Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM PADA ANAK

I. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 1.1 Sistem Saraf Pusat


(www.sistem.saraf.pusat.com)
1.1 JARINGAN SARAF
1.1.1 Neuron
Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomi dan
fungsional sistem persarafan. Neuron terdiri dari 100 miliar jumlahnya.
Struktur neuron terdiri dari badan sel, dendrit dan akson. Badan sel lebih
besar dan mengelilingi nukleus yang di dalamnya terdapat nukleolus.

1
Dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju badan sel.
Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi
keluar dari badan sel (Prasetyo, 2015).
Klasifikasi struktur neuron:
1) Neuron tanpa akson
2) Neuron bipolar
3) Neuron unipolar
4) Neuron multipolar
1.1.2 Neuroglia
Neuroglia adalah sel penyokong untuk neuron-neuron SSP. Neuroglia
menyusun 40% volume otak dan medula spinalis. Neuroglia jumlahnya lebih
banyak dari sel-sel neuron yang berhasil diidentifikasi yaitu mikroglia,
ependimal, astroglia, dan oligodendroglia.
1.1.3 Sel Schwann
Sel schwan membentuk mielin maupun neurolema saraf tepi. Membran
plasma sel schwan secara konsentris mengelilingi tonjolan neuron SST.
1.1.4 Transmisi Sinaps
Neruon menyalurkan sinyal-sinyal saraf ke seluruh tubuh. Kejadian
listrik ini yang kita kenal dengan impuls saraf yang bersifat listrik
disepanjang neuron dn bersifat kimia di antara neuron.secara anatomis,
neuron-neuron tersebut tidak bersambungan satu sama lain. Tempat di mana
neuron disebut sinaps. Sinaps merupakan satu-satunya tempat dimana suatu
impuls dapat lewat dari satu neuron ke neuron lainya atau efektor. Agar
proses ini menjadi efektif, maka sebuah pesan tidak selalu harus melalui
perjalanan melalui akson, tetapi bisa ditransmisikan melalui jalan lain untuk
menuju sel lainnya (Prasetyo, 2015).
1.1.5 Neurotransmiter
Nuerotransmiter merupakan cara komunikasi antarneuron. Setiap
neuron melepaskan satu transmiter. Zat-zat kimia ini menyebabkan
perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga dengan bantuan zat-zat kimia
ini, neruon dapat lebih mudah dalam menyalurkan impuls, tergantung dari
jenis neuron dan transmiter tersebut.

2
1.2 OTAK
Otak manusia berisi hampir 98% jaringan saraf tubuh atau sekitar 10 miliar
neuron yang menjadi kompleks secara kesatuan fungsional.otak manusia kira-kira
merupakan 2% dari berat badan orang dewasa. Otak menerima 15% dari curah
jantung, memerlukan sekitar 20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400
kilokalori energi setiap harinya (Prasetyo, 2015).
1.2.1 Pelindung otak
Jaringan otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan
tulang belakang, serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen,
yaitu pia meter, arakhnoid, dan dua meter. Antara lapisan pia meter dan
arakhnoid terdapat penghubung yang disebut trabekula. Durameter juga
disebut pakhimening, sedangkan pia meter dan arakhnoid bersama-sama
disebut leptomening.
1.2.2 Cairan serebrospinal
Dalam setiap ventrikel terdapat struktur khusus yang dinamakan
pleksus koroideus. Pleksus koroideus inilah yang menyekresi CSS yang
jernih dan tak berwarna, yang merupakan bantal cairan pelindung disekitar
SSP. CSS terdiri atas air, elektrolit, gas oksigen dan akrbon dioksida yang
terlarut, glukosa, beberapa leukosit (terutama limfosit), dan sedikit protein.
1.2.3 Ventrikel
Ventrikel merupakan rangkaian dari empat rongga dalam otak yang
saling berhubungan dan dibatasi oleh ependimal. Ventrikel ketiga terdapat
dalam diensefalon. Ventrikel keempat dalam pons dan medula oblongata.
Ventrikel lateral mempunyai hubungan dengan ventrikel ketiga melalui
sepasang foramen-interventrikularis(foramen Monro)
1.2.4 Suplai darah
Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-
pembuluh darah yang bercabang-cabang, saling berhubungan erat sehingga
dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel. Suplai darah ini
dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan erteri karotis
interna, yang memiliki cabang-cabang yang beranastomosis membentuk
sirkulus arterious serebri Wilisi.

3
1.2.5 Serebrum
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dibagi oleh suatu
lekuk atau celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar
hemisfer serebri terdiri atas substansia grisea yang disebut sebagai korteks
serebri, terletak di atas substansia alba yang merupakan bagian dalam (inti)
hemisfer dan disebut pusat medula. Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh
suatu pita serabut lebar yang disebut korpus kalosum.
1.2.6 Korteks serebri
Korteks serbri atau substansia grisea dari serebrum mempunyai banyak
lipatan yang disebut giri. Susunan seperti ini memungkinkan permukaan
otak menjadi luas (diperkirakan luasnya 2200 cm) untuk berada di dalam
rongga tengkorak yang sempit.
1.2.7 Serebellum
Serebellum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh dua
mater yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium, yang memisahkannya
dari bagian posterior serebrum.

