Anda di halaman 1dari 34

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir dan menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha) yang berwarna
ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang
merupakan komponen haemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar
belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi
secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di
dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan
dapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka
panjang akan menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang
mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan
yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk
berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.

Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam


minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit
pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi
baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, insidens
ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM,
RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%.

Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian
besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan
perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau
bila kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86μmol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis
darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1
mg/dL juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus

1
patologis. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-
baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

2
PEMBAHASAN

A. Definisi

Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin total pada minggu


pertama kelahiran. Kadar normal maksimal adalah 12-13 mg/dL (205-220 mikromol/L).

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin di dalam darah melampui 1 mg/dL


(17,1umol/L). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya, atau dapat terjadi karena
kegagalan hati yang rusak untuk mengekskresikan bilirubin yang di hasilkan dengan
jumlah normal. Pada semua keadaan ini, bilirubin bertumpuk di dalam darah dan ketika
mencapai suatu konsentrasi tertentu ( yaitu sekitar 2-2,5 mg/dL ), bilirubin akan berdifusi
ke dalam jaringan yang kemudian warnanya berubah menjadi kuning. Keadaan ini
dinamakan jaundice atau ikterus. Istilah jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune,
yang berarti “kuning”) atau ikterus (dari bahasa Yunani icteros) menunjukkan pewarnaan
kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin
yang berlebihan pada jaringan.

Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut
adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai “kulit dan selaput lender menjadi kuning.”
Pada neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5 mg/dl.

Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar bilirubin
indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature pada 15 mg/dL
pada hari kelima.

Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai
oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tidak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir
bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis
dan ikterus non-fisiologis.

Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang,
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi
cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan

3
bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak
disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari berbagai factor yang berhubungan
dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan
ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat
susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan
yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2 minggu.

B. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen 4ranspo berwarna jingga 4ranspo yang merupakan


bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.

Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat
dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan
kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke
dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi
bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat
lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika
tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.

Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir

4
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan
dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).

1. Transportasi Bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya


dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin
serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di
transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat
memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat nontoksik.

Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan
yang bersifat asam seperti penicillin dan 5ransport55e. Obat – obat tersebut akan
menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor
serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.

Obat – obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

 Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon )


 Antiseptik, desinfektan ( metal, isopropyl )
 Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole, sulfamoxazole )
 Penicilin ( propicilin, cloxacillin )
 Lain – lain ( novabiosin, 5ransport5, asam mendelik, kontras x – ray )

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:


1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.

5
2. Asupan Bilirubin

Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma hepatosit,


albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel
6ranspor yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein
ikatan sitosilik lainnya

3. Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut


dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate
glukuronosyl transferase (UDPG – T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi
menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukoronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu.
Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum
endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.

4. Eksresi Bilirubin

Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam


kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses.
Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat
diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh
enzim beta – glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari
saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi
enterohepatik.

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).

6
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada 7ranspor
cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 %
bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin
lebih besar per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur
eritrositnya lebih pendek.

Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat 7ransport dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu 7ransport, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di
pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan 7ransport
bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga
menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.

C. Etiologi & Patofisiologi

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi


: pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak
terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin
terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional

7
atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga
mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan
terkonjugasi.

1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan

Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah


merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal
( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal (sterositosis herediter),
anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian beberapa obat-obatan, dan
beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus
Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau
prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria). Proses ini
dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif, kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi
20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.

2. Gangguan pengambilan bilirubin

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima.
Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan
bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita),
nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
dan Ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu
Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein
penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus
demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini
terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.

3. Gangguan konjugasi bilirubin

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai
terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut ikterus fisiologis pada Neonatus.
Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik
8
transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah
lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.

Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di
obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan
saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah
dengan fototerapi.

Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer
yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa
harus di konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas
glukororil transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.

4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi

Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional


maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena
bilirubin terkonjugasi larut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam
kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses
dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti
peningkatan kadar fostafe alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam
empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada
ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih
kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna
berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total
aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan
nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar
hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia yang sama.

Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :

9
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah,
penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah
(inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada
defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang
jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia,
pemberian ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis,
sindrom kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik).

D. Klasifikasi Ikterus
Jaundice fisiologis
• NORMAL
• Muncul 2-3 hari
• Memuncak 4-5 hari à 5-6 mg//dL
• Menurun hari ke 5-7 à 2 mg/dL
• Prematur àmenghilang bisa lebih lama (14 hari)
• Akibat :
 Belum matangnya fungsi hati
 Produksi bilirubin ↑ setelah pemecahan sel darah merah fetal
 terbatasnya konjukasi bilirubin oleh liver.
Jaundice patologis
• TIDAK NORMAL
• Timbul <24 jam
• waktu terjadinya, durasi dan pola konsentrasi bilirubin berbeda dari yang
fisiologis.
• Riwayat keluarga (+)
• TSB > 0.5 mg/dl/jam
• Pucat, hati-limpa besar
• PT gagal turunkan TSB
 rhesus incompatibility
 ABO incompatibility
 infeksi berat (sepsis)
 G6PD

10
 memar berat

Faktor yang mempengaruhi bayi ikterus pada minggu-1


 Meningkatkan produksi bilirubin :
• Turnover sel darah merah yang lebih tinggi
• Penurunan usia sel darah merah
 Menurunkan ekskresi bilirubin :
• Penurunan uptake dalam hati
• Penurunan konjugasi oleh hati
• Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik

Grafik Peningkatan Bilirubin Ikterus Fisiologis

Grafik Ikterus Fisiologis Pada Bayi Prematur

Grafik perbedaan kadar bilirubin pada ikterus fisiologis dan patologis

11
E. Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:
 Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar
 Letargi
 Kejang
 Tidak mau menghisap
 Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
 Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang
disertai ketegangan otot
 Perut membuncit
 Pembesaran pada hati
 Feses berwarna seperti dempul
 Muntah, anoreksia, fatigue,
 Warna urin gelap.

F. Diagnosis

Untuk menetapkan penyebab hiperbilirubinemia dibutuhkan pemeriksaan


yangbanyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus agar
dapatmemperkirakan penyebabnya.
Anamnesa : Riwayat
12
RIWAYAT
1. Riwayat keluarga
• Ada riwayat jaundice, anemia, splenectomi atau gangguan metabolik pada keluarga
• Riwayat saudara kandung dengan jaundice, dapat menunjukan adanya blood group
incompatibility, breast milk jaundice, atau defisiensi G6PD
2. Riwayat Maternal
• Jaundice pada neonatus dapat meningkat dengan adanya riwayat infeksi atau diabetes
pada maternal
• Penggunaan oxytocin, sulfonamides, antimalarials, dan nitrofurantoins oleh ibu yang
dapat memicu terjadinya hemolisis pada ibayi dengan defisiensi G6PD.
• Trauma saat persalinan, asfiksia, klem umbilikal terlambat, an prematuritas
3. Riwayat bayi
a) Breast-feeding
breast feeding yang jelek dapat berakibat asupan kalori yang buruk sehingga
menyebabkan "starvation jaundice."
b) Adanya obstruksi, penurunan motilitas (ileus), and mekonium yang terlambat
c) Periksa gejala klinis seperti muntah dan letargi. Yang dapat menunjukkan
kemungkinan adanya infeksi, dan obstruksi bowel
Pemeriksaan fisis:
• Usia kehamilan Usia kehamilan
• Aktivitas/pemberian minum
• Kadar ikterus
• Pucat
• Hepatosplenomegali
• Memar, hematoma sefal
Penilaian Jaundice Menurut Kramer
 Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Kriteria ini membagi
tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-
pergelangan kaki dan bahu pergelanagn tangan dan kaki seta tangan
termasuk telapak kaki dan telapak tangan.
 Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada,
lutut dan lain-lain.
 Berikut adalah pembagian jaundice berdasarkan derajat Kramer
yang dibagi menjadi lima:
13
Jumlah
Derajat Lokasi ikterus
Bilirubin
1 Kepala sampai leher 7,4 mg/dL atau
100 μmol/L
2 Kepala, badan sampai dengan 10,6 mg/dL atau
umbilicus 150 μmol/L
3 Kepala, badan, paha, sampai dengan 14,1 mg/dL atau Laboratorium :
lutut 200 μmol/L
4 Kepala, badan, ekstremitas sampai 17,2 mg/dL atau • bilirubin total
dengan pergelangan tangan dan kaki 250 μmol/L dan direk
5 Kepala, badan, semua ekstremitas >17,2 mg/dL atau
sampai dengan ujung jari (telapak > 250 μmol/L • golongan
tangan dan telapak kaki) darah ibu dan
Rh
• golongan darah bayi dan Rh
• tes Coombs direk
• darah lengkap dan hapusan darah
• hitung retikulosit
• skrining G6PD
• kadar albumin

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab


terjadinya hiperbilirubinemia yaitu :
A. Hiperbilirubinemia yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab hiperbilirubinemia yang terjadi pada 24 jam pertama menurut
besarnyakemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
3. kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :
1. Kadar bilirubin serum berkala
2. Darah tepi lengkap.
3. Golongan darah ibu dan bayi
4. Uji Coombs
5. Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD, biakan darah atau biopsi
hepar bila perlu.

