Anda di halaman 1dari 27

CLINICAL SCIENCE SESSION

CEDERA KEPALA

Disusun oleh:
Hilman Triyadi Kusumah
12100117059

Pembimbing:
Dr. Alya Tursina, Sp.S, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019
BAB I
BASIC SCIENCE

A. ANATOMI
I. Scalp
Scalp terdiri dari kulit dan jaringan subkutan yang menutupi neurocranium
dari superior nuchal lines pada tulang oksipital terhadap supra orbital margin
pada tulang frontal. Selain itu, scalp meluas terhadap fascia temporal terhadap
arkus zigomatikus. Scalp terdiri dari 5 lapisan:
 Kulit: tipis kecuali di bagian oksipital, mengandung banyak kelenjar keringat,
kelenjar sebasea, dan folikel rambut. Memiliki banyak suplai arteri dan vena
serta drainase limfatik.
 Jaringan ikat merupakan berbentuk tebal, padat, kaya vaskularisasi.
 Aponeurosis (epicranial aponeurosis) merupakan terluas,kuat, lapisan
tendinosa yang menutupi kalvaria dan menyiapkan perlekatan untuk otot dari
dahi dan oksipital (otot oksipitofrontalis) dan dari tulang temporal pada
masing-masing sisi (otot temporoparietalis dan superior aurikular.
 Jaringan ikat longgar merupakan lapisan seperti spons termasuk ruangan
potensial yang mungkin terisi cairan hasil dari infeksi atau cedera. Lapisan ini
bergerak bebas pada scalp yang sesuai (3 lapisan pertama kulit, jaringan ikat,
dan epikranial eponeurosis) diatas kalvaria dibawahnya.
 Pericranium merupakan jaringan ikat padat yang membentuk periosteum
neurokranium eksternal.

1
II. Kranium
Otak terletak pada cranial cavity yang terdiri atas tiga fossa: anterior, middle,
dan posterior cranial fossa. Setiap fossa mengakomodasi bagian tertentu dari otak
dan memiliki foramen yang memungkinkan masuk dan keluarnya penbuluh darah
serta nervus kranial.

2
Kranium merupakan skeletal pada kepala. Terbagi menjadi dua bagian yaitu
neurokranium dan viserokranium.
- Neurokranium: tulang yang membungkus otak dan pembungkus membran,
meningens. Terdiri atas 8 tulang yaitu frontal, ethmoid, sphenoid, oksipital
serta sepasang temporal dan parietal.
Neurokranium berbentuk seperi kubah, memiliki calvaria dan basis cranii.
Calvaria merupakan tulang pipih, kecuali tulang ethmoid terdiri atas tulang
iregular. Sebagian besar calvaria disatukan oleh jaringan ikat firbosa yang
disebut dengan sutura. Beberapa tulang pada kranium merupakan pneumatized
bones, memiliki rongga udara yang disebut dengan sinus, berfungsi sebagai
penyeimbang tekanan dan diduga menurunkan berat kranium.
- Viscerokranium terdiri atas tulang-tulang wajah yang terletak pada bagian
anterior dari kranium. Terdiri atas 15 tulang ireguler: 3 singular (mandibula,
etmoid, vomer) dan 6 bilateral (maksila, inferior nasal konka, zigomatik,
palatin, nasal, dan lakrimal). Mandibula bersinggungan dengan cranial base
tulang temporal yang memungkinkan untuk bergerak, disebut
temporomandibuar joints.

3
4
III. Meningens
Merupakan lapisan yang menutupi dan melindungi otak dan terletak di bagian
internal kranium. Meningen kranium berfungsi untuk: melindungi otak,
membentuk menyokong untuk arteri,vena,dan sinus venosus, dan menutupi
kavitas yang terisi cairan, ruang subarahnoid, yang mana memiliki fungsi vital
pada otak.
Terdiri dari 3 lapisan membran jaringan ikat yaitu:
1. Duramater: tebal, padat, membran bilaminar yang disebut pachymeninx.
Terdiri dari 2 lapisan duramater kranium yaitu lapisan periosteal eksternal
dibentuk oleh periosteum menutupi permukaan internal calvaria dan lapisan
meningeal interna membran fibrosa kuat yang berlanjut pada foramen
magnum dengan dura spinal menutupi spinal cord.

