PENDAHULUAN
Infeksi susunan saraf pusat merupakan penyakit yang cukup serius karena
dapat menyebabkan gejala yang membawa kepada kematian atau disabilitas yang
berat. Oleh sebab itu, dibutuhkan kecermatan dalam mengenali setiap gejala yang
mungkin muncul sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan sedini mungkin.
Pengenalan tanda dan gejala infeksi SSP ditujukan untuk dapat
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi. Hal ini bertujuan agar dapat
diberikan terapi antibiotik yang sesuai dan bisa dilakukan tindakan pencegahan
penting terutama pada kasus-kasus infeksi yang sangat menular seperti
meningokokus.
Agar dapat menegakkan diagnosis yang baik maka dibutuhkan beberapa
hal penting, yaitu pemeriksaan klinis yang baik, pemeriksaan laboratorium
khususnya analisis cairan serebrospinalis dan pemeriksaan pencitraan meliputi
foto rontgen polos, CT Scan ataupun MRI.
BAB II
PEMBAHASAN
Fungsi
Melindungi otak
Cairan Serebrospinal
Merupakan suatu cairan jernih yang mirip dengan darah jika dilihat dari
susunan komposisinya
CSS mengandung nutrisi tetapi dengan jumlah protein yang sedikit dan
konsentrasi ion yang berbeda.
CSS dibentuk pada pleksus koroid dari keempat ventrikel pada otak.
Lapisan pada dura mater adalah lapisan periosteal luar yang dibentuk dari
periosteum yang melapisi kalvaria bagian dalam dan lapisan meningeal
dalam yang merupakan membran fibrosa kuat yang melapisi foramen
magnum dan spinal dura mater yag melapisi spinal cord.
Dural Infolding
Falx cerebri --> cerebral fissure
Trigeminal nerve CN V
Leptomeningens
Meningeal Space
Dura-cranial interface --> patologic
Dura-arachnoid junction --> patologic
Histology
Dura --> dense connective tissue, internal simple squamous epithelium
Penurunan permeabilitas
2.1.2 OTAK
A. CEREBRUM
Area fungsional korteks serebral meliputi area motorik primer, area sensorik
primer, dan area asosiasi atau sekunder yang berdekatan dengan area primer dan
berfungsi untuk integrasi dan interpretasi tingkat tinggi.
3. Area Broca terletak di sisi anterior area premotorik pada tepi bawahnya.
Area ini mungkin hanya terdapat pada 1 hemisfer saja (biasanya sebelah
kiri) dan dihubungkan dengan kemampuan wicara.
Area sensorik korteks
2. Area visual primer terletak dalam lobus oksipital dan menerima informasi
dari retina mata.
3. Area auditori primer terletak pada tepi atas lobus temporal, menerima
impuls saraf yang berkaitan dengan pendengaran.
Area asosiasi
1. Area asosiasi frontal, yang terletak pada lobus frontal, adalah sisi fungsi
intelektual dan fisik yang lebih tinggi.
3. Area asosiasi visual (yang terletak pada lobus oksipital) dan area asosiasi
auditorik (yang terletak dalam lobus temporal) berperan untuk
menginterpretasi pengalaman visual dan auditori.
1.1.DIENCEPHALON
Thalamus
Thalamus berukuran ±3 cm dan 80% dari diencephalon merupakan
thalamus. Thalamus memiliki sepasang gray matter yang disebut intermediate
mass (interthalamic adhesion) dan white matter yang disebut internal
medulary lamina yang membagi gray matter menjadi bagian kanan dan kiri.
Thalamus memiliki fungsi utama yaitu menyediakan hampir semua sensory input
ke cerebral cortex dan berkontribusi pada fungsi motoris dengan mentransmit
informasi dari cerebellum dan basal ganglia ke motor area utama pada cerebral
cortex juga memeran peran penting dalam pertahanan kesadaran.
Berdasarkan fungsi dan posisinya terdapat 7 group utama pada sisi nuclei :
1. Anterior nuclei
2. Medial nuclei
3. Nuclei pada lateral group
4. Ventral group :
Ventral anterior nuclei
Ventral lateral nuclei
Ventral posterior nuclei
Lateral geniculate nuclei
Medial geniculate nuclei
5. Intralaminar nuclei
6. Middle nucleus
7. Reticular nucleus
Hypothalamus
Hypothalamus merupakan bagia kecil dari thalamus yang merupakan
bagian inferior pada thalamus yang memiliki fungsi mengontrol ANS,
memproduksi hormone, sebagai pusat rasa lapar dan haus, mengontrol
temperature, dan mengatur emosi dan kebiasaan.
Hypothalamus memiliki 4 bagian utama yaitu :
o Mammillary region
o Tuberal region
o Supraoptic region
o Preoptic region
Epithalamus
Epithalamus merupakan bagian terkecil dari posterior dan superior
thalamus . epithalamus ini mengandung pineal gland yang dianggap bagian dari
kelenjar endokrin karena mensekresi melatonin dan habernular nuclei yang
berguna untuk respon emosional ke bau.
1.2.BRAIN STEM
Mid brain
Midbrain atau mesencephalon merupakan perpanjangan dari pons ke
diencephalon dan memiliki panjang ±2.5 cm . mid brain memiliki fungsi
menyampaikan motor output dari cerebral cortex ke pons dan sensory input sari
spinal cord ke thalamus.