14
b. Hiperbilirubinemia yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1. Biasanya hiperbilirubinemia fisiologis
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golonganlain.
Hal ini dapat diduga peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi5 mg
%/24 jam.
3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
4. Polisitemiae.
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan
hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosisi.
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :Bila keadaan bayi baik dan peningkatan
hiperbilirubinemia tidak cepat, dapatdilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
kadar bilirubin berkala,pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya
bila perlu.

c. Hiperbilirubinemia yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1. Biasanya karena infeksi (sepsis)
2. Dehidrasi asidosis.
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat.
5. Sindrom Crigler-Najjar
6. Sindrom Gilbert

d. Hiperbilirubinemia yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya :


1. Biasanya karena obstruksi.
2. Hipotiroidisme
3. Breast milk jaundice
4. Infeksi.
5. Neonatal hepatitisf.
6. Galaktosemia
15
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.
b. Pemeriksaan darah tepi
c. Pemeriksaan penyaring G6PD.
d. Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi
e. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
Hiperbilirubinemia baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi
danpemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak
mempunyaipotensi berkembang menjadi kern icterus
Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi
yangdiberikan ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar
bilirubinmencapai puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar
normal tidak akan tercapai sebelum umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI
distop danfototerapi singkat diberikan, kadar bilirubin akan menurun dengan cepat dalam
waktu 48jam.

G. Diagnosis Banding
 Jaundice yang terjadi pada 24 jam pertama, harus diperhatikan, hal ini dapat
disebabkan :
o Erythroblastosis fetalis
o Pendarahan
o Sepsis
o Infeksi intrauterine, seperti : sifilis, cyto,egalic inclusion disease, rubella
dan toxoplasmosis.
 Jaundice yang terjadi pada hari ke-2 atau ke-3, umumnya keadaan yang fisiologis,
akan tetapi dapat pula merupakan keadaan yang berat, seperti familial
nonhemolytic icterus (Crigler-Najjar syndrome)
 Jaundice setelah hari ke-3 dan dalam 1 minggu , dapat dipikirkan sepsis bacterial,
atau infeksi saluran kemih, selain itu dapat juga diakibatkan oleh infeksi lain,
seperti : sifilis, toxoplasmosis, cytomegalovirus atau enterovirus.
 Jaundice yang terjadi setelah 1 minggu pertama , dapat disebabkan oleh :
o Breast milk jaundice
o Septikemia

16
o Atresia congenital bile duct
o Hypotiroidism
o Anemia hemolitik kongenital
o Hepatitis
 Jaundice yang menetap setelah 1 bulan , dipikirkan hepatitis, sifilis,
toxoplasmosis, familial nonhemolytic icterus, atresia kongenital bile duct.

ABO INCOMPATIBILITY
Mekanisme Ikterus – ABO Compatibility

Gambar Mekanisme Inkompatibilitas ABO

Golongan Darah
Golongan Darah Antigen (Ag) Antibodi (Ab)
A Ag A Ab terdahap Ag B
B Ag B Ab terdahap Ag A
AB Ag A dan Ag B Tidak menghasilkan Ab terhadap Ag A dan
O Tidak memiliki
Ag B
antigen Ab terhadap Ag A dan Ag B
Antibodi darah fetus à aglutinasi sel darah merah donor (maternal). Sel donor
(maternal) yang teraglutinasi à hemolisis à terperangkap di pembuluh darah perifer à
melepaskan bilirubin ke dalam sirkulasi.

