Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS

LEUKIMIA MYELOBLASTIK AKUT

Disusun oleh:
dr. Resha Nugradiatama

Narasumber :

dr. Agung F. Sumantri, Sp.PD

Pendamping :

1. dr. H. Hamdan Agus Hakim, MM


2. dr. Hj. Lien Sumarlina

Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung


2019
PRESENTASI KASUS
LEUKIMIA MYELOBLASTIK AKUT

dr. Resha Nugradiatama

Dengan ini menyatakan bahwa laporan kasus telah dibuat oleh nama yang disebutkan diatas
telah diperiksa dan direvisi, secara lengkap dan memuaskan, sehingga dapat diajuka sebagai
tugas untuk memenuhi persyaratan internship periode 2018-2019

Bandung, 27 Mei 2019

Dokter Penanggung Jawab Pelayanan

dr. Agung F. Sumantri, Sp.PD

Pendamping I Pendamping II

dr. H. Hamdan Agus Hakim, MM dr. Hj. Lien Sumarlina


BAB I

PENDAHULUAN

Leukimia merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada anak-anak,


yaitu sekitar 40% dari seluruh penyakit keganasan pada anak-anak yang berusia
dibawah 15 tahun. Namun leukimia juga bisa terjadi pada dewasa sekitar 20% nya.
Secara genetik terjadi abnormalitas pada sel-sel hematopoetik yang menyebabkan
peningkatan proliferasi yang tidak terkontrol dan penurunan apoptosis sel darah
sehinga pertumbuhan sel yang melebihi biasanya. Akibatnya pada sumsum tulang
dapat terjadi gangguan bahkan kegagalan fungsi. Leukimia dibagi menjadi leukimia
limfositik akut dan kronis serta leukimia mieloblastik akut dan granulositik kronis

Lekumia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif dengan


transformasi yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoetik
sumsum tulang dini (sel blas). Kegagalan sumsum tulang seperti anemia,
trombositopenia, dan leukopenia/leukositosis adalah akibat dari akumulasi leukosit
dalam sumsum tulang walaupun dapat juga terjadi infiltrasi melalui darah menuju ke
jaringan pada organ seperti hepar, lien, dan kelenjar getah bening. Apabila tidak
diobati penyakit ini dapat bersifat fatal, namun pengobatan lebih mudah diobati
dibandingkan dengan leukimia kronik yang progresinya dengan lambat.

Saat ini dengan metode diagnosis yang lebih tepat, terapi yang efektif dan
perawatan suportif yang lebih baik, perbaikan leukimia telah meningkat. Kini lebih
dari dua per tiga pasien dengan Leukimia Akut yang diberi pengobatan akan bebas
gejala selama 5 tahun atau lebih, bahkan pada kebanyakan kasus, pasien-pasien
tersebut akan sembuh.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas

Nama : Tn. AH

Umur : 38 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Komp Griya Utama Rancaekek

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan :-

Status : Sudah menikah

Agama : Islam

Tanggal Masuk : 19 Mei 2019

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama


Os datang dengan lemas sejak 2 hari SMRS

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Os datang dengan keluhan lemas sejak 2 hari SMRS, os juga mengatakan tidak
ada nafsu makan semenjak lemas, disertai nyeri perut bagian atas, dan

2
mengalami BAB cair 3 kali disertai ampas. BAK normal dengan warna kuning
jernih. Pasien menyangkal gusi berdarah dan mimisan.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Os mengaku riwayat leukimia dan dirawat sebelumnya. Os tidak memiliki
riwayat hipertensi, penyakit jantung dan DM.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Os tidak tahu apakah ada yang mempunyai keluhan seperti ini di keluarga nya.
Riwayat hipertensi,penyakit jantung, DM, dan kanker pada keluarga disangkal.

