Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

MENINGITIS

Pembimbing

dr. Nuning Puspitaningrum, Sp.S

Disusun Oleh :

1. Dzikurullah Akbar (201720401011100)


(201720401011100)

2. Indri Lestari Hazizah (201720401011016)


(201720401011016)

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT KASUS

MENINGITIS

Referat dengan judul Meningitis telah diperiksa dan disetujui s ebagai salah satu
tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian
Ilmu Penyakit Saraf.

Surabaya, Desember 2017

Pembimbing

dr.Nuning Puspitaningrum, Sp.S


PENDAHULUAN

Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan


medula spinalis yang dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis.
Meningitis juga merupakan kasus kegawatdaruratan dibidang neurology
sehingga diperlukan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin untuk
mengurangi angka kematian dan kecacatan. Pada umumnya meningitis
disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang menginvasi meninges melalui
 pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa,
fungus, protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering adalah virus dan
1,2
 bakteri . Akan tetapi meningitis dapat juga terjadi karena iritasi kimia,
kondisi lainnya.5
 perdarahan subarachnoid, kanker atau kondisi

Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat dilaporkan


ras kulit hitam lebih banyak menderita meningitis dibandingkan ras kulit
 putih. Pada sebagian besar kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada
anak dibawah usia
usia 5 tahun dan orang
orang tua diatas usia 60 tahun. Insidens rate
meningitis akibat bakteri di Amerika Serikat mengenai 3 per 100.000
 penduduk pertahun, sedangkan karena virus di Amerika Serikat 10 per
100.000 penduduk pertahun. 2,3

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka


kematian akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh
kematian yang terjadi pada semua golongan umur. Pada penelitian tersebut
didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati peringkat ke-7 atau 3,2%
dari seluruh kematian akibat penyakit menular. 4

Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus


menjadi perhatian bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh
karena itu pemahaman yang baik tentang etiologi dan patofisiologi meningitis
merupakan bagian kunci untuk membantu dokter dan tenaga medis lainnya
dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Meningitis
Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan
medula spinalis. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri,
virus, atau jamur) tetapi dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan
subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya. 5

Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang


ditandai dengan peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran yang
melapisi otak dan sumsum tulang belakang. Membran yang melapisi otak
dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu:2

1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.


2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang
mirip sarang laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak
yang mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges.
Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh
darah yang berperan penting dalam penyebaran infeksi pada meninges.

B. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya meningitis : 2

1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun


2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
4. Infeksi HIV
5. Anemia sel sabit dan splenektomi
6. Alkoholisme, sirosis hepatis
7. Talasemia mayor
8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis
9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
10. Ventriculoperitoneal shunt

C. Etiologi dan Klasifikasi Meningitis


Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau
meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun
virus. Meningitis  Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang

 paling sering terjadi.6

Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman


mencakup sekaligus kausa meningitis, yaitu : 1

1. Meningtis virus
2. Meningitis bakteri
3. Meningitis spiroketa
4. Meningitis fungus
5. Meningitis protozoa dan
6. Meningitis metazoa
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal
dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk
 bakteri lebih berat.7 Agen infeksi meningitis purulenta mempunyai
kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus
 paling banyak disebabkan oleh  Escherichia Coli, Streptococcus beta
haemolyticus  dan  Listeria monocytogenes. Golongan umur dibawah 5
tahun (balita) disebabkan oleh  H.influenzae, Meningococcus dan
 Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh
 Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus
 Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
 Meningococcus,  Pneumococcus, Staphylocccus, Streptococcus dan
 Listeria.8 Penyebab meningitis serosa yang paling banyak
ditemukan adalah kuman Tuberculosis dan virus.7 Meningitis yang
disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik,
cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus
yang paling sering ditemukan yaitu  Mumpsvirus, Echovirus, dan
Coxsackie virus, sedangkan  Herpes simplex, Herpes zoster , dan

enterovirus  jarang menjadi penyebab meningitis aseptik (viral ).10

D. Epidemiologi
1. Orang/Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya
meningitis. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi.
Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.10

Puncak insidensi kasus meningitis karena  Haemophilus influenzae di


negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan,
sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan.
Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk  Haemophilus
influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus
meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. 11 Insidens

Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000.12 Setelah 10

tahun penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000. 11


Gambar 1. Struktur Meninges (diambil dari kepustakaan 17)

a. Dura Mater
Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura
mater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari
 periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena
 berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura
mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang
subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya
 pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya
dari mesenkim.18

 b. Arachnoid
Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak
dengan dura mater dan sebuah sistem trabekel yang
menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara
trabekel membentuk ruang subarachnoid, yang berisi cairan
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari
trauma. Ruang subarachnoid berhubungan dengan ventrikel otak.
Arachnoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah.
Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura
mater. Karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit
trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada
 beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk
 juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura
mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan
serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus. 18

c. Pia Mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung
 banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan
 jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di
antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-
cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk
 barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup
kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. pia
mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui
torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia
mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi
kapiler. Dalam susunan syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya
dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia. 18
Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya (diambil dari
kepustakaan 11)

2. Sawar Darah Otak


Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah
masuknya beberapa substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan
toksin bakteri dari darah ke jaringan syaraf. Sawar darah otak ini
terjadi akibat kurangnya permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah
 jaringan saraf. Taut kedap, yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini
secara sempurna merupakan unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma
sel-sel andotel ini tidak bertingkap, dan terlihat sangat sedikit vesikel
 pinositotik di sini. Perluasan cabang sel neuroglia yang melingkari
kapiler ikut mengurangi permeabilitasnya. 18

Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan
otak. Sawar juga terdapat pada plexus koroideus dan membran kapiler
 jaringan, pada dasarnya di seluruh parenkim otak kecuali di beberapa
daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema, tempat zat
 berdifusi dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah
otak pada umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida,
yang disebabkan oleh  Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,
muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya
ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan,
dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus
yaitu tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada
tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku

kuduk, dan nyeri punggung. 9

Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat


 pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus
terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan
 pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
 biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang
dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab  Haemophilus
influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh
Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan
dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian
atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri
kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan

serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.15

Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau


stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola
tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang
dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
15
gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1  –   3 minggu
dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri
kepala yang hebat, gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang
terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, terjadi parese nervus kranialis, hemiparese atau quadripare,
seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.

Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin


 parah dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini
 penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak

mendapat pengobatan sebagaimana mestinya. 15

H. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
 pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,
 penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang
dan penurunan kesadaran. 2,17 Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
 pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis
 biasanya dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai
 berikut :18

a. Pemeriksaan Kaku Kuduk


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa
nyeri dan spasme otot.

 b. Pemeriksaan Kernig


Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa
yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga
dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi
kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul
kedua tungkai secara reflektorik.

d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
 pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
menyebabkan berbagai macam komplikasi, morbiditas yang lama akibat
gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan kematian. Pembuatan
diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat
menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Prognosis meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen
 penyebab infeksi dan respon pengobatan.

Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah


terjadinya meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan
 penyakit dengan pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk
mengurangi komplikasi dan gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien
dapat tetap menjalani aktivitas sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya
 pencegahan-pencegahan ini dilakukan secara maksimal dalam ruang lingkup
yang luas, kematian dan kecacatan akibat meningitis dapat diturunkan
secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT.
Dian Rakyat, Jakarta.
2. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall

3. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at


http://www.who.int/topics/meningitis/en/
4. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University
Press, Surabaya.
5.  Nelson, 1999. Ilmu Kesehatan Anak , Bagian 2. EGC, Jakarta.
6. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of
Bacterial Meningitis in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58,
 No.11, Hal 438-443, Jakarta.
7. Devarajan, V., Jan 10, 2012. Haemophilus Influenzae Infection . Article.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview#a0199
8. Harsono, 2009. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. GadjahMada
University Press, Yogyakarta.
9. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas . 11 edition.
McGraw-Hill Companies, New York.
10. R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta . Jilid 1. Jakarta : EGC. Hal : 261.
11. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Edisi 11. EGC,
Jakarta.
12. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak . Vol. 9. Jurnal
Kedokteran. Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.
13. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran . Edisi 23. EGC, Jakarta.
14. Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at
http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis-
neurologi.html
15. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis . Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
16. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial
Meningitis. Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).
17. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis . Edisi 2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
18. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In
tech. Available at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
 Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
19. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.
20. Mansjoer, A.,dkk., 2016. Kapita Selekta Kedokteran , Edisi Ketiga.
Media Aesculapius, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai