Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat merupakan penyakit yang cukup serius karena
dapat menyebabkan gejala yang membawa kepada kematian atau disabilitas yang
berat. Oleh sebab itu, dibutuhkan kecermatan dalam mengenali setiap gejala yang
mungkin muncul sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan sedini mungkin.
Pengenalan tanda dan gejala infeksi SSP ditujukan untuk dapat
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi. Hal ini bertujuan agar dapat
diberikan terapi antibiotik yang sesuai dan bisa dilakukan tindakan pencegahan
penting terutama pada kasus-kasus infeksi yang sangat menular seperti
meningokokus.
Agar dapat menegakkan diagnosis yang baik maka dibutuhkan beberapa
hal penting, yaitu pemeriksaan klinis yang baik, pemeriksaan laboratorium
khususnya analisis cairan serebrospinalis dan pemeriksaan pencitraan meliputi
foto rontgen polos, CT Scan ataupun MRI.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Histologi Sistem Saraf


Sistem saraf merupakan sistem yang menghubungkan tubuh dengan
lingkungan internal dan eksternal. Sistem saraf juga mengontrol dan
mengintegrasikan berbagai aktivitas didalam tubuh seperti sirkulasi dan respirasi.
Pembagian sistem saraf, yaitu:
 Secara struktur dibagi menjadi sistem saraf pusat yang terdiri dari otak dan
spinal cord, dan sistem saraf perifer yang terdiri dari sistem saraf diluar
dari sistem saraf pusat (berkas saraf otak beserta percabangannya, berkas
saraf spinal berserta percabangannya, reseptor sensori dan ganglia).
 Secara fungsional dibagi menjadi sistem saraf somatis dan sistem saraf
autonom.
2.1.1 Meningens

Cranial meninges merupakan suatu selaput yang menyelubungi otak dan


berada langsung di dalam cranium.

Fungsi
 Melindungi otak

 Membentuk kerangka penyokong untuk arteri, vena dan sinus venosus

 Memiliki ruangan yang berisi cairan, ruang subarakhnoid yang berperan


sangat penting dalam fungsi normal otak.
Lapisan
 Dura mater (dura): kokoh, suatu lapisan tebal fibrous bagian luar

 Arakhnoid mater (Arakhnoid): suatu lapisan tipis bagian tengah

 Pia mater (pia): suatu lapisan vaskular halus bagian dalam

 Arakhnoid dan pia merupakan suatu membran kontinyu yang membentuk


leptomeninx ( membran tipis)

 Arakhnoid dan pia dipisahkan oleh ruang subaraknoid (subarachnoid


space), yang mana terkandung cairan Serebrospinal.

 Ruangan tersebut membantu mempertahankan keseimbangan cairan


ekstrasel di otak.

Cairan Serebrospinal
 Merupakan suatu cairan jernih yang mirip dengan darah jika dilihat dari
susunan komposisinya

 CSS mengandung nutrisi tetapi dengan jumlah protein yang sedikit dan
konsentrasi ion yang berbeda.

 CSS dibentuk pada pleksus koroid dari keempat ventrikel pada otak.

 CSS akan bersirkulasi melalui ruang subarakhnoid yang nantinya akan


menjadi bantalan dan memberi nutrisi kepada otak.
Dura Mater
 Merupakan suatu membran bilaminer atau biasa disebut pachymeninx
(membran tebal)

 Dura menempel pada kalvaria bagian dalam.

 Lapisan pada dura mater adalah lapisan periosteal luar yang dibentuk dari
periosteum yang melapisi kalvaria bagian dalam dan lapisan meningeal
dalam yang merupakan membran fibrosa kuat yang melapisi foramen
magnum dan spinal dura mater yag melapisi spinal cord.
Dural Infolding
 Falx cerebri --> cerebral fissure

 Tentorium cerebelli --> persambungan dari falx cerebri

 Falx cerebelli --> inferior tentorium cerebelli

 Diaphragma sellae --> mengcover pituitary

Vasculature & Nerve Supply Dura Mater


 Arteries of the dura

 Middle meningeal artery

 Veins of the dura

 Middle meningeal veins

 Trigeminal nerve CN V

Arachnoid & Pia Mater


 Berkembang dari mesenkim

 Leptomeningens

 Parietal part --> arachnoid

 Visceral part --> pia

 Arachnoid --> arachnoid trabecula --> irregularly fibroblast, collagen,


ellastic fiber

 Pia --> vaskularisasi

Meningeal Space
 Dura-cranial interface --> patologic
 Dura-arachnoid junction --> patologic

 Subarachnoid space --> csf, trabecular cell, vessels

Histology
 Dura --> dense connective tissue, internal simple squamous epithelium

 Arachnoid --> Connective tissue, simple squamous epithelium, arachnoid


villi

 Pia --> neuroglial


Blood Brain Barrier

 Barrier blood --> nerve tissue

 Penurunan permeabilitas

 Sitoplasma endotelial sel tidak mempunyai fenestrasi

 Hanya sedikit pinositik vesikel

 Ekspansi dari neuroglial sel (astrosit)

2.1.2 OTAK
A. CEREBRUM

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar. Dimana permukaan luar


cerebrum merupakan gray matter yang disebut cerebral cortex dan permukaan
dalamnya disebut white matter. Juga terdapat banyak lipatan yang disebut gyrus
dan sulcus yang memisahkan lipatan-lipatan gyrus tersebut. Dalam cerebrum
terdapat 4 buah lobus, yaitu:
 Lobus frontal
Berfungsi untuk pusat gerak sadar, motivasi, agresi, dan sensasi bau.
 Lobus pariental
Berfungsi untuk pusat ingaan, kecerdasan, nalar dan sikap.
 Lobus temporal
Berfungsi untuk pusat pendengaran dan penyimpanan memory.
 Lobus occipital
Berfungsi sebagai pusat penglihatan.
Gambar : cerebrum dilihat dari superior
Pada bagian cerebral white matte juga terdapat 3 nerve track :
1. Association fiber
Menghubungkan area cerebral cortex didalam hemisphere
2. Commissural fiber
Menghubungkan satu cerebral hemisphere ke hemisphere lainnya
3. Projection fuber
Menghubungkan antara cerebrum dan bagian lain dari otak dan spinal cord
Gambar : Potongan sagital otak dilihat dari medial

Histological structures of the cerebrum


Otak mengandung substansi abu-abu dan substansi putih.

1. Substansi abu-abu  membentuk bagian luar otak (korteks). Substansi ini


mengandung badan sel neuron, serabut tak termielinasi, astrosit protoplasma,
oligodendrosit, dan mikroglia.

2. Substansi putih  membentuk bagian dalam otak. Kandungan pada substansi


ini didominasi oleh serabut termielinisasi, oligodendrosit, astrosit fibrosa, dan
mikroglia.

Substansia kelabu biasanya berada pada permukaan serebrum dan serebelum,


membentuk korteks serebral dan serebelar. Kumpulan badan sel neuron yang
membentuk pulau-pulau substansia kelabu yang dikelilingi oleh substansia putih
disebut nuclei. Pada korteks serebri, substansia putih terdiri atas 6 lapis sel dengan
bentuk dan ukuran yang berbeda. Neuron-neuron pada beberapa tempat di korteks
serebri mengatur impuls aferen (sensorik), sedangkan di tempat lain neuro eferen
(motorik) mengaktifkan impuls motorik yang mengatur pergerakan volunteer. Sel-
sel dari korteks serebri dihubungkan dengan informasi sensorik yang terintegrasi
dan permulaan respons motorik volunteer. Korteks serebri memiliki 3 lapisan,
yaitu lapisan molecular luar, lapisan tengah yang terdiri dari sel-sel Purkinye
besar, dan lapisan granular dalam. Sel-sel Purkinye memiliki badan sel yang
mencolok dengan dendritnya yang berkembang dengan sempurna sehingga
menyerupai kipas. Dendrit ini menempati hamper seluruh lapisan molecular dan
menjadi alasan untuk jarangnya nuclei pada lapisan itu. Lapisan granular disusun
oleh sel-sel yang sangat kecil (sel terkecil di tubuh kita) yang cenderung merata,
berbeda dengan lapisan molecular yang kurang padat sel.
CEREBRAL CORTEX AREA

Area fungsional korteks serebral meliputi area motorik primer, area sensorik
primer, dan area asosiasi atau sekunder yang berdekatan dengan area primer dan
berfungsi untuk integrasi dan interpretasi tingkat tinggi.

 Area motorik primer pada korteks

1. Area motorik primer terdapat dalam girus presental. Di sini, neuron


(piramidal) mengendalikan kontraksi volunter otot rangka. Aksonnya
menjalar dalam traktus piramidal.

2. Area promotorik korteks terletak tepat di sisi anterior girus presentral.


Neuron (ekstrapiramidal) mengendalikan aktivitas motorik yang terlatih
dan berulang, seperti mengetik.

3. Area Broca terletak di sisi anterior area premotorik pada tepi bawahnya.
Area ini mungkin hanya terdapat pada 1 hemisfer saja (biasanya sebelah
kiri) dan dihubungkan dengan kemampuan wicara.
 Area sensorik korteks

1. Area sensorik primer terdapat dalam girus postsentral. Di sini, neuron


menerima informasi sensorik umum yang berkaitan dengan nyeri, tekanan,
suhu, sentuhan, dan propriosepsi dari tubuh.

2. Area visual primer terletak dalam lobus oksipital dan menerima informasi
dari retina mata.

3. Area auditori primer terletak pada tepi atas lobus temporal, menerima
impuls saraf yang berkaitan dengan pendengaran.

4. Area olfaktori primer terletak pada permukaan medial lobus temporal,


berkaitan dengan indera penciuman.

5. Area pengecap primer (gustatori) terletak dalam lobus parietal dekat


bagian inferior girus postsentral, terlibat dalam persepsi rasa.

 Area asosiasi

1. Area asosiasi frontal, yang terletak pada lobus frontal, adalah sisi fungsi
intelektual dan fisik yang lebih tinggi.

2. Area asosiasi somatic (somestetik), yang terletak dalam lobus parietal,


berkaitan dengan interpretasi bentuk dan tekstur suatu objek dan
keterkaitan bagian-bagian tubuh secara posisional.

3. Area asosiasi visual (yang terletak pada lobus oksipital) dan area asosiasi
auditorik (yang terletak dalam lobus temporal) berperan untuk
menginterpretasi pengalaman visual dan auditori.

4. Area wicara Wernicke, yang terletak dalam bagian superior lobus


temporal, berkaitan dengan pengertian bahasa dan formulasi wicara.
Bagian ini berhubungan dengan area wicara Broca.
Lateralisasi otak dan dominasi serebral:

a. Hemisfer dominan (hemisfer kiri) berkaitan dengan bahasa, wicara,


analisis, dan kalkulasi.

b. Hemisfer non-dominan (hemisfer kanan) bertanggung jawab untuk


persepsi spasial, dan pemikiran non-verbal atau ide.

1.1.DIENCEPHALON
 Thalamus
Thalamus berukuran ±3 cm dan 80% dari diencephalon merupakan
thalamus. Thalamus memiliki sepasang gray matter yang disebut intermediate
mass (interthalamic adhesion) dan white matter yang disebut internal
medulary lamina yang membagi gray matter menjadi bagian kanan dan kiri.
Thalamus memiliki fungsi utama yaitu menyediakan hampir semua sensory input
ke cerebral cortex dan berkontribusi pada fungsi motoris dengan mentransmit
informasi dari cerebellum dan basal ganglia ke motor area utama pada cerebral
cortex juga memeran peran penting dalam pertahanan kesadaran.
Berdasarkan fungsi dan posisinya terdapat 7 group utama pada sisi nuclei :
1. Anterior nuclei
2. Medial nuclei
3. Nuclei pada lateral group
4. Ventral group :
 Ventral anterior nuclei
 Ventral lateral nuclei
 Ventral posterior nuclei
 Lateral geniculate nuclei
 Medial geniculate nuclei
5. Intralaminar nuclei
6. Middle nucleus
7. Reticular nucleus
 Hypothalamus
Hypothalamus merupakan bagia kecil dari thalamus yang merupakan
bagian inferior pada thalamus yang memiliki fungsi mengontrol ANS,
memproduksi hormone, sebagai pusat rasa lapar dan haus, mengontrol
temperature, dan mengatur emosi dan kebiasaan.
Hypothalamus memiliki 4 bagian utama yaitu :
o Mammillary region
o Tuberal region
o Supraoptic region
o Preoptic region

 Epithalamus
Epithalamus merupakan bagian terkecil dari posterior dan superior
thalamus . epithalamus ini mengandung pineal gland yang dianggap bagian dari
kelenjar endokrin karena mensekresi melatonin dan habernular nuclei yang
berguna untuk respon emosional ke bau.
1.2.BRAIN STEM
 Mid brain
Midbrain atau mesencephalon merupakan perpanjangan dari pons ke
diencephalon dan memiliki panjang ±2.5 cm . mid brain memiliki fungsi
menyampaikan motor output dari cerebral cortex ke pons dan sensory input sari
spinal cord ke thalamus.
Midbrain ini juga mengandung nuclei dan tracts. Bagian depan midbrain
memiliki sepasang tracts yang disebut cerebral peduncles. Tracts ini mengandung
axon-axon corticospinal, corticopontine, dan corticobulbar motor neurons,
yang memimpin impuls-impuls saraf dari cerebrum ke spinal cord, pons, dan
medulla . cerebral peduncle juga mengandung axon-axon saraf sensory yang
memanjang dari medulla ke thalamus.
Terdapat superior colliculi yang berfungsi untuk mengkoordinasi
pergerakan dari bola mata pada respon visual dan stimulus lain, juga inferior
colliculi yang berfungsi untuk mengkoordinasi pergerakan dari kepala dan
rangsang auditory, substantia nigra dan red nucleus yang memiliki kontribusi
untuk mengkontrol pergerakan otot.
nuclei lainnya berhubungan dengan 2 pasang cranial nerve : occulomotor
(III) nerves dan trochlear (VI) nerves.
 Pons
Pons merupakan jembatan yang terletak superior dari medulla dan
anterior dari cerebellum yang panjangnya sekitar 2.5 cm. seperti medulla, pons
juga terdiri dari nuclei, sensory tract, dan motory tract.
Hubungan ini juga diperantarai oleh sekumpulan axon. Beberapa axon
dari pons ini menghubungkan bagian kanan dan kiri dari cerebellum dan yang
lainnya merupakan bagian dari sensory ascending tracs dan descending motor
tract.
Pons memiliki fungsi untuk menyampaikan impuls dari satu sisi di
cerebellum menuju bagian lainnya dan antara medulla dengan midbrain. Terdapat
pneumotaxic area dan apneustic area yang berfungsi untuk mengatur
pernapasan bersama dengan medulla oblongata. Pons juga mengandung nuclei
yang berhubungan dengan 4 pasang cranial nerve : trigeminal (V) nerves,
abducen (VI) nerves, facial (VII) nerves, dan vestibulocochlear (VIII) nerves.
 Medulla oblongata
Medulla oblongata merupakan bagian dari brainstem yang berhubungan
dengan bagian superior dari spinal cord dimana dimulai dari foramen magnum
yang meluas sepanjang inferior pons ±3 cm.
Bagian white matternya mengandung daerah sensorik (ascending) dan
daerah motorik (descending). Beberapa white matter juga membentuk tonjolan
pada sisi anterior dan tonjolan tersebut dinamakan pyramid yang dibentuk oleh
corticospinal track dimana corticospinal tract berfungsi untuk mengendalikan
gerak dasar dari limbs dan trunk. 90% dari axon pada pada pyramid bagian kiri
menyilang menuju sisi kanan begitu pun sebaliknya. Penyilangan ini disebut
pyramid decussation, yang menerangkan mengapa masing-masing sisi otak
mengendalikan pergerakan volunteer yang berlawanan.
Medulla oblongata ini memiliki beberapa nuclei dimana nuclei tersebut
mengendalikan fungsi fital seperti mengatur kecepatan dan kekuatan denyut
jantung, denyut pembuluh darah juga mengatur beberapa reflex seperti reflex
muntah, menelan, bersin, batuk, dan tersedak. Medulla juga mengandung nuclei
yang merupakan komponen dari jalur sensorik untuk gestation (rasa), audition
(pendengaran), dan equilibrium (keseimbangan).
medulla mengandung nuclei yang berhubungan dengan 5 pasang cranial
nerve : vestibulocochlear (VIII) nerves, glossopharyngeal (XI) nerves, bagus
(X) nerves, accessory (XI) nerves (cranial portion) dan hypoglossal (XII)
nerves.
1.3.CEREBELLUM
Cerebellum terletak pada posterior dari medulla dan pons dan pada
inferior dan posterior lubang kranial. Memiliki ukuran kedua terbesar setelah
cerebrum. Mengandung ½ saraf dari otak.
Pada bagian superior dan inferior berbentuk seperti kupu-kupu, bagian
tengah yang mengkerut disebut vermis dan bagian lateralnya disebut cerebellar
hemisphere. Kemudian, pada bagian superficial layer disebut cerebellar cortex
dimana mengandung gray dan gray matter yang melipat disebut folia. Didalam
gray matter terdapat white matter yang berbentuk seperti cabang pohon dan
berguna untuk menghubungkan cerebellar nuclei dengan peduncles sementara
gray matter berfungsi sebagai tempat axon yang mengangkut impuls dari
cerebellum ke otak lainnya.
Terdapat 3 pasang cerebral peduncles yang melekatkan cerebellum pada
brainstem :
1. Superior cerebellar peduncles
2. Inferior cerebellar peduncles
3. Middle cerebellar peduncles
HISTOLOGY CEREBRUM dan CEREBERAL

Bila diiris, serebrum, serebelum, dan medula spinalis memperlihatkan substansi


alba (white matter) dan substansi grissea (gray matter). Unsur utama dari
substansi alba adalah akson bermielin dan oligodendrosit penghasil mielin.
Substansi alba tidak mengandung badan sel neuron. Substansi alba terletak pada
lebih ke pusat serebrum dan serebelum. Sedangkan pada substansi grissea
mengandung bada sel neuron, dendrit, bagian awal akson tak bermielin, dan sel
glia. Substansi ini merupakan daerah terbentuknya sinaps. Substansi grissea
terutama terdapat di permukaan serebrum dan serebelum yang membentuk
korteks serebri dan korteks serebeli. Kumpulan badan-badan sel neuron yang
membentuk pulau-pulau substansi grissea yang terbenam dalam substansi alba
disebut nukleus. Pada korteks serebri, substansi grissea memiliki 6 lapisan sel
dengan beraneka bentuk dan ukuran. Neuron pada daerah korteks serebri tertentu
mengatur impuls aferen (sensoris), sedankan di daerah lain, neuron eferen
(motorik) membangkitkan impuls motorik yang mengendalikan gerak volunter.
Pada korteks serebeli memiliki 3 lapisan, yaitu :
1. Lapisan molekular luar, sel-sel yang tidak begitu padat.

