Anda di halaman 1dari 27

CLINICAL SCIENCE SESSION

CEDERA KEPALA

Disusun oleh:
Rianti Puti Ramadhani
12100118175

Pembimbing:
Dr. Alya Tursina, Sp.S, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2018
CEDERA KEPALA

Definisi
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria atau basis cranii serta organ-organ
di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non degeneratif / non kongenital, yang
disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif, maupun
sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.

Epidemiologi
Prevalensi nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2013 adalah 8,2%, meningkat 0,7%
dibandingkan tahun 2007. Sebanyak 40,6% cedera kepala diakibatkan oleh kecelakaan
motor. Cedera kepala menyebabkan kematian dan disabilitas di banyak negara di dunia.
Berdasarkan data yang didapatkan dari CDC, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera
kepala setiap tahun di Amerika Serikat. Menurur sebaran kelompok usia, cedera kepala
lebih banyak terjad pada pasien dengan usia produktif.

BASIC SCIENCE
ANATOMI
I. Scalp
Scalp terdiri dari kulit dan jaringan subkutan yang menutupi neurocranium dari superior
nuchal lines pada tulang oksipital terhadap supra orbital margin pada tulang frontal.
Selain itu, scalp meluas terhadap fascia temporal terhadap arkus zigomatikus. Scalp terdiri
dari 5 lapisan:
 Kulit: tipis kecuali di bagian oksipital, mengandung banyak kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, dan folikel rambut. Memiliki banyak suplai arteri dan vena serta drainase
limfatik.
 Jaringan ikat merupakan berbentuk tebal, padat, kaya vaskularisasi.
 Aponeurosis (epicranial aponeurosis) merupakan terluas,kuat, lapisan tendinosa yang
menutupi kalvaria dan menyiapkan perlekatan untuk otot dari dahi dan oksipital (otot
oksipitofrontalis) dan dari tulang temporal pada masing-masing sisi (otot
temporoparietalis dan superior aurikular.

1
 Jaringan ikat longgar merupakan lapisan seperti spons termasuk ruangan potensial
yang mungkin terisi cairan hasil dari infeksi atau cedera. Lapisan ini bergerak bebas
pada scalp yang sesuai (3 lapisan pertama kulit, jaringan ikat, dan epikranial
eponeurosis) diatas kalvaria dibawahnya.
 Pericranium merupakan jaringan ikat padat yang membentuk periosteum
neurokranium eksternal.

II. Kranium
Otak terletak pada cranial cavity yang terdiri atas tiga fossa: anterior, middle, dan
posterior cranial fossa. Setiap fossa mengakomodasi bagian tertentu dari otak dan
memiliki foramen yang memungkinkan masuk dan keluarnya penbuluh darah serta nervus
kranial.

2
Kranium merupakan skeletal pada kepala. Terbagi menjadi dua bagian yaitu neurokranium
dan viserokranium.
- Neurokranium: tulang yang membungkus otak dan pembungkus membran, meningens.
Terdiri atas 8 tulang yaitu frontal, ethmoid, sphenoid, oksipital serta sepasang temporal
dan parietal.

3
Neurokranium berbentuk seperi kubah, memiliki calvaria dan basis cranii. Calvaria
merupakan tulang pipih, kecuali tulang ethmoid terdiri atas tulang iregular. Sebagian
besar calvaria disatukan oleh jaringan ikat firbosa yang disebut dengan sutura.
Beberapa tulang pada kranium merupakan pneumatized bones, memiliki rongga udara
yang disebut dengan sinus, berfungsi sebagai penyeimbang tekanan dan diduga
menurunkan berat kranium.
- Viscerokranium terdiri atas tulang-tulang wajah yang terletak pada bagian anterior dari
kranium. Terdiri atas 15 tulang ireguler: 3 singular (mandibula, etmoid, vomer) dan 6
bilateral (maksila, inferior nasal konka, zigomatik, palatin, nasal, dan lakrimal).
Mandibula bersinggungan dengan cranial base tulang temporal yang memungkinkan
untuk bergerak, disebut temporomandibuar joints.