Midbrain ini juga mengandung nuclei dan tracts. Bagian depan midbrain
memiliki sepasang tracts yang disebut cerebral peduncles. Tracts ini mengandung
axon-axon corticospinal, corticopontine, dan corticobulbar motor neurons,
yang memimpin impuls-impuls saraf dari cerebrum ke spinal cord, pons, dan
medulla . cerebral peduncle juga mengandung axon-axon saraf sensory yang
memanjang dari medulla ke thalamus.
Terdapat superior colliculi yang berfungsi untuk mengkoordinasi
pergerakan dari bola mata pada respon visual dan stimulus lain, juga inferior
colliculi yang berfungsi untuk mengkoordinasi pergerakan dari kepala dan
rangsang auditory, substantia nigra dan red nucleus yang memiliki kontribusi
untuk mengkontrol pergerakan otot.
nuclei lainnya berhubungan dengan 2 pasang cranial nerve : occulomotor
(III) nerves dan trochlear (VI) nerves.
Pons
Pons merupakan jembatan yang terletak superior dari medulla dan
anterior dari cerebellum yang panjangnya sekitar 2.5 cm. seperti medulla, pons
juga terdiri dari nuclei, sensory tract, dan motory tract.
Hubungan ini juga diperantarai oleh sekumpulan axon. Beberapa axon
dari pons ini menghubungkan bagian kanan dan kiri dari cerebellum dan yang
lainnya merupakan bagian dari sensory ascending tracs dan descending motor
tract.
Pons memiliki fungsi untuk menyampaikan impuls dari satu sisi di
cerebellum menuju bagian lainnya dan antara medulla dengan midbrain. Terdapat
pneumotaxic area dan apneustic area yang berfungsi untuk mengatur
pernapasan bersama dengan medulla oblongata. Pons juga mengandung nuclei
yang berhubungan dengan 4 pasang cranial nerve : trigeminal (V) nerves,
abducen (VI) nerves, facial (VII) nerves, dan vestibulocochlear (VIII) nerves.
Medulla oblongata
Medulla oblongata merupakan bagian dari brainstem yang berhubungan
dengan bagian superior dari spinal cord dimana dimulai dari foramen magnum
yang meluas sepanjang inferior pons ±3 cm.
Bagian white matternya mengandung daerah sensorik (ascending) dan
daerah motorik (descending). Beberapa white matter juga membentuk tonjolan
pada sisi anterior dan tonjolan tersebut dinamakan pyramid yang dibentuk oleh
corticospinal track dimana corticospinal tract berfungsi untuk mengendalikan
gerak dasar dari limbs dan trunk. 90% dari axon pada pada pyramid bagian kiri
menyilang menuju sisi kanan begitu pun sebaliknya. Penyilangan ini disebut
pyramid decussation, yang menerangkan mengapa masing-masing sisi otak
mengendalikan pergerakan volunteer yang berlawanan.
Medulla oblongata ini memiliki beberapa nuclei dimana nuclei tersebut
mengendalikan fungsi fital seperti mengatur kecepatan dan kekuatan denyut
jantung, denyut pembuluh darah juga mengatur beberapa reflex seperti reflex
muntah, menelan, bersin, batuk, dan tersedak. Medulla juga mengandung nuclei
yang merupakan komponen dari jalur sensorik untuk gestation (rasa), audition
(pendengaran), dan equilibrium (keseimbangan).
medulla mengandung nuclei yang berhubungan dengan 5 pasang cranial
nerve : vestibulocochlear (VIII) nerves, glossopharyngeal (XI) nerves, bagus
(X) nerves, accessory (XI) nerves (cranial portion) dan hypoglossal (XII)
nerves.
1.3.CEREBELLUM
Cerebellum terletak pada posterior dari medulla dan pons dan pada
inferior dan posterior lubang kranial. Memiliki ukuran kedua terbesar setelah
cerebrum. Mengandung ½ saraf dari otak.
Pada bagian superior dan inferior berbentuk seperti kupu-kupu, bagian
tengah yang mengkerut disebut vermis dan bagian lateralnya disebut cerebellar
hemisphere. Kemudian, pada bagian superficial layer disebut cerebellar cortex
dimana mengandung gray dan gray matter yang melipat disebut folia. Didalam
gray matter terdapat white matter yang berbentuk seperti cabang pohon dan
berguna untuk menghubungkan cerebellar nuclei dengan peduncles sementara
gray matter berfungsi sebagai tempat axon yang mengangkut impuls dari
cerebellum ke otak lainnya.
Terdapat 3 pasang cerebral peduncles yang melekatkan cerebellum pada
brainstem :
1. Superior cerebellar peduncles
2. Inferior cerebellar peduncles
3. Middle cerebellar peduncles
HISTOLOGY CEREBRUM dan CEREBERAL
2. Lapisan tengah yang terdiri atas sel Purkinje besar, memilki badan sel
yang mencolok, dengan dendritnya yang berkembang biak, yang menyerupai
kipas. Dendrit ini menempati sebagian besar lapisan molekular dan karenanya,
inti sel Purkinje jarang dijumpai.
3. Lapisan bergranula dalam, dibentuk oleh neuron yang sangat kecil, yang
saling berhimpitan.
2.2 INFEKSI SISTEM SYARAF PUSAT
Infeksi akut pada sistem saraf pusat merupakan penyebab tersering dari
demam yang berkaitan dengan munculnya tanda dan gejala dari penyakit
sistem saraf pusat pada anak. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroba,
patogen yang spesifik bergantung kepada umur dan status imun dari penjamu
dan epidemiologi. Secara umum infeksi virus pada sistem saraf pusat lebih
sering dibandingkan dengan infeksi bakteri, dimana infeksi bakteri lebih
sering dibandingkan dengan infeksi fungal dan parasit.
Pasien dengan infeksi akut sistem saraf pusat mempunyai gejala klinis
yang hampir sama. Gejala yang sering muncul ialah nyeri kepala, mual,
muntah, penurunan nafsu makan, rewel, gelisah dan yang lainnya yang tidak
begitu spesifik. Tanda yang sering muncul pada infeksi sistem saraf pusat
ialah demam disertai dengan fotofobia, nyeri leher dan kaku kuduk, penurunan
kesadaran, kejang, dan defisit neurologi fokal. Infeksi dari sistem saraf pusat
dapat difus maupun fokal. Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi yang
bersifat difus. Abses otak merupakan contoh paling baik untuk infeksi yang
bersifat fokal.
2.2.1 MENINGITIS
a. Bakteri
b. Virus
c. Fungal
d. Parasit
e. Non infeksi
Berdasarkan tampilan dari CSS maka meningitis dibagi menjadi
Meningitis serosa
- Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan
piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab
terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab
lainnya meningitis sifilitika, virus, Toxoplasma gondhii dan
Ricketsia. Penyebabnya seperti mycobacterium tuberculosa &
virus, terjadi pada infeksi kronis. Peran limfosit & monosit
dalam melawan mikroba dengan cara fagositosis, tidak terjadi
penghancuran, hasilnya adalah cairan serousa
- Meningitis serosa : penyebab mycobacterium tuberculosa,viral,
toxoplasma gondii, ricketsia,fungi
Meningitis Purulenta
- Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan
piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya
antara lain,: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
menghasilkan exudat berupa pus atau reaksi purulen pada cairan
otak. Leukosit, dalam hal ini Neutrofil berperan dalam
menyerang mikroba, neutrofil akan hancur menghasilkan
exudat.
Temuan cairan serebrospinal pada meningitis
Leukocytes Protein Glucose
Condition Pressure (/μL) (mg/dL) (mg/dL) Comments
Normal 50-180 <4; 60-70% 20-45 >50 or
mm H2O lymphocytes, 75% blood
30-40% glucose
monocytes, 1-
3% neutrophils
Acute Usually 100-60,000+; 100-500 Depressed Organism may be
bacterial elevated usually a few compared seen on Gram
meningitis thousand; with blood stain and
PMNs glucose; recovered by
predominate usually culture
<40
Partially Normal or 1-10,000; >100 Depressed Organisms may
treated elevated PMNs usual or normal be seen;
bacterial but pretreatment may
meningitis mononuclear render CSF sterile
cells may in pneumococcal
predominate if and
pretreated for meningococcal
extended disease, but
period antigen may be
detected
Tuberculous Usually 10-500; PMNs 100-500; <50 usual; Acid-fast
meningitis elevated; early but may be decreases organisms may be
may be lymphocytes higher in with time if seen on smear;
low and monocytes presence treatment organism can be
because of predominate of CSF not recovered in
CSF block later block provided culture or by
in PCR; PPD, chest
advanced x-ray positive
stages
Fungal Usually 25-500; PMNs 20-500 <50; Budding yeast
elevated early; decreases may be seen;
mononuclear with time if organism may be
cells treatment recovered in
predominate not culture; India ink
later provided preparation or
antigen may be
positive in
cryptococcal
disease
B) Etiologi
Usia <1 bulan : E.coli, Streptokokus group B, L.monocytogenes
Usia 1-3 bulan : E.coli, Streptokokus group B, L.monocytogenes,
H.influenza type b, S.pnumoniae
Usia 3 bulan – 18 tahun : H.influenza, N.meningitidis, S.pneumoniae
B) Patofisiologi
a. Hematogen.
Meningitis bacterial umumnya berasal dari penyebaran melalui
hematogen dari sumber infeksi yang jauh. Yang paling sering
menyebabkan meningitis bakteri adalah infeksi saluran napas bagian atas.
Infeksi virus saluran napas atas dapat mendahului atau bersamaan dengan
masuknya bakteri penyebab meningitis. Neisseria meningitidis dan
Haemophilus influenza type b menempel pada reseptor sel epitel mukosa
melalui pili. Setelah menempel pada sel epitel, bakteri merusak mukosa
dan masuk ke dalam sirkulasi. Bakteri melewati CSF melalui pleksus
koroidalis dari ventrikel lateral dan meningen dan kemudian bersirkulasi
ke CSF ekstraserebral dan ruang subarachnoid. Bakteri dengan cepat
bermultiplikasi karena kandungan antibodi dan komplemen dalam CSF
tidak cukup untuk melawan bakteri. Dengan adanya lipopolisakarida
dinding sel bakteri (endotoksin) pada bakteri gram negatif (H. influenza
type b, N. meningitides) dan adanya komponen dinding sel pneumococcal
(teichoic acid, peptidoglycan) merangsang respon inflamasi dengan
adanya produksi TNF, IL-1, PGE, dan mediator infamasi lainnya. Reaksi
inflamasi ini menyebabkan hal-hal di bawah ini:
o Perubahan dari sawar darah otak
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari
vasogenic cerebral edema, peningkatan volume CSS, peningkatan tekanan
intrakranial dan kebocoran protein plasma ke dalam CSS.
o Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi
keadaan edema cerebri, peningkatan volume CSS dan peningkatan dari
volume darah cerebral
o Perubahan dari cerebral blood flow
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian
tekanan intra kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari
arteri, vena dan sinus cerebri
b. Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh
paranasal sinusitis, otitis media, mastoiditis, orbital cellulitis, cranial/
vertebral osteomyelitis.
c. Implantasi langsung trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak,
pungsi lumbal, penetrasi dermal sinus tract, atau
meningomyeloceles.
d. Infeksi bakteria transplasental
C) Manifestasi Klinis
Bervariasi bergantung pada usia, lama sakit sebelum berobat dan daya
tahan penderita. Pada neonatus gejala mungkin minimal dan menyerupai
sepsis, seperti malas minum, letargi, distres pernapasan, ikterus, muntah,
diare, hipotermia, kejang (40% kasus), tanda-tanda peningkatan ICP (ubun-
ubun besar menonjol, sakit kepala, mual-muntah persisten)
Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk, kernig sign, dan
brudzinski sign biasanya tidak ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun.
Pada anak lebih besar dapat timbul akut berupa demam, kejang, mual-muntah,
anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung, fotofobia, kaku kuduk, serta tanda
gangguan status mental seperti gelisah, letargi dan penurunan kesadaran.
Manifestasi klinis lain ialah defisit neurologi fokal, edema otak, paralisis saraf
kranial, syok septik, artritis septik, dll.
D) Diagnosis
1. Anamnesis
Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau saluran cerna
seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah.
Gejala meningitis adalah demam, nyeri kepala meningismus dengan
atau tanpa penurunan kesadaran, letargi, malaise, kejang dan muntah
merupakan hal yang sangat sugestif meningitis tetapi tidak ada satu
gejala pun yang khas.
Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak
kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi gejala
hanya berupa demam, rewel, letargi, malas minum dan nangis yang
melengking.
2. Pemeriksaan Fisik
Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau
iritabilitas
Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang memnonjol, kaku kuduk,
atau tanda rangsang meingeal lain (brudzinski dan kernig), kejang dan
defisit neurologis fokal. Tanda rangsang meingeal mungkin tidak
ditemukan pada anak berusia kurang dari 1 tahun.
Dapat juga ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, penumonia)
2. Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan
elektrolit jika ada indikasi.
Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologi :
Jumlah sel leukosit pada usia > 3 bulan adalah 6/mm3 dan tidak
mengandung PMN. Pada meningitis bakterialis terjadi
pleiositosis, biasanya >1.000/mm3 dengan predominasi PMN.
Pada bentuk atipik, pleiositosis biasanya <1.000/mm3
Absolute neutrophyl count (ANC) : bila jumlah leukosit LCS x
%PMN LCS x 10-2/mm3 hasilnya >1 berarti sangat
memungkinkan kemungkinan meningitis bkterialis.
Kadar glukosa LSS : terjadi hipoglikorazia (kadar gula LSS
rendah); pada kebanyakan kasus rasio kadar gula LSS : Gula
darah <0,40 (normal ± 66% kadar gula darah)
Kadar protein : kadar protein meningkat >200 mg/mm3
Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap
dimulai pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak
mengubah nilai diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman, itu
pun jika antibiotiknya sensitif.)
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda
dan gejala peningkatan tekanan intrakranial oleh karena lesi desak
ruang.
Kontaindikasi : peningkatan ICP, adanya gangguan
kardiopulmonar berat, infeksi kulit di area LP.
LSS harus dibiakkan dalam media agar, agar darah, agar coklat, media
Fildes, atau media leventhal. Karena pemeriksaan biakan memerlukan
waktu maka diagnosis sangat bergantung pada analisis hasil
pemeriksaan sebelumnya.
PCR
I. Meningitis Tuberkulosa
1. Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul
pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan
dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh
di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput
otak.
2. Epidemiologi
Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi dari sekitar 0,3%
pasien tuberkulosis anak yang tidak diobati. Paling sering menyerang pada
usia antara 6 bulan sampai 4 tahun. Kadang-kadang meningitis
tuberkulosis terjadi beberapa tahun setelah infeksi, ketika terjadi ruptur
satu atau lebih subependymal tuberkel sehingga basil tuberkel masuk ke
dalam ruang subaraknoid.
3. Patofisiologi
Meningtis tuberkulosis terjadi karena adanya pembentukan metastatic
caseous lesion pada korteks serebral atau meningen yang berkembang
melalui penyebaran lymphohematogenous dari infeksi primer. Lesi awal
adalah biasanya membesar dan terdapat mengeluarkan sejumlah kecil basil
tuberkel ke ruang subarakhnoid. Hal ini menyebabkan adanya gelatinous
exudate yang menginfiltrasi pembuluh darah corticomeningeal, sehingga
menyebabkan inflamasi, obstruksi, dan infark korteks serebri. Brainstem
merupakan tempat tersering yang terkena sehingga terjadi disfungsi saraf
kranial III, VI, dan VII. Eksudat juga menyebabkan gangguan aliran CSF
pada sistem ventrikular pada level basilar cistern sehingga menyebabkan
communicating hydrocephalus. Kombinasi vaskulitis, infark, edema
serebri, dan hidrosefal;us menyebabkan kerusakan yang berat yang terjadi
dengan cepat atau perlahan-lahan.
4. Manifestasi klinis
Perkembangan klinis meningitis tuberkulosis dapat timbul secara cepat
atau perlahan-lahan. Perkembangan yang cepat biasanya cenderung terjadi
pada bayi dan anak muda, dimana muncul gejala hanya beberapa hari
sebelum terjadinya hidrosefalus akut, kejang, dan edema serebri.
Kebanyakan gejala dan tanda berkembang dengan perlahan dalam
beberapa minggu dan dibagi ke dalam 3 stadium:
a. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Berlangsung 1 - 2 minggu
Biasanya gejalanya tidak khas
Demam
Sakit kepala
Rewel
Drowsiness
Malaise
Focal neurologic sign tidak ditemukan, tetapi pada bayi dapat
terjadi stagnasi atau hilangnya tahap perkembangan pada
milestone.
Prognosisnya baik
b. Stadium II
Biasanya timbul lebih mendadak.
Letargi
Nuchal rigidity
Kejang
Positive Kernig or Brudzinski sign
Hipertonia
Muntah
Cranial nerve palsies
Dan tanda neurologi fokal lainnya.
Perkembangan manifestasi klinis berhubungan dengan
pekembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial, dan
vaskulitis.
Beberapa anak tidak ada kejadian iritasi meningeal, tetapi ada
tanda ensefalitis misalnya disorientasi, gangguan pergerakan, atau
gangguan bicara.
c. Stadium III
Koma
Hemiplegia atau paraplegia
Hipertensi
Decerebrate posturing
Perubahan tanda vital
Kematian
Pasien yang bertahan akan terjadi cacat permanen yaitu kebutaan,
tuli, paraplegia, diabetes insipidus, atau retardasi mental.
5. Diagnosis
a. Tes tuberkulin
Pada 50% kasus, tes tuberkulin tidak reaktif. Pada uji mantoux,
dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman
Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Berikut ini adalah interpretasi
hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan : 0–4 mm → uji mantoux negatif.
(Indurasi) Arti klinis : tidak ada infeksi
Mycobacterium tuberculosa.
6. Pengobatan
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan
penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa
ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Terapi
diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang
digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis:
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan
tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid
diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg /
kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di
darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2
jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam
air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah
plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih
banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10
mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum
makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin
diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari.
Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh
melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan
muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia
dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini
bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi
baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan
dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul
akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk
tablet 500 mg.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar
puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik
melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput
otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada
jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung
(tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat.
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg /
kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet
250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik
dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di
FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg /
kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien yang
dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol
dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB /
hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak
dapat digunakan (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis
tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti
inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati
edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg /
kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya
pemberian regimen. Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah
baring total.
7. Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah
gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik,
kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat
berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada
koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi
optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan
oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual
terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya
mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial
terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang
sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan
terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon
pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.
8. Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis
tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur
pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis
yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.
II. Meningitis Viral/Aseptik
1. Definisi
Berdasarkan definisi, merupakan suatu penyakit dengan gambaran klinis
meningitis, abnormalitas CSS yang ringan, dan bersifat jinak. Kriteria
definit untuk aseptic meningitis diantaranya:
a. onset akut;
b. tanda dan gejala rangsang meningeal;
c. abnormalitas CSS tipikal untuk meningitis dengan sel mononuclear
predominan;
d. bakteri tidak tampak pada pewarnaan dan kultur CSS;
e. tidak ada focus infeksi parameningeal;
f. perjalanan penyakit bersifat jinak dan self limited
2. Gambaran Klinis
Penderita dengan meningitis virus tampak sakit akut, mengeluh nyeri
kepala frontal atau retro-orbital, fotofobia, nyeri otot, mual, muntah, tapi
tetap sadar dan waspada. Yang paling dikeluhkan adalah nyeri kepala
“grippe-like”. Pada pemeriksaan fisik, ada tanda-tanda iritasi meningeal,
pasien lethargi, tapi tidak comatose. Keberadaan defisit neurologis fokal
tipikal untuk encephalitis viral, terutama herpes simplex virus encephalitis.
Defisit neurologis fokal tidak terjadi pada meningitis virus jinak dan
sembuh spontan. Infeksi enterovirus dapat diaosiasikan dengan ruam
makulopapulae, vesicular atau ptekial. Dapat terbukti adanya lesi genital
vesicular atau riwayat herpes genital rekurens pada meningitis virus herpes
simplex tipe 2.
Enterovirus merupakan agen infeksi paling sering dari meningitis virus
yang etiologinya dapat ditentukan (echovirus tipe 6,9 dan 20 dan
Coxsackievirus A9, B2, B3, dan B5 serta polivirus). Gambaran klinik
meningitis enteroviruses meliputi nyeri kepal, demam, faringitis, letargi,
mual, muntah, dan meningismus. CSSnya memberikan gambaran
pleositosis ringan dengan hitung jenis kurang dari 100/mm³ dan limfosit
predominan. Konsentrasi protein sedikti meningkat; konsentrasi glukosa
normal. Meningitis enterovirus tipikal self-limmiting dan pengobatannya
secara suportif.
Herpes simplex virus tipe 2 menyebabkan penyakit kelamin dan
meningitis aseptic. Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan identifikasi
lesi kelamin vesicular atau keluhan retensi urin atau gejala resikular,
diasosiasikan dengan nyeri kepala, demam dan fotofobia ringan.
Pemeriksaan CSS menunjukkan limfositik pleositosis (300-400 sel/mm³)
dengan peningkatan konsentrasi protein. Konsentrasi glukosa dapat
normal atau menurun. Diagnosis definitive memerlukan kultur CSS virus
positif atau menunjukkan kenaikan 4x IgG spesifik HSV-2. Terapi
antiviral direkomendasikan untuk meningitis yang berhubungan dengan
infeksi herpes genital primer.
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) dapat menyebabkan
meningitis terutama karena serologi positif yang terdeteksi. Dalam waktu
3-6 minggu dari infeksi inisial, virus HIV dapat menyebabkan
mononucleosis-like syndrome dengan demam, limfadenopati generalisata,
infeksi faring, ruam, malaise, mialgia, arthralgia dan splenomegali.
Sindroma aseptic meningitis dapat berkembang selama penyakit akut
ditandai dengan nyeri kepal, kaku kuduk, fotofobia, dan ensefalopati.
Pemeriksaan CSS menunjukkan peningkatan protein (<100 mg/dl),
pleositosis mononuclear (<200 sel/mm³) dan konsentrasi glukosa yang
normal atau sedikit meningkat. Meningitis aseptic yang disebabkan Virus
HIV dapat sembuh sendiri, tapi mungkin memerlukan 4 minggu untuk
sembuh sempurna.
Virus mumps dan virus koriomeningitis limfositik adalah 2 dari
beberapa etiologi virus dari meningitis aseptic. Masa inkubasi keduanya
adalah 21 hari. Komplikasi neurologis paling sering dari kedua virus ini
adalah meningitis. Mumps dan meningitis akibat vaksin Mumps tampak
dengan gejala demam, nyeri kepala dan muntah. Mumps ensefalitis
tampak dengan adanya demam, penurunan kesadaran, kejang dan defisit
neurologis fokal. Abnormalitas CSS yang tipikal pada meningitis mumps
berupa :
1. Tekanan pembukaan normal;
2. Leukosit count 300-600 sel/mm³, dengan limfosit predominan, walau
leukosit PMN predominan pada stadium awal;
3. Konsentrasi protein yang normal atau sedikit meningkat;
4. Konsentrasi glukosa normal pada mayoritas kasus, tapi konsentrasi
glukosa 20-40 mg/dL dapat tampak pada 10-20 % kasus.
Meningitis mumps merupakan self-limmiting illness dengan kesembuhan
sempurna.
III. Meningitis Jamur
1. Etiologi
Jamur yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Cryptococcus
neoformans dan Coccidioides immite sedangkan Candida albican dan
Histoplamosis jarang.
2. Factor risiko
Banyak terjadi pada individu dengan AIDS; yang mendapat transplantasi
organ; kemoterapi imunosupresif atau terapi kortikosteroid kronik; dan
pada keganasan limforetikular. Kondisi yang diasosiasikan dapat
meningkatkan resiko untuk meningitis diantaranya kehamilan;
hemodialisis; kemoterapi imunosupresif (terutama kortikosteroid);
transplantasi organ dan AIDS.
3. Pathogenesis
Pada umumnya invasi ke dalam otak merupakan penyebaran
hematogen dari infeksi primer di paru-paru. Penjalaran perkontunuitatum
dapat juga terjadi melalui koloninya di nasofaring. Dalam hal tersebut
terakhir, nasofaring sendiri dapat tidak mengalami gangguan yang berarti,
sehingga kalau terjadi infeksi fungal serebral melalui penjalaran dari
nasofaring, manifestasi serebralnya dapat dianggap sebagai gejala
neurologik primer. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan
selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberkulosis ke ruang intra
kranial. Baik di permukaan korteks maupun di arakhnoid dapat dibentuk
granuloma yang besar atau kecil-kecil, yang akhirnya berkembang
menjadi abses, juga infeksi fungal selaput otak bersifat meningitis basalis
yang sukar dibedakan dengan meningitis tuberkulosa.
4. Manifestasi klinis
Cryptococcal meningitis dapat tampak sebagai penyakit akut dengan
demam, nyeri kepala, dan fotofobia, serta penurunan sensoris, atau tampak
sebagai penyakit subakut dengan nyeri kepala dan demam ringan. Pada
coccidiomycosis CNS pun dapat tampak sebagai penyakit akut dan sub
akut dengan gejala demam, demam ringan, mual muntah, dan perubahan
mental. Apabila terdapat SOL atau vaskulitis, dapat tampak defisit
neurologis fokal maupun kejang.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pungsi lumbal
b. Kultur cairan serebrospinal
c. CT-Scan dan MRI
d. Tes serologis (tes agglutinasi latex, antibodi fiksasi komplemen,
titer antigen serum)
6. Pengobatan
A. Umum
Bed rest dan Tirah baring
Diet tinggi kalori tinggi protein
Ventilasi
Cegah dehidrasi atau koreksi elektrolit inbalance
B. Kausa
Terapi yang direkomendasikan pada pengobatan meningitis jamur
Organisme Obat antifungal
Cryptococcus neoformans Amfoterisin B IV 0.3
mg/kg/hari
Pasien Non-AIDS plus
Flucytosine 150 mg/kg/hari
Untuk 6 minggu
atau
Amfoterisin B 0.4-0.6 mg/kg/hari
Pasien AIDS Amfoterisin B IV (0,5-0,8
mg/kg/hari)
Untuk total dosis 1-1,5 g diikuti oleh
Terapi supresif kronik dengan
Fluconazole (200mg/hari)
Coccidioides immites Amfoterisin B IV 0,4-0,6 mg/kg/hari
Plus
Amfoterisin B Intraventricular
0,25-0,75 mg tiga kali seminggu
Histoplasma capsulatum Amfoterisin B IV untuk total dosis
35 mg/kg digunakan selama 6-12 minggu
2.2.1.3 ENSEFALITIS
Definisi
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa). Sebagian
besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih
tinggi, berkisar 35-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup
tinggi (20-40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus (Herpes
Simpleks, CMV, Adenovirus. Berbagai macam virus dapat menimbulkan
ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi
hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.
Diagnosis
Anamnesis
Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh
nyeri kepala, kejang, dan kesadaran menurun.
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus.
Dapat ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan
penyakitnya.
Pemeriksaan Fisis
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma
dan kejang. Kejang dapat berupa status konvulsivus.
Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe
upper motor neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus)
Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan
jika ada indikasi.
Pungsi lumbal : pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal
atau menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang :
- Peningkatan jumlah sel 50-200/mm3
- Hitung jenis didominasi sel limfosit
- Protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl
- Glukosa normal
Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) menunjukkan gambaran edema
otak baik umum maupun fokal.
Pemeriksaan pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan
gambaran normal pada beberapa pasien, umumnya didaptkan gambaran
perlambatan atau gelombang epileptiform baik umum maupun fokal.
Tata Laksana
Medikamentosa
Tata laksana tidak ada yang spesifik. Terapi suportif berupa tata laksana
hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan
intrakranial, serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang
rawat intensif.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti
epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang
dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard terapi.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat diatasi dengan pemberian diuretik
osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali.
Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute
disseminated encephalomyeitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid
selama 2 minggu. Diberikan dosis tinggi metil-prednisolon 15 mg/kg/hari
dibagi setiap 6 jam selama 3-5 hari dan dilanjutkan prednisolon oral 1-2
mg/kg/hari selama 7-10 hari.
Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke
Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi
spastisitas, serta mencegah kontraktur.
Pemantauan pasca rawat
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan pengihatan, palsi
serebral, epilepsi, retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat
pasien memerlukan pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa
dilakukan konsultasi ke departemen terkait sesuai indikasi.
A) Patologi
Rasio terjadinya abses otak sama pada kedua hemisphere. Delapan puluh
persen kasus terjadi pada lobus frontal, parietal, dan temporal. Dua puluh
persen lainnya terjadi pada lobus osipital, cerebellum, dan batang otak.
B) Etiologi
Bakteri yang paling sering menimbulkan abses otak antara lain :
- Streptococcus (S. milleri, S. pyogenes, Streptokokus grup A atau B, S.
Pneumonia, S. faecealis)
- Bakteri anaerob ( Fusobacterium spp, prevotella, actinomyces)
- Gram negative basil aerob (haemophilus aphrophilus, H. parainfluenza,
H. influenza, Enterobacter, E. coli)
- Citrobacter (paling sering pada neonatus)
C) Manifestasi Klinis
Gejala pada stadium awal tidak spesifik, dapat berupa nyeri kepala,
demam letargi dan kejang.
Pada anak progresivitas penyakit ditandai dengan gangguan neurologis
bersamaan dengan gejala tekanan tinggi intrakranial.
Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, mengantuk atau stupor
dan tanda rangsang meningeal.
Tanda infeksi : demam, menggigil dan leukositosis.
Tanda fokal jaringan otak yang terkena : kejang, gangguan saraf yg
terkena.
D) Diagnosis
Secara histopatologi abses otak dibagi menjadi
Fase serebritis dini (hari ke 1-3)
Fase serebritis lambat (hari ke 4-9)
Fase pembentukan kapsul dini (hari ke 10-13)
Fase pembetukan kapsul lambat (hari ke 14 dan seterusnya)
E) Tatalaksana
Pemberian antibiotik
- Antibiotik inisial yang digunakan saat penyebab tidak diketahui :
kombinasi vancomycin dan metronidazole. Regimen yang sama
digunakan apabila faktor predisposisi abses berupa otitis media,
sinusitis, atau mastoiditis.
- Apabila penyebab adalah trauma kepala terbuka atau pembedahan
maka yang digunakan adalah vancomycin ditambah sefalosporin
generasi ketiga dianjurkan.
- Apabila faktor predisposisi penyakit adalah kelainan jantung maka
ampicillin sulbactam digunakan.
- Pada infeksi citrobacter dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi
ketiga dikombinasikan dengan aminoglikosida.
Terapi bedah, indikasi:
- Abses > 2 cm dalam diameter
- Lamanya penyakit > 2 minggu.
- Tidak terdapat perbaikan sesudah 24 jam terapi antibiotik
- Perburukan klinis penekanan struktur yang penting di otak.