2. Lapisan tengah yang terdiri atas sel Purkinje besar, memilki badan sel
yang mencolok, dengan dendritnya yang berkembang biak, yang menyerupai
kipas. Dendrit ini menempati sebagian besar lapisan molekular dan karenanya,
inti sel Purkinje jarang dijumpai.

3. Lapisan bergranula dalam, dibentuk oleh neuron yang sangat kecil, yang
saling berhimpitan.
2.2 INFEKSI SISTEM SYARAF PUSAT

Infeksi akut pada sistem saraf pusat merupakan penyebab tersering dari
demam yang berkaitan dengan munculnya tanda dan gejala dari penyakit
sistem saraf pusat pada anak. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroba,
patogen yang spesifik bergantung kepada umur dan status imun dari penjamu
dan epidemiologi. Secara umum infeksi virus pada sistem saraf pusat lebih
sering dibandingkan dengan infeksi bakteri, dimana infeksi bakteri lebih
sering dibandingkan dengan infeksi fungal dan parasit.

Pasien dengan infeksi akut sistem saraf pusat mempunyai gejala klinis
yang hampir sama. Gejala yang sering muncul ialah nyeri kepala, mual,
muntah, penurunan nafsu makan, rewel, gelisah dan yang lainnya yang tidak
begitu spesifik. Tanda yang sering muncul pada infeksi sistem saraf pusat
ialah demam disertai dengan fotofobia, nyeri leher dan kaku kuduk, penurunan
kesadaran, kejang, dan defisit neurologi fokal. Infeksi dari sistem saraf pusat
dapat difus maupun fokal. Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi yang
bersifat difus. Abses otak merupakan contoh paling baik untuk infeksi yang
bersifat fokal.

2.2.1 MENINGITIS

Meningitis adalah infeksi yang menyerang meningen, suatu lapisan yang


berisi cairan serebro spinal yang menyelimuti otak, otak kecil dan sumsum
tulang belakang. Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini meradang dan
membengkak, dan proses inflamasi yang ada merangsang reseptor-reseptor
nyeri yang ada pada selaput ini sehingga meimbulkan gejala nyeri dan kaku
kuduk.

Berdasarkan Etiologi meningitis dibagi menjadi

a. Bakteri
b. Virus
c. Fungal
d. Parasit
e. Non infeksi
Berdasarkan tampilan dari CSS maka meningitis dibagi menjadi

 Meningitis serosa
- Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan
piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab
terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab
lainnya meningitis sifilitika, virus, Toxoplasma gondhii dan
Ricketsia. Penyebabnya seperti mycobacterium tuberculosa &
virus, terjadi pada infeksi kronis. Peran limfosit & monosit
dalam melawan mikroba dengan cara fagositosis, tidak terjadi
penghancuran, hasilnya adalah cairan serousa
- Meningitis serosa : penyebab mycobacterium tuberculosa,viral,
toxoplasma gondii, ricketsia,fungi
 Meningitis Purulenta
- Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan
piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya
antara lain,: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
menghasilkan exudat berupa pus atau reaksi purulen pada cairan
otak. Leukosit, dalam hal ini Neutrofil berperan dalam
menyerang mikroba, neutrofil akan hancur menghasilkan
exudat.
Temuan cairan serebrospinal pada meningitis
Leukocytes Protein Glucose
Condition Pressure (/μL) (mg/dL) (mg/dL) Comments
Normal 50-180 <4; 60-70% 20-45 >50 or
mm H2O lymphocytes, 75% blood
30-40% glucose
monocytes, 1-
3% neutrophils
Acute Usually 100-60,000+; 100-500 Depressed Organism may be
bacterial elevated usually a few compared seen on Gram
meningitis thousand; with blood stain and
PMNs glucose; recovered by
predominate usually culture
<40
Partially Normal or 1-10,000; >100 Depressed Organisms may
treated elevated PMNs usual or normal be seen;
bacterial but pretreatment may
meningitis mononuclear render CSF sterile
cells may in pneumococcal
predominate if and
pretreated for meningococcal
extended disease, but
period antigen may be
detected
Tuberculous Usually 10-500; PMNs 100-500; <50 usual; Acid-fast
meningitis elevated; early but may be decreases organisms may be
may be lymphocytes higher in with time if seen on smear;
low and monocytes presence treatment organism can be
because of predominate of CSF not recovered in
CSF block later block provided culture or by
in PCR; PPD, chest
advanced x-ray positive
stages
Fungal Usually 25-500; PMNs 20-500 <50; Budding yeast
elevated early; decreases may be seen;
mononuclear with time if organism may be
cells treatment recovered in
predominate not culture; India ink
later provided preparation or
antigen may be
positive in
cryptococcal
disease

2.2.1.1 MENINGITIS PURULENTA/ MENINGITIS BAKTERIALIS


A) Definisi

Meningitis purulenta atau dapat disebut juga meningitis bakterialis adalah


suatu peradangan selaput jaringan otak dan medula spinalis yang disebabkan oleh
bakteri patogen. Peradangan tersebut mengenai arakhnoid, piamater dan cairan
serebrospinalis. Peradangan ini dapat meluas melalui ruang subarakhnoid sekitar
otak, medulla spinalis dan ventrikel. Penyakit ini menyebabkan angka kematian
yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantara pasien meningitis mengalami
gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis. Meningitis harus
ditangani sebagai keadaan emergensi. Kecurigaan klinis meningits sangat
dibutuhkan untuk diagnosis karena bila tidak terdeteksi dan tidak diobati, dapat
mengakibatkan kematian.

B) Etiologi
 Usia <1 bulan : E.coli, Streptokokus group B, L.monocytogenes
 Usia 1-3 bulan : E.coli, Streptokokus group B, L.monocytogenes,
H.influenza type b, S.pnumoniae
 Usia 3 bulan – 18 tahun : H.influenza, N.meningitidis, S.pneumoniae
B) Patofisiologi
a. Hematogen.
Meningitis bacterial umumnya berasal dari penyebaran melalui
hematogen dari sumber infeksi yang jauh. Yang paling sering
menyebabkan meningitis bakteri adalah infeksi saluran napas bagian atas.
Infeksi virus saluran napas atas dapat mendahului atau bersamaan dengan
masuknya bakteri penyebab meningitis. Neisseria meningitidis dan
Haemophilus influenza type b menempel pada reseptor sel epitel mukosa
melalui pili. Setelah menempel pada sel epitel, bakteri merusak mukosa
dan masuk ke dalam sirkulasi. Bakteri melewati CSF melalui pleksus
koroidalis dari ventrikel lateral dan meningen dan kemudian bersirkulasi
ke CSF ekstraserebral dan ruang subarachnoid. Bakteri dengan cepat
bermultiplikasi karena kandungan antibodi dan komplemen dalam CSF
tidak cukup untuk melawan bakteri. Dengan adanya lipopolisakarida
dinding sel bakteri (endotoksin) pada bakteri gram negatif (H. influenza
type b, N. meningitides) dan adanya komponen dinding sel pneumococcal
(teichoic acid, peptidoglycan) merangsang respon inflamasi dengan
adanya produksi TNF, IL-1, PGE, dan mediator infamasi lainnya. Reaksi
inflamasi ini menyebabkan hal-hal di bawah ini:
o Perubahan dari sawar darah otak
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari
vasogenic cerebral edema, peningkatan volume CSS, peningkatan tekanan
intrakranial dan kebocoran protein plasma ke dalam CSS.
o Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi
keadaan edema cerebri, peningkatan volume CSS dan peningkatan dari
volume darah cerebral
o Perubahan dari cerebral blood flow
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian
tekanan intra kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari
arteri, vena dan sinus cerebri
b. Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh
paranasal sinusitis, otitis media, mastoiditis, orbital cellulitis, cranial/
vertebral osteomyelitis.
c. Implantasi langsung trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak,
pungsi lumbal, penetrasi dermal sinus tract, atau
meningomyeloceles.
d. Infeksi bakteria transplasental

C) Manifestasi Klinis
Bervariasi bergantung pada usia, lama sakit sebelum berobat dan daya
tahan penderita. Pada neonatus gejala mungkin minimal dan menyerupai
sepsis, seperti malas minum, letargi, distres pernapasan, ikterus, muntah,
diare, hipotermia, kejang (40% kasus), tanda-tanda peningkatan ICP (ubun-
ubun besar menonjol, sakit kepala, mual-muntah persisten)
Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk, kernig sign, dan
brudzinski sign biasanya tidak ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun.
Pada anak lebih besar dapat timbul akut berupa demam, kejang, mual-muntah,
anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung, fotofobia, kaku kuduk, serta tanda
gangguan status mental seperti gelisah, letargi dan penurunan kesadaran.
Manifestasi klinis lain ialah defisit neurologi fokal, edema otak, paralisis saraf
kranial, syok septik, artritis septik, dll.
D) Diagnosis
1. Anamnesis
 Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau saluran cerna
seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah.
 Gejala meningitis adalah demam, nyeri kepala meningismus dengan
atau tanpa penurunan kesadaran, letargi, malaise, kejang dan muntah
merupakan hal yang sangat sugestif meningitis tetapi tidak ada satu
gejala pun yang khas.
 Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak
kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi gejala
hanya berupa demam, rewel, letargi, malas minum dan nangis yang
melengking.