Potensial Inkompatibilitas ABO fetal-maternal


Golongan Darah Maternal Golongan Darah Fetal
17
O A atau B
B A atau AB
A B atau AB

BREASTFEEDING JAUNDICE

Breastfeeding jaundice dapat terjadi pada bayi yang mendapat air susu ibu (ASI)
eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari kedua atau
ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Terjadi pada 5-10% bayi baru lahir. Sebaiknya pertahankan pemberian ASI 8-12 kali
sehari.
Breastfeeding Jaundice, disebabkan ketika Bilirubin yang telah larut dalam air
(water soluble) masuk ke dalam usus untuk dibuang melalui BAB, ada sebagian yang
akan diserap kembali oleh tubuh setelah oleh dinding usus diubah lagi komposisinya
menjadi larut dalam lemak (fat soluble). Semakin banyak BAB yang berhasil
mengeluarkan Bilirubin maka, akan semakin sedikit yang terserap kembali oleh tubuh
bayi. Oleh karena itu, penting sekali bagi bayi baru lahir untuk minum asi dalam bentuk
kolostrum yang banyak mengandung zat laxative sehingga Bilirubin dapat dikeluarkan
secara maksimal sehingga sedikit sekali yang akan terserap kembali ke dalam tubuhnya.
bayi yang tidak sering minum asi dapat mengalami gejala ini.

IKTERUS ASI (BREASTMILK JAUNDICE)


Ikterus ASI berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan
biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya bergantung pada kemampuan
bayi tersebut mengubah bilirubin indirek. Jarang mengancam jiwa dan timbul setelah 4-7
hari pertama dan berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis yaitu 3-12 minggu.
Beberapa teori menjelaskan proses ikterus karena ASI ini, salah satunya adalah
teori lipoprotein lipase yang menjelaskan bahwa enzim Lipoprotein Lipase pada ASI
akan menurunkan ekskresi dan konjugasi bilirubin.
Keadaan dapat bertahan 2-3 bulan, selama kurun waktu tersebut, walaupun bayi
banyak minum ASI, pertambahan BB bagus, BAB sering, BAK berwarna bening, bayi
sehat, aktif, licah dan responsif, namun Bilirubin-nya tetap tinggi dan bayi tetap kelihatan
kuning. Belum diketahui secara pasti apa yang menyebaban kondisi ini, namun kalangan
medis mencurigai bahwa Beta Glucuronidase, suatu zat yang terdapat dalam ASI

18
mengurangi kemampuan lever bayi untuk mengatasi kadar Bilirubin dalam tubuhnya.
Breastmilk Jaundice adalah normal. Tidak perlu untuk berhenti menyusui dalam rangka
melakukan “diagnosa” atas kondisi ini. Apabila bayi dalam kondisi sehat seperti
disebutkan diatas, maka tidak ada alasan untuk berhenti menyusui

PROLONGED JAUNDICE
Visible jaundice (or serum bilirubin, SB >85 μmol/L) yang terjadi lebih dari 14 pada
BKB atau 21 hari pada preterm infant

Tabel Penyebab Prolonged Jaundice in Newborn

KERN IKTERUS
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya
bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Dengan menggunakan kriteria
patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak
diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus.
Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan
frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit.
Klasifikasi Kern Ikterus :
 Stadium 1
Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry,
kejang.
 Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.
 Stadium 3
19
Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
 Stadium 4
Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental,
paralisis bola mata ke atas, displasia mental

Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara
kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak
terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap
jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan
maturasi otak.
Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau
kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat
diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada
bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada
bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30
mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu
pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-
3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga
belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus.
Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin
dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada
albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam,
asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau
hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak
atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya
seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2.
Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-
daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama
pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus
striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus
saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis
reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut.
Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai
20
daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik.
Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh
jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia
yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas.
Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik
yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama

H. Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk


mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung
ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan
(luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar
bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin
dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan
konjugasi dan ekskresi bilirubin.

1. Strategi Pencegahan

a. Pencegahan Primer

 Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk
beberapa hari pertama.

21
 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder

 Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

 Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat
memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.

2. Penggunaan Farmakoterapi

a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan
tindakan transfusi tukar.

b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan ligandin


serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin
berlangsung lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia
pada neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi
prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital
dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral,
kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan
dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah.
Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang
berarti.

c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.

d. Tin – Protoporphyrin ( Sn – Pp ) dan Tin – Mesoporphyrin ( Sn – Mp ) dapat


menurunkan kadar bilirubin serum.

e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L – aspartikdan kasein


holdolisat dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis – 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan

22
yang mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi
berkurang dibandingkan dengan bayi control.

3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh
seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi –
bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat
menghilang dibandingkan bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan
tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap
hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar
matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar
bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial
dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan
tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan
bahwa fototerapi merupakan obat perkutan. Bila fototerapi menyinari kulit, akan
memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar
akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat
pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah
bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z,
15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa

23
diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli,
lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi
atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini
mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna
sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan
suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin,
dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin
diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.

Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus
kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan


umur pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang
bulan, sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP).

Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan
suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut
frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik.
24
Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan
ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam
menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar
hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat
permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas
fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin
serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas


sinar diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas
sinar ≥ 30 μW/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk
intensif fototerapi. Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm.
Intensitas sinar maksimal untuk fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin
tinggi intensitas sinar, maka akan lebih besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis
sinar, panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas
permukaan tubuh neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan
tubuh. Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih
dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan
terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi
berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi,
harus diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
25
Tabel 2.1. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan
cukup bulan.
Usia Pertimbangan Terapi sinar Transfusi Transfusi tukar
( jam ) terapi sinar tukar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 (425 µmol/L)
µmol/L)
49-72 >15mg/dl >18 mg/dl >25mg/dl >30 mg/dl
(>250 µmol/L) (>300µmol/L) (425 µmol/L) (510µmol/L)

>72 >17 mg/dl >20mg/dl >25mg/dl >30mg/dl


(>290 µmol/L) (>340µmol/L (>425 (>510 µmol/L)
µmol/L)

Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit
( >37 minggu )

Neontaus kurang bulan Neontaus kurang bulan


sehat :Kadar Total Bilirubin sakit :Kadar Total Bilirubin
Serum (mg/dl) Serum (mg/dl)
Berat Terapi sinar Transfusi Terapi sinar Transfusi
tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar


bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Komplikasi terapi sinar

Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan
terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek

26
lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi
dengan memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.

Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :

1. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi


Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972)
melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan
biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu
diperhatikan dengan sebaiknya.
2. Frekuensi defekasi yang meningkat
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena
meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976)
mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada
pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus.
Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
Teori ini masih belum dapat dipertentangkan.
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka,
badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada
beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome
(Kopelman dkk, 1976). Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan
dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara
ini tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966).
Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih
diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970).
Lucey (1972) dan Drew dkk (1976) secara klinis tidak dapat menemukan
gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun
demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat
selama waktu yang diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan
suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan
sebagian lampu yang dipergunakan.

27
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-
kadang ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan
manfaat penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai
tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

Tranfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang
dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati


bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan
isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu
mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih
lanjut dan memperbaiki anemia.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang
membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan
setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai

28
titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O
dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B
yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched


terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar

a. SIMPLE DOUBLE VOLUME

Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena
saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

b. ISOVOLUMETRIC

Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.

c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION

Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan


darah O rhesus positif.

29
Pelaksanaan tranfusi tukar:

1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.

2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan
dan pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta
terjaga sterilitasnya.

3. Persiapan Alat.

a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap

b.Lampu pemanas dan alat monitor

c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril

d.Masker, tutup kepala dan gaun steril

e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah

f. Set tranfusi 2 buah

g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath

h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah

i. Selang pembuangan

j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis

k.Meja tindakan

Indikasi

30
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi
tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO
tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum

Bayi Cukup Bulan


Usia Dengan Faktor Risiko
Sehat

Hari mg/dL mg/Dl

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan 30 20


seterusnya

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa
dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai
kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.

Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan (gram)


KadKadar Bilirubin
(mg/dL)

> > 1000 10-12

1000-1500 12-15

1500-2000 15-18

2000-2500 18-20

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
31
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi
sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13


gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

 Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

 Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

 Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

 Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar

1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Perawatan pasca tranfusi tukar

 Lanjutkan dengan terapi sinar

 Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:

a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis
dari orang tua penderita

32
b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya

c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres
dengan NaCl fisiologis

d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar
albumin <>

e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik,
Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan
darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit
lainnya serta kultur darah

f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar

g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label
darah).

33
DAFTAR PUSTAKA

Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Edisi
pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p. 147-169
Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2014. EGC:
Jakarta
HTA Indonesia. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
HTA Indonesia. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit.
Meredith L. Porter, Beth L. Dennis. Hyperbilirubinemia In The Term Newborn.
American Family Physician. 2002. Dewitt Army Community Hospital, Fort Belvoir,
Virginia.
Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi
Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo.

Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Gomella T.L. Hyperbilirubinemia Indirect (Unconjugated). Dalam: Neonatology,


Management, Procedures, On callProblems, Diseases & Drugs 5 th Ed, A Lange clinical
manual/Mc Graw-Hill,2004: 381

34

Anda mungkin juga menyukai