontomedullary untuk membentuk arteri basilar.

Arteri basilar adalah pembuluh pening yang ditemukan di pontine


cistern. Arteri ini terletak posteerior dari clivus dan anterior dari pons,
diatas basilar groove. Cabang-cabangnya bertanggung jawab untuk
memperdarahi pons, otak kecil, telinga bagian dalam dan struktur terdekat
lainnya. Terdapat tiga cabang utama dari arteri basilar yaitu ; serebelum
anterior inferior, serebelum superior, labirin. Terdapar juga arteri pontin
dan posteromedial yang lebih kecil dan masing-masing muncul dari
permukaan lateral dan percabangaanarteri distal. Arteri
basilar berakhir saat arteri terpecah menjadi dua artereri sereberal
posterior. Pembuluh darah tersebut bersatu dengan arteri kominkan
posterior untuk melengkapo struktur otak yaitu lingkaran Willlis
posterior.

Arteri serebral posterior (PCA) adalah cabang terminal yang


timbul dari percabangan arteri basilar. Pembagian terjadi di belakang
dorsum sellae. Arteri ini dipisahkan dari arteri serebelar superior oleh
saraf okulomotor (CN III). Arteri berlanjut dalam jalur lateral lateral
ke otak tengah (berdeketan dengan saraf trochlear, CN IV). Arteri ini
memiliki cabang arteri komunikasi posterior yang melengkapi
lingkaran Wililis. Arteri tersebut selanjutnya berlanjut di sekitar
batang otak menuju aspek tentorial dari otak besar. Disini arteri akan
memperdarahi lobus oksipital dan temporal.
Cabang-cabang dari arteri serebral posterior membawa darah
beroksigen ke area berikut ; thalamus anterior dan subthalamus,
dinding lateral ventrikel ketiga dan tanduk inferior, ventrikel inferior,
ventrikel ketiga dan lateral, globus palidus dan badan genikulatum
later dan medial.

Arteri komunikans posterior (Pcomm) adalah pembuluh darah


panjang dan ramping yang berasal dari arteri serebri posterior. Arteri
ini jauh lebih panjang daripada bagian anteriornya yaitu arteri
komunikans anterior. Pembuluh darah terletak medial ke uncus dari
lobus temporal dan lateral badan mammillary dari hipotalamus.
Bagian distal pembuluh darah mungkin tumpang tindih dengan bagian
proksimal saluran optik. Arteri komunikans posterior melengkapi
lingkaran Willis secara posterior. Selain itu, ia memberikan
perdarahan ke saluran optik, tangkai serebral, kapsul internal dan
thalamus.
2.2 Definisi
Perdaharan subarachnoid adalah perdarahan otak yang mengancam jiwa
yang diakabitkan oleh akumulasi darah antara arachnoid dan piamater. Insiden
perdarahan subarachnoid di dunia adalah anatara lain 10-14 dari 100.000 orang
per tahunnya. Meskipun gejalanya mungkin berbeda-beda, gejala khas yang
sering muncul adalah ’thunder clap headache’ yang biasanya digambarkan
sebagai sakit kepala terburuk yang pasien pernah rasakan. Namun hal ini harus
ditambahkan dengan pencitraan lebih lanjut. Sakit kepala sering dikaitkan
dengan mual. Muntah dan diplopia. Cukup sering tanda-tanda meningismus hadir
karena penyebaran darah ke ventrikel keempat lalu turun ke sumsum tulang
belakang. Hal ini akan mengiritasi dan menyebabkan nyeri leher dan punggung.
Selain itu, defisit saraf kranial dapat terjadi. Hal ini mengharuskan seorangklinisi
untuk melakukan pemeriksaan terperinci. Kehadiran defisit fokal meingkatkan
tingkat perdarahan subarchnoid dan mengubah prespektif pemulihan pasca-
kejadian. Pasien dengan perdarahan subarchnoid grade tertinggi cukup sering
hadir dalam keadaan koma yang memerlukan evaluasi cepat dan pengobatan
segra, karena koma yang terjadi pada pasien bisa pulih kembali. Selain pasien bisa
menderita perdarahan subarchnoid, perdarahan intraokular bisa terjadi secara
bersamaan yang juga dikenal sebagai sindrom terson.

Sementara perdarahan intraventricular adalah perdarahan yang terjadi


didalam atau sekitar ventrikel, ruang di otak yang berisi cairan tulang belakang
otak.

2.3. Epidimiologi

Insiden global perdarahan subarchnoid dikarenakan oleh aneurisma secara


keseluruhan adalah 7.9 per 100.000 orang pertahunnya. Seiring dengan
pergantiannya waktu, tepat pada tahun 2019 kejadian perdarahan subarchnoid
turun menjadi 6.1 per 100.000 orang pertahunnya, angka ini tetap berturun dari
1980. Saat kejadian yang dilaporkan adalah 10.2 per 100.000 orang pertahunnya
di seluruh dunia, Jepang dan Finlandia memiliki kasus perdarahan subarachnoid
yang lebih tinggi dari negara-negara lain. Alasan untuk hal ini tidak diketahui.
Sebagian besar perdarahan subarachnoid terjadi pada orang-orang yang berusia
40 sampai 60 tahun. Walaupun demikiam, anak kecil dan orang dewasa yang lebih
tua juga dapat mengalami perdarahan subarachnoid. Usia rata-rata pecahnya
aneurisma yang mengakibatkan perdarahan subarachnoid bersikat antara 50-55
tahun. Secara ras, perdarahan subarchnoid lebih sering terjadi pada populasi kulit
hitam dan hispanik daripada ras lainnya. Insiden perdarahan subarchnoid sedikit
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria, hal ini dihipotesiskan terjadi karena
hormon wanita. Pasien dengan riwayat merokok dan ruptur aneurisma
intraserebral sebelumnya memumpunyai risiko lebih tinggu untuk terjadi
perdarahan subarchnoid baru.

