Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

SUBDURAL HEMATOMA (SDH)


Disusun untuk Melengkapi Tugas Profesi Ners Departemen Surgical

Disusun Oleh :

Komang Ayu Eka Wijayanti


180070300111020

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

1
1. Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal
memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya
arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di
otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa
minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang
menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Gambar 1. Hematoma Subdural

2. Anatomi
2.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit,connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galeaaponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang
longgar danpericranium.

2
Gambar 2. Anatomi Lapisan Pembungkus Otak

2.2 Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal danoksipital.Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis,
namun di sinidilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata
sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagianbawah batang otak dan serebelum.
2.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu:

1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat
pada permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinussagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus

3
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam darikranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang palingsering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan
dari dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari
pia mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis.4 Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. 3 Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia mater.6

2.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat
padaorangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
proensefalon (otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) danrhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata danserebellum retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalamfungsi
koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 3. Lobus Otak

2.5 Cairan serebrospinalis


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari

4
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.

2.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
2.7 Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior
otak dan membentuksirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.

3. Etiologi Dan Faktor Resiko


Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:1
• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin,
hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma
serebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau
metastase dural.
• Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural
spinal, lumboperitoneal shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui

Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :


• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan
serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan
alkohol kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi
antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit kardiovaskular (hipertensi,
arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus.

5
Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan
pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid
lebih banyak ditemukan pada pasien hematoma subdural kronik pada pasien
usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih tua, penyakit kardiovaskular dan
hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien dengan hematoma
subdural kronik dalam terapi aspirin.

4 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak
dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid. Karena
otak yang diselimuti cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus
venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada
trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana vena tersebut
menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala
akut menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah
parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak.
Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah dilaporkan,
disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan diantara hemisfer bagian
medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari
arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik
akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-
anak kecil perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium
sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby
syndrome).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan terbentuk jaringan ikat yang menyerupai kapsula. Gumpalan darah lambat
laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung sehingga
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intrakranial yang
meningkat secara perlahan-lahan.

6
Gambar 4. Proses Terjadinya Hematoma Subdural

Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.


Bridging vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak
mengecil, sehingga walaupun hanya mengalami trauma ringan dapat
menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena
perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga
berlangsung lebih lama dibandingkan pada perdarahan epidural, berkisar dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Pada hematoma subdural yang kecil sering
terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya
menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula baik pada bagian dalam
dan bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh
darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh
darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam
penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena.
Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intrakranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada
hematoma subdural kronik, didapatkan juga bahwa aliran darah ke thalamus dan
ganglia basalia lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

7
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah
akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di
dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik
yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata
dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik
ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang
ke dua mengatakan bahwa terjadi perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik. Faktor angiogenesis juga
ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena
turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar
membran atau kapsula dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level
abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya
pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan
secara bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang
bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut
adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis, yang menempel pada
dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga
mengakibatkan skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat
menimbulkan perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan
pada perdarahan subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada
kemampuan reparasi tubuh setiap individu sendiri.

5. Klasifikasi
1 Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang
dari 48 jam setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat
sehingga dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien, serta
baik kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi hiperdens
2 Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari,
sekitar 2 sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami
periode tidak sadar, kemudian mengalami perbaikan status neurologi
yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita akan
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit
dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal.
Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan
batang otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau

8
hipodens. Lesi isodens ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah
merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3 Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah
trauma atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu berminggu-
minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak
jelas. Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik,
hematoma atau perdarahan yang terjadi lama kelamaan dapat membesar
secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan penekanan
dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat
yang terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang lebih baru,
kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk atau dalam ukuran yang
masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembus
dinding ini dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
meningkatnya volume hematoma
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang
dapat menghisap cairan dari ruangan subarachnoid. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi
hipodens.

