Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

MENINGITIS

Oleh:

Indira Maycella (1102015098)

Pembimbing:
dr. Muhammad Tri Wahyu Pamungkas, M.Kes,
Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSUD
ARJAWINANGUN
DESEMBER 2019 – JANUARI 2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Meningitis adalah penyakit infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan
spinal cord (Meningitis Foundation of America). Classic triad dari meningitis
adalah demam, leher kaku, sakit kepala, dan perubahan di status mental (van de
Beek, 2004). Sistem saraf pusat manusia dilindungi dari benda-benda asing oleh
Blood Brain Barrier dan oleh tengkorak, sehingga apabila terjadi gangguan pada
pelindung tersebut, sistem saraf pusat dapat diserang oleh benda-benda patogen
(van de Beek, 2010). Angka kejadian meningitis mencapai 1-3 orang per 100.000
orang (Centers for Disease Control and Prevention).1
Penyebab paling sering dari meningitis adalah Streptococcus pneumonie
(51%) dan Neisseria meningitis (37%) (van de Beek, 2004). Vaksinasi berhasil
mengurangi meningitis akibat infeksi Haemophilus dan Meningococcal C (Tidy,
2009). Faktor resiko meningitis antara lain: pasien yang mengalami defek dural,
sedang menjalani spinal procedure, bacterial endocarditis, diabetes melitus,
alkoholisme, splenektomi, sickle cell disease, dan keramaian (Tidy, 2009).1
Patogen penyebab meningitis berbeda pada setiap grup umur. Pada neonatus,
patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Group B beta-haemolitic
streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Pada bayi dan anak-
anak, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Haemophilus
influenza (bila lebih muda dari 4 tahun dan belum divaksinasi), meningococcus
(Neisseria meningitis), dan Streptococcus pneumonie (pneumococcus). Pada
orang remaja dan dewasa muda, patogen penyebab meningitis yang paling sering
adalah S. pneumonie, H. influenza, N. meningitis, gram negative Bacilli,
Streptococci, dan Listeria monocytogenes. Pada dewasa tua dan pasien
immunocompromised, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah
Pneumococcus, Listeria monocytogenes, tuberculosis, gram negative organis, dan
Cryptococcus. Sedangkan penyebab meningitis bukan infeksi yang paling sering
antara lain sel-sel malignan (leukemia, limpoma), akibat zat-zat kimia (obat

2
intratekal, kontaminan), obat (NSAID, trimetoprim), Sarkoidosis, sistemis lupus
eritematosus (SLE), dan Bechet’s disease (Tidy, 2009). 4
Meningitis juga dapat disebabkan oleh tindakan medis. 0,8 sampai 1,5%
pasien yang menjalani craniotomy mengalami meningitis. 4 sampai 17% pasien
yang memakai I.V. Cath. mengalami meningitis. 8% pasien yang memakai E. V.
Cath. mengalami meningitis. 5% pasien yang menjalani lumbar catheter
mengalami meningitis. Dan meningitis terjadi 1 dari setiap 50.000 kasus pasien
yang menjalani lumbar puncture (van de Beek, 2010).
Secara keseluruhan, mortality rate pasien meningitis adalah 21%, dengan
kematian pasien pneumococcal meningitis lebih tinggi dari pasien meningococcal
meningitis (van de Beek, 2004). Di Afrika, antara tahun 1988 dan 1997,
dilaporkan terdapat 704.000 kasus dengan jumlah kematian 100.000 orang. Di
antara tahun 1998 dan 2002 dilaporkan adanya 224.000 kasus baru meningococcal
meningitis. Tetapi angka ini dapat saja lebih besar di kenyataan karena kurang
bagusnya sistem pelaporan penyakit. Sebagai tambahan, banyak orang meninggal
sebelum mencapai pusat kesehatan dan tidak tercatat sebagai pasien meninggal di
catatan resmi (Centers for Disease Control and Prevention).
Selama 20 tahun terakhir, epidemiologi meningitis bakteri telah berubah
secara dramatis. Haemophilus influenzae, yang sebelumnya merupakan penyebab
utama meningitis, telah menghilang di negara-negara maju dan menjadi contoh
luar biasa dari kampanye vaksinasi yang berhasil. Saat ini, pneumokokus adalah
penyebab terpenting meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa di AS
maupun di Eropa. Insiden penyakit bervariasi dari 1,1 hingga 2 di AS [Schuchat et
al. 1997; Wenger et al. 1990] dan di Eropa Barat [Berg et al. 1996] hingga 12
dalam 100.000 per tahun di Afrika [O'Dempsey et al. 1996]. Risiko penyakit
paling tinggi pada individu yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 60
tahun. Beberapa faktor predisposisi seperti spektektomi sebelumnya, malnutrisi
atau penyakit sel sabit dikenal [Kastenbauer dan Pfister, 2003; Fraser et al. 1973].
Penggunaan vaksin pneumokokus konjugat telah menyebabkan penurunan yang
signifikan pada penyakit pneumokokus invasif, termasuk meningitis, di daerah-
daerah yang mempromosikan pendekatan ini [Hsu et al. 2009; Whitney et al.

3
2003]. Masalah yang muncul adalah meningkatnya prevalensi resistensi
pneumokokus terhadap antibiotik beta-laktam [Stanek dan Mufson, 1999].
Persistensi pneumokokus yang berkepanjangan dalam cairan serebrospinal (CSF)
dapat menyebabkan mortalitas yang lebih tinggi serta kerusakan neurologis yang
berlanjut pada penderita yang selamat [Fiore et al. 2000; McCullers et al. 2000].
Efek dari bakteri hidup ini mendesak kita untuk memahami secara rinci efek racun
bakteri dan melepaskan komponen dinding dan permukaan sel serta kontribusinya
terhadap kerusakan saraf. Dengan Haemophilus menurun, Neisseria meningitides
telah menjadi patogen meningitis terkemuka di negara-negara berkembang, tetapi
terus menimbulkan masalah kesehatan utama di AS dan Eropa. Selain meningitis
klasik, meningokokus sering menyebabkan penyakit sistemik termasuk sepsis
gram negatif fulminan dan koagulopati intravaskular diseminata. WHO
memperkirakan setidaknya 500.000 infeksi baru bergejala per tahun di seluruh
dunia, yang menyebabkan sedikitnya 50.000 kematian [Stephens et al. 2007]. 7

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Meningen (Selaput Otak)


Meningen (selaput otak) adalah selaput yang membungkus otak dan
sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinalis), memperkecil
benturan atau getaran yang terdiri dari tiga lapisan:4
1. Dura mater (lapisan luar) adalah selaput keras pembungkus otak yang
berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak. Dura
kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal).
Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di
tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang
bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara
lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk
sekat di antara bagian-bagian otak. Duramater lapisan luar melekat pada
permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum, dan
mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri;
lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal
darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua
hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat
pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan
tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars
superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli
terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa
craniii posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os
occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus. Di

5
sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat
lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater,
terbenam dalam dua lamina dura.

2. Arakhnoid (lapisan tengah) merupakan selaput halus yang memisahkan


dura mater dengan pia mater membentuk sebuah kantong atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral. Membrana
arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia
menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis,
cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae
dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi
system rongga-rongga yang saling berhubungan. Dari arachnoidea
menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-sinus
venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus
sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor
cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut
usia villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan
berinvaginasi ke dalam vena diploe. Cavum subaracnoidea adalah rongga
di antara arachnoid dan piamater yang secara relative sempit dan terletak
di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi
jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga
ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur
otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan
cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum. Cisterna
magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid
di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini
bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang
terletak pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan
beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara

6
ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus
di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan
cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara
lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure
lateralis (cisterna sylvii).

