Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM

1. Definisi kejang demam


Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh ( suhu rectal di atas 38ºC) yang di sebabkan oleh suatu proses eksrakranium
(pusponegoro dkk, 2006 dalam Badrul, 2015). Kejang demam terjadi tanpa
adanya infeksi intracranial, gangguan metabolic, (Reese C, et al, 2012 dalam
Badrul, 2015)). Kejang dengan demam pada anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam sebelumya tidak termasuk kriteria ini (Wong V, et al, 2002 dalam
Badrul, 2015).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering di
jumpai pada ank terutama golongan anak di bawah 6 bulan sampai 4 tahun
(Sodidin, 2012 dalam Farida & Selviana, 2016). Kejang demam terjadi pada anak
usia 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak sering kejang, utamanya dibawah 6 bulan,
kemungkinan besar mengalami epilepsy ( Airlangga Universty Press (AUP) ,
2015 dalam Marwan, 2017). Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki
daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan
maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati,
2000:72-73 dalam Mail, 2017). Adakalanya demam pada anak disertai kejang
pada tubuhnya, inilah yang dimaksut dengan kejang demam atau dikenal juga
sebagai stuip atau stip, karena kejang dengan demam bukan terjadi karena infeksi
pada susunan saraf pusat. Namun naiknya suhu tubuh di atas 38 oC (Eveline &
Djamaludin, 2010)

2. Etiologi
Faktor penyebab pada kejang demam adalah demam, umur, genetic,
riwayat prenatal dan pernatal. Infeksi saluran napas atas merupakan penyakit yang
paling sering berhubungan dengan kejang demam. Gastroenteritis, terutaman yang
di sebabkan oleh shigella atau campylobacter, dan infeksi saluran kemih
merupakan penyebab lain yang lebih jarang (Moe,et al, 2007 dalam Badrul, 2015).

3. Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam sampai saat ini belum jelas. Di duga penyebab
kejang demam adalah respon otak imatur terhadap peningkatan suhu yang cepat.
Penyebab kejang di duga berhubungan dengan puncak suhu. Hipertermia
mengurangi mekanisme yang menghambat aksi potensial dan meningkatkan
transmisi sinaps eksitatorik. Pada penelitian binatang didapatkan peningkatan
eksitabilitas neuron otak selama proses maturasinya. Suhu yang sering
menimbulkan kejang demam adalah 38,5ºC (Basuki,2009 dalam Badrul, 2015).
Penelitian genitik pada kejang demam berhasil mengidentifikasi febrile seizures
susceptibility genes pada 2 lokus, yaitu FEB (kromosom 8q13 – q21) dan FEB
(kromosom 19p13.3), bersifat autosomal dominan dengan penetrasi tidak lengkap.
Hal ini menjelaskan mengapa kejang demam lebih sering terjadi dalam satu
keluarga. Memutasi genetic dari kanal ion natrium atau Na +channelopathy dan
geminobutiric acid A receptor merupakan gangguan genetic yang mendasari
terjadinya kejang demam (basuki,2009 dalam Badrul, 2015). Penelitian pada
hewan coba menunjukkan kemungkinan peran patogen endogen seperti
interleukin 1β, yang dengan meningkatkan eksitabilitas neuron, mungkin
menghubungkan demam dengan bangkitan kejang. Penelitian pendahuluan pada
anak mendukung hipotesa bahwa cytokine network teraktifasi dan diduga berperan
dalam pathogenesis kejang demam. Namun signifikasi klinis dan patologis
pengamatan ini masih belum jelas (Gatti,2002 dalam Badrul, 2015). Beberapa
factor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam antara lain:
a. Demam itu sendiri

b. Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak

c. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormaloleh infeksi

d. Perubahan keseimbangan atau elektroliat

e. Ensefalitas viral

f. Gabungan semua factor tersebut di atas.


4. Pathway Kejang Demam

Gambar 1. Patway Kejang Demam (Nurarif dan kusuma, 2015 dalam Diarini, 2017)
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada kejang demam menurut Badrul (2015)

a. Kejang demam berlangsung singkat, serangan kejang kronik atau tonik klonik
bilateral
b. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi

c. Perubahan keseimbangan atau elektrolit

d. Ensevalitas viral

e. Gabungan semua resiko tersebut diatas.