Sementara untuk perdarahan intraventrikuler, beberapa peneltian yang


dilakukan di seluruh dunia selama lima tahun terakhir telah melaporkan tingkat
kejadian perdarahan intraventrikuler antara lain adalah 20%-40%, kebanyakan
perdarahan terjadi pada bayi prematur. Namun perdarahan intraventrikel telah
menurun secara signifikan selama dekade terakhir karena perbaikan global dalam
perawatan neonatal, yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan praktik seperti
penggunaan kortikosteroid anetenatal, keterampilan resusitasi praktis,
penanganan bayi yang tepat, infrastruktur yang lebih baik, dan penggunaan
ventilasi yang lebih bijaksana. Namun, peningkatan kelahiran prematur akibat
peningkatan kehamilan yang dimediasi teknologi reproduksi berbantuan sangat
mempengaruhi tingkat kejadian perdarahan intraventrikuler.

Studi lain juga mengatakan bahwa sekitar 15–20% bayi baru lahir
prematur terpapar perdarahan intraventrikuler, dan ini berkaitan dengan
komplikasi serius dan kematian tanpa diagnosis dan intrevensi yang tepat pada
waktu. Karena otak bayi bar lahir yang prematur lebih sensitif terhadap fluktasi
tekanan darah, maka dari itu tindakan perwatan rutin tampaknya penting di antara
populasi.
2.3 Etiologi
Perdarahan subarchnoid mememiliki beberapa etiologi, sebanyak 85%
dari perdarahan subarchnoid yang nontraumatik diakibarkan oleh anurisme
yang pecah. Sementara 15-20% etiologi lainnya biasanya beragam, dan
mekanisme perdarahan bisanya tidak bisa di-identifikasi. Mengetahui etiologi
dari perdarahan sangatlah penting. Etiologi yang sering terjadd antara lain
adalah:
2.3.1 Anurisme Subarachnoid Hemmorage (aSAH)
Anurisme yang menyebabkan perdarahan subarachnoid
mempunyai faktor risiko yang sama dengan anurisme yang
diasosiasikan dengan formasi anurisme. Sebagai contoh,
hipertensi, merokok dan faktor keluarga adalah beberapa faktor
risiko yang konsisten yang dapat mengakibatkan anurisme
tersebut. Selain itu, faktor usia juga dikenakal sebagai alasan
terjadinya anurisme pada seseorang, pasien dengan usia yang tua
(>60 tahun) bisanya juga sering mengalami anurisme
subarachnoid. Perdarahan subarchnoid biasanya terjadi di sirkulasi
posterior dan bisa disebabkan oleh atherosclerosis, dan intra-
aterial anurisme yang cukup besa (>5mm). Selain itu pasien
dengan riwayat SAH maupun yang mempunyai autosomal
dominan penyakit ginjal polisistik juga bisa mempengaruhi risiko
meningkatnya ruptur intra-arterial.

2.3.2 Perdarahan Subarachnoid Nonanuriesme (NASAH)


2.3.1.3 Perimesencephalic anurisme
Perdarahan subarachnoid nonanuerismal
perimesencephalic biasanya ditandai dengan pola spesifik seperti
lokalisasi darah pada CT, angiografi serebral normal, dan
perjalanan penyakit jinak. Subtipe ini merupakan mayoritas,
hingga dua pertiga pasiden dengan NASAH, temuan CT biasanya
termasuk darah yang diisolasi ke perimesencephalic cisterna
anterior ke batang otak.
2.3.1.4 Anurisme tersembunyi
Sebagian kecil kasus tidak terdiagnosis pada studi
angiografi, pada awalnya kasus tetap dapat diidentifikasi pada
angiografi yang berulang dan diklasifikasikan dengan kelompok.
Alasan tak terlihatnya anurisme pada kasus pasien bisa
dikarenakn kesalahan teknis atau pembacaan. Hal ini termasuk
cukup wajar karena anurisme kecil dan pengaburan anurisma
karena vasospasme, hematoma atau trombosis di dalam
anurisma.
2.3.1.5 Malformasi Vaskular
Lokasinya bisa dintrakranial atau tulang belakang.
Sebagian besar malformasi vaskular otak yang menyebabkan
SAH adalah malformasi arteriovenosa (AVM) atau fistula
arteriovenosa dural. Mereka biasanya divisualisasikan pada
angiografi serebral. Fistula arteriovenosa dural adalah jenis
malformasi vaskular tilang belakang yang paling umum.
Malformasi vaskular yang berhubungan dengan perdarahan
biasanya ditangani dengan pembedahan dan atau dengan
intervensi endovaskular.

2.3.1.6 Intracranial Arterial Dissection

Diseksi arteri intrakranial dapat menghasilkan


perdarahan subarchnoid. Ketika diseksi arteri intrakranial
meluas melalui adventitia, perdarahan subarchnoid terjadi.
Dalam situasi ini, perdarahan sangat banyak dan seringkali
menghancurkan. Kondisi ini didiagnosis dengan angiografi
konvensional dan diobati dengann pembedahan atau intervensi
endovaskuler.

2.3.1.7 Penyebab lainnya

Penyalahgunaan kokain dikaitkan dengan perdarahan


subarchnoid anurisme dan nonaneurismal. Angiopati smiloid
serebral dapat menyebabkan perdarahan subarchnoid pada
orang dewasa yang lebih tua. Trombosis vena serebral,
gangguan penyakit sel sabit, penyakit moyamoya, vaskulisitis
serebral dan gangguan perdaraah adalah kondisi yang
menyebabkan perdarahan subarchnoid.
2.4. Patofisiologi
Patofisiologi dari perdarahan subarchnoid antara lain adalah stress
hemodinamik yang akan menginisisasi faktor untuk anurisme intracranial. Dari
observasi ini dapat terilustasikan bahwa anurisme intracranial terlihat pada
persimpangan arteri, bifurkasi atau sudut vaskular yang berubah secara tiba-toba
di mana tekanan hemodinamik yang berlebihan diberikan pada dinding arteri.
Lokasi khas yang sering terjadi perdarahan subarchnoid antara lainnya adalah
percabang arteri basilar di persimpangan arteri cerebellar inferior posterior
ipsilateral (PICA), arteri vertebralis, dan arteri komunikan anterior. Aneurisma
besar yang tidak pecah menekan jaringan serebral yang bedekatan menyebabkan
tanda-tanda neurologis. Namun, pecahnya lesi ini menciptakan keadaan
berkurangnya aliran darah dan vasospasme yang menyebabkan iskemia serebral.
Mekanisme patosiologi dimana les ini terbentuk dan akhirnya pecah tidak
sepenuhnya dipahami. Stress hemodinamik pada dinding pembuluh darah yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan darah dan faktor risiko lainnya mendorong
pembetukan dan ruptur IA. Berbagai penelitian menjukan bahwa inflamasi adalah
faktor dominan dalam patogenesis dari IA. Inflamasi akan terus menekan
hemodinamik yang memulai prosses inflamasi. Hal ini berakibat ke degredasi
MMPS (metalloproteinas) dimana terjadi degredasi matrix extracellular dan
apoptosis dari otot polos (SMC) yang merupakan sel matriks utama dari dinding
vaskular. Prosess ini secara signifikan melemahkan dinding arteri, menghasilkan
dilatasi, pembentukan aneurisma dan akhirnya pecah. Khususnya dua konsituen
utama dari respon inflmasi dan respon degeneratif terkait adalah makrofag dan
SMC

Sementara perdarahan intraventrikuler sendiri terjadi karena alasan


multifaktorial dan sering melibatkan interaksi kompleks dari berbagai faktor dalam
bayi yang secara longgar dapat dikategorikan menjadi tiga kategori utama ;
intravaskular, vaskular dan ekstravaskular. Kondisi dimana terdapat perubahan
tekanan darah secara mendadak mempengaruhi terjadinya IVH. Di bayi prematur,
peningkatan tekanan darah dan CBF sering terjadi di NICU atau saaat bayi sedang
diberikan pengurusan seperti saat penggantian popok, pemeriksaan abdominal
dan trachel suction. Medikasi dan infusi juga bisa meningkatkan tekanan darah
bayi.
Ada juga beberapa penelitian yang menyatakan bahwa terdapat korelasi
antara kelahiran melalui vagina dengan IVH. Dimana, dipercaya bahwa banyak
vaginal delivery mempengaruhi ‘fetal head compression pressure’ yang berisiko
terjadinya perdarahan intraventrikular.
Selain peningkatan tekanan darah, penurunan dari CBF juga menjadi
alasan terjadinya perdarahan intraventrikular. Asphyxia biasanya adalah alasan
utama terjadinya penurunan CBF dan peningkatan Cerebral Venous Pressure.
Banyak studi juga menyatakan bahwa thrombocytipenia bisa menyebabkan IVH
namun hal ini belum diteliti lebih lanjut.
Stroke hemoragik memiliki angka kematian paling tinggi. Pada stroke
hemoragik terjadi stress pada jaringan otak dan cedera internal, yang
menyebabkanpembuluh darah pecah. Ini menyebabkan efek toksik dalam sistem
vaskular, mengakibatkan infark. Stroke hemoragik diklasifikasikan menjadi
perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Pada ICH, pembuluh darah pecah dan
menyebabkan akumulasi abnormal darah di dalam otak. Penyebab dari ICH
sendiri biasanya karena hipertensi, gangguan pembuluh darah, penggunaan
antikoagulan dan agen trombolitik yang terlalu berlebihan. Pada perdarahan
subarachnoid, darah menumpuk di ruang subarachnoid otak yang disebabkan
karena cedera kepala atauaneurisma serebral.

