Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian
besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan
perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau
bila kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86μmol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis
darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1
mg/dL juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus
1
patologis. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-
baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
2
PEMBAHASAN
A. Definisi
Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut
adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai “kulit dan selaput lender menjadi kuning.”
Pada neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5 mg/dl.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar bilirubin
indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature pada 15 mg/dL
pada hari kelima.
Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai
oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tidak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir
bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis
dan ikterus non-fisiologis.
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang,
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi
cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan
3
bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak
disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari berbagai factor yang berhubungan
dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan
ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat
susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan
yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2 minggu.
B. Metabolisme Bilirubin
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat
dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan
kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke
dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi
bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat
lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika
tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
4
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan
dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).
1. Transportasi Bilirubin
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan
yang bersifat asam seperti penicillin dan 5ransport55e. Obat – obat tersebut akan
menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor
serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
5
2. Asupan Bilirubin
3. Konjugasi Bilirubin
4. Eksresi Bilirubin
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).
6
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada 7ranspor
cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 %
bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin
lebih besar per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur
eritrositnya lebih pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat 7ransport dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu 7ransport, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di
pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan 7ransport
bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga
menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
7
atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga
mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan
terkonjugasi.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima.
Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan
bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita),
nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
dan Ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu
Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein
penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus
demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini
terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai
terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut ikterus fisiologis pada Neonatus.
Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik
8
transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah
lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di
obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan
saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah
dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer
yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa
harus di konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas
glukororil transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
9
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah,
penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah
(inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada
defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang
jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia,
pemberian ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis,
sindrom kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik).
D. Klasifikasi Ikterus
Jaundice fisiologis
• NORMAL
• Muncul 2-3 hari
• Memuncak 4-5 hari à 5-6 mg//dL
• Menurun hari ke 5-7 à 2 mg/dL
• Prematur àmenghilang bisa lebih lama (14 hari)
• Akibat :
Belum matangnya fungsi hati
Produksi bilirubin ↑ setelah pemecahan sel darah merah fetal
terbatasnya konjukasi bilirubin oleh liver.
Jaundice patologis
• TIDAK NORMAL
• Timbul <24 jam
• waktu terjadinya, durasi dan pola konsentrasi bilirubin berbeda dari yang
fisiologis.
• Riwayat keluarga (+)
• TSB > 0.5 mg/dl/jam
• Pucat, hati-limpa besar
• PT gagal turunkan TSB
rhesus incompatibility
ABO incompatibility
infeksi berat (sepsis)
G6PD
10
memar berat
11
E. Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:
Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar
Letargi
Kejang
Tidak mau menghisap
Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang
disertai ketegangan otot
Perut membuncit
Pembesaran pada hati
Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
Warna urin gelap.
F. Diagnosis
14
b. Hiperbilirubinemia yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1. Biasanya hiperbilirubinemia fisiologis
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golonganlain.
Hal ini dapat diduga peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi5 mg
%/24 jam.
3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
4. Polisitemiae.
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan
hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosisi.
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :Bila keadaan bayi baik dan peningkatan
hiperbilirubinemia tidak cepat, dapatdilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
kadar bilirubin berkala,pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya
bila perlu.
c. Hiperbilirubinemia yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1. Biasanya karena infeksi (sepsis)
2. Dehidrasi asidosis.
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat.
5. Sindrom Crigler-Najjar
6. Sindrom Gilbert
G. Diagnosis Banding
Jaundice yang terjadi pada 24 jam pertama, harus diperhatikan, hal ini dapat
disebabkan :
o Erythroblastosis fetalis
o Pendarahan
o Sepsis
o Infeksi intrauterine, seperti : sifilis, cyto,egalic inclusion disease, rubella
dan toxoplasmosis.
Jaundice yang terjadi pada hari ke-2 atau ke-3, umumnya keadaan yang fisiologis,
akan tetapi dapat pula merupakan keadaan yang berat, seperti familial
nonhemolytic icterus (Crigler-Najjar syndrome)
Jaundice setelah hari ke-3 dan dalam 1 minggu , dapat dipikirkan sepsis bacterial,
atau infeksi saluran kemih, selain itu dapat juga diakibatkan oleh infeksi lain,
seperti : sifilis, toxoplasmosis, cytomegalovirus atau enterovirus.
Jaundice yang terjadi setelah 1 minggu pertama , dapat disebabkan oleh :
o Breast milk jaundice
o Septikemia
16
o Atresia congenital bile duct
o Hypotiroidism
o Anemia hemolitik kongenital
o Hepatitis
Jaundice yang menetap setelah 1 bulan , dipikirkan hepatitis, sifilis,
toxoplasmosis, familial nonhemolytic icterus, atresia kongenital bile duct.