6 Manifestasi Klinis
a) Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam pasca trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma
otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan
cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
b) Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena
dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun dalam jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang

9
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan
oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c) Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi
perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10
hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke
dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, trauma yang terjadi dianggap ringan, sehingga selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma
subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis seperti:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.

7. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.

Gambar 5. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.

10
2. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
10. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.

8. Penatalaksanaan
a. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan
terjadi terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH
kronis dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat
gejala neurologis masih merupakan hal yang controversial.
 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm
pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa
melihat GCS pasien. (surgical guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS
kurangdari 9) harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm
dan midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot
jika skor GCS berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang
anisokor dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.

Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan
evakusai terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat
dibawah anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan
untuk pasien yang terutama memiliki polimorbid dengan
kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang
kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.TDC

11
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada
tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah
menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling
sering digunakan untuk SDH kronis. Burr holes dimaksudkan untuk
mengevakuasi SDH secaracepat dengan lokal anestesi. BHC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30mm pada
tengkorak. Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma
yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma
cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai
volume hematoma lebih dari 200 ml.
 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga
memberikan dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area
operasi yang luas. Metoda ini juga merupakan metoda yang paling
invasif, karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang
keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar
dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya
jika terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau
terkalsifikasi, kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang
subdural, atau terdapat membran yang tebal. Pada craniostomy
dibuat sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu
dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan
mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga
dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat
akan ditanam pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema
pada otak, lalu setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.
 Subtemporal decompressive craniectomy
 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.

Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan,


dan elvauasi yang dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi
tertentu.

b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien
yang asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien
yang memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi.25 Meskipun metoda
drainase operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis
tetapi beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.25
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan
menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala
klinis yang muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan,
dan ada tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial

12
seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis
untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu
pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur
memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga
secara umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan:27
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan
cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:


 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan
koagulopati dan memerlukan suatu penyesuaian kembali profil
koagulasinya. Perbaikan terhadap faal hemostasis sangatlah penting
pada semua psien dengan subdural hematoma. Semua pasien yang
sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan
penggunaan antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien
harus dilakukan pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT
(partial thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.
 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi
faktor penting dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti :
Tissue plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor
inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.
 Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh
tulang yang terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat
dijelaskan menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan
hubungan antara volume otak, cairan likuor cerebrospinal, dan aliran
darah dikepala sebagai pembentuk volume intrakranial.29

Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah

Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume
tersebut meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya
tekanan intrakranial akan segera meningkat. Peningkatan tekanan
intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro Vascular Resistant)
sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion
pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan
Cushing response.29

13
CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial
Pressure) - ICP (Intracranial Pressure)

Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha


mempertahankan tekanan perfusi dengan meningkatkan MAP,
sehingga tekanan darah akan meningkat disetai dengan bradikardia,
dan bradipnea. Oleh karena itu untuk mempertahankan aliran darah
ke otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan dimana tekanan
perfusi otak bernilai sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial
<20mmHg.30Beberapa upaya yang bisa di lakukan untuk mencegah
dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:30
o Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse
tredelenberg jika terdapat intsabilitas spinal
o Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat
dimonitor dengan analisis gas darah serial)31
o Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB,
untuk membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga
beban cairan akan ditarik masuk kedalam ruang intravaskular.
Sebelum memilih menggunakan manitol perlu untuk mengetahui
fungsi ginjal pasien.
o Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan
tekanan intrakranial,oleh karena itu pemberian obat-obatan
sedasi atau analgesia akanmengurangi kecemasan , ketakutan
dan respon terhadap nyeri berupa postural spontan yang
merupakan factor yang mempengaruhi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dapat ditangani dengan menggunakan
morphine 2-5 mg/kg/jam dan vecuronium 10 mg/jam
o Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.32
o Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan
phenytoin 18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.33
o Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk
menururnkan TIK, dengan metoda operatif ventriculostomy (burr
hole).

9. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien subdural hematoma adalah sebagai
berikut :
1. Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
 Hemiparese/hemiplegia
 Disfasia / afasia
 Epilepsi
 Hidrosepalus
 Subdural empiema
 Stroke
 Encephalitis

14
 Abses otak
 Adverse drugs reactions
 Tumor otak
 Perdarahan subarachnoid
2. Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
 Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
 Pada subdural hematom kronis :
 Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
 Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

15
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
3. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
1) Kesadaran  GCS.
2) Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
3) Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
Skala Koma Glasgow

d. Sistem pencernaan
1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar 
tanyakan pola makan?
2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan  disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak.
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos -
coma).
5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.

16
8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
9. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
10. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
11. Risiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.

Kriteria evaluasi :

Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-
tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.

Rencana tindakan :

a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari
pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat
meningkatkan tekanan Pa CO 2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam
pemberian tidal volume.
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih
panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi
terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan
meningkatkan resiko infeksi.
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan
ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :

Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

Rencana tindakan :

17
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat
disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau
masalah terhadap tube.
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan
yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang
tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum
banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk
mencegah hipoksia.
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua
bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi
motorik.

Kriteria hasil :

Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.

Rencana tindakan :

a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.


Rasional : Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat
kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.

Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal


peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.

b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.


Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat
kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan
metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi.
Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena
jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan
pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.
e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan
tekanan intrakrania.

18
f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.
g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar
(kolaborasi). Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi /
kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga
dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan
inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan
kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan
tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat
meningkatkan pemakaian oksigen otak.

4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos -


coma)
Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
a. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama
yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
b. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata
dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan
yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman,
mencegah infeksi dan keindahan.
c. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus
dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
d. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga
lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga.
Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di
ruangan.
e. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak


adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
b. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.

19
c. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah
yang menonjol.
d. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan
memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
f. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
g. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
h. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8
jam.
i. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
dengan menggunakan H2O2.

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.


Tujuan: Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat,
berkeringat dingin.
b. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
c. Kurangi rangsangan.
d. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
e. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
f. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

7. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.


Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang
Kriteri evaluasi :
Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan
meningkat.
Rencana tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
b. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
c. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak
tahuan.
d. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
e. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.

20
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan
keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.

8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan


menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat
badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur
bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan
kecil dapat dibantu.

Intervensi:

a. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,


mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan.
b. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
c. Perawatan kateter bila terpasang.
d. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
e. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

9. Risiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit
baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji intake dan out put.


b. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun
atau mata cekung dan out put urine.
c. Berikan cairan intra vena sesuai program.

10. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau


meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.

Intervensi:

a. Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon


terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan
menurun, dan kejang.
b. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
c. Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
d. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
e. Berikan analgetik sesuai program.

21
11. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Klien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada
pus dari luka, leukosit dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji adanya drainage pada area luka.


b. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
c. Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
d. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit
kepala, demam, muntah dan kenjang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Meagher RJ et al. Subdural Hematoma. Last Updated 8 January 2015.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview
[diakses tanggal: 6 November 2015]
Campellone JV. Subdural Hematoma. Last Updated 27 July 2014. Available
from: https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000713.htm [diakses
tanggal: 6 November 2015]
BMJ Publishing Group. Subdural Hematoma. Last Updated 26 Augustus
2015. Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/416/basics/epidemiology.html [diakses tanggal: 6 November
2015]
Adhiyaman A, Asghar M, Bowmick BK. Chronic Subdural Hematoma in The
Elderly. Department of Geriatric Medicine, Glan Clwyd District General Hospital.
UK. 2001:71-74
Japardi I. Anatmi Tulang Tengkorak. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara. USU Digital Library. 2003:1-7.
Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT
Gramedia.2008.
Charles, F. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, Edition Ninth. United
State of America: The McGraw-Hill.
Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven,
halaman 837-843.
David CA, Arle JE. Trauma to the Brain dalam: Jones HR, Srinivasan J,
Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology 2nd edition. 2012;13(59) halaman 552-
561.
Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC.
Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan
Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297-
306. FK USU: Medan.
Suman S, Meenakshisundaram S, Woodhouse P. Bilateral chronic subdural
haematoma: a reversible cause of parkinsonism. J R Soc Med. 2006. 99(2):91-2.
Giray S, Sarica FB, Sen O, Kizilkilic O. Parkinsonian syndrome associated
with subacute subdural haematoma and its effective surgical treatment: a case
report. Neurol Neurochir Pol. 2009. 43(3):289-92.
Kotwica Z, Brzezinski J. Acute subdural haematoma in adults: an analysis
of outcome in comatose patients. Acta Neurochir (Wien). 1993. 121(3-4):95-9
Morinaga K, Matsumoto Y, Hayashi S, Omiya N, Mikami J, Sato H, et al.
[Subacute subdural hematoma: findings in CT, MRI and operations and review of
onset mechanism]. No Shinkei Geka. 1995 Mar. 23(3):213-6.
Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma , MedlinePlus Medical Encyclopedia,
2012.
Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma , Medscape Reference, 2011.
Kaye, A. 2006. Textbook of Surgery Third edition hal 417-425. USA:
Blackwell Publishing.

