Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumocephalus (intracranial ariocele) mengacu pada adanya gas


intrakranial, dan dalam sebagian besar kasus gas adalah udara. Istilah ini
mencakup gas di salah satu kompartemen intracranial, bisa ada di berbagai
kompartemen tergantung penyebab yang mendasarinya, dan paling sering ditemui
setelah trauma atau pembedahan.1
Pneumocephalus dapat di klasifikasikan menjadi early (< 7 hari) dan
delayed (> 7hari) atau menurut lokasinya yaitu ekstrakranial (subaponeurotic
space ) dan intrakranial (subarachnoid space, subdural, intraserebral, ventrikel) .2
Terdapat dua mekanisme yang diterima dalam terjadinya pneumocephalus, yaitu
efek dari “ball valve” dan “soda bottle effect” . Penyebab pneumocephalus dapat
berupa trauma, infeksi dan post operatif dari 295 pasien dengan pneumocephalus
didapatkan 75% disebabkan oleh trauma, lalu 9% adalah infeksi otitis media
kronis, dan sisanya dari post operatif, seperti pembedahan kranial, THT seperti
sinus paranasal reseksi septum hidung, atau polypectomy hidung.1
Pneumocephalus dapat menyebabkan sakit kepala, mual, muntah, rasa
tidak nyaman, pusing, dan kejang. Kadang-kadang pasien mengeluhkan sensai
“gurgling” .3 Ketika pneumocephalus menyebabkan hipertensi intrakranial dan
memiliki efek massa, itu disebut Tension Pneumocephal (TP) . Jika tidak
didiagnosis dini dan diobati dengan benar, TP bisa berakibat fatal.
CT Scan merupakan modalitas utama untuk mendiagnosis
pneumocephalus, hipodens area subdural bilateral (HU -1000), menyebabkan
kompresi dan pemisahan lobus frontal sehingga membentuk “Mount Fuji Sign”
sebagai tanda patognomonik pneumocephalus.4

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pneumocephalus

1.1 Anatomi

1.1.1 Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu;  skin  atau

kulit,  connective   tissue  atau   jaringan   penyambung,  aponeurosis  atau   galea

aponeurotika,  loose   conective   tissue  atau   jaringan   penunjang   longgar   dan

pericranium. 5

1.1.2 Tulang Tengkorak 

Tulang  tengkorak  terdiri  dari  kubah (kalvaria)  dan basis  kranii.  Tulang

tengkorak   terdiri   dari   beberapa   tulang   yaitu   frontal,   parietal,   temporal   dan

oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal bersifat tipis, namun di sini

dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat

melukai   bagian   dasar   otak   saat   bergerak   akibat   proses   akselerasi   dan

deselerasi.  Rongga tengkorak dasar dibagi atas  3 fosa yaitu : fosa anterior

tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang

bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. 6

2
Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis.
Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina
cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis
menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang lubang halus pada lamina cribrosa
dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera.
Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars
orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau
periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis
cranii fossa anterior.

3
Fossa cranii media terdiri dari :
- Medial : yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis
- Lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung
lobus temporalis cerebri pars squamous pars os temporal
- Anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis
opticus yang dilaluioleh n.opticus dan a.oftalmica
- Posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os
sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius
dan n. abducens
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan
ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani
dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera.
Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi
(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars
perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral
sinus cavernosus robek.

4
Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons
dan medulla oblongata.
- Anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os temporal
- Posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital.
Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan
squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh
medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens
n. accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah
otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di
otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap
nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai
foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.

5
1.1.3 Meningen 

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 

lapisan yaitu:5,6

1. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena   tidak   melekat   pada   selaput   arachnoid   di   bawahnya,   maka   terdapat

suatu   ruang   potensial   (ruang   subdura)   yang   terletak   antara   duramater   dan

arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada pemisahan dua

lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus duramatis yang berisi darah

vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena pada

otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus­sinus ini

dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria yanitu sinus sagitalis superior.