1.3 BATANG OTAK


Batang otak merupakan pusat transmiter dan refleks dari SSP.
1.3.1 Pons
Pons berbentuk jembatan menghubungkan mensefalon di seblah atas
dengan medula oblongata di bawah. Pons merupakan mata rantai
penghubung yang penting pada jaras kortikoserebelaris yang menyatukan
hemisfer serebri dan serebelum.
1.3.2 Medula oblongata
Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk
jantung, vaskonstriktor, pernapasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air
liur, dan muntah.

1.4 MESENSEFALON
Mensesefalon (otak tengah) merupakan bagian pendek dari batang otak yang
letaknya di atas pons. Secara fisiologis mensesefalon mempunyai peran yang
penting dalan pengaturan respons-respons tubuh. Formasi retikularis terdiri atas
jaringan kompleks badan sel dan serabut yang saling terjalin membentuk inti sentral

4
batang otak. Bagian ini berhubungan ke bawah dengan sel-sel intemunsial emdula
spinalis dan meluas ke atas dan ke dalam diensefalon dan telensefalon (Prasetyo,
2015).

1.5 DIENSEFALON
Diensefalon adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan struktur-struktur
disekitar ventrikel ketiga dan membentuk inti bagian dalam serebrum.
1.5.1 Talamus
Talamus merupakan stasiun transmiter yang penting dalam otak dan
juga merupakan pengintegrasi subkortikal yang penting. Talamus terdiri atas
dua struktur ovoid yang besar.
1.5.2 Hipotalamus
Hipotalamus terletak di bawah talamus. Hipotalamus berkaitan dengan
pengaturan rangsangan dair sistem susunan saraf otonom perifer yang
menyertai ekspresi tingkah laku dan emosi.
1.5.3 Subtalamus
Subtalamus merupakan nukleus ekstrapiramida diensefalon yang
penting. Subtalamus mempunyai hubungan dengan nukleus ruber, sibtansia
nigra, dan globus palidus dari ganglia basalis. Fungsinya belum jelas
diketahui, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan disinesia dramatis
yang disebut hemibalismus.
1.5.4 Epitalamus
Epitalamus berbentuk pita sempit jaringan saraf yang membentuk atas
diensefalon. Struktur utama daerah ini adalah nukleus habanular dan
komisura-komisura posterior, striae medularis, dan epifisis.

1.6 SARAF KRANIAL


1.6.1 Komponen sensorik somatik: N I, N II, N VIII
1.6.2 Komponen motorik omatik: N III, N IV, N VI, N XI, N XII
1.6.3 Komponen campuran sensorik somatik dan motorik somatik : N V, N VII, N
IX, N X
1.6.4 Komponen motorik viseral

5
Eferen viseral merupakan otonom mencakup N III, N VII, N IX, N X.
Komponen eferen viseral yang 'ikut' dengan beberapa saraf kranial ini, dalam sistem
saraf otonom tergolong pada divisi parasimpatis kranial.

a. N. Olfaktorius: saraf ini berfungsi sebagai saraf sensasi penghidu, yang terletak
dibagian atas dari mukosa hidung di sebelah atas dari concha nasalis superior.
b. N. Optikus: saraf ini penting untuk fungsi penglihatan dan merupakan saraf
eferen sensori khusus. Pada dasarnya saraf ini merupakan penonjolan dari otak
ke perifer.
c. N. Okulomotorius: saraf ini mempunyai nucleus yang terdapat pada
mesensephalon. Saraf ini berfungsi sebagai saraf untuk mengangkat bola mata.
d. N. Trochlearis: pusat saraf ini terdapat pada mesencephlaon. Saraf ini mensarafi
muskulus oblique yang berfungsi memutar bola mata.
e. N. Trigeminus: saraf ini terdiri dari tiga buah saraf yaitu saraf optalmikus, saraf
maxilaris dan saraf mandibularis yang merupakan gabungan saraf sensoris dan
motoris. Ketiga saraf ini mengurus sensasi umum pada wajah dan sebagian
kepala, bagian dalam hidung, mulut, gigi dan meningen.
f. N. Abducens: berpusat di pons bagian bawah. Saraf ini menpersarafi muskulus
rektus lateralis. Kerusakan saraf ini dapat menyebabkan bola mata dapat
digerakan ke lateral dan sikap bola mata tertarik ke medial seperti pada
Strabismus konvergen.
g. N. Facialias: saraf ini merupakan gabungan saraf aferen dan eferen. Saraf
aferen berfungsi untuk sensasi umum dan pengecapan sedangkan saraf eferent
untuk otot wajah.
h. N. Statoacusticus: saraf ini terdiri dari komponen saraf pendengaran dan
saraf keseimbangan.
i. N. Glossopharyngeus: saraf ini mempersarafi lidah dan pharing. Saraf ini
mengandung serabut sensori khusus. Komponen motoris saraf ini mengurus
otot-otot pharing untuk menghasilkan gerakan menelan. Serabut sensori khusus
mengurus pengecapan di lidah. Disamping itu juga mengandung serabut sensasi
umum di bagian belakang lidah, pharing, tuba, eustachius dan telinga tengah.
j. N. Vagus: saraf ini terdiri dari tiga komponen: a) komponen motoris yang
mempersarafi otot-otot pharing yang menggerakkan pita suara, b) komponen