6. Klasifikasi Kejang Demam


a. Kejang Demam Sederhana (KDS)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan


umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umun tonik dan atau kronik,
tanpa ada gerakan fokal. Kejang tidak berualang dalam waktu 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80% dari seluruh kejadian kejang demam
(Pusponegoro, 2006 dalam Badrul, 2015)
b. Kejang Demam Kompleks (KDK)

Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri
kejang lama yang berlangsung >15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi atau
kejang umum di dahului kejang parsial atau berulang lebih dari 1 kali 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antaranya bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam (Pusponegoro, 2006 dalam Badrul,
2015).

7. Faktor Resiko Kejang Demam


Faktor resiko yang biasa mencetuskan kejang demam antar lain :

a. Faktor demam

Anak dengan lama demam kurang dari dua jam untuk terjadinya bangkitan
kejang demam 2,4 kali lebih besar di bandingkan anak dengan mengalami demam
lebih dari dua jam. Anak dengan demam lebih besar dari 39ºC memiliki resiko 10

kali lebih besar untuk menderita bangkitan kejang demam di bandingkan dengan
anak yang demam kurang 39ºC (Badrul, 2015).
b. Faktor usia

Anak dengan kejang dengan usia kurang dari dua tahun mempunyai resiko
bangkitan kejang demam 3,4 kali lebih besar di bandingkan yang yang lebih dari
dua tahun (Fuadi, 2010 dalam Badrul, 2015).
c. Faktor riwayat kejang dalam keluarga

Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai factor resiko
untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupum saudara
kandung (first degree relative).
1) Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang
demam maka resiko terjadi kejang demam hanya 9% (Badrul, 2015).
2) Apibila salah satu orang tuanya penderita dengan riwayat pernah menderita
kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi banhgkitan kejang demam
20% - 22% (Badrul, 2015).
3) Apabila kedua orang tua menderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka resiko untuk terjadinya bangkitan kejang
demam meningkat menjadi 59% - 64%. 30 kejang demam lebih banyak oleh
ibu di bandingkan ayah, 27% dibanding 7% (Fuadi, 2010 dalam Badrul,
2015).
4) Faktor Perinatal dan pascanatal

a) Kehamilan pada umur lebih 35 tahun

5) Berat lahir sangat rendah atau amat sangat rendah memudahkan timbulnya
bangkitan kejang demam (Fuadi,2010 dalam Badrul, 2015).
6) Faktor vaksinasi/ imunisasi

Resiko kejang demam dapat meningkat setelah beberapa imunisasi pada anak,
seperti imunisasi difteri, titanus, dan pertussis (DPT) atau measlea-mumps-
rubella (MMR). (Mayo Clinic, 2012 dalam Badrul, 2015
8. Penatalaksanaan

Tatalaksana Kejang

Tatalaksana yang dilakukan saat anak datang dalam keadaan kejang adalah:

a. Diazepam intravena 0.3 – 0.5 mg/kgBB bolus pelan 1 – 2 mg/menit (3 – 5


menit), dosis maksimal 20 mg.
b. Bila belum terpasang akses intravena atau dilakukan di Rumah, bisa
diberikan diazepam rektal 0.5 – 0.75 mg/kgBB atau 5 mg untuk BB < 10
kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg
c. Bila diazepam rektal diberikan oleh orang tua di Rumah, dengan 2 kali
pemberian diazepam rektal berselang 5 menit, kejang masih belum
berhenti, anjurkan ke Rumah Sakit dan diberikan diazepam intravena
d. Bila kejang belum berhenti setelah tatalaksana awal, berikan Fenitoin
intravena dosis awal 10 – 20 mg/kgBB/pemberian (kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit)
e. Bila kejang berhenti, fenitoin diberikan kembali 4 – 8 mg/kgBB/hari 12
jam setelah dosis awal.
f. Bila kejang belum berhenti, rawat ruang intensif untuk diberikan obat-
obatan anestesi.

Berobat Jalan

Tatalaksana rumatan diberikan sampai pada waktu 1 tahun periode bebas kejang,
dan diberhentikan bertahap (tappering off) dalam waktu 1 – 2 bulan pada:

a. Kejang demam kompleks, atau


b. Timbulnya kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang (contoh:
paresis Todd, hemiparesis, cerebral palsy, hidrosefalus dan retardasi
mental), atau
c. Kejang lebih dari 2x dalam 24 jam, atau kurang usia 12 bulan, atau lebih
sama dengan 4x kejadian kejang demam dalam 1 tahun (dipertimbangkan).

Berdasarkan analisis keuntungan dan kerugian, obat-obatan anti-konvulsan tidak


direkomendasikan pada pasien kejang demam sederhana yang terjadi satu kali
atau lebih.