Vaskularisasi duramater
Arteri pada dura disuplai lebih banyak ke calvaria daripada dura. Pembuluh
darah terbesar ini adalah arteri meningeal media cabang arteri maksilaris
masuk dasar pada fossa kranium media melalui foramen spinosum dibawa

5
ke lateral di fossa kembali ke supero anterior pada greater wing sphenoid,
dimana terbagi kedalam cabang anterior dan posterior (frontal branch of the
middle meningeal artery dan parietal branch of the middle meningeal artery).
Vena pada dura disertai menyertai meningeal arteri, seringkali berpasangan.
Vena meningeal media, meninggalkan cranial cavity melalui foramen
spinosum atau foramen oval, dan drainase kedalam pterygoid venous plexus.

2. Arachnoid mater: berada dibawah duramater. Lapisan avaskular dan


mendapatkan nutrisi dari cairan serebrospinal dan jaringan saraf dibawahnya.

3. Piamater merupakan membran yang sangat tipis dari arachnoid tetapi


memiliki varkularisasi yang tinggi.
Arahnoid dan piamater adalah membran yang berlanjut secara kolektif
membuat leptomeninx. Arahnoid terpisah dari pia mater oleh rongga
subarahnoid (leptomeninx), yang mana mengandung cairan serebrospinal.
Ruang yang terisi oleh cairan membantu menjaga keseimbangan cairan
ekstraseluler di otak. Cairan serebrospinal adalah cairan jernih yang
memberikan nutrisi otak tetapi memiliki sedikit protein dan konsentrasi ion
yang berbeda. CSF dibentuk oleh choroid plexus pada ventrikel keempat pada
otak.

Ruang Meningeal
- Dura cranial interface atau extradural atau ruang epidural : ruang diantara
kranium dan lapisan periosteal ekterna pada dura. Ruang extradural terbentuk
hanya pada keadaan patologis.

6
Potensial atau patologis ruang kranium epidural tidak berlanjut dengan ruang
spinal epidural karena dibentuk oleh eksternal periosteum yang membatasi
kranium dan internal periosteum yang menutupi vertebra.
- Dura-arachnoid interface atau ruang subdural : ruang diantara dura dan
arahnoid. Ruang ini berkembang hasil dari trauma seperti pukulan keras di
kepala.
- Ruang subarahnoid diantara arahnoid dan pia mater adalah ruang yang ada
tidak pada keadaan patologis yang mengandung cairan serebrospinal, sel-sel
trabekular, arteri, dan vena.

IV. Korteks serebri

1. Lobus frontal
Lobus frontal terletak pada anterior sampai central sulcus, mengandung
beberapa fungsi sebagai berikut:
- Primary motor cortex terletak pada precentral gyrus, berfungsi mengontrol
inisiasi gerakan otot
- Premotor dan supplementary motor area berhubungan dengan aktifitas motor
terhadap mempertahankan postur dan gerakan
- Area Broca mengontrol pergerakan otot saat berbicara atau mengontrol
artikulasi sebelum dilanjutkan ke otot bulbar melalui nervus kranial.
- Area Brodmann terletak pada middle frontal gyrus, mengatur deviasi mata
secara volunter saat melihat lapang pandang besar