6
sensori yang mempersarafi bagian bawah pharing, c) komponen saraf
parasimpatis yang mempersarafi sebagian alat-alat dalam tubuh.
k. N. Accesorius: merupakan komponen saraf kranial yang berpusat pada nucleus
ambigus dan komponen spinal yang dari nucleus motoris segmen C 1-2-3. Saraf
ini mempersarafi muskulus Trapezius dan Sternocieidomastoideus.
l. Hypoglosus: saraf ini merupakan saraf eferen atau motoris yang mempersarafi
otot-otot lidah. Nukleusnya terletak pada medulla di dasar ventrikularis IV dan
menonjol sebagian pada trigonum hypoglosi.
(Prasetyo, 2015)

1.7 SISTEM LIMBIK


Sistem limbik mencakup nukleus dan terusan batas traktus antara serebri dan
deinsefalon yang menglilingi korpus kalosum. Sistem ini merupakan suatu
pengelompokan fungsional bukan pengelompokan anatomis yang terdiri atas
komponen serebrum, diensefalon, dan mesesefalon (Prasetyo, 2015).

1.8 SARAF SPINAL


Saraf spinal pada manusia dewasa memiliki sekitar 45 cm dan lebar 14 mm.
Pada bagian permukaan dorsal dari saraf spinal, terdapat alur yang dangkal secara
longitudinal di bagian medial posterior berupa sulkus dan bagian yang dalam dari
anterior berupa fisura (Prasetyo, 2015).

1.9 SARAF OTONOM


1.9.1 Sistem saraf simpatis
Inti ( yang di bentuk oleh sekelompok badan sel saraf ) sistem simpatis
terletak di segmen toracal dan lumbal di medulla spinalis. Karenanya sistem
simpatis juga disebut Divisi toracolumbar dari sistem saraf otonom. Akson
neuron ini serat-serat praganglion meninggalkan SSP melalui radiks ventral
dan cabang-cabang (rami). Penghubung saraf spinal bagian toracall dan
lumbal. Mediator kimia dari serabut pasca ganglion sistem simpatis adalah
norepinefrin, yang juga di produksi oleh medulla adrenal. Serabut saraf yang
membebaskan neropinefrin disebut saraf adrenergic( kata yang berasal dari
noradrenalin, nama lain untuk norepinefrin). Serabut adrenergic
mempersarafi kelenjar keringat dan pembuluh darah otot rangka . sel-sel

7
medulla adrenal membebaskan epi nefrin dan noreepinefrin sebagai respon
terhadap stimulasi simpatis praganglion.
1.9.2 Sistem saraf otonom parasimpatis
Sistem parasimpatis memiliki inti di medulla dan mesensepalon dan di
bagian sacral medulla spinalis. Serabut praganglion dari neuron ini keluar
melalui 4 saraf cranial (III,VII,IX dan X) dan juga melalui saraf sacral ke
dua, ke tiga dan ke empat di medulla spinalis. Karenanya, sistem
parasimpatis juga disebut divisi craniosakral sistem otonom.
Neuron ke dua dari sistem parasimpatis ditemukan dalam ganglia yang
lebih kecil dari ganglia sistem simpatis, neuron ini selalu berada dekat atau
di dalam organ efektor. Neuron ini umumnya terdapat di dinding organ
(misalnya, lambung,usus), ketika terserabur gaganglion memasuki organ
dan membentuk sinaps dengan neuron ke dua dalam sistem saraf ini.
1.9.3 Konsep refleks
Reflek merupakan kejadian involunter dan tidak dapat dikendalikan
oleh kemauan. Tindakan refleks merupakan gerakan motorik involunter atau
respons sekretorik yang diperlihatkan jaringan terhadap stimulus sensorik,
seperti refleks menarik diri, bersin, batuk, dan mengedip.
1.9.4 Sensibilitas
Informasi mengenai lingkungan dalam dan luar dapat mencapai SSP
melalui berbagai reseptor sensorik. Reseptor sensorik sering kali bersatu
dengan sel-sel non-saraf yang mengelilinginya, dan membentuk alat indra.
Bentuk-bentuk energi yang diubah oleh neurotransmitter misalnya, mekanis
(raba-tekan), suhu(derajat sensasi hangat), elektromagnetik (cahaya), dan
energi kimia (bau,kecap, dan kandungan Oksigen dalam darah).