Gambar 2.3 Patofisologi SAH


2.5 Faktor Resiko6
Faktor risiko perdarahan subarchnoid dan intraventrikuler terbagi menjadi
2 yaitu : faktor risiko termodifikasi dantidak termodifikasi. Faktor risiko yang
tidak termodifikasi yaitu :

a) Usia - insiden SAH meningkat dua kali pada usia lebih dari 55
tahun
b) Jenis Kelamin - wanita yang sedang hamil, premenopause dan
wanita yang sedang menggunakan krontrasepsi oral memilliki
risiko lebih tinggi daripada laki-laki. Pada usia tua, risiko SAH
meningkatpada laki-laki.
c) Genetik - kelinan gen yang berhubungan dengan SAH yaitu :
CADASIL (Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with
Subcortical Infracts and Leukoencephalopathy), CARASIL
(Cerebral Autosomal Recessive Arteriopathy with Subcortical
Infarcts and Leukoencephalopathy), Penyakit Fabry,
homosistinuria, sickle cell disease, dan kelainan jaringan ikat.

Gambar 2.3 Faktor Resiko


Faktor risiko SAH yang termodifikasi yaitu :
d) Hipertensi - merupakan faktor risiko yang paling penting yang
dapatdimodifikasi. Sekitar setengah dari semua pasien dari SAH
memiliki riwayat hipertensi. Semakin tinggi tekanan darah, maka
semakin tinggi pula risiko terkena SAH, sehingga diagnosis dan
pengendalian hipertensi sangatlah penting untuk mencegah SAH
primer dan sekunder.
e) Diabetes Mellitus - merupakan faktor risiko independen dari
SAH.kejadian SAH meningkat dua kali lipat pada pasien SAH.
f) Merokok - dapat menggandakan risiko terjadinya SAH. Berhenti
merokok dengan cepat dapat mengurangi risiko SAH, dengan
risiko menurun jika sudah 2-4 tahun berhenti merokok.
g) Hiperlipidemia - Risiko terjadinya SAH iskemik, meningkat
seiring dengan peningkatan kolestrol total, namun risiko ICH
berbanding terbalik pada kolestrol total. Penggunaan statin dalam
pencegahan sekunder dapat mengurangi risiko terjadinya SAH iskemik.
h) Faktor jantung - infark kardioemboli, terutama AF (Atrium
Fibrillation), merupakan subtipe SAH iskemik yang paling parah,
dengan tingkat kematian yang tinggi. AF dapat menyebabkan
sekitar20-25% terjadinya SAH pada pasien berusia >80 tahun.
Antikoagulasi secara efektif dapat mencegah terjadinya SAH
padapasien dengan AF.
i) Konsumsi alkohol - konsumsi alkohol ringan dan sedang (<4
unit/hari) berhubungan dengan risiko SAH iskemik yang lebih
rendah, sedangkan jumlah konsumsi alkohol yang tinggi, dapat
juga meningkatkan risiko SAH. Selain itu, penggunaan obat-
obatanrekreasional seperti kokain, heroin, amfetamin, ganja, dan
ekstasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya SAH.
j) Obesitas - Orang yang aktif secara fisik memiliki risiko lebih
rendahterkena SAH, dan kematian akibat SAH, dibandingkan
dengan pasien yang tidak aktif.
k) Inflamasi - Peningkatan biomarker inflamasi memiliki hubungan
dengan risiko aterosklerosis dan SAH. Penyakit COVID-19,
berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah besar, karena
terjadi hiperinflamasi dan hiperkoagulasi.

2.6 Manifestasi Klinis1


Gejala khas yang sering muncul pada pasien perdarahan subarchnoid antara
lainnya adalah ‘thunderclap headache’ pasien biasanya menggambarkan jenis
sakit kepala ini sebagai ‘sakit kepala terparah dalam hidup pasien’. Bila pasien
mengeluhkan hal ini, maka pencitraan harus dilakukan lebih lanjut. Sakit
kepala sering dikaitkan dengan mual, muntah (sering kali muntah dalam
bentuk muntah proyektil), kaku kuduk dan fotofobia. Meningismus biasanya
hadir karena darah meluas ke ventrikel keempat. Saat darah bergerak lebih jauh
ke tulang belakang, hal ini akan mengiritasi saraf disekitar tulang belakang dan
menyebabkan nyeri berulang serta kaku leher pada pasien. Pemeriksaan juga
harus mencangkup defisit neurologis fokal yang menjadi salah satu tanda
bahwa subarchnoid grade cukup tinggi. Pasien dengan subarchnoid grade yang
tinggi biasanya sering hadir dalam keadaan koma yang memerlukan evaluasi
dan pengobatan segera, karena beberapa koma subarchboid bersifat reversible.
Pasien juga bisa datang dengan kejang maupun nerve palsies karena kompresi
dari saraf pusat (lebih spesifiknya saraf pusat CN II dan CN VI).