F) Prognosis
Mortalitas menurun 15-20% apabila diagnose awal ditunjang dengan CT
scan atau MRI lalu diikuti terapi antibiotic secara cepat. Faktor yang
mempengaruhi tingkat mortalitas yang tinggi adalah umur < 1 tahun, abses
multiple, koma, dan adanya sekuele berupa hemiparesis, kenjang,
hidrosefalus, kelainan syaraf kranial, dan adanya masalah perilaku.
Penyebab :
- Lesi desak ruang intracranial
- Ensefalitis
- Meningitis
- Trauma craniocerebral
- Thrombosis sinus venous
- Obstruksi aliran keluar CSF
- Kadar protein CSF yang meningkat
- Obat dan zat toksik (keracunan timbal hitam, dll)
Sign & Symptom :
- Subyektif : nyeri kepala (difus dan konstan), lebih berat pada pagi hari
; muntah (proyektil) ; apati
- Tanda peringatan : koneusi, gangguan pernafasan, bradikardia,
hipertensi, cerebellar fit, pupil melebar
- Tanda mata : papiledema, bintik buta melebar, serangan amblyopia,
kelumpuhan okulomotorius juga n.cranialis VI
- CSS : tekanan > 200 mm air
2.2.5 HYDROCEPHALUS
Definisi
Merupakan peningkatan CSF volume atau dilatasi pada bagian cerebral ventricle.
Hal ini seringkali didefinisikan pula sebagai pembesaran dari kepala yang
diakibatkan oleh sumbatan atau oversirkulasi dari CSF pada ventrikel yang berada
pada bagian-bagian besar brain.
Klasifikasi
2. Communicating hydocephalus
Secara normal, CSF ini diproduksi 0,35 ml permenitnya dan ketika telah
mencapai batas tertentu, maka akan dilakukan reabsorbsi 3 kali lebih
banyak dibanding batas normal. Dikatakan abnormal atau communicating
hydrocephalus ini ketika produksi ini 1 ml permenit namun kecepatan
reabsorbsi masih tetap sama.
Biasanya hal ini diakibatkan oleh adanya tumor pada choroid plexus, atau
kadang disebut choroid plexus papilloma.
Berdasarakan etiologinya, bentuk dari hal ini diakibatkan oleh beberapa
faktor utama yaitu,
a. Overproduksi plexus choroid
b. Defective absorbtion of CSF
Adanya defect pada arachinoid villi yang bertugas sebagai absorbsi
CSF
c. Venous drainage insufficiency
Bisa dikatakan “jarang”, hal ini bisa mengakibatkan communicating
hydrocephalus karena bentuk CSF yang telah digunakan harus di
reabsorbsi kedalam bentuk darah di sinous venosus, namun jika terjadi
gangguan drainage pada vena-nya, maka kemungkinan terjadi
akumulasi di daerah subarachinoid villi ini akan meningkat. Hal ini
mengakibatkan hydrocephalus.
3. Normal pressure hydrocephalus
Kesemuanya dari hydrocephalus ini dominan menyebabkan terjadinya ICP
atau intracranial pressure. Hal ini terjadi akibat adanya desakan yang
tinggi pada intracranial sehingga disebut intracranial pressure et cause
hydrocephalus.
Namun pada jenis ini, bentuk ICP tidak terjadi karena hanya menyentuh
batas normal namun normal atas (150-200 mmH2O). Hal ini terjadi akibat
adanya peningkatan cairan CSF namun kemampuan reabsorbsi dari vill
arachinoid cukup baik. Kesimpulannya, CSF tinggi namun reabsorbsi baik
dan akhirnya tekananan CSF mampu ditekan dengan adanya reabsorbsi
ini.
Dikarenakan bentuk hydrocephalus ini tidak hanya untuk anak-anak, namun pada
orang dewasa pun bisa terjadi. Namun cenderung occulta atau bisa dikatakan
hydrocephalus namun tidak terlihat jelas tanpa pencitraan tambahan.
Anak-anak Dewasa
Enlarged head Headache
Exophthalmos Lethargic
ICH Malaise
Mental retardation Incoordination
Visual loss Weakness
Otitic hydrocephalus febril, listless NPH
Overactive tendon reflex Occult
Babinski sign (+) Kadang menyebabkan piramidal tract
Leg weak up to spasm disfunction
Lab Finding
Diagnostic yang paling baik sangatlah ditunjang dari pemeriksaan lab. Ada the
best diagnostic aid yang bisa digunakan untuk meyakinkan hydrocephalus yaitu
CT scan dan MRI. Kadang pula dilakukan amniocentesis pada masa kehamilan
aman untuk menghitung CSF pressure dan mengindikasikan gejala lain yang bisa
menuju kepada diagnosis hydrocephalus.
Biasanya untuk prognosis yang bisa didapat ketika tidak dilakukan treatment
sekitar 50% pada umur 1 tahun bisa mengalami kematian dan 75% pada umur 10
tahun.
Namun bila telah dilakukan treatment atau PV-shunt kemungkinan hidup akan
cukup tinggi yaitu, 50% mampu bertahan pada umur lebih dari sama dengan 15
tahun namun bisa mengalami efek 15% mental retardasi pada anak meski telah
melakukan treatment
Untuk treatment pula bisa menggunakan obat-obatan yang cenderung untuk tipe
NPH saja yaitu, acetozolamide, furosemide, dan isosorbide.
Ventriculoperitoneal shunt