4
5
III. Meningens
Merupakan lapisan yang menutupi dan melindungi otak dan terletak di bagian internal
kranium. Meningen kranium berfungsi untuk: melindungi otak, membentuk
menyokong untuk arteri,vena,dan sinus venosus, dan menutupi kavitas yang terisi
cairan, ruang subarahnoid, yang mana memiliki fungsi vital pada otak.
Terdiri dari 3 lapisan membran jaringan ikat yaitu:

1. Duramater: tebal, padat, membran bilaminar yang disebut pachymeninx. Terdiri dari 2
lapisan duramater kranium yaitu lapisan periosteal eksternal dibentuk oleh periosteum
menutupi permukaan internal calvaria dan lapisan meningeal interna membran fibrosa
kuat yang berlanjut pada foramen magnum dengan dura spinal menutupi spinal cord.

Vaskularisasi duramater
Arteri pada dura disuplai lebih banyak ke calvaria daripada dura. Pembuluh darah
terbesar ini adalah arteri meningeal media cabang arteri maksilaris masuk dasar
pada fossa kranium media melalui foramen spinosum dibawa ke lateral di fossa
kembali ke supero anterior pada greater wing sphenoid, dimana terbagi kedalam
cabang anterior dan posterior (frontal branch of the middle meningeal artery dan
parietal branch of the middle meningeal artery).
Vena pada dura disertai menyertai meningeal arteri, seringkali berpasangan. Vena
meningeal media, meninggalkan cranial cavity melalui foramen spinosum atau
foramen oval, dan drainase kedalam pterygoid venous plexus.

2. Arachnoid mater: berada dibawah duramater. Lapisan avaskular dan mendapatkan


nutrisi dari cairan serebrospinal dan jaringan saraf dibawahnya.

6
3. Piamater merupakan membran yang sangat tipis dari arachnoid tetapi memiliki
varkularisasi yang tinggi.
Arahnoid dan piamater adalah membran yang berlanjut secara kolektif membuat
leptomeninx. Arahnoid terpisah dari pia mater oleh rongga subarahnoid (leptomeninx),
yang mana mengandung cairan serebrospinal. Ruang yang terisi oleh cairan membantu
menjaga keseimbangan cairan ekstraseluler di otak. Cairan serebrospinal adalah cairan
jernih yang memberikan nutrisi otak tetapi memiliki sedikit protein dan konsentrasi ion
yang berbeda. CSF dibentuk oleh choroid plexus pada ventrikel keempat pada otak.

Ruang Meningeal
- Dura cranial interface atau extradural atau ruang epidural : ruang diantara kranium
dan lapisan periosteal ekterna pada dura. Ruang extradural terbentuk hanya pada
keadaan patologis.
Potensial atau patologis ruang kranium epidural tidak berlanjut dengan ruang spinal
epidural karena dibentuk oleh eksternal periosteum yang membatasi kranium dan
internal periosteum yang menutupi vertebra.
- Dura-arachnoid interface atau ruang subdural : ruang diantara dura dan arahnoid.
Ruang ini berkembang hasil dari trauma seperti pukulan keras di kepala.
- Ruang subarahnoid diantara arahnoid dan pia mater adalah ruang yang ada tidak pada
keadaan patologis yang mengandung cairan serebrospinal, sel-sel trabekular, arteri,
dan vena.
IV. Korteks serebri

7
1. Lobus frontal
Lobus frontal terletak pada anterior sampai central sulcus, mengandung beberapa
fungsi sebagai berikut:
- Primary motor cortex terletak pada precentral gyrus, berfungsi mengontrol inisiasi
gerakan otot
- Premotor dan supplementary motor area berhubungan dengan aktifitas motor terhadap
mempertahankan postur dan gerakan
- Area Broca mengontrol pergerakan otot saat berbicara atau mengontrol artikulasi
sebelum dilanjutkan ke otot bulbar melalui nervus kranial.
- Area Brodmann terletak pada middle frontal gyrus, mengatur deviasi mata secara
volunter saat melihat lapang pandang besar