2.2.5 Riwayat Kebiasaan


Os memiliki riwayat merokok

2.3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

3
Vital Sign : TD : 110/70 mmHg

Nadi : 94x/menit

RR : 24x/menit

suhu : 36.5oC

2.3.2 Kepala

- Bentuk : Bulat, simetris


- Rambut : hitam, lebat, tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (-/-), sekret (-/-),
pupil isokor, Releks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
(+/+), ptosis -/-, edema palpebra (-/-)
- Hidung : Sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga :
Preaurikuler : normotia, hiperemis (-/-)
Postaurikuler : hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-)
Liang telinga : lapang, serumen (+/+), otorhea (-/-)
- Mulut :
Lidah : pergerakan simetris, plak (-)

Palatum mole dan uvula simetris, arkus faring simetris

Tonsil : T1/T1, kripta (-)/(-), detritus(-)/(-), hiperemis (-)

Dinding anterior faring licin, hiperemis (-)

Karies gigi (-), kandidisasis oral (-) gusi berdarah (-)

4
2.3.3 Leher
Tiroid dan KGB tidak teraba membesar

JVP 5+2

Trakea teraba di tengah dan tidak ada deviasi

2.3.4 Thoraks
- Paru
Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi sela iga (-/-),
bentuk dada normal, pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis

Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocal fremitus simetris, pelebaran sela iga
(-)/(-)

Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri dan kanan. Batas paru hati
pada garis midklavikula kanan sela iga VI. Batas paru lambung : pada garis
aksilaris anterior kiri sela iga VIII

Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)

- Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ± 1 cm di lateral linea midklavikula sinistra
ICS V
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS III-V linea sternalis dekstra, batas
jantung kiri pada ICS V ± 1cm lateral linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

5
2.3.5 Abdomen
Inspeksi : datar , ikterik (-), venektasi (-), smiling umbilicus (-), caput medusae
(-), sikatriks (-)
Auskultasi : BU (+) normal, arterial bruit (-), nyeri tekan epigastrium
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio epigastrium, massa (-), Hepar tidak teraba.
Lien tidak teraba. Ballotement (-)
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-/-)

2.3.6 Ekstremitas
Atas : Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 2 detik, edema (-/-),
deformitas (-).
Bawah : Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 2 detik, edema (-/-),
deformitas (-).

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
1. Tanggal 19 Mei 2019
Hemoglobin : 4,0
Hematokrit : 11
Leukosit : 118.300
Trombosit : 70.000

2. Tanggal 20 Mei 2019


a. Differential Count
Basofil :-
Eosinofil :-
Neutrofil segmen :3
Neutrofil batang :1

6
Limfosit : 10
Sel Blast : 86 %

b. SADT
Hemoglobin : 3,7
Leukosit : 85.300
Trombosit : 68.000
PCV : 11
MCV : 119
MCH : 42
MCHC : 35
RDW :-
Eritrosit : - Anisokrom (Normokrom Hipokrom) Anisositosis
- Ditemukan Normoblas 1/100 leukosit
Leukosit : - Jumlah sangat meningkat, ditemukan blast dengan
sitoplasma sedikit sampai dengan sedang, kromatin
inti halus, anak inti 3-7.
- Ditemukan bentuk Monositoid
- Jumlah leukosit berdasarkan MDT: 82.000 sel/mm3
Trombosit : - Jumlah kurang, tersebar
- Tidak ditemukan giant trombosit
- Jumlah trombosit berdasarkan MDT: 70.000 sel/mm3
Kesimpulan : Tersangka Leukimia Akut AML DD ALL

7
c. Pasca Transfusi
Hemoglobin : 6,0
Hematrokit : 17
Leukosit : 92.300
Trombosit : 61.000

2.5 Resume

Os seorang laki-laki berusia 38 tahun datang dengan keluhan badan lemas

sejak 3 hari SMRS, tidak ada nafsu makan, BAB cair 3 kali disertai ampas tanpa

lendir dan darah. Nyeri perut bagian atas. Buang air kecil normal warna bening

kuning, belom bisa buang air besar sejak masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan pasien anemis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb pasien

menurun, disertai peningkatan leukosit, penurunan trombosit, penurunan hematokrit.