Sinus sagitalis inferior, sinus transversusdan sinus sigmoidea. Sinus pada basis

cranii   antara   lain:   sinus   occipitalis,   sinus   sphenoparietal,   sinus   cavernosus,

sinus   petrosus.   Pada   cedera   otak,   pembuluh­pembuluh   vena   yang   berjalan

6
pada   permukaan   otak   menuju   sinus   sagitalis   superior   di   garis   tengah   atau

disebut  Bridging   Veins,   dapat   mengalami   robekan   dan   menyebabkan

perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus

transversus   dan   sinus   sigmoideus.   Laserasi   dari   sinus­sinus   ini   dapat

mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater

dan   permukaan   dalam   dari   kranium   (ruang   epidural).   Adanya   fraktur   dari

tulang   kepala   dapat   menyebabkan   laserasi   pada   arteri­arteri   ini   dan

menyebabkan   perdarahan   epidural.   Yang   paling   sering   mengalami   cedera

adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). 

2 Selaput Arakhnoid.

Selaput   arakhnoid   merupakan   lapisan   yang   tipis   dan   tembus   pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater

sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater

oleh  ruang potensial,  disebut  spatium  subdural  dan dari  pia mater  oleh

spatium   subarakhnoid   yang   terisi   oleh   liquor   serebrospinalis.4  Dari

arachnoidea   menonjol   ke   luar   tonjolan­tonjolan   mirip   jamur   ke   dalam

sinus­sinus   venosus   utama   yaitu   granulationes   pacchioni

(granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat

di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa

liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Perdarahan

subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3 Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.Pia mater adalah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan

masuk   kedalam   sulci   yang   paling   dalam.   Membrana   ini   membungkus

7
saraf. Arteri­arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh

pia mater. 

1.1.4 Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa

sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak

depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)

dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata

dan serebellum.  

Fisura   membagi   otak   menjadi   beberapa   lobus.   Lobus   frontal

berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.

Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.

Lobus   temporal   mengatur   fungsi   memori   tertentu.   Lobus   oksipital

bertanggung   jawab   dalam   proses   penglihatan.   Mesensefalon   dan   pons

bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran

dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.

Serebellum   bertanggung   jawab   dalam   fungsi   koordinasi   dan

keseimbangan.4,5

1.2 Definisi

8
Pneumocephalus (intracranial ariocele) mengacu pada adanya gas intrakranial,
dan dalam sebagian besar kasus gas adalah udara. Istilah ini mencakup gas di
salah satu kompartemen intracranial, bisa ada di berbagai kompartemen
tergantung penyebab yang mendasarinya, dan paling sering ditemui setelah
trauma atau pembedahan.1

1.3 Etiologi

Etiologi Pneumocephalus antara lain trauma (misalnya mekanik atau


barotrauma), post operatif (instrumentasi, misalnya bedah saraf, penyumbatan
saluran ventrikel eksternal, operasi sinus, anestesi peridural setelah kraniotomi
supratentorial) pneumocephalus dapat menetap pada beberapa pasien pada
minggu ke-3 pasca operasi, tetapi tidak diharapkan untuk bertahan setelah ini,
infeksi (misalnya pneumocephalus otogenic (pada otitis media kronik),meningitis
dari organisme pembentuk gas (jarang) ). 7
1.4 Patogenesis Pneumocephalus
1. Ball Valve
Udara masuk ke rongga tengkorak melalui defek ketika adanya tekanan
yang besar (misalnya batuk, bersin dll) kemudian udara tersebut tidak
dapat keluar secara pasif (tekanannya tidak cukup besar).8
2. Inverted soda bottle effect
Efek ini dipengaruhi drainase CSF, Pada dasarnya, drainase CSF dari
tulang belakang menciptakan tekanan negative ke intrakranial, yang
menahan udara. "Mekanisme untuk masuknya udara ke dalam
kompartemen intrakranial analog dengan masuknya udara ke botol soda
terbalik saat cairan mengalir keluar, gelembung udara terbawa ke atas
dan terjebak".
1.5 Manifestasi Klinis
- Sakit kepala di 38%
- Mual dan muntah
- Seizure
- Pusing
- Status neurologis terganggu,

9
1.6 Peran radiologi pada pneumocephalus
CT Scan merupakan golden standart untuk mengakkan diagnosis
pneumocephalus gas pada CT akan memiliki kepadatan yang sangat rendah
(~ -1000HU) tetapi harus dipastikan bahwa itu bukan lemak yang mana
memiliki kepadatan jauh lebih tinggi (-90HU) karena sama sama tampak
sepenuhnya hitam pada brain window.;9
- Gambaran yang di dapatkan adalah daerah hipodens di subdural dan
bilateral (Hounsfield koefisien - 1000), sehingga menyebabkan kompresi
dan pemisahan dari lobus frontal (fissure interhemispheric melebar),
dengan ujung lobus frontal terpisah  “Mount Fuji Sign” yang merupakan
tanda patonogmonik.

a) Mount Fuji sign b) Air bubble sign

1.7 Tatalaksana

1. Sebagian besar (85%) diserap kembali secara spontan, tanpa intervensi dan
dengan sedikit manifestasi klinis proses reabsorpsi pasif mungkin
memerlukan waktu beberapa minggu.
2. Manajemen konservatif: Terdiri dari menempatkan kepala pasien elevasi
(30 °) dan menghindari Valsava manuver (batuk, bersin, mengejan).
Sebagai samping, strategi pencegahan ini juga termasuk menghindari
pengambilan aeromedical.

10
3. Isobaric oxygen: setelah 24 jam oksigen 100% dengan masker, penelitian
menemukan bahwa volume rata-rata pneumocephalus pasien mereka
menurun lebih dari pada pasien yang hanya memiliki udara ruangan.10
4. Oksigen hiperbarik menurut penelitian menemukan bahwa 1-jam dengan
tekanan O2 2,5 atm menghilangkan pneumocephalus jauh lebih cepat
daripada standar 5L / menit nasal canule.11
5. Manajemen bedah terutama ditunjukkan dalam konteks pneumocephalus
simptomatik atau Tension Pneumocephalus.

1.9 Prognosis
Trauma yang menimbulkan pneumatocele atau gelembung udara yang berjumlah
satu memiliki prognosis yang baik seperti lesi di fronto basal sedangkan bila
memiliki beberapa gelembung udara maka prognosisnya menjadi buruk .
Udara di intrakranial adalah tanda fraktur frontobasal atau laterobasal.
Dalam kasus-kasus dengan patah tulang tengkorak yang kompresi, hematoma
ekstraserebral atau pneumocephalus dapat menjadi sebagai space occupying
lesion dan tindakan, operasi harus dilakukan sesegera mungkin.
Jika dihubungkan dengan rhinorrhea persisten, fistula-CSF harus
dioperasi sesuai dengan aturan yang diterima secara umum. Pada kasus pasca
trauma lain, udara intrakranial mungkin diabaikan, meskipun keberadaannya
dapat mempengaruhi pilihan pengobatan.12
2. Sinus Paranasal
2.1 Anatomi
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung . Pada
sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang

11
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore .Sinus maksila berbentuk piramid.
- Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut
fossa canina,
- Posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila,
- Medialnya adalah dinding lateral rongga hidung,
- Dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah
prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
2. Sinus Frontal
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus .

12
- Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini
- Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid
3. Sinus Etmoid
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
lebah, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak
di antara konka media dan dinding medial orbita
- Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di
meatus superior
- Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila.
- Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa.
- Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga
- Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid
4. Sinus Sphenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Batas-batasnya ialah;
- Sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring.
- Sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis
interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons

13
2.2 Manifestasi Radiologi Sinus Paranasal
- Foto polos X ray
Sinusitis : Akut  adanya air-fluid level, atau peningkatan opasitas yang
paling baik dilihat di sinus maxilaris
- CT Scan
Sinusitis : Akut  Penebalan mukosa perifer, air fluid level, adanya
gelembung gas di dalam cairan dan obstruksi di ostiomeatal kompleks
Kronik  hyperostosis (penebalan sklerotik tulang ) termasuk
dinding sinus karena reaksi mukoperisteal
 Intrasinus kalsifikasi
- MRI
T1  Penebalan mukosa; isointense , cairan ; hipointense
T2  penebalan mukosa dan cairan  hiperintense
T1C+ (Gd)  mukosa yang meradang adanya penyengatan sedangkan
cairan tidak

3. Peningkatan Tekanan Intrakranial


Manifestasi Radiologi
1. Foto Polos Kepala
a. Erosi dorsum sellae
Pada orang dewasa biasanya terjadi erosi dorsum sellae dan
merupakan gambaran yang khas. Pada tekanan tinggi
intracranial yang lama seluruh dorsum sellae mungkin tidak jelas
terlihat. Sebenarnya erosi prossesus posterio dan dorsum sellae
disebabkan oleh tekanan dari dilatasi ventrikel III dan pada
umumnya ditemukan pada penderita dengan tumor pada fossa
posterior dan hidrosefalus.
Erosi sellae oleh karena tekanan tinggi intrakranial harus
dibedakan dari lesi destruksi lokal. Selain daripada adenoma
pituitaria yang terdiri atas meningioma, chordoma,
craniopharyngioma dan aneurisma

14
b. Pergeseran kelenjar pineal
Pada proyeksi Towne dengan kualitas filma yang baik, kelenjar
pineal terlihat terletak di garis tengah. Jika terjadi pergeseran dari
kalsifikasi kelenjar pineal lebih dari 3 mm pada satu sisi garis
tengah,menunjukkan adanya massa intrakranial. Pada umumnya
sebagai penyebabnya adalah tumor intrakranial, tetapi lesi
seperti subdural hematom dan massa non neoplastik dapat
menyebabkan hal yang sama
c. Kalsifikasi Patologi
Pada space occupying lession dapat terlihat adanya kalsifikasi
yang patologik. Keadaan ini terlihat dengan gambaran radiologik
kira-kira pada 5%-10% kasus.
2. COMPUTERIZED TOMOGRAPHY / CT SCAN
Masa tumor menyebabkan kelainan pada tulang tengkorak yang
dapat berupa erosi atau hiperostosis, sedang pada parenkim dapat
merubah struktur normal ventrikel, dan juga dapat menyebabkan
serebral edema yang akan terlihat berupa daerah hipodensitas. Setelah
pemberian kontrast, akan terlihat kontrast enhancement dimana tumor
mungkin terlihat sebagai daerah hiperdensiti.
3. MAGNETIC RESONANCE IMAGING
MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan
antara tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan
jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi.
4. Angiografi serebral.
Untuk mengetahui deviasi pembuluh darah.
Kenaikan tekanan intrakranial sering memberikan gejala klinis yang dapat
dilihat seperti :
1. Nyeri Kepala
2. Muntah
3. Kejang
4. Papil edema
5. Gejala lain yang ditemukan:

15
 False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral,
respons ekstensor yang bilateral, kelainann mental dan gangguan
endokrin
 Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi
tumor yaitu :
i. Tumor lobus frontalis
Karakteristik dari tumor lobus frontalis adalah ditemukannya
gangguan fungsi intelektual. Ada 2 tipe perubahan kepribadian:
- apatis dan masa bodoh
- euforia
Tetapi lebih sering ditemukan adalah gabungan dari kedua tipe
tersebut. Bila masa tumor menekan jaras motorik maka
akan menyebabkan hemiplegi kontralateral. Tumor pada lobus
yang dominan akan menyebabkan afasia motorik dan disartri.
ii. Tumor lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat menyebabkan bangkitan
kejang umum atau fokal, hemianopsia homonim, apraksia. Bila
tumor terletak pada lobus yang dominan dapat menyebabkan
afasia sensorik atau afasia sensorik motorik, agrafia dan finger
agnosia.
iii. Tumor lobus temporalis
Tumor yang letaknya dibagian dalam lobus temporalis dapat
menyebabkan hemianopsia kontralateral, bangkitan psikomotor
atau bangkitan kejang yang didahului oleh auraolfaktorius,
atau halusinasi visual dari bayangan yang kompleks. Tumor
yang letaknya pada permukaan lobus dominan dapat
menyebabkan afasia sensorik motorik atau disfasia.
iv. Tumor lobus oksipitalis
Tumor lobus oksipitalis umumnya dapat menyebabkan kelainan
lapangan pandang kuadrantik yang kontralateral atau
hemianopsia dimana makula masih baik. Dapat terjadi

16
bangkitan kejang yang didahului oleh aura berupa kilatan sinar
yang tidak berbentuk.
v. Tumor fossa posterior
Tumor pada ventrikel IV dan serebelum akan menggangu
sirkulasi cairan serebrospinalis sehingga memperlihatkan gejala
tekanan tinggi intrakranial. Keluhan nyeri kepala, muntah
dan papil edem akan terlihat secara akut, sedangkan tanda-
tanda lain dari serebelum akan mengikuti kemudian.

BAB III
17
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. U Alamat : Karang Asem Sayung


Demak

Usia : 36 tahun Pekerjaan : Buruh

Tanggal lahir : 23 Februari 1982 Agama : Islam

Pasien masuk ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro, Semarang pada hari Rabu
tanggal 31 Oktober 2018

1.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan istri dan anak pasien di ruang
Prabu Kresna pada hari Selasa tanggal 5 November 2018 pukul 15.00.

Keluhan Utama: Sakit kepala post trauma

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dibawa keluarganya ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro


Semarang pada tanggal 31 Oktober 2018 dengan keluhan sakit kepala. Sakit
kepala dikeluhkan sejak tanggal 31 Oktober setelah tertimpa tembok yang jatuh
mengenai kepala pasien, saat pasien bekerja sebagai buruh.Pasien tidak
menggunakan alat pelindung kepala seperti helm saat bekerja.Pasien dalam
kondisi sadar saat dibawa ke IGD, dan pasien menunjukan gejala pusing, mual
dan muntah sebanyak dua kali berisi cairan saat dijahit serta mengeluarkan darah
dari hidung . Tidak ada cairan yang keluar dari telinga, kelemahan anggota gerak
ataupun penurunan kesadaran.

Riwayat Penyakit Dahulu

18
Pasien sering mengalami vertigo tetapi tidak pernah berobat. Keluarga
pasien mengatakan pasien sehari-hari tidak mengonsumsi obat-obatan apapun.
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus ataupun
sakit jantung.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengaku tidak ada anggota keluarga mengalami hal yang
serupa dengan pasien. Riwayat darah tinggi, kencing manis, dan sakit jantung
pada keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan

Pasien merupakan perokok aktif 1 bungkus perhari .Kebiasaan minum


alkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum: Tampak sakit sedang


 Kesadaran: E3V5M6
 Tanda-tanda vital:
 Tekanan darah : 112/65 mmHg
 Frekuensi nadi : 69 kali/menit
 Frekuensi napas : 24 kali/menit
 Suhu tubuh : 36,4oC
 Data Antropometri : BB 60 kg; TB 170 cm (IMT 20,76 kg/m2)
Kesan: Normal

Pemeriksaan Sistem

 Kepala : Bentuk normal (normocephali), rambut hitam terdistribusi merata,


tidak ada benjolan.
 Leher : Tidak ada deviasi trakea, tidak teraba benjolan.
 Thoraks :

a. Pulmo :
o Inspeksi : Dinding toraks kanan dan kiri simetris, retraksi dada (-/-).
o Palpasi : Stem fremitus terdengar sama kuat kanan dan kiri.
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
o Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, tidak terdengar ronkhi
maupun wheezing.

19
b. Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
o Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea MCS.
o Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, tidak ada bunyi jantung
tambahan.
 Abdomen :
o Inspeksi : Tampak rata.
o Auskultasi : Bising usus positif.
o Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen.
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-).
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik.
 Tulang belakang : Tidak ada kelainan.
 Kulit : Tidak ada kelainan.
 Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran KGB di leher, aksila dan
inguinal.
Pemeriksaan Neurologis

 Rangsang meningeal
o Kaku kuduk : (-)
o Brudzinski I, II, III, IV : (-)
o Kernig sign : (-)
o Lasegue sign : (-)
 Nervus II (N.Optikus) : refleks pupil langsung dan tak langsung (+).
 Reflex Fisologis
o Refleks Biseps : (+/+)
o Refleks Triceps : (+/+)
o Refleks Brachialis : (+/+)
o Refleks Patella : (+/+)
o Refleks Achilles : tidak dilakukan.

 Reflex Patologis
o Refleks Hoffman Tromner : (-/-)
o Refleks Babinski : (-/-)
o Refleks Chaddock : (- /-)
o Refleks Oppenheim : (-/-)
o Refleks Gordon : (-/-)
o Refleks Schaefer : (-/-)

20
o Klonus paha : tidak dilakukan
o Klonus kaki : tidak dilakukan

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah

DARAH NORMAL HASIL (31-10-2018)

Hemoglobin 11,7-15,5 g/dL 16,3

Hematokrit 35-52% 46,60

Leukosit 4.000-11.000/L 9.200

Trombosit 150.000-440.000/L 117.000 (L)

21
Kimia Klinik

Ureum 17-43 mg/dL 22,4

Creatinin 0,5-0,8 mg/dL 0,8

Natrium 135-147 mmol/L 136

Kalium 3,5-5 mmol/L 5,5 (H)

Kalsium 1,12-1,32 mmol/L 1,16

GDS 70-115 mg/dL 97

Trigliserid <=150 103

Imunologi

HbsAg Negatif Negatif

Hematologi

APTT 26.0-34.0 detik 32.2

PPT 11.0-15.0 detik 10.1

22
Pemeriksaan CT Scan Kepala (1-11-18)

23
Brain Window :

Tampak lesi hipodens dengan densitas udara (CT number sekitar -950 HU) pada
tepi lobus frontoparietal kanan, tampak gelembung udara pada region suprasella
kanan dan kiri dan perifalx, dan pada kavum orbita kanan kiri

Sulcus kortikalis dan fisura sylvii sempit

24
Sistem ventrikel dan sisterna baik

Pons dan cerebellum baik

Tak tampak midline shifting

Tampak hiperdens pada sinus frontal kiri, ethmoid,maksilaris dan sphenoid kanan
kiri Mastoid air cell kanan normal, kiri tertutup kesuraman

Bulbus oculi dan N optikus kanan dan kiri masih intak

Subgaleal hematom region parietooccipital kiri dan frontal kanan

Pada Bone Window

Tampak diskontinuitas pada dinding anterior, lateroposterior dan medial sinus


maksilaris kanan, dinding posterior sinus maksilaris kiri, septu nasi, dinding
lateral sinus ethmoid dan sphenoid kanan dan kiri, dinding medial kavum orbita
kanan kiri dan dinding posterior kavum orbita kanan (sphenoid wing kanan)

Kesan :

Pneumocephali pada tepi lobus frontoparietal kanan, tampak gelembung udara


pada region suprasella kanan dan kiri dan perifalx, dan pada kavum orbita kanan
kiri

Hematosinus frontalis kiri, ethmoid , maksilaris, sphenoid kanan dan kiri

Tak tampak tanda tanda peningkatan tekanan intracranial

Fraktur dinding anterior, lateroposterior dan medial sinus maksilaris kanan,


dinding posterior sinus maksilaris kiri, septu nasi, dinding lateral sinus ethmoid
dan sphenoid kanan dan kiri, dinding medial kavum orbita kanan kiri dan dinding
posterior kavum orbita kanan (sphenoid wing kanan)

Hematom subgaleal region parietoocipital kiri dan frontal kanan

3.5 Diagnosis

Diagnosa kerja

25
Cedera Kepala Sedang

Close Fracture Of Base Of Skull

3.6 Tatalaksana

- Infus RL 20 tpm

- Ceftriaxon 2x2gr

- Ketorolac 2x30mg

- Fenitoin 3x100mg

- Ranitidin 2x50 mg

3.7 Rencana Evaluasi

- Keadaan umum dan tanda-tanda vital


- Hasil laboratorium
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial

3.9 Prognosis

Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

26
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis didapatkan seorang pasien laki-laki datang ke IGD RSUD
KRMT Wongsonegoro Semarang pada tanggal 31 Oktober 2018 dengan keluhan
sakit kepala. Sakit kepala dikeluhkan sejak tanggal 31 Oktober setelah tertimpa
tembok yang jatuh mengenai kepala pasien, saat pasien bekerja sebagai
buruh.Pasien tidak menggunakan alat pelindung kepala seperti helm saat
bekerja.Pasien dalam kondisi sadar saat dibawa ke IGD, dan pasien menunjukan
gejala pusing, mual dan muntah sebanyak dua kali berisi cairan saat dijahit serta
mengeluarkan darah dari hidung . Tidak ada cairan yang keluar dari telinga,
kelemahan anggota gerak ataupun penurunan kesadaran. Pasien sering mengalami
vertigo tetapi tidak pernah berobat. Keluarga pasien mengatakan pasien sehari-
hari tidak mengonsumsi obat-obatan apapun. Pasien tidak mempunyai riwayat
penyakit hipertensi, diabetes mellitus ataupun sakit jantung. Pasien merupakan
perokok aktif 1 bungkus perhari .Kebiasaan minum alkohol disangkal.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah normal, GCS


dengan E3V5M6 dan terdapat raccoon eyes atau periorbital ecchymosis, tidak ada
kelainan pada pemeriksaan sistem lain.

27
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan trombositopenia. Pneumocephali
pada tepi lobus frontoparietal kanan, tampak gelembung udara pada region
suprasella kanan dan kiri dan perifalx, dan pada kavum orbita kanan kiri
Hematosinus frontalis kiri, ethmoid , maksilaris, sphenoid kanan dan kiri.Fraktur
dinding anterior, lateroposterior dan medial sinus maksilaris kanan, dinding
posterior sinus maksilaris kiri, septu nasi, dinding lateral sinus ethmoid dan
sphenoid kanan dan kiri, dinding medial kavum orbita kanan kiri dan dinding
posterior kavum orbita kanan (sphenoid wing kanan) . Hematom subgaleal region
parietoocipital kiri dan frontal kanan

DAFTAR PUSTAKA

1. Dabdoub, C., Salas, G., Silveira, E. and Dabdoub, C. (2015). Review of


the management of pneumocephalus. Surgical Neurology International,
[online] 6(1), p.155. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4596054/ [Accessed 12
Nov. 2018].
2. Garland, L. and Mottram, M. (1945). Traumatic
Pneumocephalus. Radiology, 44(3), pp.237-240
3. Bernstein, A., Cassidy, J., Duchynski, R. and Eisenberg, S. (2005).
Atypical Headache After Prolonged Treatment With Nasal Continuous
Positive Airway Pressure. Headache: The Journal of Head and Face Pain,
45(5), pp.609-611.
4. Kankane, V., Jaiswal, G. and Gupta, T. (2016). Posttraumatic delayed
tension pneumocephalus: Rare case with review of literature. Asian
Journal of Neurosurgery, 11(4), p.343.
5. Snell, Richard S. Kepala dan Leher. Dalam : dr. Huriawati Hartanto, dr.
Enny Listiawati, dr. Y. Joko Suyono, dr. Susilawati, dr. Tiara Mahatmi
Nisa, dr. John Prawira, dr. Rini Cendika, editor: Anatomi Klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC.
6. Sobotta J, Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of human anatomy.
München: Elsevier; 2011.

28
7. Reasoner, D., Todd, M., Scamman, F. and Warner, D. (1994). The
Incidence of Pneumocephalus after Supratentorial
Craniotomy. Anesthesiology, 80(5), pp.1008-1012
8. Derangedphysiology.com. (2018). Pneumocephalus | Deranged
Physiology. [online] Available at:
https://derangedphysiology.com/main/required-reading/neurology-and-
neurosurgery/Chapter%20613/pneumocephalus [Accessed 12 Nov. 2018].
9. Schirmer, C., Heilman, C. and Bhardwaj, A. (2010). Pneumocephalus:
Case Illustrations and Review. Neurocritical Care, 13(1), pp.152-158.
10. Gore, P., Maan, H., Chang, S., Pitt, A., Spetzler, R. and Nakaji, P. (2008).
Normobaric oxygen therapy strategies in the treatment of postcraniotomy
pneumocephalus. Journal of Neurosurgery, 108(5), pp.926-929.
11. Paiva, W., Andrade, A., Figueiredo, E., Amorim, R., Prudente and
Jacobsen, M. (2014). Effects of hyperbaric oxygenation therapy on
symptomatic pneumocephalus. Therapeutics and Clinical Risk
Management, p.769

29

Anda mungkin juga menyukai