Sebuah studi yang dilaksanakan pada 2019, juga meneliti manifestasi klinis
yang terdapat pada pasien dewasa dengan perdarahan intraventrikular.
Kebanyakan dari pasien menderita gejala yang cukup sama dengan perdarahan
subarchnoid dimana pasien akan biasanya dataang dengan keluhan sakit
kepala tang persistent. Selain sakit kepala, pasien juga menderita mual dan
muntah. Pasien juga akan terlihat mengalami perubahan status mental, pasien
akan terlihat kebingungan dan disorientasi. Beberapa pasien dengan
perdarahan intraventrikular juga dapat mengalami kehilangan kesadaran.
Secara onset, onset terjadi secara tiba-tiba namun beberapa pasien juga dapat
mengalaminya secara progresif. Manifestasi neurologis fokal jarang terjadi
pada pasien dengan perdarahan inraventrikular primer tetapi bila gejala ini
terjadi, kita dapat curiga adanya kelainan sistem saraf kranial. Kelumpuhan
saraf kranial karena peregangan di dasar tengkorak, disfungsi saraf VI dan II.
Kejang juga dapat terjadi tetaapi jarang
2.7 Diagnosis
Penegakkan diagnosis SAH dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan peneriksaan penunjang. Saat pasien datang ke klinik, ada
baiknya untuk melakukan anamnesis secara singkat mengenai keluhan
pasien. Secara klinis, bila pasien datang dengan keluhan ‘thunderclap
headache’ maka kita bisa mencurigai bahwa pasien sedang menderita
perdarahan subarchnoid. Selain itu, bila pasien juga mengeluh adanya mual
muntah dan photopobia maka hal ini juga bisa menjadi bukti yang kuat
bahwa pasien sedang mengalami subarchnoid hemmorage. Biasanya, onset
dari sakit kepala pasien adalah sebuah kunci diagnosis untuk membedakan
sakit kepala SAH dengan sakit kepala lainnya, dimana SAH sendiri akan
terjadi dengan intensitas yang berat, dan mendadak (beberapa menit).

Secara pemeriksaan fisik, penuunan kesadaran sering terjadi pada


pasien SAH. Hal ini disebabkan oleh peningkatannya ICP dari pasiem, kita
juga bisa melakukan pemeriksaan neurologis untuk melihat adanya
kerusakan saraf pada pasien serta kaku leher yang terjadi akibat irritasi
meningis pasien.

Dari pemeriksaan fisik dan anamnesis, kita bisa melakukan diagnosiss


sebuah sistem untuk mengklasifikasikan SAH berdasarkan derajat
keparahan dari faktor klinis pasien Skala tersebut adalah Hunt and Hess
Scale dimana. terdapat 5 derajat dari skala tersebut. Skala ini digunakan
untuk memprediksi prognosis dari pasien dengan SAH, biasanya makin
tinggi skala pasien, maka makin rendah kemungkinan pasien untuk bisa
bertahan hidup. Berikut adalah sakala yang digunakan.

Grade Deskripsi

I Asimtomatik, Sakit kepala ringan, Kaki kuduk


ringan.

II Sakit kepala sedang sampai ringan, kaki kuduk,


tidak ada defisit neurologis selain cranial nerve
palsy

III Bingung, defisit neurologis ringan


IV Stupor, hemiparesis berat

V Coma
Selain itu, terdapat beberapa imaging yang bisa membantu mendiagnosis
SAH Kemajuan dalam teknologi pencitraan telah menandai tonggak besar
dalam sejarah diagnosis dan pengelolaan perdarahan subarachnoid aneurisma
(SAH) dan komplikasinya. Perkembangan angiografi serebral memungkinkan
visualisasi in vivo dari aneurisma sakular, dilakukan untuk pertama kalinya
oleh Egas Moniz pada tahun 1933. Baru pada tahun 1951 Ecker dan
Riemenschneider mencapai bukti angiografi pertama dari vasospasme yang
tertunda Sejak diperkenalkan pada tahun 1970an, dihitung tomografi (CT) scan
telah menjadi alat yang paling dapat diandalkan untuk diagnosis akut SAH.
Tidak butuh waktu lama sebelum diketahui bahwa jumlah darah dalam tangki
subarachnoid sangat memprediksi risiko vasospasme selanjutnya Transcranial
Doppler (TCD) kemudian terbukti bermanfaat untuk skrining dan pemantauan
noninvasif. Baru-baru ini, teknik magnetic resonance imaging (MRI) telah
meningkatkan pemahaman kita tentang kerusakan iskemik setelah SAH7 dan
mungkin merupakan alat yang berharga untuk diagnosis akut iskemia yang
sedang berlangsung dari vasospasm kita mungkin melihat transformasi lain
dalam pengelolaan SAH dipimpin oleh teknologi pencitraan dalam waktu
dekat.

Diagnosis SAH yang tepat waktu dan akurat bergantung pada penggunaan
pencitraan otak. CT scan tetap menjadi teknik yang paling banyak diterapkan.
Sensitivitasnya untuk diagnosis SAH akut melebihi 95%.11 Namun, CT scan
paling dapat diandalkan pada awal setelah perdarahan (terutama dalam 24-48
jam pertama) dan hasil negatif palsu menjadi mungkin setelah beberapa hari.
Gradient-recall echo T2* MRI memiliki sensitivitas yang sebanding dengan
CT scan untuk diagnosis hiperakut SAH,12 dan fluid-attenuated inversion
recovery (FLAIR) MRI memiliki sensitivitas yang lebih besar daripada CT
scan pada kasus subakut.
Saat ini, penggunaan MRI terbatas karena teknologi MR sering tidak tersedia
dalam keadaan darurat, dan pemindaian CT memungkinkan perolehan gambar
yang lebih cepat (yang menjadi faktor penting pada pasien dengan SAH akut
yang secara neurologis atau hemodinamik tidak stabil) dan visualisasi darah
ekstravasasi yang lebih mudah. (setidaknya untuk pemeriksa tanpa pelatihan
radiologi ekstensif). Diagnosis positif palsu SAH (pseudo-SAH) dengan CT
scan dapat disebabkan oleh peningkatan kongesti vena, seperti yang terlihat
pada pasien dengan edema serebral masif atau hematoma subdural bilateral.