2. Pemeriksaan Fisik
 Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau
iritabilitas
 Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang memnonjol, kaku kuduk,
atau tanda rangsang meingeal lain (brudzinski dan kernig), kejang dan
defisit neurologis fokal. Tanda rangsang meingeal mungkin tidak
ditemukan pada anak berusia kurang dari 1 tahun.
 Dapat juga ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
 Cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, penumonia)
2. Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan
elektrolit jika ada indikasi.
 Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologi :

 Jumlah sel leukosit pada usia > 3 bulan adalah 6/mm3 dan tidak
mengandung PMN. Pada meningitis bakterialis terjadi
pleiositosis, biasanya >1.000/mm3 dengan predominasi PMN.
 Pada bentuk atipik, pleiositosis biasanya <1.000/mm3
 Absolute neutrophyl count (ANC) : bila jumlah leukosit LCS x
%PMN LCS x 10-2/mm3 hasilnya >1 berarti sangat
memungkinkan kemungkinan meningitis bkterialis.
 Kadar glukosa LSS : terjadi hipoglikorazia (kadar gula LSS
rendah); pada kebanyakan kasus rasio kadar gula LSS : Gula
darah <0,40 (normal ± 66% kadar gula darah)
 Kadar protein : kadar protein meningkat >200 mg/mm3
 Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap
dimulai pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak
mengubah nilai diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman, itu
pun jika antibiotiknya sensitif.)
 Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda
dan gejala peningkatan tekanan intrakranial oleh karena lesi desak
ruang.
 Kontaindikasi : peningkatan ICP, adanya gangguan
kardiopulmonar berat, infeksi kulit di area LP.

 Preparat langsung (pewarnan gram)


 Biakan

LSS harus dibiakkan dalam media agar, agar darah, agar coklat, media
Fildes, atau media leventhal. Karena pemeriksaan biakan memerlukan
waktu maka diagnosis sangat bergantung pada analisis hasil
pemeriksaan sebelumnya.
 PCR

Rapid diagnostic test untuk menilai infeksi bakteri secara cepat.


 Pencitraan

Foto toraks, tulang tengkorak, sinus, tulang belakang


CT-Scan dilakukan atas indikasi
E) Manajemen
Diawali dengan terapi empiris, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan
dan uji resistensi.
Anak usia < 3 bulan :
 Segera berikan sefotaksim i.v. + amoksisilin atau ampisilin
 Seftriakson dapat dipakai untuk menggantikan sefotaksim, kecuali pada
bayi prematur atau bayi kuning, hipolbumin, atau asidosis, atau
mendapatkan infus mengandung kalsium.
 Jika melakukan perjalanan ke luar negeri tambahkan vankomisin.
 Jika terdapat peningkatan leukosit LCS dan risiko meningitis
tuberkulosis, evaluasi diagnosis untuk meningitis tuberkulosis.
 Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim
200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau seftriakson 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Anak usia > 3bulan :
 Segera berikan terapi seftriakson i.v. (jangan diberikan bersamaan
dengan cairan infus mengandug kalsium atau gunakan sefotaksim)
 Jika melakukan perjalanan ke luar negeri berikan vankomisin
 Jika terdapat peningkatan leukosit LCS dan risiko meningitis
tuberkulosis, evaluasi diagnosis untuk meningitis tuberkulosis.
 Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari i.v. dibagi dalam 3-4 dosis, atau
seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau ampisilin 200-400
mg/kgBB/hari IV dibgi dalam 4 dosis + kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Deksametason
Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4
hari. Injeksi deksametason diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat
pemberian antibiotik.
Lama Pengobatan : Tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14
hari.
Dosis obat pada meningitis bacterial
Drug Neonates Infants and children
0-7 days 8-28 days

Amikacin 15-20 divided q12h 20-30 20-30 divided q8h


divided
q8h
Ampicillin 200-300 divided 300 300 divided q4-6h
q8h divided
q4h or q6h
Cefotaxime 100 divided q12h 150-200 200-300 divided q8h
divided or q6h
q8h or q6h
Ceftriaxone - - 100 divided q12h or
q24h
Ceftadizime 150 divided q12h 150 150 divided q8h
divided
q8h
Gentamicin 5 divided q12h 7,5 divided 7,5 divided q8h
q8h
Meropenem - - 120 divided q8h
Nafcillin 100-150 divided 150-200 150-200 divided q4h
q8h or q12h divided or q6h
q8h or q6h
Penicillin G 250.000-400.000 450.000 450.000 divided q4h
divided q8h divided or q6h
q6h
Rifampin - - 20 divided q12h
Tobramycin 5 divided q12h 7,5 divided 7,5 divided q8h
q8h
Vancomycin 30 divided q12h 30-45 60 divided q6h
divided
q8h
*\Dosages in mg/kg (U/kg for penicillin G) per day
a. Suportif
 Monitoring tanda vital setiap 15-30 menit sejak saat perawatan
sampai keadaan umum stabil, setelah itu setiap jam untuk 1-2 hari.
Suhu tubuh diukur setiap 4 jam.
 Evaluasi pemeriksaan neurologis harus dilakukan setiap hari.
 Pada hari pertama penderita dipuasakan, jumlah cairan infuse
dibatasi 800-1000 mL/m3 luas permukaan tubuh, dalam keadaan
dehidrasi harus diatasi terlebih dahulu dengan hati-hati.
 Masukan dan keluaran cairan harus dicatat.
 Berat badan ditimbang setiap hari untuk menilai adanya SIADH
 Berat jenis urin, kadar Na dan K di urin, kadar Na dan kalium
serum, kadar karbondioksida serum diukur tiap 12-24 jam selama
48 jam pertama.
 Lingkar kepala diukur setiap hari dan transluminasi kepala pada
ank < 18 bulan dilakukan setiap hari untuk melihat kemungkinan
adanya efusi subdural atau penyebab lain dari hidrosefalus.
 Antikonvulsan bila didapat kejang. Fenobarbital 7 mg/kgbb
sebagai dosis inisial dilanjutkan dengan fenitoin 5 mg/kgbb/hr
dalam 2 dosis iv.valium dapat diberikan 0,25-0,50 mg/kgbb/kali
atau 1 mg/th maksimal 10 mg. lorazepam dapat diberikan dengan
dosis 0,05 mg/kgbb iv.
F) Komplikasi
Komplikasi dini
 Syok septic
 Edema otak
 Miokarditis
 Hiponatremia
 Kejang
 Hemiparesis
 Deficit neurologic lain
Komplikasi lambat
 Efusi/empiema subdural
 Hidrosefalus
 Kerusakan otak dengan retardasi mental
 Gangguan pendengaran
 Perdarahan dan thrombosis
 Imun/arthritis reaktif
 Kebutaan kortikal
 Kuadriplegia
 Endoftalmitis
 Endokarditis

2.2.1.2 MENINGITIS SEROSA


Meningitis serosa terjadi apabila pada penderita terdapat gambaran klinis
meningitis, tetapi pada pemeriksaan cairan serebrospinal tidak sampai berwarna
keruh. Penyebabnya dapat disebabkan oleh bakteri (meningitis tuberkulosa), virus
(meningitis virus/meningitis aseptik), jamur (meningitis jamur), maupun parasit
(syphilitic meningitis).
Meningitis serosa dapat disebabkan oleh mikobakterium, virus dan jamur.
Etiologi terbanyak ialah mikobakterium.

I. Meningitis Tuberkulosa
1. Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul
pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan
dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh
di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput
otak.

2. Epidemiologi
Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi dari sekitar 0,3%
pasien tuberkulosis anak yang tidak diobati. Paling sering menyerang pada
usia antara 6 bulan sampai 4 tahun. Kadang-kadang meningitis
tuberkulosis terjadi beberapa tahun setelah infeksi, ketika terjadi ruptur
satu atau lebih subependymal tuberkel sehingga basil tuberkel masuk ke
dalam ruang subaraknoid.