II. KONSEP TEORI


2.1 DEFINISI
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan. Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium
(Prasetyo, 2015).

8
Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang terjadi
bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan neurologik
yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan menyerang sekitar 4% anak.
Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum usia
3 tahun dengan peningkatan frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia
kurang dari 18 bulan. Kejang demam jarang terjadi setelah usia 5 tahun (Surasno,
2015).

2.2 ETIOLOGI
Kejang dapat disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat,
yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya tonsilitis ostitis
media akut, bronchitis. Nilai ambang untuk kejang demam ini berbeda untuk tiap
anak dan insiden kejang demam pada suhu di bawah 39 C sebesar 6,3 % sedangkan
pada suhu diatas 39 C sebesar 19% sehingga bisa dikatakan bahwa semakin tinggi
suhu semakin besar kemungkinan untuk kejang. Akan tetapi secara fisiologis belum
diketahui dengan pasti pengaruh suhu dan faktor yang berperan dalam kejang
demam pada saat infeksi (Deniyati, 2011).
Sedangkan menurut Surasno (2015), penyebab kejang demam adalah:
2.2.1 Demam tinggi. Demam dapat disebabkan oleh karena tonsilitis, faringitis,
otitis media, gastroentritis, bronkitis, bronchopneumonia, morbili, varisela,
demam berdarah, dan lain-lain.
2.2.2 Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan otak) terhadap otak.
2.2.3 Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal.
2.2.4 Perubahan cairan dan elektrolit.
2.2.5 Faktor predispisisi kejang deman, antara lain:
a. Riwayat keluarga dengan kejang biasanya positif, mencapai 60% kasus.
Diturunkan secara dominan, tapi gejala yang muncul tidak lengkap.
b. Angka kejadian adanya latar belakang kelainan masa pre-natal dan
perinatal tinggi
c. Angka kejadian adanya kelainan neurologis minor sebelumnya juga
tinggi, tapi kelainan neurologis berat biasanya jarang terjadi.

9
2.3 MANIFESTASI KLINIK
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik,
fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti,
anak tidak memberi reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit
anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti
oleh hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama diikuti oleh hemiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama sering terjadi pada kejang
demam yang pertama. Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung beberapa menit
sampai lebih dari 30 menit, tergantung pada jenis kejang demam tersebut.
Sedangkan frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1 tahun sampai lebih dari 2
kali sehari. Pada kejang demam kompleks, frekuensi dapat sampai lebih dari 4 kali
sehari dan kejangnya berlangsung lebih dari 30 menit (Prasetyo, 2015). Gejalanya
berupa:
2.3.1 Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang tejradi
secara tiba-tiba).
2.3.2 Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi
pada anak-anak yang mengalami kejang demam).
2.3.3 Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik).
2.3.4 Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit).
2.3.5 Lidah atau pipinya tergigit.
2.3.6 Gigi atau rahangnya terkatup rapat.
2.3.7 Inkontinensia (mengompol)
2.3.8 Gangguan pernafasan
2.3.9 Apneu (henti nafas)
2.3.10 Kulitnya kebiruan
Setelah mengalami kejang, biasanya:
2.3.11 Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam
atau lebih
2.3.12 Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi) sampai sakit kepala
2.3.13 Mengantuk
10
2.3.14 Linglung (sementara dan sifatnya ringan)
Klasifikasi kejang demam:
2.3.15 Kejang parsial (fokal, lokal)
a. Kejang parsial sederhana:
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal
berikut ini:
1) Tanda-tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh;
umumnya gerakan setipa kejang sama.
2) Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
3) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus: mendengar musik,
merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
4) Gejala psikis: dejavu, rasa takut, visi panoramik.
b. Kejang parsial kompleks
1) Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik: mengecap-
ngecapkan bibir, mengunyah, gerakan menongkel yang berulang-
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme: tatapan terpaku
2.3.16 Kejang umum (konvulsi atau non konvulsi)
a. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas ditandai dengan tatapan
terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
2) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan-kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi secara mendadak.
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan
kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok
11
4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk, atau jatuh ke tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

2.4 PATOFISIOLOGI
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di
luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi
ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada
permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh:
2.4.1 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2.4.2 Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
2.4.3 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit / keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak
3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi

12
dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun
ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang
(Surasno, 2015).
Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan
mengakibatkan metabolisme otak meningkat.

2.5 KOMPLIKASI
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi
hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas. Kejang
demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
sehingga terjadi epilepsi. Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien
dengan kejang demam (Priambodho, 2016):
2.5.1 Pneumonia aspirasi
2.5.2 Asfiksia
2.5.3 Retardasi mental
2.5.4 Kejang berulang
2.5.5 Palsi cerebralis
2.5.6 Epilepsi
2.5.7 Hemiparese

2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kejang
demam menurut Surasno (2015) adalah meliputi:
2.6.1 Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik.
EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat
ini pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang

13
sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi.
2.6.2 Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi
yang masih kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus
dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan
dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
2.6.3 Darah
a. Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N< 200
mq/dl)
b. BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang, Kalium ( N 3,80-5,00 meq/dl ), Natrium ( N 135-144 meq/dl )
2.6.4 Cairan Cerebo Spinal: mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
2.6.5 Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya
lesi.
2.6.6 Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.

2.7 PENATALAKSANAAN
2.7.1 Medis
Penatalaksanaan kejang dibagi menjadi 3 hal, yaitu (Priambodho,
2016):
a. Pengobatan Fase Akut
1) Memberantas kejang:
a) Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya
b) Menurunkan panas bila demam atau hipereaksi dengan kompres
seluruh tubuh dan bila telah menunjukkan dapat diberikan
paracetamol 10 mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3
mg/kgBB.

14
c) Memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup
lama (> 10 menit) dengan intravena D5 1/4S, D5 1/2S, RL.
2) Mencari penyebab dan mengobati penyebab dengan penelusuran
sebab kejang dan faktor risiko terjadinya kejang, pengobatan
terhadap penyebab kejang sesuai yang ditemukan. Pemeriksaan
cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama,
walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal
hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila
aga gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.
b. Pengobatan pencegahan berulangnya kejang
Diberikan anti konvulsan rumatan yaitu fenitoin/difenilhidation 5-8
mg/kgBB/hari, dalam 2 kali pemberian (terbagi 2 dosis) atau
fenobarbital (bila tak ada fenitoin): 5-8 mg/kgBB/hari dalam 2 kali
pemberian.
1) Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana.
Beri diazepam dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai
demam.
2) Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata
Dapat digunakan:
1) Fero barbital : 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
2) Fenitorri : 2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
3) Klonazepam : (indikasi khusus)

Gambar 2.1 Penatalaksanaan Kejang Demam

15
2.7.2 Non Medis
a. Berikan kompres hangat
b. Pasang pagar pengaman samping tempat tidur atau tempatkan anak
dibawah (lantai datar beralaskan kasur).
c. Jauhkan benda-benda berbahaya dari lingkungan pasien
d. Jangan memberi makan/minum saat anak mengalami kejang
e. Balut sendok dengan kassa untuk menekan lidah anak, untuk
menghindari anak menggigit lidahnya.
f. Semua pakaian ketat dibuka.
g. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
h. Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
i. Penghisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Beri penahan gigi supaya tidak tergigit.

III. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG DEMAM


3.1 PENGKAJIAN
Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan
menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut.
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan
sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan
menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi
kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari
pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan
laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara
inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk
memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang
baru maupun yang lama), literatur (mencakup semua materi, buku-buku, masalah
dan surat kabar) (Surasno, 2015).
3.1.1 Riwayat Keperawatan
Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi:
a. Data Subjektif
1) Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang
tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi

16
nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, alamat.
2) Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan:
a) Apakah betul ada kejang?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan
menirukan gerakan kejang si anak.
b) Apakah disertai demam?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang,
maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam
terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang
dengan demam.
c) Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu
berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui
kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
d) Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai
pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik?
- Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang
kesadaran seperti epilepsi mioklonik?
- Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai
gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik?
- Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi
sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme
infantile?
e) Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa
kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang
per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul
pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering
timbul. Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau
rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya
lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang
17
dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu
ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran
menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya?
3) Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada
penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA,
OMA, Morbili dan lain-lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan
apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur
berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali? Apakah ada riwayat
trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
5) Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah
mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma,
perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan
maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah
sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/vakum), perdarahan ante
partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi
panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.
6) Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan
serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada
umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah
panas yang dapat menimbulkan kejang.
7) Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi:
a) Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial): berhubungan
dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
b) Gerakan motorik halus: berhubungan dengan kemampuan anak
untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan
bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil

18
dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar,
memegang suatu benda, dan lain-lain.
c) Gerakan motorik kasar: berhubungan dengan pergerakan dan
sikap tubuh.
d) Bahasa: kemampuan memberikan respon terhadap suara,
mengikuti perintah dan berbicara spontan.
8) Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita
kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga
yang menderita penyakit syaraf atau lainnya? Adakah anggota
keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit
infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
9) Riwayat sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu
dikaji siapakah yanh mengasuh anak? Bagaimana hubungan dengan
anggota keluarga dan teman sebayanya?
10) Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana? Pola
kebiasaan dan fungsi ini meliputi:
a) Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan
tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap
perawatan dan tindakan medis? Bagaimana pandangan terhadap
penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan,
tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan
obat-obatan pertolongan pertama.
b) Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan
bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi
oleh anak? Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak?
Bagaimana selera makan anak? Berapa kali minum, jenis dan
jumlahnya per hari?

19
c) Pola Eliminasi
BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah?
Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB: ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak?
Bagaimana konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir?
d) Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman
sebayanya? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam?
Aktivitas apa yang disukai?
e) Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur? Berangkat tidur jam berapa? Bangun
tidur jam berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan
tidur siang?

3.1.2 Pemeriksaan Fisik


a. Kepala: adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi
bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu
ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar
menutup atau belum?
b. Rambut: dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain
rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut
yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menyebabkan rasa sakit pada pasien.
c. Muka/ Wajah: paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang
paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah
tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus,
trimus? Apakah ada gangguan nervus cranial?
d. Mata: saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil
dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva?
e. Telinga: periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda
adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang
telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.

20
f. Hidung: apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat
jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya,
jumlahnya?
g. Mulut: adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah sianosis? Bagaimana
keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh?
Apakah ada caries gigi?
h. Tenggorokan: adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-
tanda infeksi faring, cairan eksudat?
i. Leher: adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid?
Adakah pembesaran vena jugulans?
j. Thorax: pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak
pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan?
k. Jantung: bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya?
Adakah bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia?
l. Abdomen: adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada
abdomen? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda
meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar?
m. Kulit : bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya?
Apakah terdapat oedema, hemangioma? Bagaimana keadaan turgor
kulit?
n. Ekstremitas: apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah
terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral?
o. Genetalia: adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari
vagina atau testis, tanda-tanda infeksi?

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa 1: Resiko aspirasi dengan faktor resiko akumulasi sekret, muntah,
penurunan kesadaran
3.2.1 Definisi
Beresiko terhadap masuknya sekret gastrointestinal, sekret orofaring, benda
padat atau cairan ke dalam saluran trakeobronkial

21
3.2.2 Faktor Resiko
a. Penurunan reflek batuk dan gag reflek
b. NGT
c. Penurunan kesadaran
d. Gangguan menelan
e. Produksi secret me-ningkat
f. Dispneu

Diagnosa 2: Risiko cedera dengan faktor resiko kurangnya koordinasi otot


3.2.3 Definisi
Beresiko mengalami cidera sebagai akibat dari kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber-sumber adaptif dan pertahanan individu.
3.2.4 Faktor Resiko
a. Profil darah yang tidak normal (leucopenia, leukositisis)
b. Gangguan faktor pembekuan
c. Disfungsi biokimiawi
d. Penurunan kadar hemoglobin
e. Usia perkembangan
f. Disfungsi efektor
g. Penyakit imun atau autoimun
h. Disfungsi integratif
i. Malnutrisi
j. Fisik
k. Psikologis, sel sabit, talasemia, trombositopenia, hipoksia jaringan.
l. Biologis
m. Kimia
n. Fisik

Diagnosa 3: Hipertermia b.d proses infeksi


3.2.5 Definisi
Peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal
3.2.6 Batasan Karakteristik
a. Kulit merah, suhu tubuh meningkat diatas rentang normal.
b. Frekuensi napas meningkat

22
c. Kejang atau konvulsi
d. Kulit teraba hangat
e. Takikardia
f. Takipnea
3.2.7 Faktor Yang Berhubungan
a. Dehidrasi
b. Penyakit atau trauma
c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
d. Pakaian yang tidak tepat
e. Peningkatan laju metabolisme
f. Obat atau anastesia
g. Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)
h. Aktivitas yang berlebihan

Diagnosa 4: Kurang pengetahuan keluarga b.d keterbatasan informasi


3.2.8 Definisi
Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan dengan topik
tertentu
3.2.9 Batasan Karakteristik
a. Perilaku hiperbola
b. Ketidakakuratan mengikuti perintah
c. Ketidakakuratan melakukan tes
d. Perilaku tidak tepat
e. Pengungkapan masalah
3.2.10 Faktor Yang Berhubungan
a. Keterbatasan kognitif
b. Salah intepretasi informasi
c. Kurang pajanan
d. Kurang minat dalam belajar
e. Kurang dapat mengingat
f. Tidak familier dengan sumber informasi