3. Pia mater (lapisan sebelah dalam) merupakan selaput tipis yang terdapat
pada permukaan jaringan otak. Ruangan diantara arakhnoid dan pia mater
disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang, ruangan ini berisi sel radang.
Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang. Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis
yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure
dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang
ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia
membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan
bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus
untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan
ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela
choroidea di tempat itu.4

7
B. Definisi Meningitis
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang
mengenai piameter(lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam
derajat yang lebih ringanmengenai jaringan otak dan medula spinalis yang
superfisial.3
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan
yang terjadipada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis
purulenta. Meningitis serosaditandai dengan jumlah sel dan protein yang
meninggi disertai cairan serebrospinalyang jernih. Penyebab yang paling
sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis
purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifatakut dan
menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh
bakterispesifik maupun virus. Meningitis Meningococcusmerupakan
meningitis purulenta yang paling sering terjadi.6
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan
penderita dandroplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus,
cairan bersin dan cairantenggorok penderita.1
Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada
penularanpenyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain
melalui pertukaran udaradari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan
yang masuk secara hematogen(melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak dirididalamnya sehingga menimbulkan
peradangan pada selaput otak dan otak.2

C. Klasifikasi Meningitis
1. Meningitis Bakterial
Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi
yang menyerang susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi
dalam menimbulkan ke matian, dan kecacatan. Diagnosis yang
cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis
bakteri (Pradana, 2009).4

8
Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono,
1981).Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai
komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus,
prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan
multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis
purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi
kuman - kuman tersebut (Mardjono, 1981).3
Etiologi dari meningitis bakterial antara lain (Roos, 2005):
1. S. Pneumonie
2. N. Meningitis
3. Group B streptococcus atau S. Agalactiae
4. L. Monocytogenes
5. H. Influenza
6. Staphylococcus aureus
Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling
sering terjadi. Tetapi tidak setiap bakteri mempunyai cara yang
sama dalam menyebabkan meningitis. H. Influenza dan N.
Meningitidis biasanya menginvasi dan membentuk koloni di sel-sel
epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya saja S.
Pneumonie dapat menghasilkan immunoglobulin A protease yang
mennonaktifkan antibodi lokal (Swartz, 2007). Bakteri yang paling
sering menyebabkan meningitis adalah S. Pneumonie dan N.
meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring
dengan menempel di sel epitel nasofaring. Bakteri tersebut
berpindah menyeberangi sel epitel tersebut menuju ke ruang
intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular dengan
menciptakan ruang di tight junction dari sel epitel kolumnar. Sekali
masuk aliran darah, bakteri dapat menghindari fagositosis dari
neutrofil dan komplemen dengan adanya kapsul polisakarida yang
melindungi tubuh mereka. Bloodborne bacteria dapat mencapai
fleksus koroideus intraventrikular, menginfeksi langsung sel epitel

9
fleksus koroideus, dan mencapai akses ke cairan serebrospinal.
Beberapa bakteri seperti S. Pneumonie dapat menempel di sel
endotelial kapiler serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut
langsung menuju cairan serebrospinal. Bakteri dapat
bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal karena kurang
efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal(CSS). Cairan
serebrospinal (CSS) normal mengandung sedikit sel darah putih,
sedikit protein komplemen, dan immunoglobulin. Kekurangan
komplemen dan immunoglobulin mencegah opsonisasi dari bakteri
oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga diganggu oleh bentuk cair
dari cairan cerebrospinal itu sendiri (Roos, 2005).5
Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis
bacterial adalah reaksi inflamasi diinduksi oleh bakteri.
Manifestasi-manifestasi neurologis yang terjadi dan komplikasi
akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon imun tubuh
terhadap zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan
jaringan langsung oleh bakteri. Sehingga cedera neurologis dapat
terus terjadi meskipun bakteri telah ditangani dengan antibiotik
(Roos, 2005)5

2. Meningitis Tuberkulosa
Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak
ditemukan diIndonesia karena morbiditas tuberkulosis masih
tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi
penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di paru. Terjadinya
meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak
langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya
sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak,
sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah
kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009). Pada pemeriksaan
histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan

10
meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada
dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan
tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat
menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis (Pradana, 2009).
Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium
tuberculosis (Pradana, 2009)
3. Meningitis viral
Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai
akibat akhir / sequel dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh
virus seperti campak, mumps, herpes simpleks, dan herpes zooster.
Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada
pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)tidak ditemukan adanya
organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan
lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung
dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan
mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa
menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana
hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi
kerusakan neurologis (Pradana, 2009) Etiologi dari meningitis viral
antara lain :
Meningitis jamur : Meningitis oleh karena jamur merupakan
penyakit yang relatif jarang ditemukan, namun dengan
meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas, angka kejadian
meningitis jamur semakin meningkat. Problem yang dihadapi oleh
para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif.
Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab
gejala penyakit / infeksi dan jamur tidak sering ditemukan dalam
cairan serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh karena
jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu
pertumbuhannya (Pradana, 2009). Etilogi dari meningitis jamur
antara lain:

11
1. Cryptococcus neoformans
2. Coccidioides immitris

D. Infectious Agent Meningitis


Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur,
cacing danprotozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri.
Meningitis yangdisebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan
meningitis penyebab lainkarena mekanisme kerusakan dan gangguan otak
yang disebabkan oleh bakterimaupun produk bakteri lebih berat.6
Infectious Agent meningitis purulentamempunyai kecenderungan
pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatuspaling banyak
disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeriamonositogenes.
Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan olehH.influenzae,
Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20
tahundisebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan
StreptococcusPneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)
disebabkan oleh Meningococcus,Pneumococcus, Stafilocccus,
Streptococcus dan Listeria.2
Penyebab meningitisserosa yang paling banyak ditemukan adalah
kuman Tuberculosis dan virus.Meningitis yang disebabkan oleh virus
mempunyai prognosis yang lebih baik,cenderung jinak dan bisa sembuh
sendiri. Penyebab meningitis virus yang palingsering ditemukan yaitu
Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkanHerpes simplex ,
Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebabmeningitis
aseptik(viral).

E. Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit
di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara
hematogen sampai keselaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis,
Tonsilitis, Pneumonia,Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran

12
bakteri/virus dapat pula secaraperkontinuitatum dari peradangan organ
atau jaringan yang ada di dekat selaput otak,misalnya Abses otak, Otitis
Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus danSinusitis. Penyebaran
kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan frakturterbuka atau
komplikasi bedah otak.23 Invasi kuman-kuman ke dalam
ruangsubaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS
(CairanSerebrospinal) dan sistem ventrikulus24.Mula-mula pembuluh
darah meningeal yang kecil dan sedang mengalamihiperemi; dalam waktu
yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukositpolimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalambeberapa
hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua
selselplasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandungleukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan
dalam terdapatmakrofag.Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada

vena-vena di korteks dandapat menyebabkan trombosis, infark otak,


edema otak dan degenerasi neuronneuron.Trombosis serta organisasi
eksudat perineural yang fibrino-purulenmenyebabkan kelainan kraniales.
Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairanserebrospinal tampak
jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.4

13
F. Gejala klinis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak,letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan cairanserebrospinal (CSS) melalui pungsi
lumbal25.Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal
yang jernih sertarasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya,
meningitis yang disebabkanoleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala
anoreksia dan malaise, kemudian diikutioleh pembesaran kelenjer parotid
sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Padameningitis yang
disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,muntah,
sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya
ruammakopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan,
dan ekstremitas.Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu
tampak lesi vasikuler padapalatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap
lanjut timbul keluhan berupa sakitkepala, muntah, demam, kaku leher, dan
nyeri punggung.2
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasandan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi
secara akut dengangejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan
pernafasan, kejang, nafsu makanberkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yangmencembung. Kejang
dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebabHaemophilus influenzae,
25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % olehStreptococcus, dan 10 %
oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasabiasanya dimulai
dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat
akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot
dannyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau
purulen.4
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I
atau stadiumprodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan
nampak seperti gejala infeksibiasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit

14
bersifat subakut, sering tanpa demam,muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan turun, mudahtersinggung, cengeng,
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupaapatis. Pada
orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,konstipasi,
kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan
sangatgelisah.3
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu
dengangejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri
kepala yang hebat dankadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-
anak. Tanda-tanda rangsanganmeningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tandapeningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat.
Stadium IIIatau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan
gangguan kesadaran sampaikoma. Pada stadium ini penderita dapat
meninggal dunia dalam waktu tiga minggubila tidak mendapat pengobatan
sebagaimana mestinya.5

G. Pemeriksaan rangsangan meningitis


a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi danrotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila
didapatkan kekakuan dan tahananpada pergerakan fleksi kepala
disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapatdisentuhkan
ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan
rotasikepala.
b. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan
fleksi pada sendipanggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada
sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasanyeri. Tanda Kernig positif
(+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135°(kaki tidak

15
dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikutirasa nyeri.

c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan
tangan kirinyadibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien
kemudian dilakukan fleksikepala dengan cepat kearah dada sejauh
mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bilapada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada leher.

d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral


Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendipanggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila padapemeriksaan terjadi fleksi involunter
pada sendi panggul dan lutut kontralateral.4
H. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa
jumlah sel dan proteincairan cerebrospinal, dengan syarat tidak
ditemukan adanya peningkatan tekananintrakranial.
 Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi,
cairan jernih, seldarah putih meningkat, glukosa dan protein
normal, kultur (-).
 Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,
cairan keruh, jumlahsel darah putih dan protein meningkat,
glukosa menurun, kultur (+) beberapajenis bakteri.
b. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit,
Laju EndapDarah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit
dan kultur.

16
 Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit
saja. Disamping itu,pada Meningitis Tuberkulosa
didapatkan juga peningkatan LED.
 Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
c. Pemeriksaan Radiologis
 Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala,
bila mungkindilakukan CT Scan.
 Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa
mastoid, sinusparanasal, gigi geligi) dan foto dada.
I. Penatalaksanaan
 Antibiotik
Terapi antibiotik segera adalah keharusan dan tidak boleh ditunda oleh
penundaan diagnostik; misalnya, menunggu CT scan. Perawatan anti biotik pra-
rumah sakit disarankan dalam kasus-kasus yang diduga penyakit meningokokus
tetapi tergantung pada situasi resistensi lokal dan lingkungan medis [Sudarsanam
et al. 2008]. Sebelum perawatan, biakan darah harus diperoleh. Karena
identifikasi mikro-biologis patogen tidak segera tersedia, pilihan awal antibiotik
biasanya bersifat empiris. Faktor yang perlu dipertimbangkan termasuk tingkat
resistensi antibiotik regional, usia pasien, kondisi dan sumber daya predisposisi
(Tabel 1). 7

Identifikasi mikrobiologis dan pengujian kerentanan agen penyebab adalah


penentu utama keberhasilan terapi antibiotik. Mengingat resistensi yang muncul,
kemoterapi antibiotik harus disesuaikan sesuai dengan hasil pemeriksaan
resistensi untuk memberikan cakupan yang sangat aktif namun ditargetkan secara
sempit. Namun, monoterapi penisilin G untuk meningokokus atau pneumokokus
disarankan hanya setelah resistensi telah dipastikan. Durasi pengobatan 10-14 hari
cukup untuk sebagian besar patogen; terapi 5-7 hari akan cukup untuk penyakit
meningokokus tanpa komplikasi, sementara 3-4 minggu pengobatan
direkomendasikan untuk L. monocytogenes dan Enterobacteriacae. Data untuk
durasi pengobatan sangat terbatas dan sebagian besar didasarkan pada pendapat

17
para ahli [Tunkel et al. 2004]. Meningitis meningokokus yang dicurigai atau
terbukti membutuhkan isolasi pasien selama 24 jam pertama pengobatan;
chemoprophylaxis direkomendasikan untuk kontak dekat (Tabel 1). Pencitraan
serebral dan pungsi lumbal berulang harus dipertimbangkan pada pasien yang
gagal membaik secara klinis setelah 48 jam pengobatan untuk menilai kegagalan
antibiotik. 7

Table 1. Empirical antibiotic therapy. 7

 Kortikosteroid

Kortikosteroid mengurangi edema otak, hipertensi intrakranial dan


peradangan meningeal pada meningitis bakteri. Studi klinis menunjukkan hasil
yang bertentangan mengenai potensi manfaat penggunaan steroid pada pasien
dengan meningitis. Bukti saat ini tersedia mendukung penurunan insiden
gangguan pendengaran yang parah pada anak-anak dengan H. influenzae
meningitis [Odio et al. 1991; Lebel et al. 1988], sementara informasi tentang
patogen pediatrik lainnya tidak lengkap. Pada orang dewasa, RCT double-blind
tunggal dari 301 pasien dewasa melaporkan penurunan mortalitas dan frekuensi
lebih rendah dari gangguan pendengaran dan gejala sisa neurologis [de Gans dan
van de Beek, 2002]. Analisis subkelompok menunjukkan bahwa efek

18
perlindungan deksametason terbatas pada meningitis pneumokokus (kematian:
34% berbanding 14%; hasil yang tidak menguntungkan: 52% berbanding 26%)
[van de Beek et al. 2006]. Pendapat ahli dan beberapa pedoman masyarakat
merekomendasikan pengobatan rutin dengan deksametason untuk meningitis anak
yang didapat masyarakat (0,15 mg / kg setiap 6 jam selama 2-4 hari) dan orang
dewasa (10 mg setiap 6 jam selama 4 hari). Penghentian terapi ini disarankan jika
H. influenzae (anak-anak) dan S. pneumoniae (dewasa dan anak-anak) dapat
dikesampingkan sebagai patogen yang mendasarinya. Terutama, Infeksi H.
influenzae dan S. pneumoniae menurun pada populasi anak di negara-negara yang
melakukan imunisasi. Dosis steroid pertama harus diberikan 10-20 menit sebelum
memulai pengobatan antibiotik, atau setidaknya bersamaan. Pengobatan yang
terlambat tidak menguntungkan karena deksametason tidak membalikkan edema
otak yang ada atau hipertensi intrakranial pada tahap-tahap selanjutnya dari
meningitis. Sebaliknya, ada kekhawatiran tentang neurotoksisitas yang memburuk
yang tampaknya tidak memiliki relevansi klinis [Weisfelt et al. 2006; Zysk et al.
1996] dan dapat merusak penetrasi antibiotik ke dalam CSF [Paris et al. 1994]
sebagai konsekuensi dari perawatan deksametason. Data saat ini tidak mendukung
penggunaan rutin kortikosteroid di negara-negara dengan sumber daya terbatas
[Scarborough dan Thwaites, 2008]. 7

 Terapi simtomatik lainnya

Sakit kepala parah membutuhkan analgesik yang banyak, sering kali


termasuk opioid. Pengobatan antiepilepsi diindikasikan jika kejang terjadi;
pengobatan profilaksis tidak dianjurkan. 7

 Antikonvulsan
Anti kejang tidak diberikan secara rutin pada pasien meningoensefalitis,
tetapi diberikan bila terjadi kejang.

- Diazepam : 10 – 20 mg i.v dengan kecepatan pemberian < 2-5 menit atau


per rektal dapat diulang 15 menit kemudian.
- Fenitoin : 15 – 20 mg/kgBB dengan kecepatan 50 mg/ menit.

19
J. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme
spesifik yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput
otak, jenis meningitisdan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik.
Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis
yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkancacat berat dan kematian.

K. Komplikasi
Kematian akibat meningitis bakteri dapat mencapai 34% [van de Beek et
al. 2006] dan tertinggi dengan S. pneumoniae dan L. meningitidis. Sekuele
neurologis jangka panjang ditemukan pada 50% orang yang selamat [Weisfelt et
al. 2006; de Gans dan van de Beek, 2002; Bohr et al. 1984; Schuchat et al. 1997].
Kedua komplikasi intrakranial dan sistemik berkontribusi terhadap hasil negatif
ini. Komplikasi paling mungkin terjadi selama beberapa hari pertama terapi.
Gangguan pendengaran sensorineural atau disfungsi vestibular adalah masalah
yang paling sering. Mereka paling sering dengan H. influenzae dan S. pneumonia.
Seperti diuraikan di atas, kejadian komplikasi ini berkurang dengan terapi
tambahan deksametason. Komplikasi intra-kranial yang paling mengancam adalah
edema otak, perubahan vaskular dan hidrosefalus, yang semuanya berkontribusi
pada peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan parenkim [Pfister et al.
1992]. Secara klinis, pasien dapat menunjukkan perubahan mental atau tingkat
kesadaran yang berkepanjangan atau progresif. Pencitraan CT harus dilakukan
jika pasien gagal untuk meningkatkan dalam waktu 48 jam dari perawatan
antibiotik atau jika tanda-tanda fokus baru berkembang. Secara umum, ketinggian
kepala (30 derajat) dari tempat tidur direkomendasikan pada pasien dengan
meningitis. 7

Hydrocephalus berkembang hingga 15% dari pasien, biasanya dalam


bentuk malresorpsi karena peningkatan resistensi aliran keluar CSF. Pasien
dengan hidrosefalus dan gangguan kesadaran harus dimonitor secara ketat pada
tindak lanjut CT; pada akhirnya, mereka mungkin memerlukan drainase ventrikel

20
eksternal (EVD). EVD menawarkan manfaat tambahan dari pemantauan ICP.
Jumlah drainase ditentukan menggunakan ICP, peningkatan klinis dan tindak
lanjut CT. Dengan normalisasi protein CSF dan konsentrasi leukosit, EVD
biasanya menjadi pengeluaran; jika tidak, pirau ventrikuloperitoneal harus
ditempatkan. 7

Komplikasi vaskular termasuk vaskulitis, kejang kejang dan trombosis


septik dari sinus dural dan vena kortikal [Haring et al. 1998, 1993; Pfister et al.
1992], sering mengarah pada infark dari wilayah otak besar. Defisit neurologis
fokal baru dalam perjalanan meningitis harus mengarah pada pertimbangan
diagnostik tersebut. MR, CT dan MR atau CT angiogram adalah penggunaan
diagnostik khusus. Risiko dan manfaat antikoagulasi pada trombosis sinus septik
tidak pasti dengan tidak adanya uji coba terkontrol. Demikian juga, tidak ada
terapi berbasis bukti yang ada untuk vaskulitis atau vasospasme terkait meningitis.
Hemodilusi dan nimodipin dapat diberikan dalam analogi dengan perdarahan
subaraknoid, dan deksametason telah disarankan untuk dugaan vaskulitis.
Komplikasi ekstrakranial termasuk sepsis, koagulopati diseminata, kegagalan
multiorgan, artritis, dan ketidakseimbangan elektrolit, biasanya karena sindrom
sekresi hormon antidiuretik (SIADH) yang tidak tepat. 7

Defisit neuropsikologis sering ditemukan pada penderita meningitis


bakteri. Pada orang dewasa, gangguan kognitif jangka panjang paling menonjol
setelah meningitis pneumokokus, dengan insidensi yang lebih rendah setelah
meningitis meningokokus [van de Beek et al. 2002]. Memori jangka pendek dan
kerja, fungsi eksekutif, dan pembelajaran asosiatif materi verbal secara khusus
terpengaruh pada orang dewasa 1–12 tahun setelah bakteri meningitis [Schmidt et
al. 2006]; penulis lain menekankan perlambatan psikomotor sebagai fitur utama
[Hoogman et al. 2007; Merkelbach et al. 2000]. Anak-anak dapat menunjukkan
kesulitan yang terus-menerus dalam belajar, gangguan ingatan jangka pendek dan
defisit perilaku, yang menyebabkan kinerja akademik yang lebih buruk
[Grimwood et al. 2000].7