3. Patofisiologi
Meningtis tuberkulosis terjadi karena adanya pembentukan metastatic
caseous lesion pada korteks serebral atau meningen yang berkembang
melalui penyebaran lymphohematogenous dari infeksi primer. Lesi awal
adalah biasanya membesar dan terdapat mengeluarkan sejumlah kecil basil
tuberkel ke ruang subarakhnoid. Hal ini menyebabkan adanya gelatinous
exudate yang menginfiltrasi pembuluh darah corticomeningeal, sehingga
menyebabkan inflamasi, obstruksi, dan infark korteks serebri. Brainstem
merupakan tempat tersering yang terkena sehingga terjadi disfungsi saraf
kranial III, VI, dan VII. Eksudat juga menyebabkan gangguan aliran CSF
pada sistem ventrikular pada level basilar cistern sehingga menyebabkan
communicating hydrocephalus. Kombinasi vaskulitis, infark, edema
serebri, dan hidrosefal;us menyebabkan kerusakan yang berat yang terjadi
dengan cepat atau perlahan-lahan.

4. Manifestasi klinis
Perkembangan klinis meningitis tuberkulosis dapat timbul secara cepat
atau perlahan-lahan. Perkembangan yang cepat biasanya cenderung terjadi
pada bayi dan anak muda, dimana muncul gejala hanya beberapa hari
sebelum terjadinya hidrosefalus akut, kejang, dan edema serebri.
Kebanyakan gejala dan tanda berkembang dengan perlahan dalam
beberapa minggu dan dibagi ke dalam 3 stadium:
a. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
 Berlangsung 1 - 2 minggu
 Biasanya gejalanya tidak khas
 Demam
 Sakit kepala
 Rewel
 Drowsiness
 Malaise
 Focal neurologic sign tidak ditemukan, tetapi pada bayi dapat
terjadi stagnasi atau hilangnya tahap perkembangan pada
milestone.
 Prognosisnya baik
b. Stadium II
 Biasanya timbul lebih mendadak.
 Letargi
 Nuchal rigidity
 Kejang
 Positive Kernig or Brudzinski sign
 Hipertonia
 Muntah
 Cranial nerve palsies
 Dan tanda neurologi fokal lainnya.
 Perkembangan manifestasi klinis berhubungan dengan
pekembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial, dan
vaskulitis.
 Beberapa anak tidak ada kejadian iritasi meningeal, tetapi ada
tanda ensefalitis misalnya disorientasi, gangguan pergerakan, atau
gangguan bicara.
c. Stadium III
 Koma
 Hemiplegia atau paraplegia
 Hipertensi
 Decerebrate posturing
 Perubahan tanda vital
 Kematian
 Pasien yang bertahan akan terjadi cacat permanen yaitu kebutaan,
tuli, paraplegia, diabetes insipidus, atau retardasi mental.
5. Diagnosis
a. Tes tuberkulin
Pada 50% kasus, tes tuberkulin tidak reaktif. Pada uji mantoux,
dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman
Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Berikut ini adalah interpretasi
hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan : 0–4 mm → uji mantoux negatif.
(Indurasi) Arti klinis : tidak ada infeksi
Mycobacterium tuberculosa.

2. Pembengkakan : 3–9 mm → uji mantoux meragukan.


(Indurasi) Hal ini bisa karena kesalahan
teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypic atau setelah
vaksinasi BCG.

3. Pembengkakan : ≥ 10 mm → uji mantoux positif.


(Indurasi) Arti klinis : sedang atau pernah
terinfeksi Mycobacterium
tuberculosa.
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) terjadi
reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm,
maka anak dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
b. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
 Darah: anemia ringan dan peningkatan laju endap darah pada 80%
kasus.
 Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan
cara pungsi lumbal):
o Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan
membentuk batang-batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom
bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di
medulla spinalis.
o Jumlah leukosit bervariasi dari mulai 10-500 sel/mm3. Jumlah
sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear ada,
tetapi mayoritas yang lebih dominan adalah limfosit.
o Kadar protein: meningkat (400-5000 mg/dL) karena
hidrosefalus dan blok spinal.
o Kadar glukosa: biasanya menurun. Kadar glukosa <40 mg/dL
tapi jarang yang < 20 mg/dL.
o Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
 Kultur cairan lain misalnya aspirasi lambung atau urin dapat
membantu mendiagnosis meningitis tuberkulosa.
c. Dari pemeriksaan radiologi:
 Foto toraks : pada 20-50% kasus, foto toraks anak menunjukan
tidak ada kelainan. dapat menunjukkan adanya gambaran
tuberkulosis.
 CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan
di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran
dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal
pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran
yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal,
tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda
edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat
juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah
korteks serebri atau talamus.

6. Pengobatan
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan
penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa
ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Terapi
diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
 Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
 Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang
digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis:
 Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan
tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid
diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg /
kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di
darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2
jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam
air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah
plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih
banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10
mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
 Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum
makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin
diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari.
Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh
melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan
muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia
dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.
 Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini
bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi
baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan
dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul
akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk
tablet 500 mg.
 Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar
puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik
melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput
otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada
jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung
(tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat.
 Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg /
kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet
250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik
dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di
FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg /
kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien yang
dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol
dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB /
hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak
dapat digunakan (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis
tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti
inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati
edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg /
kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya
pemberian regimen. Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah
baring total.

7. Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah
gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik,
kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat
berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada
koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi
optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan
oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual
terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya
mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial
terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang
sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan
terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon
pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.
8. Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis
tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur
pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis
yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.
II. Meningitis Viral/Aseptik
1. Definisi
Berdasarkan definisi, merupakan suatu penyakit dengan gambaran klinis
meningitis, abnormalitas CSS yang ringan, dan bersifat jinak. Kriteria
definit untuk aseptic meningitis diantaranya:
a. onset akut;
b. tanda dan gejala rangsang meningeal;
c. abnormalitas CSS tipikal untuk meningitis dengan sel mononuclear
predominan;
d. bakteri tidak tampak pada pewarnaan dan kultur CSS;
e. tidak ada focus infeksi parameningeal;
f. perjalanan penyakit bersifat jinak dan self limited
2. Gambaran Klinis
Penderita dengan meningitis virus tampak sakit akut, mengeluh nyeri
kepala frontal atau retro-orbital, fotofobia, nyeri otot, mual, muntah, tapi
tetap sadar dan waspada. Yang paling dikeluhkan adalah nyeri kepala
“grippe-like”. Pada pemeriksaan fisik, ada tanda-tanda iritasi meningeal,
pasien lethargi, tapi tidak comatose. Keberadaan defisit neurologis fokal
tipikal untuk encephalitis viral, terutama herpes simplex virus encephalitis.
Defisit neurologis fokal tidak terjadi pada meningitis virus jinak dan
sembuh spontan. Infeksi enterovirus dapat diaosiasikan dengan ruam
makulopapulae, vesicular atau ptekial. Dapat terbukti adanya lesi genital
vesicular atau riwayat herpes genital rekurens pada meningitis virus herpes
simplex tipe 2.
Enterovirus merupakan agen infeksi paling sering dari meningitis virus
yang etiologinya dapat ditentukan (echovirus tipe 6,9 dan 20 dan
Coxsackievirus A9, B2, B3, dan B5 serta polivirus). Gambaran klinik
meningitis enteroviruses meliputi nyeri kepal, demam, faringitis, letargi,
mual, muntah, dan meningismus. CSSnya memberikan gambaran
pleositosis ringan dengan hitung jenis kurang dari 100/mm³ dan limfosit
predominan. Konsentrasi protein sedikti meningkat; konsentrasi glukosa
normal. Meningitis enterovirus tipikal self-limmiting dan pengobatannya
secara suportif.
Herpes simplex virus tipe 2 menyebabkan penyakit kelamin dan
meningitis aseptic. Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan identifikasi
lesi kelamin vesicular atau keluhan retensi urin atau gejala resikular,
diasosiasikan dengan nyeri kepala, demam dan fotofobia ringan.
Pemeriksaan CSS menunjukkan limfositik pleositosis (300-400 sel/mm³)
dengan peningkatan konsentrasi protein. Konsentrasi glukosa dapat
normal atau menurun. Diagnosis definitive memerlukan kultur CSS virus
positif atau menunjukkan kenaikan 4x IgG spesifik HSV-2. Terapi
antiviral direkomendasikan untuk meningitis yang berhubungan dengan
infeksi herpes genital primer.
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) dapat menyebabkan
meningitis terutama karena serologi positif yang terdeteksi. Dalam waktu
3-6 minggu dari infeksi inisial, virus HIV dapat menyebabkan
mononucleosis-like syndrome dengan demam, limfadenopati generalisata,
infeksi faring, ruam, malaise, mialgia, arthralgia dan splenomegali.
Sindroma aseptic meningitis dapat berkembang selama penyakit akut
ditandai dengan nyeri kepal, kaku kuduk, fotofobia, dan ensefalopati.
Pemeriksaan CSS menunjukkan peningkatan protein (<100 mg/dl),
pleositosis mononuclear (<200 sel/mm³) dan konsentrasi glukosa yang
normal atau sedikit meningkat. Meningitis aseptic yang disebabkan Virus
HIV dapat sembuh sendiri, tapi mungkin memerlukan 4 minggu untuk
sembuh sempurna.
Virus mumps dan virus koriomeningitis limfositik adalah 2 dari
beberapa etiologi virus dari meningitis aseptic. Masa inkubasi keduanya
adalah 21 hari. Komplikasi neurologis paling sering dari kedua virus ini
adalah meningitis. Mumps dan meningitis akibat vaksin Mumps tampak
dengan gejala demam, nyeri kepala dan muntah. Mumps ensefalitis
tampak dengan adanya demam, penurunan kesadaran, kejang dan defisit
neurologis fokal. Abnormalitas CSS yang tipikal pada meningitis mumps
berupa :
1. Tekanan pembukaan normal;
2. Leukosit count 300-600 sel/mm³, dengan limfosit predominan, walau
leukosit PMN predominan pada stadium awal;
3. Konsentrasi protein yang normal atau sedikit meningkat;
4. Konsentrasi glukosa normal pada mayoritas kasus, tapi konsentrasi
glukosa 20-40 mg/dL dapat tampak pada 10-20 % kasus.
Meningitis mumps merupakan self-limmiting illness dengan kesembuhan
sempurna.
III. Meningitis Jamur
1. Etiologi
Jamur yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Cryptococcus
neoformans dan Coccidioides immite sedangkan Candida albican dan
Histoplamosis jarang.
2. Factor risiko
Banyak terjadi pada individu dengan AIDS; yang mendapat transplantasi
organ; kemoterapi imunosupresif atau terapi kortikosteroid kronik; dan
pada keganasan limforetikular. Kondisi yang diasosiasikan dapat
meningkatkan resiko untuk meningitis diantaranya kehamilan;
hemodialisis; kemoterapi imunosupresif (terutama kortikosteroid);
transplantasi organ dan AIDS.
3. Pathogenesis
Pada umumnya invasi ke dalam otak merupakan penyebaran
hematogen dari infeksi primer di paru-paru. Penjalaran perkontunuitatum
dapat juga terjadi melalui koloninya di nasofaring. Dalam hal tersebut
terakhir, nasofaring sendiri dapat tidak mengalami gangguan yang berarti,
sehingga kalau terjadi infeksi fungal serebral melalui penjalaran dari
nasofaring, manifestasi serebralnya dapat dianggap sebagai gejala
neurologik primer. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan
selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberkulosis ke ruang intra
kranial. Baik di permukaan korteks maupun di arakhnoid dapat dibentuk
granuloma yang besar atau kecil-kecil, yang akhirnya berkembang
menjadi abses, juga infeksi fungal selaput otak bersifat meningitis basalis
yang sukar dibedakan dengan meningitis tuberkulosa.