23
3.3 PERENCANAAN
No. Diagnosa NOC NIC
1. PK: Kejang berulang b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis
hipertermi keperawatan 3x24 jam diharapkan yang mudah menyerap keringat.
klien tidak mengalami kejang selama Rasional: proses konveksi akan terhalang
berhubungan dengan hiperthermi. oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap
Kriteria hasil: keringat.
1. Tidak terjadi serangan kejang 2. Berikan kompres dingin
ulang. Rasional : perpindahan panas secara konduksi
2. Suhu 36,5-37,5 ºC 3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)
3. Nadi 110-120 x/menit Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan
4. Respirasi 30 -40 x/menit tubuh meningkat.
5. Kesadaran composmentis 4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Pemantauan yang teratur
menentukan tindakan yang akan dilakukan.
5. Batasi aktivitas selama anak panas
Rasional : aktivitas dapat meningkatkan
metabolisme dan meningkatkan panas.
6. Berikan antipiretik dan pengobatan sesuai
advis.
Rasional : Menurunkan panas pada pusat
hipotalamus dan sebagai propilaksis
2. Resiko aspirasi dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Memonitor Respirasi
faktor resiko akumulasi selama 1 x 24 jam klien tidak mengalami 1. Monitor rata-rata, ritme, kedalaman, dan usaha
sekret, muntah, penurunan aspirasi, dengan kriteria napas
kesadaran Respiratory status : ventilation (0403) 2. Catat gerakan dada apakah simetris, ada
- Respirasi dalam rentang normal penggunaan otot tambahan, dan retraksi
- Ritme dalam batas normal 3. Monitor crowing, suara ngorok
- Ekspansi dada simetris 4. Monitor pola napas: bradipneu, takipneu,
- Tidak ada sputum kusmaull, apnoe
- Tidak ada penggunaan otot-otot 5. Dengarkan suara napas: catat area yang
tambahan ventilasinya menurun/tidak ada dan catat adanya
24
- Tidak ada retraksi dada suara tambahan
- Tidak ditemukan dispneu 6. Kalau perlu suction dengan mendengarkan suara
- Dispneu saat aktivitas tidak ditemukan ronkhi atau krakles
- Napas pendek-pendek tidak ditemukan 7. Monitor peningkatan gelisah, cemas, air hunger
- Tidak ditemukan taktil fremitus 8. Monitor kemampuan klien untuk batuk efektif
- Tidak ditemukan suara napas tambahan 9. Catat karakteristik dan durasi batuk
Respiratory status : gas ekchange 10. Monitor secret di saluran napas
(0402) 11. Monitor adanya krepitasi
- Status mental dalam batas normal 12. Monitor hasil roentgen thorak
- Bernapas dengan mudah 13. Bebaskan jalan napas dengan chin lift atau jaw
- Gelisah tidak ditemukan thrust bila perlu
- Tidak ada sianosis 14. Resusitasi bila perlu
- Tidak ada somnolent 15. Berikan terapi pengobatan sesuai advis (oral,
injeksi, atau terapi inhalasi)
Membersihkan Jalan Nafas
1. Pastikan kebutuhan suctioning
2. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah
suctioning
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
suctioning
4. Meminta klien napas dalam sebelum suctioning
5. Berikan oksigen dengan kanul nasal untuk
memfasilitasi suctioning na-sotrakheal
6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan
tindakan
7. Anjurkan klien napas dalam dan istirahat setelah
kateter dikeluarkan dari nasotrakheal
8. Monitor status oksigen pasien
9. Hentikan suction apabila klien menunjukkan
bradikardi
Manajemen Jalan Nafas
1. Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau

25
jaw thrust bila perlu
2. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan jalan
napas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara napas, catat adanya suara nafas
tambahan
8. Kolaborasi pemberian bronkodilator bila perlu
9. Monitor respirasi dan status oksigen
Mencegah Aspirasi
1. Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk, gag
reflek dan kemampuan menelan.
2. Monitor status paru-paru
3. Pertahankan airway
4. Alat suction siap pakai, tempatkan disamping bed,
dan suction sebelum makan
5. Beri makanan dalam jumlah kecil
6. Pasang NGT bila perlu
7. Cek posisi NGT sebelum membe-rikan makan
8. Cek residu sebelum memberikan makan
9. Hindari pemberian makanan jika residu banyak
10. Libatkan keluarga selama pemberian makan
11. Potong makanan menjadi kecil-kecil
12. Mintakan obat dalam bentuk sirup
13. Puyer pil sebelum diberikan
14. Jaga posisi kepala klien elevasi 30-40˚ selama
dan setelah pemberian makan
15. Anjurkan / atur posisi klien semi fowler atau
fowler ketika makan
16. K/p per sonde atau drip feeding