ABO INCOMPATIBILITY
Mekanisme Ikterus – ABO Compatibility
Golongan Darah
Golongan Darah Antigen (Ag) Antibodi (Ab)
A Ag A Ab terdahap Ag B
B Ag B Ab terdahap Ag A
AB Ag A dan Ag B Tidak menghasilkan Ab terhadap Ag A dan
O Tidak memiliki
Ag B
antigen Ab terhadap Ag A dan Ag B
Antibodi darah fetus à aglutinasi sel darah merah donor (maternal). Sel donor
(maternal) yang teraglutinasi à hemolisis à terperangkap di pembuluh darah perifer à
melepaskan bilirubin ke dalam sirkulasi.
BREASTFEEDING JAUNDICE
Breastfeeding jaundice dapat terjadi pada bayi yang mendapat air susu ibu (ASI)
eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari kedua atau
ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Terjadi pada 5-10% bayi baru lahir. Sebaiknya pertahankan pemberian ASI 8-12 kali
sehari.
Breastfeeding Jaundice, disebabkan ketika Bilirubin yang telah larut dalam air
(water soluble) masuk ke dalam usus untuk dibuang melalui BAB, ada sebagian yang
akan diserap kembali oleh tubuh setelah oleh dinding usus diubah lagi komposisinya
menjadi larut dalam lemak (fat soluble). Semakin banyak BAB yang berhasil
mengeluarkan Bilirubin maka, akan semakin sedikit yang terserap kembali oleh tubuh
bayi. Oleh karena itu, penting sekali bagi bayi baru lahir untuk minum asi dalam bentuk
kolostrum yang banyak mengandung zat laxative sehingga Bilirubin dapat dikeluarkan
secara maksimal sehingga sedikit sekali yang akan terserap kembali ke dalam tubuhnya.
bayi yang tidak sering minum asi dapat mengalami gejala ini.
18
mengurangi kemampuan lever bayi untuk mengatasi kadar Bilirubin dalam tubuhnya.
Breastmilk Jaundice adalah normal. Tidak perlu untuk berhenti menyusui dalam rangka
melakukan “diagnosa” atas kondisi ini. Apabila bayi dalam kondisi sehat seperti
disebutkan diatas, maka tidak ada alasan untuk berhenti menyusui
PROLONGED JAUNDICE
Visible jaundice (or serum bilirubin, SB >85 μmol/L) yang terjadi lebih dari 14 pada
BKB atau 21 hari pada preterm infant
KERN IKTERUS
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya
bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Dengan menggunakan kriteria
patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak
diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus.
Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan
frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit.
Klasifikasi Kern Ikterus :
Stadium 1
Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry,
kejang.
Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.
Stadium 3
19
Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Stadium 4
Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental,
paralisis bola mata ke atas, displasia mental
Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara
kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak
terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap
jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan
maturasi otak.
Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau
kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat
diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada
bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada
bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30
mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu
pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-
3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga
belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus.
Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin
dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada
albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam,
asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau
hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak
atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya
seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2.
Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-
daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama
pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus
striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus
saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis
reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut.
Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai
20
daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik.
Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh
jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia
yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas.
Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik
yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama
H. Penatalaksanaan
1. Strategi Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk
beberapa hari pertama.
21
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat
memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
2. Penggunaan Farmakoterapi
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan
tindakan transfusi tukar.
22
yang mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi
berkurang dibandingkan dengan bayi control.
3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh
seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi –
bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat
menghilang dibandingkan bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan
tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap
hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar
matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar
bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial
dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan
tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan
bahwa fototerapi merupakan obat perkutan. Bila fototerapi menyinari kulit, akan
memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar
akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat
pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah
bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z,
15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa
23
diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli,
lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi
atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini
mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna
sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan
suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin,
dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin
diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus
kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan
suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut
frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik.
24
Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan
ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam
menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar
hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat
permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas
fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin
serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.
Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit
( >37 minggu )
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan
terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek
26
lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi
dengan memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.
27
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-
kadang ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan
manfaat penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai
tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Tranfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang
dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang
membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan
setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai
28
titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O
dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B
yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena
saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b. ISOVOLUMETRIC
Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
29
Pelaksanaan tranfusi tukar:
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan
dan pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta
terjaga sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i. Selang pembuangan
k.Meja tindakan
Indikasi
30
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi
tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO
tercantum dalam tabel 2.
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa
dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai
kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
31
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi
sinar
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.
a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis
dari orang tua penderita
32
b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres
dengan NaCl fisiologis
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar
albumin <>
e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik,
Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan
darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit
lainnya serta kultur darah
f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label
darah).
33
DAFTAR PUSTAKA
Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Edisi
pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p. 147-169
Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2014. EGC:
Jakarta
HTA Indonesia. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
HTA Indonesia. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit.
Meredith L. Porter, Beth L. Dennis. Hyperbilirubinemia In The Term Newborn.
American Family Physician. 2002. Dewitt Army Community Hospital, Fort Belvoir,
Virginia.
Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi
Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo.
Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
34