Meskipun umumnya disepakati bahwa jumlah darah subarachnoid yang


divisualisasikan pada CT scan memprediksi risiko vasospasme berikutnya,
masih ada perdebatan mengenai cara terbaik untuk mengukur risiko ini.
Pemeringkatan awalnya diusulkan oleh C. M. Fisher et al. masih yang paling
populer). Namun, skala visual yang lebih baru dan teknik berbasis perangkat
lunak18 mengklaim sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik.

Berikut adalah skala Fisher yang digunakan pada pasien dengan SAH.

Grade Fisher Scale Fisher Scale Terbaru


0 Tidak ada SAH atau IVH
1 Tidak ada SAH atau IVH Minimal / SAH tipis, tidak ada
IVH dikedua ventrikel lateral.
2 Difusi, SAH tipis, tida ada klot Difusi, SAH tipis, tida ada klot
>1mm dalam ketebalan >1mm dalam ketebalan
3 SAH tebal, klotting subarchnoid SAH yang tebal (memenuhi 1 atau
yang terlokalisasi >1mm lebih dari satu cistern of fissure),
ketebalan tidak ada IVH di kedua ventrikel
4 Terdapat IVH atau perdarahan SAH yang tebal (memenuhi 1 atau
intracerebral tanpa penebalan lebih dari satu cistern of fissure),
SAH ada IVH di kedua ventrikel

CT scan juga merupakan modalitas pilihan untuk diagnosis cepat


hidrosefalus dan perdarahan ulang, dan jelas menunjukkan adanya edema
serebral global, prediktor kuat hasil yang tidak menguntungkan. Angiografi
serebral konvensional tetap menjadi standar emas untuk diagnosis aneurisma
intrakranial. Sedangkan angiogram noninvasif mungkin cukup untuk skrining
aneurisma intrakranial yang tidak pecah, diagnosis SAH nontraumatik
menuntut kinerja angiografi kateter. Teknik pemrosesan

pencitraan yang lebih baru saat ini memungkinkan rekonstruksi tiga dimensi
aneurisma, yang sangat meningkatkan definisi anatomi penelitian.21 Setelah
diagnosis, penggulungan endovaskular dapat dilakukan selama kateterisasi
yang sama. Angiografi konvensional juga dianggap sebagai standar emas
untuk diagnosis vasospasme dan memungkinkan pengobatannya dengan
angioplasti atau infus vasodilator intra-arterial superselektif pada kasus
tertentu.

Peran MRI dalam pengelolaan SAH dan vasospasme terus berkembang.


Awalnya digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan iskemik tertunda
dengan tujuan prognostik eksklusif. MRI memiliki sensitivitas yang jauh
lebih besar daripada CT scan untuk mengenali fokus kecil iskemia subkortikal
yang umumnya terjadi sebagai gejala sisa dari SAH, terutama mempengaruhi
ganglia basal, claustrum, dan materi putih frontal. Baru-baru ini, pencitraan
dengan bobot difusi dan bobot perfusi pencitraan telah mulai digunakan untuk
deteksi akut iskemia serebral selama fase vasospasme. Teknik ini dapat
menunjukkan hipoperfusi dan iskemia bahkan pada pasien tanpa bukti pasti
vasospasme baik dengan TCD atau angiogram, menunjukkan bahwa
mekanisme lain daripada penyempitan luminal pembuluh intrakranial besar
mungkin bertanggung jawab.
Protokol berbasis CT yang menggabungkan perfusi CT dengan angiogram
CT spiral mungkin merupakan alternatif yang berharga untuk praktik skrining
TCD saat ini dan konfirmasi angiografi vasospasme. Studi CT ini dapat
memberikan bukti langsung tentang keberadaan dan besarnya hipoperfusi dan
mengkorelasikan informasi tersebut dengan gambaran cepat dan noninvasif
dari keadaan pembuluh intrakranial utama. Penelitian lebih lanjut untuk
mengkonfirmasi validitas protokol berbasis CT ini diperlukan untuk
menentukan aplikasi optimal mereka.

Sebagai pemahaman kita tentang dasar-dasar patofisiologis kompleks


vasospasme meningkat, tampaknya semakin jelas bahwa iskemia setelah
SAH dapat disebabkan oleh gangguan fungsi mikrosirkulasi. Modalitas
pencitraan baru yang mampu memberikan informasi dinamis pada status
mikrosirkulasi cenderung kandidat terbaik untuk menempa revolusi
berikutnya dalam perawatan pasien dengan SAH.
2.8 Tatalaksana

Tujuan terapi adalah untuk mencegah kematian, memperbaiki penyebab


pendarahan, meredakan gejala,untuk mengurangi nyeri, edema, tingkat
keparahan vasospasme otak, meringankan mual dan muntah, mencegah
kejang-kejang dan mencegah komplikasi.