21
L. Pencegahan meningitis
a. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor
resikomeningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko
dengan melaksanakanpola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
meningitis padabayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang
dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib),
Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide
vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine(MCV4), dan MMR
(Measles dan Rubella).1
Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb-OC atau PRP-OMP)
dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaandengan jadwal
imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksinasi Hib
dapatmelindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga
97%. Pemberianimunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh
WHO, pada bayi 2-6 bulansebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan,
bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak
1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenisimunisasi ini tidak dianjurkan
diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilaibelum dapat
membentuk antibodi.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian
kemoprofilaksis(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup
serumah dengan penderita.2
Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135
dan Y.35meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem
kekebalan tubuh dengancara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian
imunisasi BCG. Hunian sebaiknyamemenuhi syarat kesehatan, seperti
tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang),ventilasi 10 – 20% dari
luas lantai dan pencahayaan yang cukup.

22
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsungdengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di
lingkungan perumahan dan dilingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan
kapal. Meningitis juga dapat dicegahdengan cara meningkatkan personal
hygiene seperti mencuci tangan yang bersihsebelum makan dan setelah
dari toilet.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak
awal, saatmasih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal
dapat menghentikanperjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan diagnosis dini danpengobatan segera. Deteksi dini juga
dapat ditingkatan dengan mendidik petugaskesehatan serta keluarga untuk
mengenali gejala awal meningitis. Dalam mendiagnosa penyakit dapat
dilakukan dengan pemeriksaan fisik,pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan
laboratorium yang meliputi test darah danpemeriksaan X-ray (rontgen)
paru .
Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota
keluargapenderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk
menemukanpenderita secara dini.4
Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikanantibiotik
yang sesuai dengan jenis penyebab meningitis yaitu :

 Meningitis Purulenta
 Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol,
setofaksim, seftriakson.
 Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim,
penisilin, seftriakson.
 Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim
dan seftriakson.
 Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)

23
Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus
yang beratdapat ditambahkan etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid
berupa prednisondigunakan sebagai anti inflamasi yang dapat menurunkan
tekanan intrakranial danmengobati edema otak.

c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah
kerusakanlanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada
tingkatpencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan
akibatmeningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian
terhadap kondisiyang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk
mengalamidampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan
untuk belajar.
Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan
mengurangi kecacatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL


http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
2. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library URL
: http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi23.pdf
3. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis.
The New England Journal of Medicine. 336 : 708-16 URL :
http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf
4. Lumbantobing S. M. NEUROLOGI KLINIK Pemeriksaan Fisik dan Mental.
2000. Jakarta : FKUI
5. Yayasan Spiritia. 2006. Meningitis Kriptokokus. Lembaran Informasi 503.
URL : http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=503
6. Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006.
Lumbar Puncture. The New England Journal of Medicine. 12 : 355 URL :
http://content.nejm.org/cgi/reprint/355/13/e12.pdf
7. Hoffman, Olaf. Weber, Joerg R. Pathophysiology and treatment of bacterial
meningitis (2009). MD Department of Cell Biology and Neurobiology,
Charite Universitaetsmedizin Berlin, Berlin, Germany
http://www.sagepub.co.uk/ journalsPermissions.nav Joerg R. Weber, MD
8. Everett DB, Mukaka M, Denis B, et al. Ten years of surveillance for invasive
Streptococcus pneumoniae during the era of antiretroviral scale-up and
cotrimoxazole prophylaxis in Malawi. PLoS One. 2011;6:e17765.

25

Anda mungkin juga menyukai