2. Lobus parietal
Lobus parietal terdiri atas:
- Somatosensori primer yang terdapat di postcentral gyrus, daerah paling anterior dari
lobus parietal. Neuron thalamokortikal berakhir di sini, berasal dari reseptor perifer
yang akan dibah menjadi rangsang bermakna.
- Lobus superior parietal berfungsi sebagai pembangunan input bagaimana tubuh
berposisi terhadap lingkungan.
3. Lobus temporal

8
Lobus temporal terdiri dari:
- Korteks auditori terletak di daerah posterior terhadap korteks auditori primer. Pada
hemisfer dominan yang disebut dengan area Wernicke's, bahasa akan diterjemahkan
dan diproses.
- Area sensori yang terlibat dalam pengenalan benda secara visual
- Bagian inferomedial dari lobus temporal membentuk hipokampus yang terletak di
dasar dari inferior horn pada lateral ventrikel. Struktur ini berperan dalam proses
belajar dan memori
- Pada anterior dari hipokampus dan lobus temporal terdapat daerah subkorteks abu
yang disebut amygdala
4. Lobus oksipital
Lobus oksipital merupakan daerah primer dari pengelihatan. Visual korteks terletak di
calcarine sulcus pada daerah medial lobus oksipital, disebut juga Brodmann area 17.
Menerima proyeksi dari nukleus lateral geniculate thalamus.

RETICULAR FORMATION
Di seluruh midbrain, pons, dan medulla oblongata terdapat kelompok sel saraf dan
serabut saraf yang tersebar, yang secara bersama-sama dikenal sebagai reticular
formation. Reticular formation terletak di substansia grisea dari daerah medulla oblongata
sampai ke midbrain dan thalamus, berfungsi untuk:
- Mengendalikan sensasi somatik dan viseral, termasuk modulasi nyeri.
- Kontrol motor somatik: beberapa nuklei mengirimkan aksonnya melalui nuklei
reticular formation. Berperan dalam mengendalikan keseimbanan, postur, dan
pergerakan tubuh.
- Kontrol kardiovaskular: termasuk pusar vasomotor jantung di medulla oblongata
- Mengendalikan ANS, endokrin
- Mempengaruhi jam biologis tubuh: reticular formation memiliki proyeksi ke thalamus
dan korteks serebral. Termasuk sebagai ascending reticular activating system (ARAS),
menghubungkan / memproyeksikan berbagai informasi sensori menuju korteks.
Karena aktivasi ARAS, seseorang berada dalam keadaan sadar penuh. Jika ARAS
dalam keadaan tidak aktif maka seseorang tertidur.

9
Kesadaran dipertahankan oleh hemisfer cerebri, termasuk pons dan medulla.
Struktur tersebut digabungkan oleh reticular formation (substansia grisea), membentuk
reticular activating system. Jaras tersebut memodulasi persepsi dan mengontrol respon
terintegrasi.

Reticular formation terbagi menjadi tiga kolum : nuklei raphe, nuklei gigantoselular
(medial) dan nuklei parvoselular (lateral). Neurotransmiter serotonin disintesis di nuklei raphe,
nuklei gigantoselular mengontrol koordinasi motorik, dan nuklei parvoselular meregulasi
ekshalasi.

Reticular Activating System


Sistem retikular (reticular formation) dipertahankan aktif oleh stimulasi sensorik
asendens. Dengan mekanisme tersebut, terutama thalamus bagian media akan
memproyeksikan secara luas ke hemisfer serebral yang disebut dengan RAS. RAS akan
mempertahankan keadaan sadar dan inaktifasi akan menyebabkan ketidaksadaran.

10
Secara anatomi, batas pasti dari RAS tidak signifikan. Sistem ini terdapat di bagian
paramedia dari pons rostral (upper) dan tegmentum midbrain; pada level thalamus,
termasuk berhubungan dengan paramedia posterir, parafasikular, dan bagian media dari
sentromedia dan nuklei intralaminar. Di batang otak, nuklei dari reticular formation
menerima jaras kontralateral spinotalamus dan trigeminal-thalamus dan memproyeksikan
tidak hanya ke korteks sensori di lobus parietal, tapi juga ke seluruh bagian korteks
serebral. Ini menyebabkan informasi yang diterima oleh otak akan mengaktifkan sistem
nervus yang mengaktifkan kesadaran korteks serebral tidak hanya menerima impuls dari
ARAS, namun juga memodulasi informasi via proyeksi kortikofugal ke reticular
formation.

Proyeksi Aferen Sistem Retikular


- Dari spinal cord:
Traktus spinoreticular
Traktus spinothalamik
Medial lemniscus
- Dari cerebellum:
Jaras serebelloretikular
- Dari nuclei nervus kranial:
Ascending afferent tracts, termasuk jaras vestibular, akustik, dan visual

11
- Spinoreticular tract, Reticular formation Cerebrum
spinothalamic tract, medial
lemniscus
- Vestibular, acoustic, visual
pathway Thalamus
- Cerebeloreticular pathway

CLINICAL SCIENCE
Klasifikasi Cedera Kepala
1. Cedera kepala tertutup
 Trauma primer: biasanya meliputi perubahan struktural
- Epidural hematoma
- Subdural hematoma
- Subarachnoid hemorrhage
- Intraventricular hemorrhage
- Kontusi cerebri

12
 Trauma sekunder:
- Iskemia
- Edema otak (vasogenik atau selular/sitotoksik)
- TTIK
- Vasospasma
- Infeksi
- Epilepsi
- Hipoksia, hiperkapnea, hiperglikemia, hipotensi, demam tinggi, anemia,
hiponatremia

2. Cedera kepala terbuka


- Trauma laserasi
- Penetrasi ke dalam kranium

Patofisiologi Cedera Kepala


Trauma kranioserebral terbagi menjadi dua jenis berdasarkan gejala yang timbul setelah
kejadian trauma yaitu:
- Simpel: cedera ringan, tanpa adanya gejala tertunda
- Kompleks: menyebabkan gejala yang muncul beberapa saat setelah cedera terjadi.

Mekanisme umum yang terjadi pada cedera kepala meliputi: (1) gangguan
kesadaran sementara, (2) meski tidak ada penetrasi kranium, otak mungkin mengalami
kerusakan (benturan, laserasi, pendarahan, dan edema). Trauma dengan penetrasi kranium
atau tanpa penetrasi cranium tapi dengan kompresi kranium yang menyebabkan tekanan
pada otak atau perubahan posisi otak dapat menyebabkan pendarahan, destruksi jaringan
otak, meningitis, abses.

13
-

1. Cedera kepala tertutup


Konkusi (concussion) merupakan benturan keras yang terjadi pada kepala dapat
menyebabkan gangguan fungsi otak sementara. Meski hal tersebut dipengaruhi oleh
kekuatan fisik yang mempengaruhi sel saraf, akson, ataupun selubung myelin (efek
getaran, pembentukan vakuola intraselular, dll). Serupa dengan kontusi (contusion)
merupakan memar pada jaringan serebral tanpa adanya interupsi secara anatomis.
Mekanisme konkusi merupakan cedera kepala tumpul, hal-hal yang perlu diperhatikan
meliputi (1) Paralisis pada cedera serebral bersifat reversible, selalu dalam waktu segera /
tidak ada delayed meski beberapa detik pun. (2) Efek dari konkusi terhadap fungsi otak
dapat berlangsung dalam waktu yang bervariasi (detik, menit, jam, atau ebih lama).
Semakin lama penurunan kesadaran karena benturan keras pada kepala, mengindikasikan
keparahan pendarahan atau kontusi. (3) Konkusi dapat dihasilkan dari perubahan tiba-tiba
momuntum pada kepala (gerakan terhempas tanpa menyentuh benda keras atau terbentur
benda keras).

14
Perubahan posisi pada serebral dapat mempengaruhi bagian atas batang otak, yang
mana secara normal dapat memberikan kemungkinan hemisfer serebral untuk bergerak,
juga hubungan terhadap jaringan tulang (kranium) dan septum/foramen. Dalam kejadian
cedera, diduga akan selalu ada pergerakan antara kranium dengan leher, yang
mengakibatkan serebrum akan mengalami sedikit rotasi pada sagital plane yang berpusat
pada midbrain dan subthalamus, yang mana keduanya berperan dalam fungsi ARAS.

2. Fraktur basis kranii dan cedera saraf kranial


Fraktur pada basis sering sulit untuk dideteksi pada foto polos kranium, namun
keberadaannya perlu dicurigai ketika terdapat beberapa tanda klinis. Fraktur pada
piramidus petrosa (petrous pyramid) sering menyebabkan deformitas pada kanal auditori
eksternal atau merobek membran timpani, sehingga adanya kebocoran cairan
serebrospinal atau darah dari perforasi membran timpani yang mengubah warna cairan
serebrospinal menjadi merah. Apabila fraktur lebih ke arah posterior, dapat merusak

15
sigmoid sinus, jaringan dibelakang telinga dan sepanjang prosesus mastoid menjadi
bengkak dan diskolorasi (Battle sign). Fraktur basal pada kranium anterior dapat
menyebabkan kebocoran darah ke jaringan periorbital, ditunjukkan dengan "racoon eyes"
atau "panda eyes". Keadaan ini dapat ditegakkan dengan CT scan kepala dengan bone
window untuk mendeteksi fraktur kranium.
Adanya fraktur basal diindikasikan dengan tanda dari kerusakan saraf kranial.
Olfactory, facial, auditory, dan hypoglossal nerves (CN I, VII, VIII, XII) adalah yang
paling sering terkena pada cedera. Anosmia dan kehilangan sensasi mengecap merupakan
sekuel sering pada cedera kepala, terutama pada kejadian jatuh kebelakang dengan kepala
terbentur tanah. Manifestasi ini diduga dihasilkan oleh mekanisme adanya perubahan
posisi pada otak yang menyebabkan robekan pada filamen nervus olfaktorius dekat dengan
cribriform plate, sehingga anosmia dapat bersifat permanen.
Fraktur pada tulang sphenoid dapat menyebabkan laserasi nervus optikus, dengan
gejala penurunan pengelihatan. Pupil menjadi tidak reaktif terhadap cahaya, namun reaktif
terhadap mata yang berlawanan (indirect). Optic disk dapat menjadi atropi dalam beberapa
minggu.
Cedera nervus okulomotor (III) dikarakteristikan dengan ptosis, pergerakan bola
mata abnormal dengan mata pada saat istirahat cenderung abduksi dan sedikit depresi,
kehilangan gerakan vertikal dengan diplopia (berkaitan jugan dengan CN IV), dan pupil
dilatasi.
Nervus fasialis dapat terlibat dalam satu sampai dua hari. Tipe pertama cedera
yang berhubungan dengan fraktur transversal melalui tulang petrosa, menyebabkan facial
palsy segera akibat kontusi atau transeksi nervus tersebut.
Cedera pada nervus kranial vestibulokolear berhubungan dengan fraktur petrosa
yang ditandai dengan kehilangan pendengaran, vertigo postural dan nistagmus segera
setelah insiden trauma. Kehilangan pendengaran terhadap suara nada tinggi diakibatkan
cedera koklear akibat penekanan nervus VIII dan yang disebabkan oleh pendarahan yang
masuk ke rongga telinga medial dan disrupsi rantai osikular menyebabkan tuli konduktif.