26
17. Cek apakah makanan mudah di telan
Mengatur posisi
1. Miringkan kepala bila kejang untuk mencegah
aspirasi ludah atau muntahan.
3. Risiko cedera dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan
faktor resiko kurangnya keperawatan 3x24 jam diharapkan penggunaan tempat tidur yang rendah.
koordinasi otot tidak terjadi trauma fisik selama Rasional : meminimalkan injuri saat kejang
perawatan. 2. Tinggalah bersama klien selama fase kejang.
Kriteria Hasil: Rasional: meningkatkan keamanan klien.
1. Tidak terjadi trauma fisik selama 3. Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan
perawatan. bawah.
2. Mempertahankan tindakan yang Rasional: menurunkan resiko trauma pada
mengontrol aktivitas kejang. mulut.
3. Mengidentifikasi tindakan yang 4. Letakkan klien di tempat yang lembut.
harus diberikan ketika terjadi Rasional: membantu menurunkan resiko injuri
kejang. fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot
volunter berkurang.
5. Catat tipe kejang (lokasi, lama) dan frekuensi
kejang.
Rasional: membantu menurunkan lokasi area
cerebral yang terganggu.
6. Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
Rasional: mendeteksi secara dini keadaan
yang abnormal
4. Hipertermia b.d proses Setelah dilakukan tindakan Fever treatment
infeksi keperawatan 3x24 jam diharapkan 1. Kaji faktor-faktor terjadinya hiperthermi.
tidak terjadi peningkatan suhu tubuh. Rasional: Mengetahui penyebab terjadinya
Kriteria Hasil: hiperthermi karena penambahan
1. Suhu tubuh dalam rentang normal. pakaian/selimut dapat menghambat penurunan
2. Nadi dan RR dalam rentang normal. suhu tubuh.
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan 2. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam sekali.
tidak ada pusing. Rasional: Pemantauan tanda vital yang teratur

27
dapat menentukan perkembangan
keperawatan yang selanjutnya.
3. Pertahankan suhu tubuh normal
Rasional: Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh
tingkat aktivitas, suhu lingkungan,
kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas
atau dinginnya tubuh.
4. Ajarkan pada keluarga memberikan kompres
dingin pada kepala / ketiak.
Rasional: Proses konduksi/perpindahan panas
dengan suatu bahan perantara.
5. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan
terbuat dari kain katun.
Rasional: Proses hilangnya panas akan
terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat
menyerap keringat.
6. Atur sirkulasi udara ruangan.
Rasional: Penyediaan udara bersih.
7. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan
pasien banyak minum
Rasional: Kebutuhan cairan meningkat karena
penguapan tubuh meningkat.
8. Batasi aktivitas fisik
Rasional: Aktivitas meningkatkan
metabolisme dan meningkatkan panas.
5. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
keluarga b.d keterbatasan keperawatan 3x24 jam diharapkan Rasional: Mengetahui sejauh mana
informasi pengetahuan keluarga bertambah pengetahuan yang dimiliki keluarga dan
tentang penyakit bayi nya. kebenaran informasi yang didapat.
Kriteria hasil : 2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan
1. Keluarga tidak sering bertanya akibat kejang demam
tentang penyakit anaknya. Rasional: penjelasan tentang kondisi yang

28
2. Keluarga mampu diikutsertakan dialami dapat membantu menambah wawasan
dalam proses keperawatan. keluarga
3. Keluarga mentaati setiap proses 3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan
keperawatan. dilakukan.
Rasional: agar keluarga mengetahui tujuan
setiap tindakan perawatan
4. Berikan Health Education tentang cara
menolong anak kejang dan mencegah kejang
demam, antara lain :
a. Jangan panik saat kejang
b. Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
c. Kepala dimiringkan.
d. Pasang gagang sendok yang telah
dibungkus kain yang basah, lalu
dimasukkan ke mulut.
e. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar
segera minumkan obat tunggu sampai
keadaan tenang.
f. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan
kompres dingin dan beri banyak minum
g. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang
lama.
Rasional: sebagai upaya alih informasi dan
mendidik keluarga agar mandiri dalam
mengatasi masalah kesehatan.
5. Berikan Health Education agar selalu sedia
obat penurun panas, bila anak panas.
Rasional mencegah peningkatan suhu lebih
tinggi dan serangan kejang ulang.
6. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak
terkena penyakit infeksi dengan menghindari
orang atau teman yang menderita penyakit

29
menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan
suhu.
Rasional: sebagai upaya preventif serangan
ulang
7. Beritahukan keluarga jika anak akan
mendapatkan imunisasi agar memberitahukan
kepada petugas imunisasi bahwa anaknya
pernah menderita kejang demam.
Rasional: imunisasi pertusis memberikan
reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang
demam.

30
IV. DAFTAR PUSTAKA
Deniyanti, Retno Meia. (2011). Laporan Pendahuluan Stase Keperawatan Anak Kejang
Demam. Universitas Jendral Soedirman Purwokerto: Naskah Dipublikasikan
NANDA. (2017). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.
Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Prasetyo, Nanang Eko. (2015). Laporan Pendahuluan Kejang Demam Di Ruang
Resusitasi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Fakultas UNAIR Surabaya: Naskah
Dipublikasikan
Priambodho, Lutfi Agung. (2016). Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan
Dengan Diagnosa Kejang Demam Di Ruang Anggrek RS Ngundi Waluyo
Wlingi. Universitas Muhammadiyah Malang: Naskah Dipublikasikan
Surasno. (2015). Laporan Pendahuluan Kejang Demam. STIKES Harapan Bangsa
Purwokerto: Naskah Dipublikasikan

31

Anda mungkin juga menyukai