4. Manifestasi klinis
Cryptococcal meningitis dapat tampak sebagai penyakit akut dengan
demam, nyeri kepala, dan fotofobia, serta penurunan sensoris, atau tampak
sebagai penyakit subakut dengan nyeri kepala dan demam ringan. Pada
coccidiomycosis CNS pun dapat tampak sebagai penyakit akut dan sub
akut dengan gejala demam, demam ringan, mual muntah, dan perubahan
mental. Apabila terdapat SOL atau vaskulitis, dapat tampak defisit
neurologis fokal maupun kejang.

5. Pemeriksaan penunjang
a. Pungsi lumbal
b. Kultur cairan serebrospinal
c. CT-Scan dan MRI
d. Tes serologis (tes agglutinasi latex, antibodi fiksasi komplemen,
titer antigen serum)
6. Pengobatan
A. Umum
 Bed rest dan Tirah baring
 Diet tinggi kalori tinggi protein
 Ventilasi
 Cegah dehidrasi atau koreksi elektrolit inbalance
B. Kausa
Terapi yang direkomendasikan pada pengobatan meningitis jamur
Organisme Obat antifungal
Cryptococcus neoformans Amfoterisin B IV 0.3
mg/kg/hari
Pasien Non-AIDS plus
Flucytosine 150 mg/kg/hari
Untuk 6 minggu
atau
Amfoterisin B 0.4-0.6 mg/kg/hari
Pasien AIDS Amfoterisin B IV (0,5-0,8
mg/kg/hari)
Untuk total dosis 1-1,5 g diikuti oleh
Terapi supresif kronik dengan
Fluconazole (200mg/hari)
Coccidioides immites Amfoterisin B IV 0,4-0,6 mg/kg/hari
Plus
Amfoterisin B Intraventricular
0,25-0,75 mg tiga kali seminggu
Histoplasma capsulatum Amfoterisin B IV untuk total dosis
35 mg/kg digunakan selama 6-12 minggu

2.2.1.3 ENSEFALITIS
Definisi
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa). Sebagian
besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih
tinggi, berkisar 35-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup
tinggi (20-40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus (Herpes
Simpleks, CMV, Adenovirus. Berbagai macam virus dapat menimbulkan
ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi
hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.

Diagnosis
Anamnesis
 Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
 Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh
nyeri kepala, kejang, dan kesadaran menurun.
 Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus.
Dapat ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan
penyakitnya.
Pemeriksaan Fisis
 Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma
dan kejang. Kejang dapat berupa status konvulsivus.
 Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
 Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe
upper motor neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus)
Pemeriksaan penunjang
 Darah perifer lengkap. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan
jika ada indikasi.
 Pungsi lumbal : pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal
atau menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang :
- Peningkatan jumlah sel 50-200/mm3
- Hitung jenis didominasi sel limfosit
- Protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl
- Glukosa normal
 Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) menunjukkan gambaran edema
otak baik umum maupun fokal.
 Pemeriksaan pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan
gambaran normal pada beberapa pasien, umumnya didaptkan gambaran
perlambatan atau gelombang epileptiform baik umum maupun fokal.
Tata Laksana
Medikamentosa
Tata laksana tidak ada yang spesifik. Terapi suportif berupa tata laksana
hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan
intrakranial, serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang
rawat intensif.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti
epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang
dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard terapi.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat diatasi dengan pemberian diuretik
osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali.
Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute
disseminated encephalomyeitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid
selama 2 minggu. Diberikan dosis tinggi metil-prednisolon 15 mg/kg/hari
dibagi setiap 6 jam selama 3-5 hari dan dilanjutkan prednisolon oral 1-2
mg/kg/hari selama 7-10 hari.
Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke
Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi
spastisitas, serta mencegah kontraktur.
Pemantauan pasca rawat
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan pengihatan, palsi
serebral, epilepsi, retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat
pasien memerlukan pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa
dilakukan konsultasi ke departemen terkait sesuai indikasi.

HERPES SIMPLEX ENCEPHALITIS


Ensefalitis yang disebabkan oleh HSV merupakan penyebab yang
paling penting, fatal, dan bersifat sporadic di dunia. Infeksi HSV 1 lebih
umum terjadi pada orang dewasa dimana dapat menimbulkan oral herpes
dan ensefalitis. HSV 2 (penyebab infeksi genital) lebih sering menginfeksi
anak-anak dan neonatus.
Patogenesis
a. Infeksi HSV 1
HSV 1 ditransmisikan melewati system respirasi atau kontak dengan
saliva. Infeksi primer umumnya terjadi pada anak-anak dan masa
remaja. Biasanya subklinis, dapat menimbulkan stomatitis, faringitis,
atau penyakit saluran pernafasan lainnya. HSV ensefalitis dapat terjadi
pada berbagai umur, tapi umumnya 50% kasus terjadi pada usia diatas
20 tahun. Pada fase infeksi primer, virus mengalami fase laten di
ganglion trigerminal. Beberapa tahun berikutnya, apabila terdapat suatu
stimulus yang mampu mereaktivasi virus, virus akan bermanifestasi
sebagai herpes labialis terlebih dahulu. Virus juga akan menginfeksi
secara ascenden melewati cabang nervus trigerminal ke basal meningen
yang umumnya menimbulkan ensefalitis yang terlokalisasi di lobus
temporal dan orbital frontal.
b. Infeksi HSV 2
Infeksi HSV 2 pada neonatus umumnya terjadi pada proses persalinan
per vaginam spontan. Terkecuali pada neonatus, infeksi HSV 2
menyebar lewat kontak seksual. Infeksi primer umumnya terjadi pada
fase remaja akhir atau dewasa muda. Mekanisme infeksi HSV 2
memiliki kesamaan dengan HSV 1.
Patologi
Pada kasus yang berat akan terjadi meningitis yang intensif disertai
kerusakan luas pada parenkim otak. Lesi nekrosis, inflamasi, atau
perdarahan dapat ditemukan. Lesi tersebut bersifat maksimal, paling sering
pada lobus frontalis dan temporalis yang sering disertai dengan adanya
edema serebral.
Manifestasi Klinis
Gejala awal yang muncul biasanya berupa demam, sakit kepala, dan
gangguan kesadaran, kejang, mual-muntah, hemiparesis yang pada beberapa
kasus memiliki onset yang cepat dan tiba-tiba. Tanda yang dapat muncul
antara lain adalah adanya disorientasi, dysphasia, disfungsi autonomy,
ataxia, hemiparesis, kejang (focal, general, atau keduanya), deficit cranial
nerve, ataupun papil edema. Perkembangan dari penyakit bisa berlangsung
dalam hitungan jam atau pun hari.
Diagnosis
Diagnosis presumtif didasarkan pada klinis dan pemeriksaan penunjang
seperti CT scan, pemeriksaan CSF, EEG, dan MRI. Diagnosa definitive
hanya dapat ditegakkan dengan isolasi virus dari CSF (jarang). Pemeriksaan
antibody herpes virus dari CSF juga dapat membantu diagnosis.
Prognosis dan Penatalaksanaan
Tanpa terapi adekuat, ensefalitis akibat HSV bersifat fatal pada 70-80%
pasien. Pasien yang bertahan saat fase akut biasanya tetap memiliki residu
gangguan neurologis berat. Edema otak merupakan indikasi pemberian
kortikosteroid. Pemberian Acyclovir terbukti efektif menghambat
polimerisasi virus yang menurunkan mortalitas hingga 44%.

