Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen
pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda
dan gejala kelaian susunan saraf pusat pada anak. pada anak infeksi sebenarnya dapat
disebabkan oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status
imun hospes dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh
lebih sering daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur
dan parasit. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar:
yang utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2,7
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meninges
atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang
terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi
dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis
(peningkatan jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada
durasi gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara
anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis
(agak jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai peradangan
pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan CSS
subarachnoid. Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat mengakibatkan kelemahan
(debility) seumur hidup atau kematian. Penyakit ini fatal sebelum era antimikroba, tapi
dengan munculnya terapi antimikroba, tingkat kematian secara keseluruhan dari meningitis
bakteri mengalami penurunan. Meskipun demikian, tetap sangat tinggi, mencapai sekitar
25%.  Munculnya strain bakteri resisten telah mendorong perubahan dalam protokol
antibiotik di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat.  Para agen infektif spesifik yang
terlibat pada meningitis bakteri bervariasi di antara berbagai kelompok umur pasien, dan
peradangan bisa berevolusi menjadi kondisi seperti ventriculitis, empiema, cerebritis.2
Epidemiologi meningitis bervariasi antar wilayah, dengan jumlah
kasus meningitis <2 kasus per 100.000 di benua Asia. 4 Angka mortalitas

Universitas Tarumanagara 1
meningitis di dunia masih mencapai 8-15% meskipun sudah terdiagnosis
dan dilakukan tatalaksana. Pada kasus meningitis yang tidak
ditatalaksana, angka kematian dapat meningkat sampai 50-80%.5,6

Menurut WHO, belum ada estimasi akurat mengenai prevalensi


kejadian dan mortalitas meningitis di dunia. Didapatkan data bahwa
terdapat negara-negara endemik tinggi meningitis, yaitu negara Afrika
Sub Sahara dengan >10 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya.
Terdapat 2-10 kasus meningitis per 100.000 penduduk setiap tahunnya
pada beberapa negara Eropa, Amerika Selatan, dan Australia. Di Asia,
diperkirakan terjadi <2 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. 5
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2011, didapatkan jumlah
kasus meningitis terjadi pada laki-laki sebanyak 12.010 pasien dan wanita
sebanyak 7.371 pasien dengan jumlah kematian sebesar 1.025. 4

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami perjalanan meningitis, tanda dan gejala,
cara menegakkan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan pencegahan terjadi meningitis
serta untuk menambah pengetahuan penulis.

Universitas Tarumanagara 2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid dan
piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa
etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit
dalam likuor cerebrospinal (LCS).3
2.2 Anatomi
2.2.1 Lapisan selaput otak/ meningen
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea
dan piamater. 4
1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu
lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi
otak umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan
ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan
dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk
periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri;
lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal darinya membentang
jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut
falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli
yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli
terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior.
Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus
dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii,
tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam
dalam dua lamina dura.

Universitas Tarumanagara 3
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges 16

2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman
padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-sinus
venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea). Sebagian
besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis.
Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang
lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi
ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara
relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut
menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut
cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna
ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid
umum.

Universitas Tarumanagara 4
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di
antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan
rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral dari pons
mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang
lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di
ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna
interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis,
dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di
seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus
callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan
bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk
pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari
ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

2.2.2LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)


1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung
dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion, membawa
keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan
beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume
cairan cerebrospinal).
2. Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rata-
ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.

Universitas Tarumanagara 5
Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal 16
LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor cerebrospinalis
internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara keduanya melalui dua
apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan apetura medial dari ventrikel
keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa, volume cairan cerebrospinal total dalam
seluruh rongga secara normal ± 150 ml; bagian internal (ventricular) dari system menjadi
kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan
direabsorpsi setiap hari.
3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air; perubahan
yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan meningkat bila
terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor), volume darah (pada
perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus) karena tengkorak
dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak dapat menyesuaikan diri
terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.
4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke
dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus
quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui
foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system
ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki
rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke dalam
rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-
pembuluh kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot
arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas

Universitas Tarumanagara 6
konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk
mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan cerebrospinal yang
terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang
seimbang.

Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis 17


2.3. Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95
% terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko
tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis
kelamin laki-laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan.7
Meningitis Bakterial
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-pneumococcal,
insidens dari meningitis bakteri ± 6000 kasus per tahun; dan sekitar setengahnya adalah
pasien anak (≤18 tahun). N. meningitidis menyebabkan 4 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23
bulan). Sedangkan S.pneumoniae menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23
bulan). Angka ini menurun setelah pemberian rutin dari vaksin conjugate-pneumoccal pada
anak-anak. Pengenalan dari vaksin meningococcal baru-baru ini di Amerika Serikat
diharapkan dapat mengurangi insidens meningitis bacterial di kemudian hari. Insidens dari

Universitas Tarumanagara 7
meningitis bacterial pada neonatus sekitar 0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5
kasus per 1000 bayi lahir kurang bulan (premature). Hampir 30% bayi baru lahir dengan
klinis sepsis, berhubungan dengan adanya meningitis bakterial. Sejak adanya pemberian
antibiotik inisiasi intrapartum tahun 1996, terjadi penurunan insidens nasional dari onset awal
infeksi GBS (Group B Streptococcus) dari hampir 1,8 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada
tahun 1990 menjadi 0,32 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 2003.1,11
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia dan jenis
pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi dan
meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang menyebabkan morbiditas
pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun
pada pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada
kulit hitam. Bayi laki – laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan
lebih rentan terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin.11
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis
pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada
bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada
neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir
40% diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit
neurologis.9-11
Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh
kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih
tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk.
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas
tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi
dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian jarang
dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6
bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan

Universitas Tarumanagara 8
meningitis tuberkulosis yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka
kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.6,9,10
Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang secara resmi dilaporkan berjumlah
lebih dari 10.000 kasus, namun pada kenyataannya dapat mencapai 75.000 kasus.
Kekurangan dalam pelaporan data ini disebabkan oleh gejala klinis yang tidak khas dan
inabilitas beberapa virus untuk tumbuh dalam kultur. Menurut data yang dilaporkan Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), pasien rawat inap dengan meningitis viral sekitar
25.000 – 50.000 tiap tahunnya.12
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk enterovirus, mumps virus
mumps (gondongan), virus measles (campak), virus varicella zoster (VZV) dan HIV. Gejala
meningitis dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps menyebabkan 10-20%
meningitis dan meningoencephalitis di bagian negara dimana akses vaksin sulit. Insidens 20
kali lebih besar pada tahun pertama kehidupan. Pada neonatus lebih dari 7 hari, meningitis
aseptik sering disebabkan oleh enterovirus. Vaksinasi mengurnagi insidens dari meningitis
oleh virus mumps, polio dan measles. Virus mumps dan measles sering menyebabkan
meningitis pada anak usia sekolah sampai kuliah. Enterovirus 1,3 – 1,5 kali lebih sering lebih
sering menyebabkan meningitis pada laki-laki dibanding perempuan , sedangkan virus
mumps 3 kali lebih sering menyerang laki-laki dibanding perempuan. Menurut WHO tahun
1997, meningitis enteroviral dengan sepsis merupakan penyebab tersering ke-5 kematian
pada neonatus. Diluar periode neonatal mortalitas kurang dari 1%, begitu juga dengan
morbiditasnya.12
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak daripada orang dewasa. Di negeri
tropis dan subtropis tingginya frekuensi meningitis virus tidak bergantung kepada musim
seperti pada negeri beriklim dingin yang angka kejadian tertingginya dijumpai pada musim
panas dan musim rontok.9
Meningitis Jamur
Meningitis jamur jarang ditemukan, namun dapat mengancam kehidupan. Walaupun
semua orang dapat terkena meningitis jamur, namun resiko tinggi terdapat pada orang yang
menderita AIDS, leukemia, atau bentuk penyakit imunodefisiensi ( sistem imun tidak
mempunyai respon yang adekuat terhadap infeksi) lainnya dan orang dengan imunosupresi
(malfungsi dari sistem imun sebagai akibat obat-obatan).5
Penyebab tersering dari meningitis jamur pada orang dengan defisiensi imun seperti
HIV adalah Cryptococcus. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab tersering
Universitas Tarumanagara 9
meningitis di Afrika. Jamur lain yang dapat menyebabkan thrush, Candida, dapat
menyebabkan meningitis pada beberapa kasus, terutama pada bayi prematur dengan berat
lahir sangat rendah. (very low birth weight).5
2.4 Etiologi
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus,
parasit dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor serebrospinal.
Meningitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS,
keganasan, diabetes mellitus, cedera fisik atau obat – obatan tertentu yang dapat melemahkan
sistem imun (imunosupresif).5
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun parasit :
 Virus :
Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara alami tanpa
pengobatan spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika serikat terutama selama musim panas
disebabkan oleh enterovirus; walaupun hanya beberapa kasus saja yang berkembang menjadi
meningitis. Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :

Virus Mumps

Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster,
Measles, and Influenza

Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)

Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis virus),
disebarkan melalui tikus.5
 Bakteri :
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa muda
di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitidis.  Meningitis disebabkan oleh
bakteri ini dikenal sebagai penyakit meningokokus.
Bakteri penyebab meningitis juga bervariasi menurut kelompok umur.5 Selama usia bulan
pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal merefleksikan flora ibu
atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan
Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang dapat karena
Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H.
influenzae tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit yang

Universitas Tarumanagara 10
disebabkan oleh H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali terjadi
sebelum usia 2 tahun.
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan
Mycobacterium tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis. Citrobacter diversus
merupakan penyebab abses otak yang penting.
Risk and/or Predisposing Factor Bacterial Pathogen
Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides
Age 3 months to 18 years N meningitidis
S pneumoniae
H influenza
Age 18-50 years S pneumoniae
N meningitidis
H influenza
Age older than 50 years S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation, including Staphylococcus aureus
neurosurgery Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
Tabel 2. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi 2
 Jamur:

Universitas Tarumanagara 11
Jamur yang menginfeksi manusia terdiri dari 2 kelompok yaitu, jamur patogenik dan
opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa jenis spesies yang dapat menginfeksi
manusia normal setelah inhalasi atau inflantasi spora. Secara alamiah, manusia dengan
penyakit kronis atau keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang infeksi jamur
dibandingkan manusia normal. Jamur patogenik menyebabkan histiplasmosis, blastomycosis,
coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok kedua adalah kelompok jamur
apportunistik. Kelompok ini tidak menginfeksi orang normal. Penyakit yang termasuk disini
adalah aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis (phycomycosis) dan
nocardiosis.
Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan meningitis akut,
subakut dan kronik. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif terutama anak dengan
leukemia dan asidosis. Dapat juga pada anak yang imunokompeten. Cryptococcus
neoformans dan Coccidioides immitis adalah penyebab utama meningitis jamur pada anak
imunokompeten. Candida sering pada anak dengan imunosupresi dengan penggunaan
antibiotik multiple, penyakit yang melemahkan, resipien transplant dan neonatus kritis yang
menggunakan kateter vaskular dalam waktu lama. Berikut beberapa patogen jamur :5
Common Fungal Pathogens
Yeast forms
Candica Albicans
Crytococcus neoformans
Dimorphic Forms
Blastomyces dermatidis
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum
Mold forms
Aspergillus
Tabel 3. Patogen Jamur yang Sering

Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :3


a. 0 – 3 bulan :
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk
bakteri, virus, jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab yang tersering
seperti Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain E.Coli ( Klebsiella,

Universitas Tarumanagara 12
Serratia spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza,
dan bakteri anaerob. Virus yang sering seperti Herpes simplekx virus (HSV),
enterovirus dan Cytomegalovirus.
b.3 bulan – 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat, penyakit
yang disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri penyebab tersering
meningitis pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam S.Pneumoniae.
H. influenza tipe B masih dapat dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada
anak kurang dari 2 tahun yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak
lengkap. Meningitis oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi dan jika
didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang mendukung
diagnosis Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini seperti enterovirus, HSV,
Human Herpesvirus-6 (HHV-6).
c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan
meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini. Meningitis virus
pada grup ini tersering disebabkan oleh enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus
lain yang lebih jarang seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis,
HHV-6, virus rabies, dan virus influenza A dan B.
Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat disebabkan
oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain seperti
Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

Universitas Tarumanagara 13
Tabel 4. Etiologi Meningitis pada Anak
2.5 Patogenesis
Meningitis Bakterial 1
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam
cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
 Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
 Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

Universitas Tarumanagara 14
Gambar 3. Patogenesis Meningitis Bakterial
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta.
Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap
sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan
aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Universitas Tarumanagara 15
Gambar 4. Patogenesis Meningitis Bakterial
Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui
semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-
beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih
dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa
faktor, yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang.
Meningitis Tuberkulosis 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer,
biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak
langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan
tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah
ke dalam rongga arachnoi. Kadang-kadang dadpat juga terjadi per-kontinuitatum dari
mastoiditis atau spondilitis.
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningo-
ensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak
(brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa
dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta
kelainan saraf pusat. Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis
yang menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian
mengakibatkan perlunakan otak.
Universitas Tarumanagara 16
Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh
virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara:1
 Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
 Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
 Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali
masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.
 Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender dan
menyebar melalui system saraf.
Berikut contoh cara transmisi virus :12
 Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui rute saluran
respirasi
 Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk
 Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak dengan tikus dan sejenisnya
ataupun bahan eksresinya.
Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan enterovirus;
pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV; atau dengan penyebaran
hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain. Ditempat tersebut, mulai terjadi
multiplikasi dan masuk alirann darah menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada stadium ini
(fase ekstraneural) ada sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi multiplikasi virus lebih
lanjut pada organ yang ditempati, penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi
SSP disertai dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan
penyebaran langsung sepanjang akson saraf.
Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi langsung dan penghancuran jaringan
saraf oleh pembelahan virus secara aktif dan atau (2) oleh reaksi hospes terhadap antigen
virus. Kebanyakan penghancuran saraf mungkin karena invasi virus secara langsung,
sedangkan respon jaringan hospes yang hebat mengakibatkan demielinasi dan penghancuran
vaskuler serta perivaskuler dan (3) oleh reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat
laten.1,7

Meningitis Jamur

Universitas Tarumanagara 17
Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari lingkungan sekitar. Pada saat
dalam tubuh host Cryptococcus membentuk kapsul polisakarida yang besar yang resisten
terhadap fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh konsentrasi fisiologis karbondioksida
dalam paru. Keadaan ini meyebabkan jamur ini beradaptasi sangat baik dalam host mamalia.
Reaksi inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks primer paru kelenjar limfe (primary lung
lymp node complex) yang biasanya membatasi penyebaran organisme.
Kebanyakan infeksi paru ini tanpa gejala, tetapi secara klinis dapat terjadi seperti
gejala pneumonia pada infeksi pertama dengan gejala yang bervariasi beratnya. Keadaan ini
biasanya membaik perlahan dalam beberapa minggu atau bulan dengan atau tanpa
pengobatan. Pada pasien lainnya dapat terbentuk lesi pulmonar fokal atau nodular.
Cryptococcus dapat dorman dalam paru atau limfenodus sampai pertahanan host melemah.
Cryptococcus neofarmans dapat menyebar dari paru dan limfenodus torakal ke aliran darah
terutama pada host yang sistem kekebalannya terganggu. Keadaan ini dapat terjadi selama
infeksi primer atau selama masa reaktivasi bertahun-tahun kemudian. Jika terjadi infeksi
jauh, maka tempat yang paling sering terkena adalah susunan saraf pusat. Keadaan dimana
predileksi infeksi ini terutama pada ruang subarakhnoid, belum dapat diterangkan.

2.6 Patofisiologi

Meningitis Bakterial 1,2

Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis bakterial, yaitu
suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan
menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan
perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah
ada bakteriemia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam
susunan saraf pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat
yang lemah, yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera
setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri
dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis
dalam cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan
dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid) yang

Universitas Tarumanagara 18
menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak
(meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga
timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam
teikoat).

Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1

Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator inflamasi seperti
Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam
proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial,
yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bacterial
dapat juga terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan
oleh karena proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran
vasopressin endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan
SIADH ini menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun

Universitas Tarumanagara 19
osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu
mengantuk, iritabel dan kejang.

Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan
terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan
herniasi dari gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini
secara klinis menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran
ke kaudal dari batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika
tidak diobati, perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat
dan progresif menyebabkan henti nafas dan jantung.

Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga
disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan adanya penurunan
autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat lain adalah penurunan
tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah
sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan
autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan
kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan
gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar
asam laktat dan penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan
metabolisme anaerob, keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan
berakibat timbulnya hipoglikorakia.

Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia sistemik dan
demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah peradangan pada
selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis bakteri. Peradangan
selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks
kontraksi otot – otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan
Brudzinksi serta kaku kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput
otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala
tersebut dapat juga disebabkan karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai
dnegan distorsi dari nerve roots, makan timbul hiperestasi dan fotofobia.

Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan selanjutnya

Universitas Tarumanagara 20
merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga
mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel
polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam
ruang subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak
tempat CSS diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna
basalis dan sekitar serebelum.

Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit
bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit
yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam
minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan dalam proses organisasi
eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan
– perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi
maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga
mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus
dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan
tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.

Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari
pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang
menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan
penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebakan manifestasi sisa
yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya
gangguan pembuluh darah otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul
sebelum dirawat sering menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.

Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.
Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman
akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan fungsi motorik
berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II;
selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental

Universitas Tarumanagara 21
dan gangguan tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena
proses infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di
duramater atau arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan
infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang
subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi
neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.

Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid, sehingga


timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelain saraf
kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan
karena infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi
neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri
akibat edema dan peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini
merupakan petunjuk prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi
mental.
2.7Manifestasi Klinis
Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam, sakit
kepala dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain, seperti :
 Mual
 Muntah
 Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
 Perubahan atau penurunan kesadaran
Meningitis Bakterial
Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis bakterial. Tanda
dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga sering didapatkan pada anak-
anak baik yang terkena meningitis ataupun tidak. Tanda dan gambaran klinis sangat
bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah sebelum diagnosis dan respon tubuh
terhadap infeksi.
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis, gambaran klinis
sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi pada ½
dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntah-
muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi
tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan
sepsis pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis.

Universitas Tarumanagara 22
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.
Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang berulang,
kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas
adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda Kernig dan Brudzinsky sulit di
evaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi
susuan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang tidak dapat
diterangkan penyebabnya.
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran klasik.
Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadang-
kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran
seperti delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah
kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh
darah meningen, sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal
disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis.
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga karena
terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV adalah yang
paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis kortikal atau
vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis serebral
menyebabkan kejang dan hemiparesis.1
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.
a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
Universitas Tarumanagara 23
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala ransangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 6. Tanda Brudzinski

Gambar 7. Tanda Kernig

Universitas Tarumanagara 24
Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa

Gambar 10. Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus

Universitas Tarumanagara 25
Meningitis Tuberkulosis 9,10
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.
1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Malaise, anoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis.

2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas
menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai
menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan
umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial
dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak
meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali
Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.
Meningitis Viral 5,9
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh alami tanpa
pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-kadang
didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah
panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang dapat
timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan
Universitas Tarumanagara 26
punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah
terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang
didapati. Bila penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan
panas yang akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk,
tanda Kernig dan Brudzinski kadang-kadang positif.
Variasi lain dari infeksi viral dapat membantu diagnosis, seperti :
 Gastroenteritis, rash, faringitis dan pleurodynia pada infeksi enterovirus
 Manifestasi kulit, seperti erupsi zoster dari VZV, makulopapular rash dari campak
dan enterovirus, erupsi vesikular dari herpes simpleks dan herpangina dari infeksi
coxsackie virus A
 Faringitis, limfadenopati dan splenomegali mengarah ke infeksi EBV
 Immunodefisiensi dan pneumonia, mengarah ke infeksi adenovirus, CMV atau HIV
 Parotitis dan orchitis ke arah virus Mumps
Meningitis Jamur
Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya; namun, gejalanya
sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik meningitis seperti sakit kepala,
demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan meningitis jamur juga mengalami fotofobia,
perubahan status mental, halusinasi dan perubahan personaliti.5
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pungsi Lumbal 1
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering dilakukan
pada segala umur, dan relatif aman
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis

Universitas Tarumanagara 27
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya pada pasien
dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada meningitis
kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal dikeluarkan
perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi lumbal
berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn
intracranial hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar tempat
pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak ruang
dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum diobati.
Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan
kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.
Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum pungsi
tidak kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena penusukan
tidak tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di ruang ekstradural.
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal
Prosedur
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik
ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke arah dahi), dan sumbu
kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan
garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina
iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4
dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.

Universitas Tarumanagara 28
Gambar 11. Lumbal Pungsi

3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan
larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup dengan duk steril di
mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai
sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama
1 menit.
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum
perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka
ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoid berbeda
pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan
meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di
bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang
lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk
pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester
Meningitis bakterial 10
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi :
 Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++).
Universitas Tarumanagara 29
 Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,
protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat
normal dengan predominan limfosit.
 Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak
spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali
identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan
berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya
herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga
ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.
Meningitis Tuberkulosis 10
- Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah.
Leukosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan
hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak
adekuat.
- Pungsi lumbal :
 Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
 Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3.
Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear.
 Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35
mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
 Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan.
 Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan
dapat memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.

Universitas Tarumanagara 30
Meningitis Viral
- Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
- Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda neurologis
abnormal untuk menyingkirkanlesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum
pungsi lumbal (LP). Kultur LCSD tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau
piogendari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis
bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal
berikut ini merupakan karakteristik LCS yangdigunakan untuk mendukung diagnosis
meningitis viral:
 Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000x 109/L darah
telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan
aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung
sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pola LCS klasik meningitisviral.
Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana
mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan sel;
hal ini merupakan bukan merupakan aturan yang absolute bagaimanapun.
 Protein: Kadar protein LCS biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.
- Studi Pencitraan : Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat
termasuk CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan
gadolinium. CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi
intrakranial. Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan
sepanjang mening dan untuk menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema
subdural, atau lesi lain. Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan. MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada
memvisualisasikan patologi intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering
mempengaruhi basal frontal dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral
yang difus.
- Tes Lain : Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam24-48 jam
harus dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab meningitis. Dalam kasus
ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan visualisasi yang adekuat
dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan. EEG dapat dilakukan jika

Universitas Tarumanagara 31
ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien yang terganggu,
Periodic lateralized epileptiform discharge (PLEDs) seringkali terlihat pada
ensefalitis herpetic.
- Prosedur : Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam
mendiagnosis meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada indikasi individu
dan keparahan penyakit, termasuk monitoring tekanan intrakranial, biopsi otak, dan
drainase ventricular atau shunting.
Meningitis Jamur 14
Selain gejala klinis, sangat penting dilakukan pemeriksaan radiologis paru-paru dan organ
lainnya, skin test,antibodi serum dan pemeriksaan cairan serebrospinal. Isolasi kuman dari
lesi dan cairan serebrospinal merupakan pembantu diagnostik yang penting. Pada meningitis,
perlu dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI. Perubahan cairan serebrospinal pada
meningitis jamur seperti pada meningitis tuberkulosis. Tekanan meningikat bervariasi,
pleiositosis moderat, biasanya kurang adri 1000 sel/mm3, dengan predominan limfosit.
Kecuali pada kasus yang akut, sel dapat meningkat lebih dari 1000/mm3 dengan predominan
polimorfonuklear. Glukosa bisanya agak menurun (subnormal) dan protein meningkat
kadang-kadang sampai pada kadar yang sangat tinggi.