3. Kebocoran cairan serebrospinal

16
Ketika kulit pada fraktur kranium laserasi dan terjadi robekan meningens, atau fraktur
penetrasi sampai ke dinding dalam dari paranasal sinus, bakteri dapat masuk ke rongga
kranium yang menyebabkan pembentukan abses atau meningitis. Cairan
serebrospinalyang bocor dapat masuk ke sinus, ditandai dengan cairan seperti air yang
keluar dari hidung (CSF rhinorrhea). Cairan hidung dari CSF dapat dipastikan
menggunakan tes diabetic tape (mukus tidak terdapat glukosa) atau dengan adanya
flourescein atau pewarnaan inodin yang diinjeksikan ke rongga subarachnoid lumbar.

4.
P

endarahan intrakranial
a. Pendarahan epidural
Oleh karena itu predileksi perdarahan epidural di area temporal atau temporo-parietal (70-
80%). Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah diantara duramater dan tulang
kranium sehingga gambaran hematomnya khas berbentuk cembung atau bikonveks.
Kebanyakan hematom epidural terletak di atas konveksitas hemisfer di fossa kranial
media, tetapi kadang-kadang perdarahan mungkin terbatas pada fossa anterior, mungkin
sebagai akibat robeknya arteri meningeal anterior. Perdarahan ekstradural di fossa
posterior dapat terjadi ketika torcula Herophili robek. Dalam banyak kasus, hematoma
bersifat ipsilateral terhadap lokasi benturan.

17
b. Pendarahan subdural
Perdarahan subdural merupakan perdarahan akibat robeknya bridging vein terutama yang
berdekatan dengan sinus sagital superior. Perdarahan subdural umumnya disebabkan oleh
akselerasi atau deselerasi kepala dengan atau tanpa benturan langsung. Perdarahan
subdural seringkali dialami oleh pasien lanjut usia karena umumnya telah terjadi atrofi
otak yang menyebabkan meningkatnya kapasitas otak untuk bergerak di dalam rongga
otak. Perdarahan subdural dapat terjadi akut <3 hari, subakut 3 hari-3 minggu awitan),
atau kronik lebih dari 3 minggu awitan.
Kebanyakan hematoma subdural terletak di atas konveksitas serebri lateral, tetapi darah
subdural juga dapat berkumpul di sepanjang permukaan medial hemisfer, antara tentorium
dan lobus oksipital, antara lobus temporal dan dasar kranium, atau di fossa posterior.

c. Pendarahan subarachnoid
Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama yang
berhubungan dengan kontusio dan laserasi.

18
Perdarahan subaraknoid seringkali terjadi akibat benturan pada otak atau leher dan
menyebabkan hilangnya kesadaran secara langsung. Komplikasi kronik perdarahan
subaraknoid adalah terbentuknya hidrosefalus.

19
Mekanisme TTIK
Tekanan intrakranial normalnya adalah 5-25 cmH2O. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan dua mekanisme utama yaitu: (1) cedera global hipoksik-
iskemik karena reduksi tekanan perfusi serebral, (2) kompresi mekanik, distorsi, dan
herniasi jaringan otak biasa terjadi pada SOL (space occupying lesion). Penekanan pada
batang otak memungkinkan gangguan sistem retikular yang ditandai dengan penurunan
kesadaran. Pada medula oblongata, khususnya bagian chemoreseptor trigger zone (CTZ)
yang sekaligus merupakan pusat muntah dapat terangsang akibat penekanan dari tekanan
intrakranial. Tekanan tinggi juga mengganggu mekanisme eksitasi sel neuron. Neuron
eksitatori normalnya mengaktivasi interneuron inhibitor terdekat, yang kemudian ditekan
oleh GABA. Kejang dapat dihasilkan dari aktivitas neuron yang terganggu, sehingga
menekan mekanisme inhibisi dan eksitasi normal.