23
Markwalder TM. Chronic subdural hematomas: a review. J Neurosurg. 1981
May; 54(5):637-45.
Senturk S, Guzel A, Bilici A, Takmaz I, Guzel E, Aluclu MU, et al. CT and
MR imaging of chronic subdural hematomas: a comparative study. Swiss Med
Wkly. 2010 Jun 12;140(23-24):335-40.
Bullock MR,Chesnut R, Ghajar J, Gordon D,et al. Surgical management of
TBI author group vol.58 number 3,Neurosurgery. 2006.pg :s2-1 - s2-66.
Osborn AG BS, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo N,
Heldlund GL, Illner A, Harnsberger HR, Cooper JA, Jones BV, Hamilton BE
editor. Diagnostic Imaging Brain. 1st ed. Salt Lake City, Utha, USA: Amirsys;
2004.
Soleman J,Taussky P,Fandino J, Muroi C.2014. Evidence-based treatment
of chronic subdural hematoma. INTECH pg.250-271.USA.
Ducruet AF, Grobelny BT, Zacharia BE, Hickman ZL, DeRosa PL,
Anderson K, et al. The surgical management of chronic subdural hematoma.
Neurosurg Rev. 2012 Apr; 35(2):155-69; discussion 69.
Santarius T, Kirkpatrick PJ, Kolias AG, Hutchinson PJ. Working toward
rational and evidence-based treatment of chronic subdural hematoma. Clin
Neurosurg. 2010;57:112-22.
Weigel R, Schmiedek P, Krauss JK. Outcome of contemporary surgery for
chronic subdural haematoma: evidence based review. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2003 Jul;74(7):937-43.
Lee KS,Bae HG,Yun Gyu. Small-sized Acute subdural hematoma: operate
or not.Journal of Korean Medical Science.1992.52-57.
Sambavian M. An overview of chronic subdural hematoma: Experience with
2300 urgical cases. Surg Neurol. 1997(47):418-22.
Ngoerah, I Gst Ng Gd. Dasar – dasar ilmu penyakit saraf.Airlangga
University Press:Surabaya.1991.
Rosner MJ, Rosner SD, Johnson AH. Cerebral perfusion pressure:
management protocol and clinical results. J Neurosurg. 1995;83:949-962.
Oertel M, Kelly DF, Lee JH, et al. Efficacy of hyperventilation, blood
pressure elevation, and metabolic suppression therapy in controlling intracranial
pressure after head injury. J Neurosurg. 2002;97:1045-1053
Tokutomi T, Morimoto K, Miyagi T, et al. Optimal temperature for the
management of severe traumatic brain injury: effect of hypothermia on
intracranial pressure, systemic and intracranial hemodynamics, and metabolism.
Neurosurgery. 2003;52:102-111.
Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, et al. High-dose barbiturate
control of elevated intracranial pressure in patients with severe head injury. J
Neurosurg. 1988;69:15-23.

24

Anda mungkin juga menyukai