2.6 Diagnosis
Diagnosis Kerja
Leukimia mieloblastik akut

Diagnosis Banding
Leukimia Limfositik akut

2.7 Tatalaksana
IVFD NaCl 0,9 % 1500cc/ 24 jam
Ciprofloxacin 2 x 1 P.O.
Episan 4 x 10 cc

8
Pumpisel 1 x 1 I.V.
Diatab 3 x 2
Tranfusi PRC Opti 2 labu
Cek SADT dan Differential counting

2.8 Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

2.9 Follow Up
1. Tanggal 20 Mei 2019
S: Lemas badan dan nyeri perut
O: KU : CM
TD : 110/ 70
Nadi : 85 x/ menit
Suhu : 36o C
PE : Konjungtiva Anemis, NT (+) Epigastrik
A: Acute Myeloid Leukimia
P: - Hydrea 2-0-2
- Tranfusi PRC Opti 2 labu

9
2. Tanggal 21 Mei 2019
S : Lemas badan
O : KU : CM
TD : 110/ 70
Nadi : 85 x/ menit
Suhu : 36o C
PE : Konjungtiva Anemis
A : Acute Myeloid Leukimia
P : Terapi Lanjutkan

3. Tanggal 22 Mei 2019


S : Nyeri perut
O : KU : CM
TD : 110/ 70
Nadi : 85 x/ menit
Suhu : 36o C
PE : Konjungtiva Anemis, Nt (+) Epigastrik
A : Acute Myeloid Leukimia
P : - Acc Pulang
- Paracetamol 3x1
- Lanzoprazole 2x1

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Leukimia


Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai
bentuk leukosit yang tidak normal dan jumlahnya berlebihan. Leukemia
merupakan neoplasma yang berasal dari sel hematopoetik yang pada awalnya
berproliferasi di sumsum tulang sebelum menyebar ke darah tepi, limpa, kelenjar
limfe, dan akhirnya jaringan lain. Leukemia dapat menyebabkan anemia,
trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian.

3.2 Klasifikasi
Klasifikasi leukemia secara umum berkaitan dengan asal sel (misalnya limfoid
atau mieloid) serta kecepatan perjalanan klinis (misalnya akut atau kronik), tetapi
kategorisasi modern berhasil mengidentifikasi leukemia spesifik berdasarkan
karakteristik biologik, antigenik, dan molecular.

Menurut perjalanan penyakitnya, dapat dibagi atas leukemia akut dan kronik.
Dengan kemajuan pengobatan akhir-akhir ini, pasien leukemia limfoblastik akut
dapat hidup lebih lama daripada pasien leukemia granulositik kronik. Dengan
demikian pembagian akut dan kronik tidak lagi mencerminkan lamanya harapan
hidup. Namun pembagian ini masih menggambarkan kecepatan timbulnya gejala
dan komplikasi.
Menurut jenisnya, leukemia dapat dibagi atas leukemia mieloid dan limfoid.
Masing-masing ada yang akut dan kronik. Secara garis besar, pembagian
leukemia adalah sebagai berikut:

11
1. Leukemia mieloid
a. Leukemia granulositik kronik (leukemia mieloid/ mielositik/ mielogenous
kronik/ CML)
b. Leukemia mieloblastik akut (leukemia mieloid/ mielositik/ granulositik/
mielogenous akut/ AML)
2. Leukemia limfoid
a. Leukemia limfositik kronik (CLL)
b. Leukemia limfoblastik akut (ALL)

3.3 Etiologi
Pada sebagian besar pasien, penyebab leukemia tidak diketahui walaupun baik
faktor genetik maupun lingkungan berperan. Terdapat angka konkordansi yang
tinggi di antara kembar identik bila leukemia akut timbul pada tahun pertama
kehidupan, dan pernah dilaporkan adanya keluarga yang memiliki insidensi
leukemia yang berlebihan. Leukemia akut timbul dengan frekuensi tinggi pada
berbagai penyakit kongenital, termasuk sindroma Down, Bloom, Klinefelter,
Fanconi, dan Wiskott-Aldrich.

Faktor lingkungan juga diketahui berperan dalam etiologi leukemia. Radiasi


ionisasi menyebabkan leukemia pada hewan eksperimental, dan terdapat
hubungan yang jelas antara pajanan tersebut dan terbentuknya leukemia pada
menusia. Misalnya, individu yang terkena radiasi akibat pekerjaan, Pasien yang
mendapat terapi radiasi, dan orang Jepang yang selamat dari ledakan bom atom
memiliki peningkatan insidensi leukemia yang dapat diperkirakan dan berkaitan
dengan dosis. Pajanan radiasi meningkatkan resiko terbentuknya CML, AML, dan
mungkin ALL, tetapi tidak diketahui adanya hubungan dengan CLL atau
leukemia sel berambut. Pajanan bahan kimia misalnya benzena dan hidrokarbon
aromatik lain atau terapi dengan bahan alkilasi dan obat kemoterapi lain juga
menyebabkan peningkatan insidensi AML. Kombinasi radiasi dan obat

12
kemoterapi, misalnya pada terapi pasien penyakit Hodgin menyebabkan efek
leukemogenik aditif. Peran energi elektromagnetik pada leukemogenesis masih
belum diketahui.

3.4 Epidemiologi
Insidensi semua leukemia adalah sekitar 13 per 100.000 orang per tahun, dan
insidensi terkait usia pada leukemia akut dan kronik agak lebih tinggi pada laki-
laki daripada perempuan. ALL umumnya merupakan penyakit pada anak dan
dewasa muda, sedangkan insidensi AML, CLL, dan leukemia sel berambut
meningkat seiring dengan penambahan usia, yang memuncak pada dekade
keenam dan ketujuh.

3.5 Patofisiologi
Leukemia akut ditandai oleh proliferasi klonal sel hematopoetik imatur.
Leukemia muncul setelah transformasi maligna dari sebuah progenitor
hematopoetik, diikuti oleh replikasi sel dan ekspansi klon yang mengalami
transformasi tersebut. Karakteristik paling menonjol dari sel neoplastik pada
leukemia akut adalah defek pada pematangan setelah tingkat mieloblas atau
promielosit pada AML dan tingkat limfoblas pada ALL. Sel leukemia yang
berproliferasi menumpuk di sumsum tulang, menekan hematopoesis normal dan
akhirnya menyebabkan unsur normal tersingkir. Konsekuensi berkurangnya unsur
normal adalah anemia, infeksi, dan penyulit pendarahan yang merupakan ciri
penyakit. Sel leukemia secara primer berproliferasi di sumsum tulang, beredar
dalam darah, dan mungkin sebukan ke jaringan lain misalnya kelenjar limfe, hati,
limpa, kulit, gusi, visera, dan susunan saraf pusat (SSP). Walaupun diagnosis
leukemia sering pertama kali ditegakkan melalui pengamatan adanya sejumlah
besar blas di darah, sebagian besar sel leukemik ditemukan di sumsum tulang.

13
Mekanisme transformasi neoplastik yang menimbulkan leukemia masih
belum dipahami tetapi melibatkan perubahan mendasar pada DNA yang
menyebabkan timbulnya karakteristik maligna herediter pada sel yang mengalami
transformasi dan progeninya. Sebagian besar data mengisyaratkan bahwa
pembentukan leukemia adalah proses multilangkah, dan pada banyak kasus,
leukemia akut terjadi pada pasien yang telah menderita gangguan mielodisplastik
atau mieloproliferatif.

Patofisiologi kegagalan sumsum tulang pada leukemia bersifat kompleks.


Biasanya terdapat pansitopenia dan terjadi sebagian karena digantikannya secara
fisis sel precursor normal oleh sel leukemik. Sebagian pasien leukemia akut
dengan pansitopenia memperlihatkan sumsum tulang yang hiposeluler, yang
mengisyaratkan bahwa kegagalan sumsum tidak hanya disebabkan oleh
terpenuhinya sumsum oleh sel leukemik. Sel leukemik dapat secara langsung
menghambat hematopoesis normal melalui mekanisme yang diperantarai oleh sel
atau humoral. Sel stem hematopoetik normal tetap berada di sumsum tulang dan
mampu berproliferasi dan memulihkan hematopoesis setelah terapi antileukemia
yang efektif.

3.6 Leukimia Mieloblastik Akut


a) Definisi
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel
progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan
mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai
bulan sesudah diagnosis.