Manifestasi dan Grade Cedera Kepala


Berdasarkan tingkat kesadaran GCS, cedera kepala diklasifikasikan menjadi:
1. Cedera kepala minimal

20
Ditandai dengan GCS 15, tidak terdapat penurunan kesadaran atau pingsan, tidak
terdapat defisit neurologis, dan CT scan otak normal.
2. Cedera kepala ringan
Ditandai dengan GCS 13-15, dapat terjadi pernurunan kesadaran atau pingsan kurang
dari 10 menit, tidak terdapat defisit neurologis, dan CT scan otak normal.
3. Cedera kepala sedang
Ditandai dengan GCS 9-12, terdapat pernurunan kesadaran atau pingsan 10 menit-6
jam, nyeri kepala, muntah proyektil, kejang, terdapat defisit neurologis, dan CT scan
otak abnormal.
4. Cedera kepala berat
Ditandai dengan GCS 3-8, terdapat pingsan lebih dari 6 jam, nyeri kepala hebat,
muntah proyektil, kejang, terdapat defisit neurologis, CT scan abnormal, disertai
gangguan hemodinamik berat

Defisit neurologis meliputi penurunan kesadaran, penurunan fungsi saraf kranial,


kelemahan anggota gerak, juga dapat terjadi tanda meningeal.
Dapat juga terjaid amnesia retrograde ataupun amnesia anterograde.

Diagnosis
Anamnesis pada cedera kepala meliputi:
 Sifat kecelakaan
 Saat terjadinya, jarak waktu terjadinya dengan dibawa ke rumah sakit
 Ada atau tidaknya benturan kepala langsung
 Keadaan penderita tidak dapat diajak bicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum
terjadi sampai tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemnungkinan amnesia
retrograde.
 Ada atau tidaknya muntah
 Adanya pingsan, atau terlihat bingung / disorientasi

Pemeriksaan fisik meliputi:


1. Tanda vital
Airway (jalan napas): apakah jalan napas terhambat atau tidak.

21
Breathing (pernapasan): pastikan pasien dapat bernafas secara spontan atau tidak
bernapas.
Circulation (nadi dan tekanan darah)
2. Status kesadaran lakukan penilaian GCS
Mild head injury: GCS 13-15
Moderate head injury: GCS 9-12
Severe head injury: GCS <9
Evaluasi kesadaran juga dapat terbagi menjadi kategori:
- Cloudy consciousness: adanya keterlambatan dalam menerima informasi oleh otak.
- Letargi: gangguan dalam kemampuan untuk melakukan tugas yang normalnya
sangat mudah.
- Obtundation: penurunan kecepatan dalam melaksanakan perintah, tanpa
respon/perhatian pada sekitar
- Stupor: hanya merespon terhadap rangsang nyeri
- Coma: tidak ada respon
3. Status neurologis
Anisokor
Paresis/paralisis
Refleks patologis
4. Trauma di tempat lain
5. Pemeriksaan orientasi, amnesia, dan fungsi luhur

Pemeriksaan penunjang meliputi:


- Hematologi rutin (Hb, Leukosit, Ht, Trombosit)
- Foto rontgen kranium (AP Lateral)
- CT scan kepala bone window untuk melihat struktur tulang apabila berkemungkinan
adanya fraktur kranium, atau tanpa kontras untuk melihat adanya pendarahan
inttrakranial.
Indikasi:
 GCS kurang dari 13 pada pemeriksaan pertama di unit gawat darurat
 GCS kurang dari 15 setelah 2 jam setelah penanganan awal

22
 Adanya tanda fraktur kranium (haemotympanicum, mata 'panda', kebocoran cairan
serebrospinal dari telinga atau hidung, Battle's sign)
 Suspek fraktur kranium terbuka
 Defisit neurologis fokal
 Lebih dari satu kali episode muntah

Kriteria diagnosis:
Memenuhi kriteria anamnesis dan pemeriksaan imaging (CT Scan atau Rontgen kranium)

Tatalaksana
1. Resusitasi dan Penilaian Awal
 Jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi paslu,
pertahankan tulang servikal. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka
harus diintubasi.
 Pernapasan: jika pernapasan tidak spontan beri oksigen melalui masker oksigen. Jika
pernapasan spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat
 Sirkulasi: hentikan semua pendarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya
cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah, pasang alat pemantau dan EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah
vena untuk pemeriksaan daraf perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis
gas darah arteri. Berikan larutan koloid
 Obat kejang: mula-mula berikan diazepam 10 mg Iv perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15
mg/KgBB iv perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
 Menilai tingkat keparahan cedera kepala
 Observasi minimal 6 jam, termasuk jika pasien kompos mentis.