1. Pedoman Tatalaksana

a. Penderita dengan tanga-tanda grade I atau II hunt and Hess

- Identifikasi yang dini dari nyeri kepala yang hebat merupakan petunjuk
untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.

- Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 ̊ dalam ruangan dengan
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu berikan oksigen 2-3
L/menit

- Hati-hati pemakaian obat-obatan sedative

- Pasang infuse i.v. diruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologis yang timbul

b. Penderita dengan grade III, IV atau V Hunt and Hess

- Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang


gawat darurat

- Intubasi endotrakeal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas


yang adekuat

- Bila ada tanda-tanda herniasi maka lakukan intubasi

- Hindari pemakaian sedative yang berlebihan karena akan menyulitkan


penilaian status neurologis

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah subarachnoid


hemoragik: terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang
direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu, contohnya: pasien dengan
risiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau memberi efek bermanfaat
pada operasi yang ditunda.

3. Tindakan operasi pada Aneurisma

- Operasi “clipping”, merupakan tindakan operasi baku emas


padaAneurisma. Operasi penempatan klip melintasi leher aneurisma untuk
mengeluarkan aneurisma dari sirkulasi tanpa menyumbat vena normal.
Operasi ini sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang
setelah ruptur aneurisma pada subarachnoid hemoragik.
Clippingmencegah terjadinya perdarahan ulang, karena sangat jarang
terjadi slip pada klip. Apabila ada bagian leher diluar klip, biasanya akan
terjadi rekurensi pertumbuhan

- Operasi “wrapping” atau “coating”, Walaupun tidak menjadi tujuan


pembedahan, situasi dapat timbul jika tidak ada cara lain dilakukan.

o Dengan otot: metode pertama yang dilakukan untuk pembedahan


pada aneurisma

o Dengan katun atau muslin; dipopulerkan oleh Gillingham. Analisis


dari 60 pasien menunjukkan 8,5% perdarahan ulang kurang dari 6
bulan, dan rata-rata perdarahan ulang 1,5% sesudahnya tiap tahun.

o Dengan plastik resin atau polymer lain: lebih baik daripada otot
atau kassa. Satu penelitian dengan follow up yang panjang
menunjukkan tidak ada perdarahan ulang pada satu bulan pertama,
namun setelahnya resiko lebih rendah daripada alat lain. Studi-studi
lain menunjukkan tidak ada perbedaan dari penggunaan alat-alat
yang biasa digunakan.

- Teknik Endovaskular

o Trombosis Aneurisma

o ‘Coilling’ denan Coli Elektrolitik Gugleimi

o Onxy HDA

- “Trapping” : untuk penanganan yang efektif memerlukan interupsi pada


distal dan proksimal arteri, biasanya dengan tehnik endovaskuler.
Terkadang dengan operasi langsung (ligasi atau oklusi klip), atau dengan
kombinasi. Dapat juga dengan bypass vaskuler untuk menjaga aliran distal
menuju segmen yang terjebak. Digunakan pada Giant Aneurisma
(diameter >25mm)

- Ligasi Proksimal (Hunterian Ligation) : berguna untuk aneurisma yang


besar (Giant Aneurisma).

4. Tatalaksana Pencegahab Vasopasme

a. Pemberian nimodipin, dimulai dengan dosis 1-2mg per jam iv pada


hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Ini
terbukti dapat memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan
vasospasme.

b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan


triple H yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan
tujuan mempertahankan serebral perfusion pressure, sehingga
dapat mengurangi terjadinya iskemik serebral akibat vasospasme.
Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada
pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.

c. Angioplasti transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme


pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional

5. Antifibrinolitik

Obat-obat antifibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat- obat yang


sering acid dengan dosis 36 gram/ hari atau tranexamid acid dengan dosis
6-12 gr/hari.

6. Antihipertensi

a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mgHg atau tekanan
darah sistolik tidak lebih 160 dan tekanan darah diastolik 90
mmHg.

b. Obat-obat antihipertensi diberi bila tekanan darah sistolik dan


tekanan darah diastolik melebihi batasannya dan MAP di atas
130mmHg.

c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetolol (IV) 0,5-


2mg/menit sampai mencapai maksimum 20 mg/jam atau Esmolol
infus dosisnya 50-200 mcg/kg/menit

7. Kejang

Hanya dipertimbangkan pada pasien yang mungkin timbul kejang,


umpamanya pada hematom yang luas, aneurysme arteri serebri media, dan
kesadaran yang tidak baik. Akan tetapi untuk menghindari resiko perdarahan
ulang yang disebabkan kejang, fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral
atau iv. Dosis inisial 100 mg oral atau iv 3x/hari. Dosis maintenance 300-
400mg oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepin digunakan untuk
menghentikan kejang

8. Hidrosefalus

A. Akut

Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari
pertama. Dianjurkan untuk ventrikulostomi (drainase eksternal
ventricular), walaupun resikonya dapat terjadi perdarahan berulang dan
infeksi amino-caproid