7
2. Lobus parietal
- Somatosensori primer yang terdapat di postcentral gyrus, daerah paling
anterior dari lobus parietal. Neuron thalamokortikal berakhir di sini, berasal
dari reseptor perifer yang akan dibah menjadi rangsang bermakna.
- Lobus superior parietal berfungsi sebagai pembangunan input bagaimana
tubuh berposisi terhadap lingkungan.
3. Lobus temporal
- Korteks auditori terletak di daerah posterior terhadap korteks auditori primer.
Pada hemisfer dominan yang disebut dengan area Wernicke's, bahasa akan
diterjemahkan dan diproses.
- Area sensori yang terlibat dalam pengenalan benda secara visual
- Bagian inferomedial dari lobus temporal membentuk hipokampus yang
terletak di dasar dari inferior horn pada lateral ventrikel. Struktur ini berperan
dalam proses belajar dan memori
- Pada anterior dari hipokampus dan lobus temporal terdapat daerah subkorteks
abu yang disebut amygdala
4. Lobus oksipital
Lobus oksipital merupakan daerah primer dari pengelihatan. Visual korteks
terletak di calcarine sulcus pada daerah medial lobus oksipital, disebut juga
Brodmann area 17. Menerima proyeksi dari nukleus lateral geniculate
thalamus.

8
B. RETICULAR FORMATION
Di seluruh midbrain, pons, dan medulla oblongata terdapat kelompok sel
saraf dan serabut saraf yang tersebar, yang secara bersama-sama dikenal sebagai
reticular formation. Reticular formation terletak di substansia grisea dari daerah
medulla oblongata sampai ke midbrain dan thalamus, berfungsi untuk:
- Mengendalikan sensasi somatik dan viseral, termasuk modulasi nyeri.
- Kontrol motor somatik: beberapa nuklei mengirimkan aksonnya melalui
nuklei reticular formation. Berperan dalam mengendalikan keseimbanan,
postur, dan pergerakan tubuh.
- Kontrol kardiovaskular: termasuk pusar vasomotor jantung di medulla
oblongata
- Mengendalikan ANS, endokrin
- Mempengaruhi jam biologis tubuh: reticular formation memiliki proyeksi ke
thalamus dan korteks serebral. Termasuk sebagai ascending reticular
activating system (ARAS), menghubungkan / memproyeksikan berbagai
informasi sensori menuju korteks. Karena aktivasi ARAS, seseorang berada
dalam keadaan sadar penuh. Jika ARAS dalam keadaan tidak aktif maka
seseorang tertidur.
Kesadaran dipertahankan oleh hemisfer cerebri, termasuk pons dan
medulla. Struktur tersebut digabungkan oleh reticular formation (substansia
grisea), membentuk reticular activating system. Jaras tersebut memodulasi
persepsi dan mengontrol respon terintegrasi.

Reticular formation terbagi menjadi tiga kolum : nuklei raphe, nuklei


gigantoselular (medial) dan nuklei parvoselular (lateral). Neurotransmiter serotonin

9
disintesis di nuklei raphe, nuklei gigantoselular mengontrol koordinasi motorik, dan
nuklei parvoselular meregulasi ekshalasi.

C. Reticular Activating System


Sistem retikular (reticular formation) dipertahankan aktif oleh stimulasi
sensorik asendens. Dengan mekanisme tersebut, terutama thalamus bagian media
akan memproyeksikan secara luas ke hemisfer serebral yang disebut dengan RAS.
RAS akan mempertahankan keadaan sadar dan inaktifasi akan menyebabkan
ketidaksadaran.

Secara anatomi, batas pasti dari RAS tidak signifikan. Sistem ini terdapat
di bagian paramedia dari pons rostral (upper) dan tegmentum midbrain; pada level
thalamus, termasuk berhubungan dengan paramedia posterir, parafasikular, dan
bagian media dari sentromedia dan nuklei intralaminar. Di batang otak, nuklei
dari reticular formation menerima jaras kontralateral spinotalamus dan trigeminal-
thalamus dan memproyeksikan tidak hanya ke korteks sensori di lobus parietal,
tapi juga ke seluruh bagian korteks serebral. Ini menyebabkan informasi yang
diterima oleh otak akan mengaktifkan sistem nervus yang mengaktifkan
kesadaran korteks serebral tidak hanya menerima impuls dari ARAS, namun juga
memodulasi informasi via proyeksi kortikofugal ke reticular formation.