2.2.1.4 VIRAL MENINGOENCHEPALITIS


Definisi
Merupakan suatu proses inflamasi akut yang melibatkan meningen dan juga
berbagai derajat infeksi jaringan otak.
Etiologi
Enterovirus (merupakan yang paling sering), Arbovirus, herpes family
virus, Varicella zoster virus, CMV, EBV, dan Mumps
Patogenesis dan Patologi
Kerusakan neurologis disebabkan oleh mekanisme invasi langsung dan
proses pengerusakan jaringan oleh virus. Kerusakan yang terjadi dicirikan
dengan adanya kongesti meningeal, infiltrasi sel mononuclear, perivascular
cuff of lymphocyte, kerusakan myelin.
Manifestasi Klinis
Progresivitas dan keparahan dari penyakit ditentukan oleh derajat kerusakan
meningeal dan jaringan otak yang berbeda-beda setiap etiologinya. Onset
penyakit umumnya didahului oleh demam selama beberapa hari yang
bersifat tidak spesifik. Gejala yang muncul pada anak yang lebih besar dapat
berupa sakit kepala dan hiperestesia sedangkan pada bayi akan muncul
sebagai keadaan yang rewel hingga letargis. Mual, muntah, fotofobia, nyeri
pada leher-punggung-kaki adalah beberapa gejala lain yang dapat muncul.
Seiring dengan peningkatan suhu akan muncul terjadi penurunan kesadaran
(bisa berkembang hingga tahap stupor) yang dapat diikuti dengan adanya
kejang.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan CSF (menunjukkan dominasi mononuclear, glukosa normal,
protein normal/ sedikit meningkat), EEG, dan Neuroimaging (CT/MRI)
yang akan menunjukkan pembengkakan dari parenkim otak
Penatalaksanaan
Terkecuali penggunaan acyclovir pada HSV encephalitis, manajemen viral
meningoenchephalitis berupa terapi suportif. Penyakit derajat ringan hanya
membutuhkan terapi simptomatik. Sakit kepala dan hiperparastesia diterapi
dengan tirah baring total, analgesic non aspirin, asetaminofen untuk demam.
Penggunaan codeine, morphine, dan phenothiazine dapat dipertimbangkan
untuk gejala nyeri dan muntah hebat. Sangat penting untuk mengantisipasi
dan bersiap mengatasi kejang, cerebral edema, gangguan cairan dan
elektrolit, cardiac/ respiratory arrest of central origin.
Prognosis
Prognosis tergantung berat dan luasnya penyakit pada system syaraf pusat,
umur, etiologic spesifik.
2.2.3 Abses Otak
Abses otak dapat terjadi di berbagai umur pada anak-anak, paling sering
terjadi pada anak 4-8 tahun dan neonatus. Penyebab dari abses otak antara lain
adalah adanya embolisasi akibat penyakit jantung bawaan (terutama TOF),
meningitis, Otitis media kronik, mastoiditis, sinusitis, infeksi pada jaringan lunak
di wajah/ scalp, infeksi gigi, adanya trauma kepala yang terbuka, keadaan
imunosupresan.

A) Patologi
Rasio terjadinya abses otak sama pada kedua hemisphere. Delapan puluh
persen kasus terjadi pada lobus frontal, parietal, dan temporal. Dua puluh
persen lainnya terjadi pada lobus osipital, cerebellum, dan batang otak.
B) Etiologi
Bakteri yang paling sering menimbulkan abses otak antara lain :
- Streptococcus (S. milleri, S. pyogenes, Streptokokus grup A atau B, S.
Pneumonia, S. faecealis)
- Bakteri anaerob ( Fusobacterium spp, prevotella, actinomyces)
- Gram negative basil aerob (haemophilus aphrophilus, H. parainfluenza,
H. influenza, Enterobacter, E. coli)
- Citrobacter (paling sering pada neonatus)
C) Manifestasi Klinis
 Gejala pada stadium awal tidak spesifik, dapat berupa nyeri kepala,
demam letargi dan kejang.
 Pada anak progresivitas penyakit ditandai dengan gangguan neurologis
bersamaan dengan gejala tekanan tinggi intrakranial.
 Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, mengantuk atau stupor
dan tanda rangsang meningeal.
 Tanda infeksi : demam, menggigil dan leukositosis.
 Tanda fokal jaringan otak yang terkena : kejang, gangguan saraf yg
terkena.

D) Diagnosis
Secara histopatologi abses otak dibagi menjadi
 Fase serebritis dini (hari ke 1-3)
 Fase serebritis lambat (hari ke 4-9)
 Fase pembentukan kapsul dini (hari ke 10-13)
 Fase pembetukan kapsul lambat (hari ke 14 dan seterusnya)

Terdapat peningkatan sel darah putih.


Pemeriksaan CSS menunjukkan berbagai hasil, diantaranya :
o Sel darah putih dan protein mengalami meningkatkan
o Kadar glukosa mengalami penurunan
o Kultur CSS jarang menunjukkan hasil positif.infeksi (lebih efektif
pada aspirasi abses.)

E) Tatalaksana
 Pemberian antibiotik
- Antibiotik inisial yang digunakan saat penyebab tidak diketahui :
kombinasi vancomycin dan metronidazole. Regimen yang sama
digunakan apabila faktor predisposisi abses berupa otitis media,
sinusitis, atau mastoiditis.
- Apabila penyebab adalah trauma kepala terbuka atau pembedahan
maka yang digunakan adalah vancomycin ditambah sefalosporin
generasi ketiga dianjurkan.
- Apabila faktor predisposisi penyakit adalah kelainan jantung maka
ampicillin sulbactam digunakan.
- Pada infeksi citrobacter dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi
ketiga dikombinasikan dengan aminoglikosida.
 Terapi bedah, indikasi:
- Abses > 2 cm dalam diameter
- Lamanya penyakit > 2 minggu.
- Tidak terdapat perbaikan sesudah 24 jam terapi antibiotik
- Perburukan klinis penekanan struktur yang penting di otak.

F) Prognosis
Mortalitas menurun 15-20% apabila diagnose awal ditunjang dengan CT
scan atau MRI lalu diikuti terapi antibiotic secara cepat. Faktor yang
mempengaruhi tingkat mortalitas yang tinggi adalah umur < 1 tahun, abses
multiple, koma, dan adanya sekuele berupa hemiparesis, kenjang,
hidrosefalus, kelainan syaraf kranial, dan adanya masalah perilaku.

2.2.4 PENINGKATAN TEKANAN INTRACRANIAL

Penyebab :
- Lesi desak ruang intracranial
- Ensefalitis
- Meningitis
- Trauma craniocerebral
- Thrombosis sinus venous
- Obstruksi aliran keluar CSF
- Kadar protein CSF yang meningkat
- Obat dan zat toksik (keracunan timbal hitam, dll)
Sign & Symptom :
- Subyektif : nyeri kepala (difus dan konstan), lebih berat pada pagi hari
; muntah (proyektil) ; apati
- Tanda peringatan : koneusi, gangguan pernafasan, bradikardia,
hipertensi, cerebellar fit, pupil melebar
- Tanda mata : papiledema, bintik buta melebar, serangan amblyopia,
kelumpuhan okulomotorius juga n.cranialis VI
- CSS : tekanan > 200 mm air
2.2.5 HYDROCEPHALUS

Definisi

Merupakan peningkatan CSF volume atau dilatasi pada bagian cerebral ventricle.
Hal ini seringkali didefinisikan pula sebagai pembesaran dari kepala yang
diakibatkan oleh sumbatan atau oversirkulasi dari CSF pada ventrikel yang berada
pada bagian-bagian besar brain.

Secara klasifikasi terdapat 2 jenis yaitu communicating dan non-communicating


hydrocephalus. Biasanya untuk mengidentifikasi bentuk mana yang bisa diambil,
kita bisa memberikan pewarnaan pada CSF nya. Apabila pewarnaan tersebut kita
ambil atau terdeteksi pada bagian lumbar (dengan pendeteksian di lumbar) maka
kita bisa menyebutnya communicating hydrocephalus, namun bila tidak terdeteksi
di lumbar, maka bisa dikategorikan non-communicating hydrocephalus.