Persiapan Rujukan Ke Rumah Sakit

Anjurkan orang tua atau pengasuh untuk lakukan hal-hal berikut bila sedang
terjadi kejang demam anak:

a. Jangan tahan anak dalam keadaan kejang, posisikan anak di tempat yang
aman (contoh: lantai)
b. Sebisa mungkin kepala dimiringkan ke samping agar bila anak muntah,
tidak terjadi aspirasi
c. Jangan diberikan apapun ke dalam mulutnya
d. Bila orang tua memiliki diazepam sediaan rektal, berikan dengan dosis 5
mg untuk < 10 kg, atau 10 mg untuk > 10 kg
e. Bila kejang tidak berhenti dalam 10 menit, segera bawa anak ke Unit
Gawat Darurat terdekat.

Medikamentosa

Obat anti-konvulsi yang digunakan saat kejang demam:

1. Diazepam

Dosis saat terjadi kejang:

a. 5 mg sediaan per rectal untuk berat badan < 10 kg


b. 10 mg sediaan per rectal untuk berat badan > 10 kg
c. 0.2 – 0.5 mg/kgBB/kali dapat diulang dalam 4 – 12 jam
IDAI menyarankan pemberian diazepam oral dengan dosis 0.3 mg/kgBB atau
diazepam rektal dengan 0.5 mg/kgBB pada saat demam karena dapat menurunkan
risiko terjadinya kejang. Bekerja sebagai neurotransmitter inhibitor dengan
meningkatkan aktivitas GABA, menekan pada semua tingkatan sistem saraf pusat.

2. Fenitoin

Dosis awal fenitoin 10 – 20 mg/kgBB/pemberian (kecepatan 1 mg/kgBB/menit


atau kurang dari 50 mg/menit).

Dosis rumatan: 4 – 8 mg/kgBB/hari 12 jam setelah dosis awal.

Fenitoin bekerja dengan menurunkan aktivitas neuron dengan mengganggu kerja


dari kanal natrium. Tidak boleh diberikan pada cairan yang mengandung
dekstrosa karena risiko presipitasi. Cairan pengencer yang disarankan adalah
NaCl 0.9%.

3. Fenobarbital

Dosis fenobarbital adalah 15 – 20 mg/kgBB/hari IV dengan pemberian yang tidak


melebihi kecepatan 2 mg/kgBB/menit, dan tidak melebihi 1000 mg/dosis. Dapat
diulangi dengan dosis 5 – 10 mg/kgBB bolus setelah 15 – 30 menit bila
diperlukan. Dosis maksimal kumulatif adalah 40 mg/kgBB.

Beberapa dokter spesialis anak mempertimbangkan pemberian fenobarbital ketika


golongan barbiturat (diazepam) tidak memberikan efek klinis. Tidak ditemukan
superioritas antara fenobarbital dengan fenitoin.

4. Antikonvulsan Rumatan

Pemberian obat anti-konvulsan yang terus menerus seperti fenobarbital dan asam
valproat serta terapi intermiten dengan diazepam ditemukan efektif untuk
mengurangi kejadian kejang demam. Pertimbangan efek samping dari obat-obatan
ini dianggap lebih berbahaya bila dibandingkan dengan risiko yang terjadi akibat
kejang demam sederhana.

Obat rumatan disarankan oleh IDAI untuk kejang demam yang berpotensi
menjadi epilepsi yaitu kejang demam kompleks. Obat anti-konvulsi rumatan yang
dapat diberikan:

a. Asam Valproat. Dosis: 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, namun


memiliki risiko gangguan fungsi hati terutama pada usia di bawah 2 tahun
b. Fenobarbital. Dosis: 3 – 4 mg/kgBB/hari dalam 1 – 2 dosis. Penggunaan
setiap hari meningkatkan risiko terjadinya kesulitan belajar dan gangguan
perilaku.

5. Antipiretik

Pemberian obat anti-piretik secara rutin tidak dianjurkan karena hasilnya tidak
berbeda bermakna dengan pemberiannya hanya pada saat kejadian demam dalam
menurunkan kejadian kejang demam berulang. Obat anti-piretik yang dianjurkan
IDAI adalah:

a. Paracetamol 10 – 15 mg/kgBB/kali, sampai 4 kali sehari


b. Ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari

Terapi Suportif

Tidak ada terapi suportif yang direkomendasikan untuk kejang demam.

Zink

Zink diduga berperan dalam patogenesis kejang demam dan pemberiannya


sebagai terapi suportif masih dalam pro dan kontra. Studi cochrane menyimpulkan
bahwa pemberian zink tidak memberikan keuntungan.

Anda mungkin juga menyukai