14
b) Epidemiologi
Insidens leukemia mieloblastik akut (LMA) kira-kira 2-3/100.000
penduduk. LMA lebih sering ditemukan pada umur dewasa (85%) daripada
anak-anak (15%). Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita.
LMA dapat ditemukan sekitar 40% dari seluruh insidens leukemia.

c) Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala utama LMA adalah rasa lelah, pendarahan, dan
infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. Gejala
lainnya yang dapat terlihat adalah pucat, nafsu makan hilang, anemia,
nyeri tulang, dan pembesaran kelenjar getah bening, limpa, hati dan
kelenjar mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan hipertrofi gusi
khususnya pada leukemia akut monoblastik dan mielomonositik.
Pendarahan merupakan masalah utama pada pasien leukemia akut,
dan terutama berkaitan dengan trombositopenia. Pendarahan menjadi lebih
sering bila jumlah trombosit kurang dari 20x109 per liter, terutama bila
terdapat infeksi atau koagulopati. Pendarahan biasanya terjadi dalam
bentuk purpura atau petekie yang sering dijumpai di ekstremitas bawah
atau berupa epistaksis, pendarahan gusi dan retina. Pendarahan yang lebih
berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai DIC. Kasus DIC ini
paling sering terjadi pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di
tenggorokan, paru-paru, kulit, dan daerah peri rectal, sehingga organ-
organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan
demam. Gejala lainnya yang dapat terlihat adalah pucat, nafsu makan
hilang, anemia, nyeri tulang, dan pembesaran kelenjar getah bening,
limpa, hati dan kelenjar mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan
hipertrofi gusi khususnya pada leukemia akut monoblastik dan
mielomonositik.

15
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA
tidak selalu dijumpai leukositosis. Pada pasien dengan angka leukosit
yang sangat tinggi (>100.000/ mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu
terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran darah vena maupun
arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi
sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran,
sesak napas, nyeri dada, dan priapismus. Angka leukosit yang tinggi juga
sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan
hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang
berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi
karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa,
sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimtomatok karena
hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh
pasien.

d) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang yang bisa dilakukan yaitu hitung jenis dan
apusan darah tepi. Hitung darah biasanya abnormal. Anemia dan
trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit mungkin tinggi, rendah,
atau normal. Peningkatan blast mungkin terlihat pada preparat apus darah.
LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan
anemia, leukopenia atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih
sering terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Sindrom
mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi
sumsum tulang mengandung persentase sel blas yang lebih rendah dan
mempunyai gambaran displasia yang khas, termasuk megaloblastosis.
Penderita mungkin tidak tampak sakit pada waktu diperiksa dan hanya
anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan diri
ke dokter. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan

16
sumsum tulang.

e) Klasifikasi
Tabel 2. Klasifikasi LMA

17
Gambar 1. Acute leukemia, M0–M2. Gambar 2. The peroxidase reaction,
Undifferentiated blast with characteristic of cells in the
dense, fine chromatin, myeloid series, shows positive
nucleolus (arrow), and (&3%) only for stage M1
narrow basophilic cytoplasm leukemia and higher. The image
without granules. This cell shows a weakly positive blast
type is typical of early (1), strongly positive eosinophil
myeloid leukemia (M0–M1); (2), and positive myelocyte
the final classification is (3).(8)
made using cell surface
marker analysis.

18
Gambar 8. Variants of M2 leukemia. Some of the cells already contain granules (1)
and crystal-like Auer bodies (2).(8)

Gambar 9. Acute leukemia M3 and M4. Gambar 10. In type M3, multiple Auer bodies
Blood analysis in promyelocytic are often stacked like firewood
leukemia (M3): copious (so-called faggot cells).(8)
cytoplasmic granules.

19
Gambar 11. Blood analysis in variant M3 Gambar 12. Bone marrow cytology in
with dumbbell-shaped nuclei acutemyelomonocytic
Auer bodies leukemia M4: in addition to
myeloblasts (1) and
promyelocytes (2) there are
also monocytoid cells (3).(8)

Gambar 13. In variant M4Eo abnormal Gambar 14. Esterase as amarker enzyme for
precursors of eosinophils with dark themonocyte series in M4
granules are present. leukemia.(8)

20
Gambar 15. Acute leukemia M5 and M6.
In monoblastic leukemia Gambar 16. Seemingly mature monocytes in
M5a, blasts with a fine monocytic leukemia M5b.(8)
nuclear structure and wide
cytoplasm dominate the
CBC.