Klasifikasi

1. Obstructive hydrocephalus (non-communicating)  bisa intraventricular


(IVOH) atau extraventrikular (EVOH)
Berdasarkan etiologinya terbagi menjadi beberapa bagian besar yaitu,
a. Congenital malformation
Sekitar 0,5 sampai 1,8 % dari 1000 kelahiran
Kadangkala dikaitkan dengan keadaan hereditary atau tidak
1) Genetik
Diakibatkan oleh genetic X-linked hydrocepahlus (sering terjadi di
bagian aquductus of midbrain, aquaductal stenosis)
2) Non-genetic
Akibat dari Intraventricular infection, Intracranial Hemorraghe 2nd,
trauma, premature birth
Seringkali dikatikan dengan syndrome lain yang mengikutinya seperti
Dandy-Walker Syndrome, terobstruksinya bagian foramen magendie
dan luscha yang akibatknya ventricle terobstruksi dan CSF hanya
terakumulasi dibagian itu.

b. Postinflamatory or posthemorrhagic hydrocephalus


Sekitar 26-70% terjadi, namun tergantung pula tingkat keparahan dari
inflamatory atau hemorrhagic ini.
Biasanya terjadi bersifat intraventricullar yang pada intinya akibat
adanya hemorrhagic atau inflamatory stimulator yang mengakibatkan
pembentukan clothing faktor yang pada awalnya digunakan untuk
mengurangi keparahan invasi dari agent yang menginfeksi brain,
namun karena bisa dikatakan parah, maka besar pula pembentukan
clothing untuk menangkal invasi dari agent ini dan akibatnya bisa
menyebabkan obstruksi pada ventrikel tempat bersirkulasi dari CSF.
Hal ini sangat memungkinkan untuk mengganggu sirkulasi dari CSF di
brain.
Seringkali obstruksi ini bukan hanya bertindak sebagai pengobstruksi
secara langsung, namun hal ini juga bisa mendukung untuk
menggangung fungsi arachinoid vill untuk melakukan absorbsi.
c. Mass Lession
Jenis ini terjadi akibat dari adanya pertumbuhan dari Tumor yang
membentuk sumbatan. Bisa bersifat IVOH atau EVOH. Seringkali
terjadi pada bagian ventrikel ke-4 atau ke-3 atau aquductus of
midbrain.

2. Communicating hydocephalus
Secara normal, CSF ini diproduksi 0,35 ml permenitnya dan ketika telah
mencapai batas tertentu, maka akan dilakukan reabsorbsi 3 kali lebih
banyak dibanding batas normal. Dikatakan abnormal atau communicating
hydrocephalus ini ketika produksi ini 1 ml permenit namun kecepatan
reabsorbsi masih tetap sama.
Biasanya hal ini diakibatkan oleh adanya tumor pada choroid plexus, atau
kadang disebut choroid plexus papilloma.
Berdasarakan etiologinya, bentuk dari hal ini diakibatkan oleh beberapa
faktor utama yaitu,
a. Overproduksi plexus choroid
b. Defective absorbtion of CSF
Adanya defect pada arachinoid villi yang bertugas sebagai absorbsi
CSF
c. Venous drainage insufficiency
Bisa dikatakan “jarang”, hal ini bisa mengakibatkan communicating
hydrocephalus karena bentuk CSF yang telah digunakan harus di
reabsorbsi kedalam bentuk darah di sinous venosus, namun jika terjadi
gangguan drainage pada vena-nya, maka kemungkinan terjadi
akumulasi di daerah subarachinoid villi ini akan meningkat. Hal ini
mengakibatkan hydrocephalus.
3. Normal pressure hydrocephalus
Kesemuanya dari hydrocephalus ini dominan menyebabkan terjadinya ICP
atau intracranial pressure. Hal ini terjadi akibat adanya desakan yang
tinggi pada intracranial sehingga disebut intracranial pressure et cause
hydrocephalus.
Namun pada jenis ini, bentuk ICP tidak terjadi karena hanya menyentuh
batas normal namun normal atas (150-200 mmH2O). Hal ini terjadi akibat
adanya peningkatan cairan CSF namun kemampuan reabsorbsi dari vill
arachinoid cukup baik. Kesimpulannya, CSF tinggi namun reabsorbsi baik
dan akhirnya tekananan CSF mampu ditekan dengan adanya reabsorbsi
ini.

Gambaran yang terjadi ketika mengalami NPH ini seringkali terdapa


clasical sign seperti,
a. Dementia
b. Ataxia of Gait
c. Urinary incontinence
4. Hydrocephalus ex vacuo
Bentuk dari peningkatan CSF yang tinggi namun dikarenakan adanya
gangguan lain sehingga tekanan CSF pada Cranium tidak meningkat tetapi
normal. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang mengalami sekresi CSF
tinggi, namun mengalami cerebral atrofi
Sign and symptom

Dikarenakan bentuk hydrocephalus ini tidak hanya untuk anak-anak, namun pada
orang dewasa pun bisa terjadi. Namun cenderung occulta atau bisa dikatakan
hydrocephalus namun tidak terlihat jelas tanpa pencitraan tambahan.

Anak-anak Dewasa
Enlarged head Headache
Exophthalmos Lethargic
ICH Malaise
Mental retardation Incoordination
Visual loss Weakness
Otitic hydrocephalus  febril, listless NPH
Overactive tendon reflex Occult
Babinski sign (+) Kadang menyebabkan piramidal tract
Leg  weak up to spasm disfunction

Lab Finding

Diagnostic yang paling baik sangatlah ditunjang dari pemeriksaan lab. Ada the
best diagnostic aid yang bisa digunakan untuk meyakinkan hydrocephalus yaitu
CT scan dan MRI. Kadang pula dilakukan amniocentesis pada masa kehamilan
aman untuk menghitung CSF pressure dan mengindikasikan gejala lain yang bisa
menuju kepada diagnosis hydrocephalus.

Prognosis dan Treatment

Dilakukan surgical pada papilloma choroid plexus ketika memang terjadi


hydrocephalus yang mengarah kepada overproduksi. Paling tidak dilakukan
ventriculoperitoneal-shunt pada bayi atau anak-anak yang telah lahir.

Biasanya untuk prognosis yang bisa didapat ketika tidak dilakukan treatment
sekitar 50% pada umur 1 tahun bisa mengalami kematian dan 75% pada umur 10
tahun.
Namun bila telah dilakukan treatment atau PV-shunt kemungkinan hidup akan
cukup tinggi yaitu, 50% mampu bertahan pada umur lebih dari sama dengan 15
tahun namun bisa mengalami efek 15% mental retardasi pada anak meski telah
melakukan treatment

Untuk treatment pula bisa menggunakan obat-obatan yang cenderung untuk tipe
NPH saja yaitu, acetozolamide, furosemide, dan isosorbide.

Ventriculoperitoneal shunt

adalah surgery untuk mengurangi peningkatan tekanan di dalam skull yang


tergantung pada banyaknya cerebrospinal fluid (CSF) pada brain

prosedur : ▪ Dilakukan di dalam ruang operasi di bawah general anesthesia

 Membutuhkan waktu sekitar 90 menit


 Rambut anak di cukur di belakang telinga
 Surgical cut (bentuk U-shaped) di belakang telinga, lalu small
surgical cut pada child’s belly
 Lubang kecil dibuat oleh bor di skull
 Masukkan catheter melewati ke dalam ventricle pada otak.
Catheter lain ditempatkan di bawah kulit belakang telinga dan
digerakkan kea rah leher, dada, dan biasanya ke abdominal
(peritoneal) cavity. Pada saat digerakkan ke bagian leher maka
dokter membuat small cut pada baian leher untuk melihat
posisi
 Valve (fluid pump) diletakkan di bawah kulit belakang telinga
yang berfungsi melekatkan kedua catheter sehingga ketika
tekanan meningkat di sekitar otak → valve terbuka →
mengalirkan keluar cairan yang berlebih → ke belly atau area
dada → membantu menurunkan tekanan intracranial
Resiko ventriculoperitoneal shunt yaitu :

- Bleeding pada otak


- Swelling pada otak
- Infeksi pada otak
- Kerusakan jaringan otak
- Seizure
Sebelum prosedur : ▪ Beritahu dokter / suster obat, supplement, vitamin yang
telah diberikan kepada anak

 Berikan obat yang diresepkan oleh dokter


 Dokter akan memberitahu kapan tiba di Rumah Sakit
 Tanyakan tentang makanan dan minuman sebelum
surgery.
Anak : tidak boleh makan terlalu banyak / minum susu
→ 6 jam sebelum surgery tetapi boleh minum jus / air
putih → 4 jam sebelum surgery
Bayi < 12 bulan : boleh makan formula, cereal,
makanan bayi → 6 jam sebelum surgery dan boleh
minum air putih → 4 jam sebelum surgery
Setelah prosedur : ▪ Anak berbaring selama 24 jam setelah itu dibantu untuk
duduk

 Dirawat selama 3-4 hari dan diberi obat sakit, infuse,


juga antibiotic
Prognosis : berhasil untuk mengurangi tekanan di otak, tetapi bila hydrocephalus
disertai dengan kondisi lain seperti spina bifida, tumor otak, meningitis,
encephalitis, dan pendarahan maka akan mempengaruhi hasil dari prognosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Victor, N. Nelson Textbook Of Pediatric, 18th Edition. New York:


McGraw-Hill Professional: 2007.
2. Garna Herry, Melinda Heda. Pedoman diagnosis dan terapi. Edisi ke-3.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran: 2005.
3. Harrison, P. Lewis. Harrison Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
Pennsylvania: Mc Graw Hill. 2006.
4. Adams & Victor's Principles Of Neurology 7th edition, 2000.
5. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan dokter anak indonesia. 2011
6. Neurology in daily practice.

Anda mungkin juga menyukai