Tabel. 5. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan agen


etiologinya 2
2.9 Diagnosis
Meningitis Bakterial

Universitas Tarumanagara 32
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan
tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya
tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis
TBC dan meningitis aseptic. Hamper semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti
meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi
lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi
lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium
dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan
positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar
terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini didapatkan jumlah sel hanya
ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh
karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk
menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium
penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun
tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat ditemukan
kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman yang dapat
dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan binatang. Tidak
ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi terhadap diagnosis. Pada
pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to
the left). Umumnya terdapat anemia megaloblastik.9
Meningitis Tuberkulosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis dalam
CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto roentgen thorak
dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji
tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi (false-negative),
terutama dalam stadium terminalis.9

Meningitis Viral

Universitas Tarumanagara 33
Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya,
pemeriksaan serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus yang dapat
menyebabkan penyakit ini.
Diagnosis biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan CSS dan
perjalanan penyakit yang self-limited. Biakan CSS terhadap kemungkinan penyebab
mikroorganisme lain harus dikerjakan (fungus, leptospira, mikobakterium) agar kemungkinan
mikroorganisme penyebab lain dapat disingkirkan.
Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, foto Roentgen thorak,
mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan kemungkinan
meningitis tuberkulosa.
Meningitis Jamur 14
Diagnosis spesifik dapat dibuat dari hapusan cairan serebrospinal dan dari kultur dan
juga dengan menemukan antigen spesifik dengan immunodifusion latex particle aggregation
atau perbandingan antigen recognition test. Pemeriksaan cairan serebrospinal harus termasuk
pemeriksaan tubercle basilli dan leukosit abnormal oleh karena banyak terjadi infeksi
bersama jamur dengan tuberkulosa dan leukemia atau limfoma
2.10 Diagnosis Banding 1
 Abses otak
 Encephalitis
 Herpes Simplex
 Herpes Simplex Encephalitis
 Neoplasma
 Kejang demam
 Subarachnoid Hemorrhage
2.11 Komplikasi 1-2
Komplikasi dini :
 Syok septik, termasuk DIC
 Koma
 Kejang (30-40% pada anak)
 Edema serebri
 Septic arthritis
 Efusi pericardial
 Anemia hemolitik

Universitas Tarumanagara 34
Komplikasi lanjut :
 Gangguan pendengaran samapi tuli
 Disfungsi saraf kranial
 Kejang multipel
 Paralisis fokal
 Efusi subdural
 Hidrocephalus
 Defisit intelektual
 Ataksia
 Buta
 Waterhouse-Friderichsen syndrome
 Gangren periferal
Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari 5 pasien.
Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien meninggal akibat
dari iskemik yang difus pada susunan saraf pusat atau dari komplikasi sistemik.
Walaupun dengan terapi antibiotik yang efektif, komplikasi neurologis tetap terjadi
pada 30% pasien.
Edema Serebral
Beberapa derajat dari edema serebral sering terjadi pada meningitis bakterial.
Komplikasi ini merupakan penyebab penting kematian.
Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri
Kelumpuhan saraf kranial dan efek dari terganggunya aliran darah otak, seperti infark,
merupakan penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus tertentu, pungsi
lumbal atau insersi drain ventrikular diperlukan untuk mengurangi efek dari peningkatan ini.
Pada infark serebri, sel endotelial bengkak, proliferasi ke dalam lumen pembuluh
darah dan sel yang terinflamasi menginfiltrasi dinding pembuluh darah. Nekrosis fokal pada
dinding arteri dan vena memicu terjadinya trombosis. Trombosis vena lebih sering terjadi
dibandingakan arteri.
Kerusakan parenkim otak
Kerusakan parenkim otak dapat menyebabkan :
 Defisit sensoris dan motoris
 Serebral palsi
 Learning disabilities
Universitas Tarumanagara 35
 Retardasi mental
 Buta kortikal
 Kejang
Serebritis
Inflamasi biasanya meluas sepanjang ruang perivaskuler sampai ke parenkim otak.
Biasanya, seribritis merupakan akibat dari penyebaran infeksi langsung, baik akibat infeksi
otorhinologik ataupun meningitis atau melalui penyebaran hematogen dari fokus infeksi
ekstrakranial.
Ventrikulitis
Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder penyebaran mikroorganisem dari
ruang subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi kuman yang bergerak. Komplikasi
sering terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan meningitis
purulenta. Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi
stempat (terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan intracranial yang cepat dan
dapat menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotic parenteral
secara massif, irigasi dan drainase secara periodic.
Efusi Subdural
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah
72 jam pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetepa
membonjol, gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul
kelainan neurologis fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi
kepala atau pencitraan. Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusen
asimetri, pada bayi berumur kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada
bayi berumur 6 bulan atau lebih daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural
mempunyai 4 kemungkinan: a. kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap atau
bertambah banyak; c. membentuk membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema.
Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural
apabila terdapat penenkanan jaringan otak, demam menetap, kesadaran menurun tidak
membaik, peningkatan tekanan intracranial menetap, dan empiema. Dilakukan tap subdural
tiap 2 hari (selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke
Bagian Bedah Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2 minggu tidak kering akan
terbentuk membrane yang berasal dari fibrin dan dapat menghalangi pertumbuhan otak.
Membrane akan membentuk neovaskular yang ujungnya menempel di korteks serebri dan
dapat merupakan focus iritatif akan timbulnya epilepsy di kemudian hari. Pengeluar cairan
Universitas Tarumanagara 36
satu kali tap maksimal 30ml pada kedua sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna
xantokrom, setelah tap beberapa kali menjadi kuning muda.
Gangguan cairan dan elektrolit
Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema),
oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi ADH
berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa elektrolit
serum, mengukur volume dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan
dengan restriksi pemberian cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat
diberikan sedikit natrium.
Tuli
Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli terutama
apabila disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh karena infeksi telinga
tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli sensorineural lebih
sering disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII. Gangguan
pendengaran dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya
penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang berat menetap.
Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan pendengaran
apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis 0,6mg/kgBB/hari intravena
diabgi 4 dosis selama 4 hari. Komplikasi lain berupa hidrosefalus, kejang, hemiparesis,
tetraparesis, dan retardasi mental. Pada hidrosefalus dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf
untung pemasangan pirau ventrikulo-peritoneal.
2.12 Tata Laksana
Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang
diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian klinis menunjukkan
pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang
dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan
kimia namun hasil kultur bisa negatif.8
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis rentan
untuk mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga berkontribusi
terhadap timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit. 8
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada

Universitas Tarumanagara 37
bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan
stabilitas metabolisme.8
MRI dengan gadoteridol, ultrasonografi, atau CT scan dengan kontras yang
dibutuhkan untuk menggambarkan kelainan intrakranial.  Pediatric Academic Societies
merekomendasikan bahwa MRI dengan kontras harus dilakukan untuk neonatus dengan
komplikasi meningitis 7-10 hari setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa tidak
ada penyulit yang terjadi. Semua bayi yang baru lahir sembuh dari meningitis harus dinilai
auditory evoked potential untuk skrining adanya ketulian.8
Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri akut melibatkan kedua terapi
antimikroba yang tepat dan terapi suportif. Semua pasien harus evaluasi audiologic setelah
selesai terapi.8
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa
tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume
cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk
menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan
perfusi jaringan yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting, mengurangi
hidrasi pasien dan risiko penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga.
Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah
dan sirkulasi yang memadai.8
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang
dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian
fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis
rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang
belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau
1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila
tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan
selanjutnya dosis maintenance.1
Terapi antibiotik
Neonatus
Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien dengan
meningitis bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal atau inisial terdiri dari
ampisilin dan kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan cefotaxime juga). Jika S pneumoniae
Universitas Tarumanagara 38
dicurigai, vankomisin harus ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada
bayi prematur harus mencakup agen antistaphylococcus dan seftazidim, amikasin, atau
meropenem.8
Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif, termasuk
streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain dari E coli, dan jenis
H influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang adekuat dalam likuor
cerebrospinal (LCS).8
Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin, amikasin) mempunyai aktivitas
yang baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa dan
Serratia marcescens. Namun, aminoglikosida hanya dapat mencapai kadar marginal pada
cairan LCS dan ventrikel, bahkan ketika meninges meradang.8
Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar yang baik dalam LCS dan telah
muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram negatif. Seftriakson berkompetisi dengan
bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan dosis terapeutik ceftriaxone menurunkan
cadangan albumin dalam serum bayi baru lahir sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone
dapat meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko
tinggi. Seftriakson juga menyebabkan sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari
sefalosporin memiliki aktivitas terhadap L. monocytogenes dan enterococcus dan, karenanya,
tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk pengobatan awal.Kombinasi ampisilin dan
sefalosporin generasi ketiga diperlukan.8
Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low minimum
inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat dilanjutkan
sendiri. Cefotaxime dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang baik terhadap
kebanyakan S.pneumoniae resisten penisilin. Baik vankomisin dan cefotaxime harus
diberikan pada pasien dengan meningitis S. pneumoniae sebelum hasil uji resistensi
antibiotik tersedia.8
Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan secara
ekstensif dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran kadarnya pada LCS,
agen ini telah terbukti efektif bila dikombinasikan dengan antibiotik beta laktam-untuk
pengobatan meningitis yang disebabkan oleh organisme seperti streptococcus grup B dan
enterococcus yang sensitif. 8
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. aeruginosa mungkin
memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin, vankomisin, atau kombinasi

Universitas Tarumanagara 39
dari seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi LCS dan keamanan agen antimikroba harus
menentukan penggunaan.8
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan, namun
pengobatan selama 10 hari - 21-hari biasanya cukup untuk infeksi Streptococcus grup
B. Waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS dengan meningitis oleh bacil
gram negatif, dan biasanya diperlukan pengobatan selama 3-4 minggu .8
Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan klinis atau
meningitis yang disebabkan oleh strain S pneumonia yang resisten atau dengan basil enterik
gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil gram negatif, pemeriksaan CSS selama
pengobatan diperlukan untuk memverifikasi kultur steril.Pemeriksaan ulang terhadap CSS
untukpemeriksaan kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan;
specimen lebih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun perbaikan klinis.8

Antibiotic Admin- Dose for Dose for Dose for Dose for
istration birth weight birth weight birth weight birth weight
Route < 2000g and >2000g and < 2000g and >2000g and
age 0-7 d age 0-7 d age >7 d age >7 d
Penicillins
Ampicillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Penicillin-G IV 50,000 U 50,000 U q8h 50,000 U q8h 50,000 U q6h
q12h
Oxacillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Ticarcillin IV, IM 75 mg q12h 75 mg q8h 75 mg q8h 75 mg q6h

Cephalosporins
Cefotaxime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Ceftriaxone IV, IM 50 mg once 50 mg once 50 mg once 75 mg once


daily daily daily daily
Ceftazidime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q8h

Tabel 6. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia (mg/kg/dosis atau U/kg/dosis untuk dosis

tertinggi diantara rentang dosis) dan interval pemberian.8

Universitas Tarumanagara 40
Antibiotic Admin- Desired Initial Initial dose Dose for Dose for
istration Serum dose for birth birth birth
Route level for birth weight weight < weight
(mcg/mL) weight < >2000kg 2000g >2000g
2000g and and age 0-7 and age and age
age 0-7 d d (mg/kg / >7 d >7 d
(mg/kg / dose)* (mg/kg / (mg/kg /
dose)* dose)* dose)*

Aminoglycosides
Amikacin † IV, IM 20-30 7.5 q12h 10 q12h 10 q8h 10 q8h
(peak), <
10 (trough)

Gentamicin † IV, IM 5-10 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h
(peak), <
2.5
(trough)
Tobramycin † IV, IM 5-10 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h
(peak), <
2.5
(trough)
Glycopeptide
Vancomycin* † IV, IM 20-40 15 q12h 15 q8h 15 q8h 15 q6h
(peak), <
10 (trough)

*Dose stated is highest within dosage range.


† Serum levels must be monitored when patient has kidney disease or is receiving other
nephrotoxic drugs; adjust doses accordingly.

Tabel 7. Antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang membutuhkan dosis
berdasarkan kadar serum 8

Universitas Tarumanagara 41
Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk
neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :11
 Umur 0-7 hari
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari
setiap 12 ajm IV.
 Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.
Bayi dan anak
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah penting. Pemilihan
antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S pneumoniae, N
meningitidis, dan H. influenzae.8
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for
bacterial meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime
dianjurkan bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan
berdasarkan pada kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang
adekuat terhadap pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten
beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap
penumococcus dan tidak dapat digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau
ceftriaxone.8
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis yang
lebih tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat.
Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun, bila
S.pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi
cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten
sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang
lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih dalam penelitian.

Universitas Tarumanagara 42
Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik
jenis lain atau gagal pada terapi sebelumnya.8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-laktam.8
Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya relaps atau rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat

menetap pada sekret nasofaring walopun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg dosis single selama 4 hari

bila anak dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring

setelah terapi meningitis berhasil.8

Antibiotic Dose (mg/kg/d) Maximum Daily Dose Dosing


IV Interval
Ampicillin 400 6-12 g q6h
Vancomycin 60 2-4 g q6h
Penicillin G 400,000 U 24 million q6h
Cefotaxime 200-300 8-10 g q6h
Ceftriaxone 100 4g q12h
Ceftazidime 150 6g q8h
Cefepime* 150 2-4 g q8h
Imipenem † 60 2-4 g q6h
Meropenem 120 4-6 g q8h
Rifampin 20 600 mg q12h
*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.
† Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.
Tabel 8. Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial 8
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak
dnegan meningitis bakterial sebagai berikut : 10
 Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
 Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau

Universitas Tarumanagara 43
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi.
Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bacterial
meningitis adalah sebagai berikut :8
 N meningitidis - 7 hari
 H influenzae - 7 hari
 S pneumoniae - 10-14 hari
 S agalactiae - 14-21 hari
 Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
 L monocytogenes - 21 hari atau lebih
Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema
serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe B
yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens gejala sisa
neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh
karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus meningits oleh
H.influenza tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 –
0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh
karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan
manfaatnya.8
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.10

Meningitis Tuberkulosis 9
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4 macam obat
selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.

Universitas Tarumanagara 44
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat anti-
tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat kejang,
koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan fisioterapi.
Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:
1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering off
untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.
Meningitis Viral 2
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited. Biasanya hanya perlu terapi
suportif dan tidak memerlukan terapi spesifik lainnya. Pada keadaan tertentu antiviral spesifik
mungkin diperlukan.
Pada pasien dengan defisiensi imun ( seperti agammaglobulinemia), penggantian
imunoglobulin dapat digunakan sebagai terapi infeksi kronik enterovirus.
Herpes simplex meningitis
Manajemen antivirus HSV meningitis adalah kontroversial. Acyclovir (10 mg / kg IV q8h)
telah diberikan untuk HSV-1 dan HSV-2 meningitis. Beberapa ahli tidak menganjurkan terapi
antivirus kecuali bila diikuti dengan ensefalitis.
CMV meningitis
Gansiklovir (dosis induksi 5 mg / kg q12h IV, dosis pemeliharaan 5 mg /kg q24h) dan
foskarnet (dosis induksi 60 mg / kg q8h IV, pemeliharaan dosis 90-120 mg / kg q24h IV)
digunakan untuk CMV meningitis pada host yang immunocompromised.
HIV meningitis
Terapi antiretroviral (ART) mungkin diperlukan untuk pasien dengan meningitis HIV yang
terjadi selama sindrom serokonversi akut.
Meningitis Jamur 2
Candida 2,6
Terapi awal pilihan untuk meningitis Candida adalah amfoterisin B (0,7 mg / kg /
hari). Flusitosin (25 mg / kg qid) biasanya ditambahkan dan disesuaikan untuk
mempertahankan tingkat serum 40-60 mcg / mL, di berikan selama 6-12 minggu, bergantung
dari efektivitas terapi dan adanya efek samping.Terapi Azole dapat digunakan untuk follow-
up terapi atau pengobatan supresi. Peniadaan material prostetik (misalnya, shunts
Universitas Tarumanagara 45
ventriculoperitoneal) adalah komponen penting dalam terapi meningitis Candida yang
berkaitan dengan prosedur bedah saraf.
Coccidioides immitis
Amfoterisin B merupakan drug of choice meningitis oleh coccidioides, diberikan
secara intravena dan intratekal. Dosis inisial intratekal 0,1 mg untuk 3 kali suntikan pertama.
Selanjutnya dosis ditingkatkan 0,25 – 0,5 mg 3-4 kali setiap minggu. Efek samping
pemberian secara intratekal seperti meningitis aseptic, nyeri punggung dan tungkai.
Mikonazol dapat diberikan secara intravena dan intratekal pada pasien yang tidak dapat
mentorelansi dosis tinggi dari Amfoterisin B.6
Regerensi lain menyebutkan flukonazol oral (400 mg / hari) sebagai terapi untuk C
immitis ataupun dengan dosis yang lebih besar flukonazol (1000 mg / hari) atau dengan
kombinasi flukonazol dan amfoterisin B.2
Histoplasma capsulatum
Rekomendasi terapi meningitis capsulatum H adalah amfoterisin B liposomal di IV 5-
mg/kg/hari untuk total 175 mg / kg diberikan selama 4-6 minggu, diikuti oleh itraconazole
oral 200-300 mg dua kali untuk tiga kali sehari minimal 1 tahun atau sampai resolusi kelainan
CSS dan antigen Histoplasma.2,6
2.13 Pencegahan 13
Meningitis Bakterial
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal
merupakan pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang
cukup, tidak kontak langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila hamil, resiko
meningitis oleh bakteri Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan memasak daging dengan
benar, hindari keju yang terbuat dari susu tanpa pasteurisasi.
Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab meningitis: Neisseria
meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type b (Hib):
Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di America
Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin Meningococcus
conjugate, Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus tidak dapat mencegah semua
tipe penyakit, namun dapat memberikan proteksi orang-orang yang dapat sakit jika tidak
diberi vaksin. Vaksin meningococcus conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia
11 – 18 tahun dan anak serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.
Vaksin Pneumococcal
Universitas Tarumanagara 46
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida dan
konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi akhir tahun
2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun.
PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin
pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan
dewasa sudah digunakan sejak tahun 1977. Pneumovax®, 23-valent polysaccharide vaccine
(PPSV) di rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau
lebih yang mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit,
infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan
mempunyai asma.
Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi
melawan meningitis bakterial oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib dapat
mencegah can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang disebabkan
oleh bakteri Hib. Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di
Amerika Serikat, dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat
dikombinasikan dengan vaksin lainnya.
Meningitis Tuberkulosis
Vaksiniasi BCG memberikan efek proteksi (hampir 64%) terhadap meningitis TB.
Peningkatan berat badan dibandingkan umur berhubungan dengan penurunan resiko dari
penyakit ini.

Meningitis Viral
Seseorang yang menderita infeksi virus dapat sewaktu-waktu berkembang menjadi
meningitis. Tidak terdapat vaksin untuk penyebab tersering dari meningitis virus. Cara
terbaik untuk mencegahnya adalah dengan mencegah terjadinya infeksi virus. Namun, hal ini
sulit dilakukan oleh karena seseorang dapat menderita infeksi virus dan menyebarkan virus
tersebut walaupun tidak terlihat sakit.
Berikut beberapa cara untuk mengurangi resiko terserang infeksi virus atau
menyebarkannya ke orang lain :
 Cuci tangan dengan benar dan sering, terutama setelah mengganti popok,
menggunakan toilet, batuk atau bersin dan memegang hidung.

Universitas Tarumanagara 47
 Bersihkan benda-benda yang mungkin terkontaminasi, seperti pegangan pintu dan
remote control tv dengan sabun dan air, lakukan desinfeksi dengan mengencerkannya
dengan cairan pemutih yang mengandung klorin.
 Hindari berciuman atau bertukar gelas minuman, alat makan, lipstick atau benda lain
dengan seseorang yang sakit atau dengan orang lain saat kita sakit.
 Pastikan seluruh anggota keluarga sudah divaksin. Vaksinasi termasuk jadwal
vaksinasi anak-anak dapat mencegah anak melawan beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan meningitis virus. Termasuk vaksin untuk campak dan gondongan
(MMR) serta cacar air ( vaksin Varicella-zoster).
 Hindari gigitan nyamuk atau serangga lainnya yang membawa penyakit yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia.
 Kontrol tikus dan sejenisnya.
Meningitis Jamur
Seseorang dengan imunosupresi (infeksi HIV) dapat mencoba menghindari kotoran
dari burung, kegiataan yang berhubungan dengan debu dan kotoran lainnya, teerutama jika
tinggal di region geografis dimana terdapat jamur seperti Histoplasma, Coccidioides atau
spesies Blastomyces. Seseorang dengan HIV tidak dapat terhindar sepenuhnya. Beberapa
pedoman merekomendasikan profilaksis anti jamur jika tinggal di regio geografis dimana
insidens infeksi jamur sangat tinggi.
2.14 Prognosis
Meningitis bakterial 1
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai
prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat
menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang
resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun
Universitas Tarumanagara 48
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan,
tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan
meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens
sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera
dikerjakan setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain
disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.1,9
Meningitis Tuberkulosis 9
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis
hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun
masih tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat.
Gejala sisa masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang
berobat dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata
dan pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan
hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat permulaan
pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan.
Meningitis Viral 9
Penyakit ini self-limited dan penyembuhan sempurna dijumpai setelah 3-4 hari pada
kasus ringan dan setelah 7-14 hari pada keadaan berat.
Meningitis Jamur
Pada pasien yang tidak diobati, biasanya fatal dalam beberapa bulan tetapi kadang-
kadang menetap sampai beberapa tahun dengan rekuren,remisi dan eksaserbasi. Kadang-
kadang jamur pada cairan serebrospinal ditemukan selama tiga tahun atau lebih. Telah
dilaporkan beberapa kasus yang sembuh spontan.

BAB III
REKAM MEDIS KASUS

Universitas Tarumanagara 49
3.1 Identitas Pasien
Nama lengkap : An. Agung Nur Cahyo
Usia : 9 Tahun 8 Bulan
No RM : 257387
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Pati, 21 Mei 2010
Pendidikan : Belum sekolah
Pekerjaan : Belum bekerja
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Ngawen 2/2 Cluwak, Pati, Jawa Tengah
3.2 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesa dengan ibu pasien pada hari perawatan pertama, tanggal 1
Februari 2020 pukul 10.00 di ruang Cempaka RSUD RAA Soewondo Pati dengan
nomor RM 257387.

Keluhan Utama:
Penurunan Kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang dari IGD dengan keluhan demam 1 hari SMRS. Demam
dirasakan sejak jumat pagi (31 Januari 2020) yang tidak diukur suhunya. Demam
naik turun tanpa dipengaruhi apapun. Sebelumnya, 2 hari yang lalu (29 Januari
2020) pasien mengeluh muntah 1 kali berisi makanan. Keesokan harinya (30 Januari
2020), pasien mengeluh sakit pada daerah punggung dan tubuh terasa lemas
sehingga tidak kuat untuk berjalan. Lalu, pasien dibawa ke puskesmas (31 Januari
2020) dan diberi obat, tetapi tidak ada perbaikan. Lalu, pihak puskesmas merujuk
pasien ke RS Soewondo.
Saat ini terdapat ada kejang pada seluruh tubuh, mata mendelik ke atas dan
pasien terlihat sesak napas juga sulit diajak berkomunikasi. Menurut pengakuan
nenek pasien, bila pasien tidur, pasien mengeluarkan suara napas grok-grok.
Keluhan saat ini berupa bindeng dan pilek warna hijau. Suhu badan pasien saat ini
39 celcius.
Saat usia 3 tahun, pasien pernah dirawat di RS Jepara dengan diagnosis
bronchitis selama satu minggu. Dilalukan pengobatan rawat inap selama 5 hari.
Selain itu saat usia 2 SD (kurang lebih 8 tahun) pasien pernah juga mengeluh tidak
dapat BAB , kaki terasa sakit dan perut tampak membesar. Saat itu pasien melalukan
pengobatan rawat jalan di RS Keluarga Sehat sampai akhirnya suatu hari pasien
kejang ketika disuapi makanan pada sore hari. Kejang terjadi kurang lebih selama 1
jam. Kejang terjadi pada tangan lalu kaki disertai mata mendelik ke atas. Kejang
terjadi tanpa didahului demam dan selama kejang pasien tidak demam. tidur. Selama
makanan yang tadi disuapi tetap berada di mulut. Setelah kejang pasien menangis
lalu tidur.
Sebelum terjadi penurunan kesadaran, pasien sempat makan wafer, roti dan
sesuap nasi. Minum ±200 mL air putih. BAB kemarin, 1 kali dan sudah 2 kali ganti
pampers, urine berwarna kuning pekat.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Universitas Tarumanagara 50
 Riwayat keluhan serupa (+) : saat usia 8 tahun
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat trauma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat keluhan serupa (-)
 Riwayat keguguran (-)
Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi makanan atau obat (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat penyakit ginjal (-)
 Riwayat penyakit jantung/paru (-)
Riwayat Perinatal:
 Antenatal :
Selama kehamilan ibu pasien rutin memeriksakan kandungan di bidan, riwayat
kehamilan dengan penyulit (-), riwayat minum obat/jamu (-).
 Natal :
Pasien merupakan anak tungaal, lahir secara spontan pervaginam di rumah dengan
bantuan bidan. Umur kehamilan 39 minggu dengan berat badan lahir 3200 gram,
panjang badan lupa.
 Post natal:
Pasien dirawat di RS (+) sejak lahir karena kejang tanpa demam dan pernah
didiagnosis bronchitis.

Riwayat Imunisasi:
Hepatitis B 0 bulan
BCG usia 1 bulan
Polio usia 1,2,3,4 bulan
Pentavalen (DPT, Hb-HIB) usia 2,3,4 bulan
Campak pada usia 9 dan 18 bulan
Pernah diimuniasi di sekolah, tetapi tidak tau imunisasi apa

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:


 BB = 45 gram; PB = 143 cm;
 BB/U = 1.51 z (BB normal)
 TB/U = 0.41 z (Tinggi normal)

Universitas Tarumanagara 51
 BMI/U = 1.68 z (Gizi Normal)
Kesan: Status gizi normal dengan perawakan tinggi dan berat yang normal.

Riwayat Asupan Nutrisi:


 0-6 bulan : ASI + susu Formula
 6-9 bulan: ASI + bubur bayi (makanan lumat 2-3 x/sehari, ½ mangkok (± 250 ml)
dan makanan selingan buah-buahan
 9-12 bulan: ASI + makanan lembek (bubur nasi) 3-4x/hari, ½ - 1 mangkok (± 250
mL) dan makanan selingan (biscuit/buah)
 12 bulan- sekarang =
Kesan: kualitas dan kuantitas asupan nutrisi tercukupi

3.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan tanggal 1 Februari 2010 pukul 10.30 WIB

Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Somnolen, terpasang oksigen NRM dan tidak dapat diajak
komunikasi.
GCS: E3V3M1 = 7
Tanda Vital
 Tekanan Darah : 130/70 mmHG
 Frekuensi Nadi : 111 kali / menit
 Frekuensi Nafas : 44 kali / menit
 Suhu : 39˚C
 SpO2 : 97 %

Pemeriksaan Sistem

 Kepala: bentuk normal, rambut tidak mudah dicabut


 Mata: CA (-/-), SI (-/-), RC langsung dan tidak langsung (+/+), pupil bulat,
isokor, diameter 3 mm, katarak kongenital (-/-), injeksi konjungtiva (-/-),
palpebra edema (-/-)
 Telinga: bentuk normal, liang telinga (+/+), sekret (-/-), daun telinga recoil
cepat (+/+)
 Hidung: bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-/-), hiperemis (-/-)
 Mulut: sianosis (-), mukosa merah muda, lidah normal, tidak ada hipersalivasi
 Leher: letak trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
 Cor:

Universitas Tarumanagara 52
Inspeksi: pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra, thrill (–)
Auskultasi: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (–)
 Pulmo:
Inspeksi : dada simetris, pergerakan dada kanan dan kiri simetris statis
dan dinamis, retraksi (+), pola nafas teratur dan adekuat
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
Auskultasi : SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-
 Abdomen:
Inspeksi : tampak datar, tidak ada benjolan
Auskultasi : bising usus (+) menurun, 5 x/menit
Palpasi : supel, tidak terdapat hepatosplenomegali
 Ekstremitas dan tulang belakang : akral dingin (+), edema (-), CRT < 2 detik,
tidak ada skoliosis, lordosis, kifosis, spina bifida
 Kulit : turgor kulit baik, lanugo jarang, ikterik (-), ruam (-)
 Kelenjar getah bening: tidak teraba pembesaran
 Anus dan genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan Neurologis
 Rangsang meningel: kaku kuduk (+), Bruzinski I-IV (-), lasaque (-),
kernig (-)
 Refleks fisiologi:
Biceps +/+
Triceps -/-
Patella -/-
Achilles +/+
 Refleks patologis:
Babinski +/+
Chaddock +/+
Gordon +/+
Openheim -/-
Klonus paha -/-
Klonus kaki -/-
 Motorik: eutrofi, normotonus, kekuatan otot 1 1
1 1
3.4 Pemeriksaan Penunjang
31/01/2020

Universitas Tarumanagara 53
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Jumlah lekosit H 16.0 10^3/ul 10-14,5
Jumlah eritrosit 5,61 10^6/ul 4,7-6,1
Hemoglobin 13,3 g/dl 14-24
Hematokrit L 39.3 % 40-52
MCV L 70.1 Fl 96-108
MCH L 23.7 Pg 32-34
MCHC 33.8 % 32-36
Jumlah trombosit H 468 10^3/ul 150-400
Hitung Jenis
Netrofil H 79.90 % 50-70
Limfosit L 12.50 % 25-40
Monosit 7.20 % 2.0-8.0
Eosinofil L 0.10 % 2-4
Basofil 0.30 % 0-1
GDS 93 Mg/dl 70-160
Natrium darah L 133.2 mmol/L 135-155
Kalium Darah 4.47 mmol/L 3.6-5.5
Chlorida darah 99.5 mmol/L 95-108

3.5 Resume
Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 9 tahun. dengan keluhan
demam 1 hari SMRS. Demam dirasakan sejak jumat pagi (31 Januari 2020) yang
tidak diukur suhunya. Demam naik turun tanpa dipengaruhi apapun. Sebelumnya, 2
hari yang lalu (29 Januari 2020) pasien mengeluh muntah 1 kali berisi makanan.
Keesokan harinya (30 Januari 2020), pasien mengeluh sakit pada daerah punggung
dan tubuh terasa lemas sehingga tidak kuat untuk berjalan. Lalu, pasien dibawa ke
puskesmas (31 Januari 2020) dan diberi obat, tetapi tidak ada perbaikan. Lalu, pihak
puskesmas merujuk pasien ke RS Soewondo.
Saat ini terdapat ada kejang pada seluruh tubuh, mata mendelik ke atas dan
pasien terlihat sesak napas juga sulit diajak berkomunikasi. Menurut pengakuan
nenek pasien, bila pasien tidur, pasien mengeluarkan suara napas grok-grok.
Keluhan saat ini berupa bindeng dan pilek warna hijau. Suhu badan pasien saat ini
39 celcius.
Saat usia 3 tahun, pasien pernah dirawat di RS Jepara dengan diagnosis
bronchitis selama satu minggu. Dilalukan pengobatan rawat inap selama 5 hari.
Selain itu saat usia 2 SD (kurang lebih 8 tahun) pasien pernah juga mengeluh tidak
dapat BAB , kaki terasa sakit dan perut tampak membesar. Saat itu pasien melalukan
pengobatan rawat jalan di RS Keluarga Sehat sampai akhirnya suatu hari pasien
kejang ketika disuapi makanan pada sore hari. Kejang terjadi kurang lebih selama 1
jam. Kejang terjadi pada tangan lalu kaki disertai mata mendelik ke atas. Kejang
terjadi tanpa didahului demam dan selama kejang pasien tidak demam. tidur.
Pasien merupakan anak tunggal dari Ny. S dan Tn. L, lahir secara spontan
pervaginam di rumah pada tanggal 21 Maret 2010, usia kehamilan cukup bulan,
berat badan lahir 3200 gram. Saat lahir pasien langsung menangis dan tidak sianosis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum pasien somnolen,
GCS 7 , tanda-tanda vital: nadi 111 kali/menit, nafas 44 x/menit, suhu 39oC, BB: 45
kg, TB: 143 cm, RC langsung dan tidak langsung (+/+), pupil bulat, isokor, diameter

Universitas Tarumanagara 54
3 mm. Rangsang meningel: kaku kuduk (+), Bruzinski I-IV (-), lasaque (-), kernig
(-). Refleks Fisiologis: Biceps +/+, Achilles +/+. Reflex Patologis: Babinski +/+,
Gordon +/+, Chaddock +/+

Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan peningkatan leukosit,


penurunan hematokrit, MCV, MCH dan peningkatan trombosit. Pada hitung jenis,
terjadi peningkatan neutrophil, penurunan limfosit dan eosinophil.

3.6 Daftar Masalah/ Diagnosa


Diagnosa kerja: - Observasi demam 3 hari susp. Meningitis Bakteri

3.7 Pengkajian
3.7.1 Clinical Reasoning
 Kesadaran somnolen, GCS 7
 Demam 39 derajat, terjadi kejang saat demam
 Tanda Rangsang meningeal: kaku kuduk (+)
 Refleks fisiologis: Biceps +/+, Achilles +/+
 Refleks Patologis: Babinski +/+, Gordon +/+, Chaddock +/+

3.7.2 Diagnosis Banding


 Meningitis Virus
 Meningitis Tuberkulosis
 Meningitis Jamur
 Meningoensefalitis

3.7.3 Rencana Diagnostik


 CT SCAN
 Pemeriksaan cairan CSF + kultur

3.7.4 Rencana Terapi Farmakologis


 Infus RL 20 tpm
 Injeksi viclin 3 x 1 gr
 Injeksi ranitidine 2 x ½ ampul
 Injeksi paracetamol 3 x 500 mg
 Injeksi ceftriaxone 3x 100 mg

3.7.5 Rencana Terapi Non-Farmakologis


 Masker oksigen NRM 5 L/menit

3.7.6 Rencana Evaluasi

Universitas Tarumanagara 55
 Evaluasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
 Evaluasi respons pengobatan: gejala klinis
 Awasi tanda-tanda perburukan (penurunan kesadaran, kejang, apneu, sianosis)
 Evaluasi kecukupan cairan dan gizi

3.7.7 Edukasi
 Menjelaskan mengenai penyakit yang diderita pasien (definisi, etiologi, faktor
resiko, komplikasi, tatalaksana, prognosis).

3.7.8 Prognosis
 Ad Vitam : Dubia ad malam
 Ad Sanationam : Dubia ad malam
 Ad Functionam : Dubia ad malam

3.7.9 Kesimpulan
Telah diperiksa seorang anak perempuan berusia 9 tahun dengan keluhan
penurunan kesadaran. Terdapat keluhan kejang disertai demam, kaku kuduk +
reflex fisiologis berupa biceps +/+, patella +/+ dan reflex patologis Babinski +/+
Gordon +/+ chaddock +/+

BAB 4
ANALISIS KASUS

TEORI KASUS
Definisi
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid dan pia
mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi
(infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam
likuor cerebrospinal (LCS)

Universitas Tarumanagara 56
Epidemiologi

Meningitris pada anak sering terjadi pada Pasien merupakan seorang anak laki-laki
usia 4 tahun dengan puncak usia 3-8 bulan.
berusia 9 tahun.

TEORI KASUS

Etiologi
Bakteri yang tersering menyebabkan
meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae.
Mycoplasma pneumonia juga dapat
menyebabkan meningitis yang berat dan Pada pasien ini belum dilakukan kultur CSF
meningoencephalitis pada grup usia ini.
Meningitis virus pada grup ini tersering
disebabkan oleh enterovirus, herpes virus,
dan arbovirus. Virus lain yang lebih jarang
seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic
choriomeningitis, HHV-6, virus rabies, dan
virus influenza A dan B.

Universitas Tarumanagara 57
TEORI KASUS
Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Neonatus: Keadaan umum : somnolen, GCS 7
- Demam ± Tanda Vital
- Anak tampak malas, tidak mau  Frekuensi Nadi : 1kali / menit
minum, muntah, dan kesadaran menurun  Frekuensi Nafas : 44 kali / menit
- UUB kadang cembung  Suhu : 39˚C
- Pernafasan tidak teratur  SpO2 : 97%
Data Antropometri
2 bulan-2 tahun:  BB : 45 gram
- tidak ada gambaran klasik  TB : 143 cm
- hanya demam, muntah,
gelisah, kejang berulang, Pemeriksaan sistem
kadang “high pitchy cry”  Mata: CA (-/-), SI (-/-), RC langsung
> 2 tahun dan tidak langsung (+/+), pupil bulat,
- Demam menggigil, muntah, nyeri kepala isokor, diameter 3 mm, katarak kongenital
- Kejang (-/-), injeksi konjungtiva (-/-), palpebra
- Gangguan kesadaran edema (-/-)

- Tanda rangsang meningel  kaku kuduk +


 reflex fisiologis berupa biceps +/+,
patella +/+ dan
 reflex patologis Babinski +/+ Gordon +/
+ chaddock +/+

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
 Pemeriksaan hematologi Pada pasien didapatkan peningkatan leukosit,
penurunan hematokrit, MCV, MCH dan
 Pemeriksaan gula darah peningkatan trombosit. Pada hitung jenis,
 Kadar elektrolit darah terjadi peningkatan neutrophil, penurunan
limfosit dan eosinophil.
 Pemeriksaan CSF + kultur

Universitas Tarumanagara 58
Tatalaksana
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV Rencana Terapi Farmakologis
dibagi dalam 3-4 dosis, atau  Infus RL 20 tpm
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2  Injeksi viclin 3 x 1 gr
dosis, atau  Injeksi ranitidine 2 x ½ ampul
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi
 Injeksi paracetamol 3 x 500 mg
dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100
 Injeksi ceftriaxone 3x 100 mg
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis

Rencana Terapi Non-Farmakologis


 Masker oksigen NRM 5 L/menit
 Pasang kateter dan NGT

Prognosis

Meningitis infeksius diperkirakan Ad Vitam: Dubia ad malam


menyebabkan sebanyak 422.900 Ad Sanationam: Dubia ad malam
kematian dan lebih dari 2 juta Ad Functionam: Dubia ad malam
sekuele disabilitas pada tahun 2010

Universitas Tarumanagara 59
BAB IV
PENUTUP

Meningitis adalah proses infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak. Infeksi
ini disertai dengan frekuensi komplikasi akut dan resiko morbiditas kronis yang tinggi. Klinis
meningitis dan pola pengobatannya selama masa neonatus (0 – 28 hari) biasanya berbeda
dengan polanya pada bayi yang lebih tua dan anak – anak. Meningitis dapat terjadi karena
infeksi virus, bakteri, jamur maupun parasit. Meskipun demikian, pola klinis meningitis pada
masa neonatus dan pasca – neonatus dapat tumpang tindih, terutama pada penderita usia 1 – 2
bulan dimana Streptococcus group B, H. influenzae tipe B, meningococcus, dan
pneumococcus semuanya dapat menimbulkan meningitis.
Tanpa memandang etiologi, kebanyakan penderita dengan infeksi sistem saraf pusat
mempunyai sindrom yang serupa. Gejala – gejala yang lazim adalah : nyeri kepala, nausea,
muntah, anoreksia, gelisah dan iritabilitas. Sayangnya, kebanyakan dari gejala – gejala ini
sangat tidak spesifik. Tanda – tanda infeksi sistem saraf pusat yang lazim, disamping demam
adalah : fotofobia, nyeri dan kekakuan leher, kesadaran kurang, stupor, koma, kejang –
kejang dan defisit neurologis setempat. Keparahan dan tanda – tanda ditentukan oleh patogen
spesifik, hospes dan penyebaran infeksi secara anatomis
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan di seluruh
dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi. Kecurigaan klinis meningitis
sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat
mengakibatkan kematian.
Selama pengobatan meningitis, perlu dimonitor efek samping penggunaan antiobiotik
dosis tinggi; periksa darah perifer serial, uji fungsi hati dan uji fungis ginjal. Perlu dilakukan
pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang pasien yang sembuh dari meningitis.

Universitas Tarumanagara 60
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric
Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
4. Depkes RI. 2019. https://www.depkes.go.id/article/view/15012800001/recognizing-
listeria-monocytogenes-bacteria.html.
5. Center for Disease Control and Prevention. Bacterial meningitis.
Available from: https://www.cdc.gov/meningitis/bacterial.html.
6. Jafri RZ, Ali A, Messonnier NE, Benissan CT, Durrheim D, Eskola J.
Global epidemiology of invasive meningococcal disease. Pupul
Health Metr. 2013;11:17.
7. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf.
8. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html.
9. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5 th ed. Philadelphia : Elvesier saunders;
2005. h. 106-13.
10. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004. h. 2038-47.
11. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview.
12. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:
Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
13. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.

Universitas Tarumanagara 61
14. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
15. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview.
16. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/
prevention.html.

Universitas Tarumanagara 62

Anda mungkin juga menyukai