Gambar 17. Homogeneous infiltration Gambar 18. Same as c but after esterase
of the bone marrow by staining. The stageM5a blasts
monoblasts (M5a). Only show a clear positive reaction
residual granulopoiesis (red stain). There is a
(arrow). nonspecific-esterase (NSE)-
negative promyelocyte.(8)

21
Gambar 19. Same as c Only the Gambar 20. In acute erythrocytic
myelocyte in the center leukemia(M6)
stains peroxidase- erythroblasts and
positive(brown tint); the myeloblasts are usually
monoblasts are found in the blood. This
peroxidase-negative. image of bone marrow
cytology in M6 shows
increased, dysplastic
myeloblasts
(2).(erythropoiesis(e.g.,
1) n addition to

22
f) Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi
sel-sel klonal leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal di
dalam sumsum tulang. Untuk mencapai eradikasi sel-sel leukemik yang
maksimal, diperlukan strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen
kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari beberapa fase: fase induksi dan
fase konsolidasi.
Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif
yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal
sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan bila
jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya
populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast
<5%. Meskipun terjadi remisi komplit, tidak berarti bahwa sel-sel klonal
leukemik telah tereradikasi seluruhnya. Pada kasus remisi komplit, masih
tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi
tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan sel-sel ini berpotensi menyebabkan
kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun
pasien telah mencapai remisi komplit, perlu ditindak lanjuti dengan
program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi.
Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi
dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar
dari dosis yang digunakan pada fase induksi.
Tindakan eradikasi juga akan mengeradikasi sisa-sisa sel
hematopoesis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien
LMA akan mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat
tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan pendarahan. Oleh
karena itu, terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfuse

23
komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat
penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.
Penatalaksanaan pada LMA dan LLA umumnya serupa.
Penatalaksanaan terbagi dalam suportif dan spesifik.
1. Suportif
Penatalaksanaan prinsipnya sama dengan penatalaksanaan pada
LLA. Tapi pada LMA dapat terjadi sindrom hemorargik pada hari-
hari awal pengobatan. Untuk DIC dapat diberikan Fresh Frozen
Plasma. Dapat juga ditambahkan transretinoic acid (ATRA) pada
kemoterapi.
2. Spesifik
Dengan mengunakan kemoterapi secara intensif. Minggu
pertama diberikan cytosine arabinose, daunorubicin, idarubicin, 6-
thioguanine, mitoxantrone atau etoposide. Obat-obatan ini bersifat
mielotoksik dan selektif pada sel leukemi.
Umumnya digunakan terapi 7+3. Terapi 7+3 adalah kemoterapi
induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubicin dengan protocol
sitarabin 100mg/ mm2 diberikan secara infus iv kontinyu selama 7
hari dan daunorubisin 45-60 mg/ mm2/ hari iv selama 3 hari.(3)
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi
konsolidasi, transplantasi sel stem hematopoetik (Hematopoetic Stem
Cell Transplantation/ HSCT) autolog atau HSCT alogenik. Jenis
terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan factor
prognostic, terutama profil sitogenetik.(3)
 Transplantasi sumsum tulang
Autolog transplantasi dapat mengurangi resiko kekambuhan.
Namun transplantasi ini dilakukan pada usia di bawah 45 tahun
dengan HLA donor yang tidak memiliki resiko LMA.

24
g) Prognosis
Dengan pengobatan modern, angka remisi, 50-75%, tetapi angka
rata-rata hidup 2 tahun dan yang dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya
10%. Prognosis terburuk adalah pada golongan M5 dan M6, semua pasien
meninggal dunia sebelum 2 tahun, sedangkan M3 mempunyai harapan
hidup paling lama. Pada pasien dengan usia di atas 60 tahun memiliki
toleransi yang buruk terhadap pengobatan oleh karena itu memiliki
prognosis yang buruk.

3.7 Leukimia Limfositik Akut


a) Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel
prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan
sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang
paling banyak pada anak-anak. Walaupun demikian, 20% dari kasus LLA adalah
dewasa. Jika tidak diobati, leukemia ini bersifat fatal.

b) Epidemiologi
Insidens leukemia limfoblastik akut (LLA) berkisar 2-3/100.000
penduduk. Lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada usia
dewasa (18%) dan lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding wanita.
Dan pada laki-laki cenderung dominan untuk menderita T-ALL. Keadaan ini
menurun frekuensinya pada usia 10 tahun dan meningkat lagi pada usia 40
tahunan.

25
c) Klasifikasi
Ada 3 subtipe berdasarkan imunologi dan morfologi.
 Berdasarkan imunologi LLA dibagi menjadi :
- Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) - 70% :
common-ALL (50%), null ALL, pre-B ALL
- T-ALL (25%)
- B-ALL (5%)
 Berdasarkan morfologi sesuai klasifikasi dari French American
British (FAB):
- Tipe L1 : Sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit
sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas.
- Tipe L2 : Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli
yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah.
- Tipe L3 : Sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik.

Gambar 23. Acute lymphocytic Gambar 24. Acute


leukemias. Screening view: lymphocytic leukemias. The
blasts (1) and lymphocytes(2) blasts show a dense,
in ALL. Further classification irregular nuclear structure
of the blasts requires and narrow cytoplasm.
immunological Lymphocyte (2).
methods(common ALL).

26
Gambar 25. ALL blasts with Gambar 26. Bone marrow: large,
indentations must be distinguished vacuolated blasts, typical of B-cell
from small-cell non-Hodgkin ALL. The image shows residual
lymphoma (e.g., mantle cell dysplastic erythropoietic cells
lymphoma) by cell surface marker (arrow).
analysis.

d) Manifestasi Klinis
Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum
tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel
limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di
darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan
pendarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat diemukan pada separuh
pasien LLA, sedangkan gejala pendarahan pada sepertiga pasien yang baru
didiagnosis LLA. Pendarahan yang berat jarang terjadi.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan:
- Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
- Anoreksia
- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-
sel leukemia)

27
- Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
- Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis atau sepsis.
Penyebab paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan
bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur
- Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan
gusis, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Limfadenopati
- Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
- Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan
tinggi intrakranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan
saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal
- Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium,
tonsil

e) Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel muda limfoblas dan
biasanya ada leukositosis (60%), kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah
leukosit biasanya berbanding langsung dengan jumlah bias. Jumlah leukosit
neutrofil seringkali rendah, demikian pula dengan kadar hemoglobin dan
trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel blas
yang dominan.(5)
Pemeriksaan hematologi menunjukan normokrom normositer dan
trombositopeni pada sebagian besar kasus. Total hitung jenis dapat mencapai
9
peningkatan sebesar 200 x 10 / L. Terjadi hiperseluluer sumsum tulang
dengan > 30% sel leukemia.

28
Pemeriksaan Lumbal Punksi juga dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya peningkatan pada LCS dan jumlah sel leukemia. Test biokimiawi
dapat menunjukkan peningkatan asam urat pada serum, laktat dehidrogenase
dan hiperkalemi.
Sebelum melakukan pengobatan harus dilakukan tes fungsi hati dan
ginjal. Pemeriksaan X-ray menunjukan adanya lesi pada tulang dan massa
pada mediastinum karena pembesaran thymus dan atau mediastinum
limfonodus yang merupakan karakteristik dari T-ALL.

f) Penatalaksanaan
Menggunakan obat-obat sitostatika yang akan menghambat reproduksi
sel leukemi. Kombinasi minimal 3 macam obat untuk meningkatkan efek obat
sistotoksik dan untuk memperbaiki stadium remisi dan mengurangi resistensi
obat-obatan.
Pada terapi initial dapat terjadi penigkatan kalium dan asam urat di
darah dan dapat terjadi nefropati, namun pada keadaan ini dapat diberikan
allopurinuol sebelum dimulainya terapi. Bila terjadi alkalinisasi dapat
diberikan natrikus bikarbonat intravena.
Terapi untuk kegagalan sumsum tulang:
1. Memasukkan kateter vena sentral. Ini dilakukan untuk pemberian
kemoterapi, antibiotik dan untuk pengambilan sampel darah.
2. Mencegah muntah. Obat yang digunakan adalah obat-obat anti
emetik seperti metoklopramid, fenotiasin (klorpromazin atau
proklorperazin)
3. Pemberian darah dengan PRC dan Trombosit concentrate. Juga
dapat diberikan Fresh Frozen Plasma bila terdapat koagulapati.
4. Allopurinol dan cairan intravena
5. Profilaksis untuk infeksi dengan pemberian antibiotik atau anti
jamur atau antiviral.