B. Kronik

Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairanserebrospinal


secara temporer atau permanen seperti ventrikulo peritoneal shunt

2.9 Prognosis
Faktor yang paling penting dalam mempengaruhi hasil pada pasien dengan
perdarahan subarachnoid adalah keadaan neurologis pada pasien tersebut ketika
tiba di rumah sakit. Perubahan kondisi mental adalah kelainan yang paling umum,
sebagian pasien tetap sadar, yang lain bisa kebingungan, aatau bahkan koma. Hunt
and Hess grading scale yang telah dimodifikasi berfungsi sebagai alat untuk
mengukur resiko tingkat keparahan pada perdarahan subarachnoid yang didasari
dari pemeriksaan neurologi yang pertama. Pasien yang diklasifikasikan sebagai
perdarahan subarachnoid grade I atau II memiliki prognosis yang lumayanbaik,
grade IIIgrade IV dan jelek. Tanda-tanda neurologis fokal terjadi pada sedikit
pasien tetapi dapat menunjukkan letak perdarahan, hemiparese atau afasia
menunjukkan aneurisme pada arteri dan pada cerebral arteri proximal anterior.
Tanda-tanda fokal ini biasanya dikarenakan adanya hematom fokal yang besar,
yang mungkin memerlukan tindakan gawat darurat
BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan Subarchnoid adalah keadaan yang ditandai dengan adanya


darah pada rongga subarchnoid yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Subarchnoid hemoragik biasanya terjadi karena trauma ataunya ruptur dati
aneurisma pembiluh darah. Cara mendiagnosis perdarahan Subaraknoid antara
lainnya adalah melihat gejala klinis yang pasien sedang derita, lalu kita bisa
menggunakan imaging untuk memastikan apakah kecurigaan kita benar atau
tidak, neuroimaging yang sering digunakan untuk mendeteksi adanya
perdarahan subarachnoid antara lain adalah CT scan sebagai gold standard,
namun kira juga bisa menggunakan imaging lain seperti MRI dan Angiografi.
Secara penatalaksanaan, SAH bisa diobati dengan operasi maupun
medikamentosa berganntung dengan indikasi dari pasiem. Sementara untuk
progonsis didsarkan atas luasnya SAH, komplikasi yang terjadi, serta penyuli
perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminoff, M.J., Greenberg, D.A, dkk. Clinical Neurology. 2015. 9th ed., p366-
395.
2. Kenneth W, Lindsay, dkk. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 5th ed.
3. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.
Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative
study. Bull World Health Organ. 1980; 58:113–30
4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes
RI.
5. de Rooij NK, Linn FH, van der Plas JA, Algra A, Rinkel GJ. Incidence of
subarachnoid haemorrhage: a systematic review with emphasis on region,
age, gender and time trends. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2007
Dec;78(12):1365-72.
6. Ikawa F, Michihata N, Matsushige T, Abiko M, Ishii D, Oshita J, Okazaki T,
Sakamoto S, Kurogi R, Iihara K, Nishimura K, Morita A, Fushimi K,
Yasunaga H, Kurisu K. In-hospital mortality and poor outcome after surgical
clipping and endovascular coiling for aneurysmal subarachnoid hemorrhage
using nationwide databases: a systematic review and meta-analysis.
Neurosurg Rev. 2020 Apr;43(2):655-667.
7. Schwartz TH, Solomon RA. Perimesencephalic nonaneurysmal subarachnoid
hemorrhage: review of the literature. Neurosurgery. 1996 Sep;39(3):433-40;
discussion 440.
8. Kowalski RG, Claassen J, Kreiter KT, Bates JE, Ostapkovich ND, Connolly
ES, Mayer SA. Initial misdiagnosis and outcome after subarachnoid
hemorrhage. JAMA. 2004 Feb 18;291(7):866-9.
9. Gallas S, Tuilier T, Ebrahiminia V, Bartolucci P, Hodel J, Gaston A.
Intracranial aneurysms in sickle cell disease: Aneurysms characteristics and
modalities of endovascular approach to treat these patients. J Neuroradiol.
2020 May;47(3):221-226.
10. Vlak MH, Rinkel GJ, Greebe P, van der Bom JG, Algra A. Trigger factors for
rupture of intracranial aneurysms in relation to patient and aneurysm
characteristics. J Neurol. 2012 Jul;259(7):1298-302.
11. Rinkel GJ, Wijdicks EF, Vermeulen M, Ramos LM, Tanghe HL, Hasan D,
Meiners LC, van Gijn J. Nonaneurysmal perimesencephalic subarachnoid
hemorrhage: CT and MR patterns that differ from aneurysmal rupture. AJNR
Am J Neuroradiol. 1991 Sep-Oct;12(5):829-34
12. Canhão P, Ferro JM, Pinto AN, Melo TP, Campos JG. Perimesencephalic and
nonperimesencephalic subarachnoid haemorrhages with negative
angiograms. Acta Neurochir (Wien). 1995;132(1-3):14-9
13. Lindsay KW. Sub Arachnoid Haemmorhage. In: Neurology and
Neurosurgery Illustrated, 4th ed. Churchill Livingstone,Elsevier;2004: 273-
298
14. Siasios J, Kapsalaki E, Fountas K. Surgical Management in Subarachnoid
Hemmoraghe. International Journal of Pediatrics 2012;1-10

Anda mungkin juga menyukai