10
Proyeksi Aferen Sistem Retikular
- Dari spinal cord:
Traktus spinoreticular
Traktus spinothalamik
Medial lemniscus
- Dari cerebellum:
Jaras serebelloretikular
- Dari nuclei nervus kranial:
Ascending afferent tracts, termasuk jaras vestibular, akustik, dan visual

- Spinoreticular tract, Reticular formation Cerebrum


spinothalamic tract, medial
lemniscus
- Vestibular, acoustic, visual
pathway Thalamus
- Cerebeloreticular pathway

11
BAB II
CLINICAL SCIENCE

A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria atau basis cranii serta
organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non degeneratif /
non kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul
gangguan fisik, kognitif, maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa
penurunan tingkat kesadaran.

B. Epidemiologi
Prevalensi nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2013 adalah 8,2%,
meningkat 0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak 40,6% cedera kepala
diakibatkan oleh kecelakaan motor. Cedera kepala menyebabkan kematian dan
disabilitas di banyak negara di dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari
CDC, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap tahun di Amerika
Serikat. Menurur sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjad pada
pasien dengan usia produktif.

C. Klasifikasi Cedera Kepala


1. Cedera kepala tertutup
 Trauma primer: biasanya meliputi perubahan struktural
- Epidural hematoma
- Subdural hematoma
- Subarachnoid hemorrhage
- Intraventricular hemorrhage
- Kontusi cerebri

12
 Trauma sekunder:
- Iskemia
- Edema otak (vasogenik atau selular/sitotoksik)
- TTIK
- Vasospasma
- Infeksi
- Epilepsi
- Hipoksia, hiperkapnea, hiperglikemia, hipotensi, demam tinggi, anemia,
hiponatremia

2. Cedera kepala terbuka


- Trauma laserasi
- Penetrasi ke dalam kranium

D. Patofisiologi Cedera Kepala


Trauma kranioserebral terbagi menjadi dua jenis berdasarkan gejala yang timbul
setelah kejadian trauma yaitu:
- Simpel: cedera ringan, tanpa adanya gejala tertunda
- Kompleks: menyebabkan gejala yang muncul beberapa saat setelah cedera
terjadi.

13
Mekanisme umum yang terjadi pada cedera kepala meliputi: (1) gangguan
kesadaran sementara, (2) meski tidak ada penetrasi kranium, otak mungkin
mengalami kerusakan (benturan, laserasi, pendarahan, dan edema). Trauma
dengan penetrasi kranium atau tanpa penetrasi cranium tapi dengan kompresi
kranium yang menyebabkan tekanan pada otak atau perubahan posisi otak dapat
menyebabkan pendarahan, destruksi jaringan otak, meningitis, abses.

1. Cedera kepala tertutup


Konkusi (concussion) merupakan benturan keras yang terjadi pada kepala
dapat menyebabkan gangguan fungsi otak sementara. Meski hal tersebut
dipengaruhi oleh kekuatan fisik yang mempengaruhi sel saraf, akson, ataupun
selubung myelin (efek getaran, pembentukan vakuola intraselular, dll). Serupa
dengan kontusi (contusion) merupakan memar pada jaringan serebral tanpa
adanya interupsi secara anatomis. Mekanisme konkusi merupakan cedera kepala
tumpul, hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi (1) Paralisis pada cedera serebral
bersifat reversible, selalu dalam waktu segera / tidak ada delayed meski beberapa
detik pun. (2) Efek dari konkusi terhadap fungsi otak dapat berlangsung dalam
waktu yang bervariasi (detik, menit, jam, atau ebih lama). Semakin lama
penurunan kesadaran karena benturan keras pada kepala, mengindikasikan

14
keparahan pendarahan atau kontusi. (3) Konkusi dapat dihasilkan dari perubahan
tiba-tiba momuntum pada kepala (gerakan terhempas tanpa menyentuh benda
keras atau terbentur benda keras).
Perubahan posisi pada serebral dapat mempengaruhi bagian atas batang
otak, yang mana secara normal dapat memberikan kemungkinan hemisfer serebral
untuk bergerak, juga hubungan terhadap jaringan tulang (kranium) dan
septum/foramen. Dalam kejadian cedera, diduga akan selalu ada pergerakan
antara kranium dengan leher, yang mengakibatkan serebrum akan mengalami
sedikit rotasi pada sagital plane yang berpusat pada midbrain dan subthalamus,
yang mana keduanya berperan dalam fungsi ARAS.

2. Fraktur basis kranii dan cedera saraf kranial


Fraktur pada basis sering sulit untuk dideteksi pada foto polos kranium,
namun keberadaannya perlu dicurigai ketika terdapat beberapa tanda klinis.
Fraktur pada piramidus petrosa (petrous pyramid) sering menyebabkan deformitas
pada kanal auditori eksternal atau merobek membran timpani, sehingga adanya
kebocoran cairan serebrospinal atau darah dari perforasi membran timpani yang
mengubah warna cairan serebrospinal menjadi merah. Apabila fraktur lebih ke
arah posterior, dapat merusak sigmoid sinus, jaringan dibelakang telinga dan
sepanjang prosesus mastoid menjadi bengkak dan diskolorasi (Battle sign).

15
Fraktur basal pada kranium anterior dapat menyebabkan kebocoran darah ke
jaringan periorbital, ditunjukkan dengan "racoon eyes" atau "panda eyes".
Keadaan ini dapat ditegakkan dengan CT scan kepala dengan bone window untuk
mendeteksi fraktur kranium.
Adanya fraktur basal diindikasikan dengan tanda dari kerusakan saraf
kranial. Olfactory, facial, auditory, dan hypoglossal nerves (CN I, VII, VIII, XII)
adalah yang paling sering terkena pada cedera. Anosmia dan kehilangan sensasi
mengecap merupakan sekuel sering pada cedera kepala, terutama pada kejadian
jatuh kebelakang dengan kepala terbentur tanah. Manifestasi ini diduga dihasilkan
oleh mekanisme adanya perubahan posisi pada otak yang menyebabkan robekan
pada filamen nervus olfaktorius dekat dengan cribriform plate, sehingga anosmia
dapat bersifat permanen.
Fraktur pada tulang sphenoid dapat menyebabkan laserasi nervus optikus,
dengan gejala penurunan pengelihatan. Pupil menjadi tidak reaktif terhadap
cahaya, namun reaktif terhadap mata yang berlawanan (indirect). Optic disk dapat
menjadi atropi dalam beberapa minggu.
Cedera nervus okulomotor (III) dikarakteristikan dengan ptosis,
pergerakan bola mata abnormal dengan mata pada saat istirahat cenderung
abduksi dan sedikit depresi, kehilangan gerakan vertikal dengan diplopia
(berkaitan jugan dengan CN IV), dan pupil dilatasi.
Nervus fasialis dapat terlibat dalam satu sampai dua hari. Tipe pertama
cedera yang berhubungan dengan fraktur transversal melalui tulang petrosa,
menyebabkan facial palsy segera akibat kontusi atau transeksi nervus tersebut.
Cedera pada nervus kranial vestibulokolear berhubungan dengan fraktur
petrosa yang ditandai dengan kehilangan pendengaran, vertigo postural dan
nistagmus segera setelah insiden trauma. Kehilangan pendengaran terhadap suara
nada tinggi diakibatkan cedera koklear akibat penekanan nervus VIII dan yang
disebabkan oleh pendarahan yang masuk ke rongga telinga medial dan disrupsi
rantai osikular menyebabkan tuli konduktif.

16
3. Kebocoran cairan serebrospinal
Ketika kulit pada fraktur kranium laserasi dan terjadi robekan meningens, atau
fraktur penetrasi sampai ke dinding dalam dari paranasal sinus, bakteri dapat
masuk ke rongga kranium yang menyebabkan pembentukan abses atau
meningitis. Cairan serebrospinalyang bocor dapat masuk ke sinus, ditandai
dengan cairan seperti air yang keluar dari hidung (CSF rhinorrhea). Cairan
hidung dari CSF dapat dipastikan menggunakan tes diabetic tape (mukus tidak
terdapat glukosa) atau dengan adanya flourescein atau pewarnaan inodin yang
diinjeksikan ke rongga subarachnoid lumbar.

4. Pendarahan intrakranial
a. Pendarahan epidural
Oleh karena itu predileksi perdarahan epidural di area temporal atau temporo-
parietal (70-80%). Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah diantara
duramater dan tulang kranium sehingga gambaran hematomnya khas berbentuk
cembung atau bikonveks.

17
Kebanyakan hematom epidural terletak di atas konveksitas hemisfer di
fossa kranial media, tetapi kadang-kadang perdarahan mungkin terbatas pada
fossa anterior, mungkin sebagai akibat robeknya arteri meningeal anterior.
Perdarahan ekstradural di fossa posterior dapat terjadi ketika torcula Herophili
robek. Dalam banyak kasus, hematoma bersifat ipsilateral terhadap lokasi
benturan.
b. Pendarahan subdural
Perdarahan subdural merupakan perdarahan akibat robeknya bridging vein
terutama yang berdekatan dengan sinus sagital superior. Perdarahan subdural
umumnya disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi kepala dengan atau tanpa
benturan langsung. Perdarahan subdural seringkali dialami oleh pasien lanjut usia
karena umumnya telah terjadi atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya
kapasitas otak untuk bergerak di dalam rongga otak. Perdarahan subdural dapat
terjadi akut <3 hari, subakut 3 hari-3 minggu awitan), atau kronik lebih dari 3
minggu awitan.
Kebanyakan hematoma subdural terletak di atas konveksitas serebri lateral, tetapi
darah subdural juga dapat berkumpul di sepanjang permukaan medial hemisfer,
antara tentorium dan lobus oksipital, antara lobus temporal dan dasar kranium,
atau di fossa posterior.

c. Pendarahan subarachnoid
Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama
yang berhubungan dengan kontusio dan laserasi.

18
Perdarahan subaraknoid seringkali terjadi akibat benturan pada otak atau leher dan
menyebabkan hilangnya kesadaran secara langsung. Komplikasi kronik
perdarahan subaraknoid adalah terbentuknya hidrosefalus.

19
Mekanisme TTIK
Tekanan intrakranial normalnya adalah 5-25 cmH2O. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan dua mekanisme utama yaitu: (1) cedera global
hipoksik-iskemik karena reduksi tekanan perfusi serebral, (2) kompresi mekanik,
distorsi, dan herniasi jaringan otak biasa terjadi pada SOL (space occupying
lesion). Penekanan pada batang otak memungkinkan gangguan sistem retikular
yang ditandai dengan penurunan kesadaran. Pada medula oblongata, khususnya
bagian chemoreseptor trigger zone (CTZ) yang sekaligus merupakan pusat
muntah dapat terangsang akibat penekanan dari tekanan intrakranial.
Tekanan tinggi juga mengganggu mekanisme eksitasi sel neuron. Neuron
eksitatori normalnya mengaktivasi interneuron inhibitor terdekat, yang kemudian
ditekan oleh GABA. Kejang dapat dihasilkan dari aktivitas neuron yang
terganggu, sehingga menekan mekanisme inhibisi dan eksitasi normal.

20
E. Manifestasi dan Grade Cedera Kepala
Berdasarkan tingkat kesadaran GCS, cedera kepala diklasifikasikan menjadi:
1. Cedera kepala minimal
Ditandai dengan GCS 15, tidak terdapat penurunan kesadaran atau pingsan,
tidak terdapat defisit neurologis, dan CT scan otak normal.
2. Cedera kepala ringan
Ditandai dengan GCS 13-15, dapat terjadi pernurunan kesadaran atau pingsan
kurang dari 10 menit, tidak terdapat defisit neurologis, dan CT scan otak
normal.
3. Cedera kepala sedang
Ditandai dengan GCS 9-12, terdapat pernurunan kesadaran atau pingsan 10
menit-6 jam, nyeri kepala, muntah proyektil, kejang, terdapat defisit
neurologis, dan CT scan otak abnormal.
4. Cedera kepala berat
Ditandai dengan GCS 3-8, terdapat pingsan lebih dari 6 jam, nyeri kepala
hebat, muntah proyektil, kejang, terdapat defisit neurologis, CT scan
abnormal, disertai gangguan hemodinamik berat

Defisit neurologis meliputi penurunan kesadaran, penurunan fungsi saraf


kranial, kelemahan anggota gerak, juga dapat terjadi tanda meningeal. Dapat juga
terjaid amnesia retrograde ataupun amnesia anterograde.

F. Diagnosis
Anamnesis pada cedera kepala meliputi:
 Sifat kecelakaan
 Saat terjadinya, jarak waktu terjadinya dengan dibawa ke rumah sakit
 Ada atau tidaknya benturan kepala langsung
 Keadaan penderita tidak dapat diajak bicara, tanyakan urutan peristiwa sejak
sebelum terjadi sampai tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemnungkinan
amnesia retrograde.
 Ada atau tidaknya muntah
 Adanya pingsan, atau terlihat bingung / disorientasi

21
Pemeriksaan fisik meliputi:
1. Tanda vital
Airway (jalan napas): apakah jalan napas terhambat atau tidak.
Breathing (pernapasan): pastikan pasien dapat bernafas secara spontan atau
tidak bernapas.
Circulation (nadi dan tekanan darah)
2. Status kesadaran lakukan penilaian GCS
Mild head injury: GCS 13-15
Moderate head injury: GCS 9-12
Severe head injury: GCS <9
Evaluasi kesadaran juga dapat terbagi menjadi kategori:
- Cloudy consciousness: adanya keterlambatan dalam menerima informasi
oleh otak.
- Letargi: gangguan dalam kemampuan untuk melakukan tugas yang
normalnya sangat mudah.
- Obtundation: penurunan kecepatan dalam melaksanakan perintah, tanpa
respon/perhatian pada sekitar
- Stupor: hanya merespon terhadap rangsang nyeri
- Coma: tidak ada respon
3. Status neurologis
Anisokor
Paresis/paralisis
Refleks patologis
4. Trauma di tempat lain
5. Pemeriksaan orientasi, amnesia, dan fungsi luhur

Pemeriksaan penunjang meliputi:


- Hematologi rutin (Hb, Leukosit, Ht, Trombosit)
- Foto rontgen kranium (AP Lateral)
- CT scan kepala bone window untuk melihat struktur tulang apabila
berkemungkinan adanya fraktur kranium, atau tanpa kontras untuk melihat
adanya pendarahan inttrakranial.

22
- Indikasi:
 GCS kurang dari 13 pada pemeriksaan pertama di unit gawat darurat
 GCS kurang dari 15 setelah 2 jam setelah penanganan awal
 Adanya tanda fraktur kranium (haemotympanicum, mata 'panda',
kebocoran cairan serebrospinal dari telinga atau hidung, Battle's sign)
 Suspek fraktur kranium terbuka
 Defisit neurologis fokal
 Lebih dari satu kali episode muntah

G. Kriteria diagnosis:
Memenuhi kriteria anamnesis dan pemeriksaan imaging (CT Scan atau Rontgen
kranium)

H. Tatalaksana
1. Resusitasi dan Penilaian Awal
 Jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
paslu, pertahankan tulang servikal. Jika cedera orofasial mengganggu jalan
napas, maka harus diintubasi.
 Pernapasan: jika pernapasan tidak spontan beri oksigen melalui masker
oksigen. Jika pernapasan spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat
 Sirkulasi: hentikan semua pendarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan
adanya cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG. Pasang jalur
intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan daraf perifer
lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan
larutan koloid
 Obat kejang: mula-mula berikan diazepam 10 mg Iv perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan
fenitoin 15 mg/KgBB iv perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.
 Menilai tingkat keparahan cedera kepala
 Observasi minimal 6 jam, termasuk jika pasien kompos mentis.

23
2. Umum dan obat obatan
- Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang
belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
tulang servikal C1-C7 normal.

Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur:
- Pasang jalur intravena dengan larutan saline normal (NaCl 0,9%) atau larutan
ringer lactate
- Lakukan pemeriksaan hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit,
kimia darah, masa protrombin/masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
- Mengurangi edema otak: hiperventilasi, pemberian cairan hiperosmolar
(manitol 4x125 ml/ hari atau setiap 6 jam), kortikosteroid, barbiturat,
pembatasan cairan pada 24-48 jam pertama, yaitu 1500-2000 ml/24 jam.
- Obat-obatan neuroprotektor: piritinol, piracetam, citicholine
- Perawatan luka dan pencegahan dekubitus sejak dini
- Hemostatik tidak rutin digunakan
- Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang atau pada trauma
tembus kepala dan fraktur impresi. Fenitoin diberikan dengan dosis awal 15-
18 mg/kg iv dengan kecepatan <50mg/menit. Karena dapat menyebabkan
depresi respiratori harus masuk dalam perawatan intensif. Setelah itu
diberikan 3x100 mg/hari per oral atau iv. Diazepam diberikan untuk terapi
pemeliharaan.
- Analgesik: injeksi ketorolac 2x1 ampul iv
- Jika terdapat mual berikan ranitidine 2x1 amp iv
- Pada trauma terbuka atau pendarahan dengan resiko infeksi berikan antibiotik
spektrum luas ceftriaxone 1x2g atau 2x1g iv dan lakukan skin tes alergi
- Pada kecurigaan fraktur basis kranii atau terdapat pendarahan hebat berikan
asam tramexamat 2x1 amp

24
I. Follow up dan edukasi
Penjelasan terperinci mengenai derajat keparahan trauma, rencana pengobatan,
dan komplikasi
Faktor resiko yang mengindikasikan pasien kembali ke rumah sakit (penurunan
kesadaran, defisit neurologis, amnesia, nyeri kepala hebat, muntah proyektil,
kejang)

J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala diantara lain:
 Mild traumatic brain injury (MTBI): trauma fisiologik tanpa adanya
keterlibatan struktural
- Grade I: kebingungan sejenak, tanpa gangguan memori
- Grade II: disorientasi sejenak disertai anterograde amnesia selama kurang dari
5 menit
- Grade III: retrograde amnesia dan kehilangan kesadaran selama kurang dari 5
menit
- Grade IV: retrograde amnesia dan kehilangan kesadaran selama 5-10 menit
- Grade V: retrograde amnesia dan kehilangan kesadaran selama lebih dari 10
menit
 PCS (Post Concussive Syndrome): nyeri kepala, mual, emesis, hilang ingatan,
pusing, diplopia, pandangan kabur, gangguan emosional, gangguan tidur,
biasanya terjadi selama 2-4 bulan.
 Infeksi (trauma terbuka/penetrasi)
 Tension pneumocephalus (aerocele)
 Herniasi tentorial

K. Prognosis
Prognosis pasien cedera kepala bergantung pada grading cedera kepala atau
luasnya daerah yang terlibat dalam kerusakan, faktor usia, dan adanya komplikasi
yang menyertai.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore, dkk. Clinically riented Anatomy, 7th Edition. Lippincott William &
Wilkins. Philadelphia. 2014
2. Allan H. Ropper, Robert H. Brown. Adams and Victor's Principles of
Neurology. 8th Edition. McGraw-Hill. 2005.
3. JR, Augustine. Human Neuroanatomy. 2nd Edition. John Wiley & Sons. 2016.
9:141-153
4. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. Edisi 1. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016. Hal 165-167
5. Thomas M., Mark H. Crash Course: Nervous System. 4th Edition. Mosby
Elsevier. 2012.
6. Craig R Ainsworth, dkk. Head Trauma Treatment & Management. 2015.
7. Advanced Trauma Life Support. American College Of Surfeons. 10 Edition.

26

Anda mungkin juga menyukai