29
Ada juga spesifik terapi yang berupa radioterapi atau kemoterapi.
Protokol pemberian berbeda-beda sesuai dengan golongan umur. Keadaan ini
mengingat tiap umur memiliki prognosis yang berbeda-beda.
I. Induksi remisi
Tujuannya adalah untuk mematikan proliferasi yang hebat dari sel-sel
leukemi. Dalam kasus ini digunakan prednisolon atau dexamethason,
vinkristine dan asparaginase. Namun pada dewasa sering ditambahkan
daunorubicin. Namun harus diingat bahwa remisi tidaklah serupa dengan
kesembuhan. Mungkin saja dalam fase remisi ini masih terjadi proliferasi
hebat dari sel leukemi itu sendiri dan bila ini terjadi kemotherapi dapat
dipikirkan. Namun pencapaian dari remisi ini merupakan langkah awal dari
pengobatan dan bilamana pasien dalam fase ini gagal dapat diperkirakan
memiliki prognosis yang buruk.
II. Konsolidasi
Pada fase ini digunakan dosis tinggi dari berbagai macam obat
kemoterapi dengan tujuan untuk mengurangi pertumbuhan sel tumor. Namun
dosis ini juga disesuaikan dengan toleransi pasien dan mempertimbangkan
kondisi intestinal dari pasien itu sendiri. Protokol yang sering digunakan
meliputi vinkristine, siklofosfamid, sitosin, arabinosid, daunorubicin,
etoposide, thioguanin atau merkaptopurin.
III. Terapi untuk Central Nervous System
Obat yang diperlukan di sini adalah obat yang dapat mencapai LCS.
Diantaranya Methotrexat dosis tinggi baik intravenous maupun intratekal dan
dikombinasi dengan cytosine arabinoside. Obat-obatan ini diberikan bila
terdapat gejala-gejala seperti mual, sakit kepala, papil edem atau tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial lain.
IV. Maintenance
Diberikan dalam 2 tahun untuk anak perempuan dan dewasa dan 3
tahun untuk anak laki-laki. Dengan pemberian tiap hari per oral

30
Merkaptopurin dan seminggu sekali Methetrexat. Vinkristin intravena
diberikan jangka pendek (5 hari) dengan kortikosteroid selama 3 bulan. Dapat
juga ditambahkan Cotrimoksazole bila dicurigai ada infeksi Pneumocytis
carinii.

g) Prognosis
Prognosis pada pasien berbeda-beda sesuai dengan pencapaiannya pada fase
induksi remisi. Umur juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi prognosis.

Prognosis LLA pada anak-anak baik; lebih dari 95% terjadi remisi
sempurna. Kira-kira 70-80% dari pasien bebas gejala selama 5 tahun. Apabila
terjadi relaps, remisi kedua sempurna dapat terjadi pada sebagian besar kasus.
Para pasien ini merupakan kandidat untuk transplantasi sumsum tulang,
dengan 35-65% kemungkinan hidup lebih lama.(5)
Tabel 7. Faktor Prognostik untuk Lamanya Remisi pada LLA Dewasa (2)

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Fadjari, Heri. Leukemia Granulositik Kronis. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 165: 688-90.
2. Fianza, Panji Irani. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 174: 728-34.
3. Kurnianda, Johan. Leukemia Mieloblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 169: 706-9.
4. Rotty, Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 175: 735-8.
5. Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wahyu Ika Wardhani; Wiwiek Setiowulan.
Editor. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius. 2003. 51: 560-3.

6. Golde, David W. Penyakit Mieloproliferatif. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu


Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1995. 309: 1956-8.

7. Scheinberg, David A.; David W. Golde. Leukemia. Harrison Prinsip-Prinsip


Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1995. 310: 1963-73.

8. Theml, Harald; Heinz Diem; Torsten Haferlach. Color Atlas of Hematology.


2nd revised edition. New York: Thieme. 2004.

9. Fauci, Antoni S. et. al. Harrison's: Manual of Medicine. 17th Edition.


McGraw-Hill, Medical Publishing Division. 2009.

10. Price Sylvia A, Wilson L.McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit, Edisi IV, Jilid I. EGC-Jakarta

32

Anda mungkin juga menyukai