2. Umum dan obat obatan


- Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal
C1-C7 normal.

23
Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur:
- Pasang jalur intravena dengan larutan saline normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer
lactate
- Lakukan pemeriksaan hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia
darah, masa protrombin/masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar
alkohol bila perlu.
- Mengurangi edema otak: hiperventilasi, pemberian cairan hiperosmolar (manitol
4x125 ml/ hari atau setiap 6 jam), kortikosteroid, barbiturat, pembatasan cairan pada
24-48 jam pertama, yaitu 1500-2000 ml/24 jam.
- Obat-obatan neuroprotektor: piritinol, piracetam, citicholine
- Perawatan luka dan pencegahan dekubitus sejak dini
- Hemostatik tidak rutin digunakan
- Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang atau pada trauma tembus
kepala dan fraktur impresi. Fenitoin diberikan dengan dosis awal 15-18 mg/kg iv
dengan kecepatan <50mg/menit. Karena dapat menyebabkan depresi respiratori harus
masuk dalam perawatan intensif. Setelah itu diberikan 3x100 mg/hari per oral atau iv.
Diazepam diberikan untuk terapi pemeliharaan.
- Analgesik: injeksi ketorolac 2x1 ampul iv
- Jika terdapat mual berikan ranitidine 2x1 amp iv
- Pada trauma terbuka atau pendarahan dengan resiko infeksi berikan antibiotik
spektrum luas ceftriaxone 1x2g atau 2x1g iv dan lakukan skin tes alergi
- Pada kecurigaan fraktur basis kranii atau terdapat pendarahan hebat berikan asam
tramexamat 2x1 amp

Follow up dan edukasi


Penjelasan terperinci mengenai derajat keparahan trauma, rencana pengobatan, dan
komplikasi
Faktor resiko yang mengindikasikan pasien kembali ke rumah sakit (penurunan kesadaran,
defisit neurologis, amnesia, nyeri kepala hebat, muntah proyektil, kejang)

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala diantara lain:

24
 Mild traumatic brain injury (MTBI): trauma fisiologik tanpa adanya keterlibatan
struktural
- Grade I: kebingungan sejenak, tanpa gangguan memori
- Grade II: disorientasi sejenak disertai anterograde amnesia selama kurang dari 5 menit
- Grade III: retrograde amnesia dan kehilangan kesadaran selama kurang dari 5 menit
- Grade IV: retrograde amnesia dan kehilangan kesadaran selama 5-10 menit
- Grade V: retrograde amnesia dan kehilangan kesadaran selama lebih dari 10 menit
 PCS (Post Concussive Syndrome): nyeri kepala, mual, emesis, hilang ingatan, pusing,
diplopia, pandangan kabur, gangguan emosional, gangguan tidur, biasanya terjadi
selama 2-4 bulan.
 Infeksi (trauma terbuka/penetrasi)
 Tension pneumocephalus (aerocele)
 Herniasi tentorial

Prognosis
Prognosis pasien cedera kepala bergantung pada grading cedera kepala atau luasnya
daerah yang terlibat dalam kerusakan, faktor usia, dan adanya komplikasi yang menyertai.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore, dkk. Clinically riented Anatomy, 7th Edition. Lippincott William & Wilkins.
Philadelphia. 2014
2. Allan H. Ropper, Robert H. Brown. Adams and Victor's Principles of Neurology. 8 th
Edition. McGraw-Hill. 2005.
3. Thomas M., Mark H. Crash Course: Nervous System. 4 th Edition. Mosby Elsevier.
2012.
4. JR, Augustine. Human Neuroanatomy. 2nd Edition. John Wiley & Sons. 2016. 9:141-
153
5. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. Edisi 1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). 2016. Hal 165-167.
6. Craig R Ainsworth, dkk. Head Trauma Treatment & Management. 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai