Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

MENINGITIS

Penyusun:

Fiqri Nurul Firdaus (110219240)

Pembimbing:

DR dr. Elsye Souvriyanti, Sp.A.,M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 22 MEI – 15 JULI 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2019
BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis adalah peradangan pada selaput otak (meninges) yang meliputi dura mater,
araknoid mater, dan pia mater. Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur.
Terdapat dua jenis klasifikasi meningitis berdasarkan hasil lumbal pungsinya yaitu meningitis
serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan peningkatan jumlah sel dan protein dalam cairan otak,
namun cairan serebrospinal tetap jernih. Meningitis serosa sering disebabkan oleh kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah bentuk meningitis
yang menghasilkan CSF yang keruh dan purulen, dan biasanya disebabkan oleh bakteri seperti
Meningococcus.
Risiko penularan meningitis lebih tinggi pada kondisi sosioekonomi rendah, lingkungan
yang padat, dan infeksi saluran pernapasan. Meningitis lebih umum terjadi di negara
berkembang, khususnya di daerah Afrika sub-Sahara yang dikenal sebagai "sabuk meningitis".
Pada tahun 2016, Indonesia mencatat 78.018 kasus meningitis dengan 4.313 kasus yang berakhir
dengan kematian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Meningitis merupakan peradangan pada meningen yaitu membran yang melindungi otak
dan cairan serebrospinal. Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, infeksi parasit dan
obat- obatan tertentu. Meningitis bakterial merupakan SSP (Sistem Saraf Pusat) yang paling
berat dan sering masih menjadi masalah kesehatan di dunia yang mematikan dan menyebabkan
gangguan neurologis permanen di kemudian hari (Boyles dkk, 2014). Gejala penyakit meningitis
biasanya didahului komplikasi SSP, misalnya edema otak, hidrosefalus, abses otak, yang
mempengaruhi vaskularisasi serebrovaskular disertai dengan satu atau lebih gejala kaku kuduk,
penurunan kesadaran, tanda Kernig atau Brudzinski dan peradangan selaput otak yang ditandai
dengan demam dengan awitan akut dengan suhu (>38,5ºC rektal atau 38ºC aksilar) (Muriana
Novariani, 2008).

Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi pada selaput otak
(meninges), meliputi dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Ketiganya berfungsi sebagai
pelapis otak dan medulla spinalis. Proses peradangan atau inflamasi ini dapat didasari oleh
beberapa etiologi (infeksi dan non-infeksi), serta dapat diidentifikasi oleh adanya peningkatan
kadara leukosit di dalam likuor cerebrospinal (LCS). Definisi lain menyebutkan meningitis
adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran
yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang. Membran yang melapisi otak dan sumsum
belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu:

1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.


2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip sarang laba-
laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang mengikuti
alur otak membentuk gyrus & sulcus.

Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges. Ruang-ruang
potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah yang berperan penting dalam
penyebaran infeksi pada meninges.

3.2 Epidemiologi

Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis. Penyakit ini
lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih
nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.

Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosioekonomi rendah,


lingkungan yang padat, dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang
sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Insiden meningitis tertinggi di seluruh
dunia ada di daerah Afrika sub-Sahara yang dijuluki "sabuk meningitis" yang membentang dari
Etiopia
hingga Senegal. Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus- kasus
infeksi saluran pernafasan juga meningkat.

Penderita meningitis yang meninggal di Indonesia pada 2016 mencapai 4.313 orang dari
78.018 kasus. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus dan tingkat
kematian tertinggi di Asia Tenggara akibat meningitis.

Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitis purulenta paling
sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenzae sedangkan
meningitis serosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa dan virus.

3.3 Etiologi

Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman mencakup sekaligus


kausa meningitis, yaitu :

1. Meningtis virus

2. Meningitis bakteri

3. Meningitis fungus

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah
sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling
sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis
bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan
meningitis purulenta yang paling sering terjadi.

Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis
penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri
maupun produk bakteri lebih berat. Agen infeksi meningitis purulenta mempunyai
kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonates paling banyak disebabkan
oleh Escherichia Coli, Streptococcus beta haemolyticus dan Listeria monocytogenes. Golongan
umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan
Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria
meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan
oleh Meningococcus, Pneumococcus, Staphylocccus, Streptococcus dan Listeria.

Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis
dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik,
cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus, sedangkan Herpes simplex,
Herpes zoster , dan enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis aseptik (viral ).

Meningitis akibat infeksi jamur insidensinya amat rendah, namun dapat mengancam
kehidupan. Semua orang dapat terkena meningitis jamur, namun risiko lebih tinggi terdapat pada
orang dengan sistem imunitas yang lebih lemah dan leukemia. Penyebab tersering dari meningitis
jamur adalah Cryptococcus dan Candida.

3.4 Patofisiologi

Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan
di dalam tubuh lainnya. Virus atau bakteri yang menyebar secara hematogen sampai ke selaput
otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis.

Penyebaran bakteri atau virus tersebut dapat juga terjadi secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media,
mastoiditis, thrombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran kuman bisa terjadi akibat dari
trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke
dalam ruang sub arakhnoid yang menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid, CSS
(Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.

Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses inflamasi melalui
mediator yang berperan seperti interleukin, tumor necrosis factor-α (TNF-α), interferon,
prostaglandin, nitrit oksida, platelet activation factor (PAF) dan mediator lainnya. Mula-mula
pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi dalam waktu yang sangat
singkat, lalu terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang sub arakhnoid
kemudian terbentuk eksudat, dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit
dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan yaitu bagian
luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin serta di lapisan dalam yang terdapat
makrofag.

Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang datang dari
lintasan hematogen. Proses radang juga menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas dari
kapiler otak yang sebelumnya kedap dan selektif terhadap berbagai macam zat, menjadi
permeable sehingga terjadi kebocoran plasma dan dapat menyebabkan kuman masuk kedalam
cairan serebrospinal dan ruang subarachnoid. Dengan demikian peradangan akan terus terjadi
tidak hanya pada pembuluh darah. Selain itu Proses radang yang mengenai vena-vena di korteks
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron- neuron.
Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan
kranialis. Pada meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih
dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.

Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi trombosis atau perlekatan
vili vena pada sinus akibat peradangan yang berperan dalam absorbsi cairan serebrospinal
sehingga menimbulkan hidrosefalus. Selain itu, plexus koroideus yang berfungsi untuk
memproduksi cairan serebrospinal jika terkena radang akan meningkatkan produksinya sehingga
timbul hidrosefalus komunikans. Jika terus berlanjut akan menyebabkan edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial sehingga terjadi kompresi pada otak dan pembuluh darah,
menurunkan aliran suplai nutrisi dan oksigen. Jika proses ini tidak dicegah dapat menimbulkan
atrofi jaringan otak, deficit neurologis, berupa parese nervus kranialis dan hemiparese,
penurunan kesadaran dan bahkan kematian.
3.6 Manifestasi Klinis

Gejala klasik berupa trias meningitis tersebut sebagai berikut :

1. Demam

2. Nyeri kepala

3. Kaku kuduk.

Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,
letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot, fotofobia, mudah mengantuk, bingung,
gelisah, parese nervus kranialis dan kejang.

Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit
penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus
ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid
sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus
ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai
dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan
ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vaskuler
pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala,
muntah, demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung.

Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonates terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi,
mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44
% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 %
oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya
dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan
gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulent.

Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodormal
selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-
anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur
terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan
sangat gelisah.

Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala penyakit
lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat, gangguan kesadaran dan
kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, terjadi parese nervus kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah
lebih hebat.
Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin parah dan
gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia
dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.

3.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

1. Anamnesa

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri kepala dan
kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan, mudah mengantuk,
fotofobia, gelisah, kejang dan penurunan kesadaran. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya dilakukan


pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda
kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala
disertai rasa nyeri dan spasme otot.

b. Pemeriksaan Kernig

Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi
tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila
ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna)
disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh
dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti
pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)

Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat di
bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas
superior.

f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)

Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan pemeriksaan.
Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.

g. Pemeriksaan Lasegue

Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu tungkai
diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat
tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

Pem. Penunjang

a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.

1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein normal, kultur negatif.

2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah
putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun, kultur
(+) beberapa jenis bakteri. Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen
infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :

b. Pemeriksaan Darah

Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar
ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.

1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB

2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear dengan shift


ke kiri.

3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.


4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada cairan
serebrospinal.

5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan penyesuaian
dosis terapi.

6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.

c. Kultur

Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal pungsi atau jika
tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat
diambil dari:

1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S. Pneumoniae, N.


Meningitidis.

2) Nasofaring

3) Sputum

4) Urin

5) Lesi kulit

d. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT-Scan dan MRI.
Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia
dan tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal.

Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan diagnosis pasti
meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak
ditemukan bukan berarti meningitis dapat disingkirkan.

Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America (IDSA), berikut ini
adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan lumbal pungsi yaitu :

1) Dalam keadaan Immunocompromised

2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi fokal)

3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya

4) Papiledema

5) Gangguan kesadaran

6) Defisit neurologis fokal


Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus, enhancement kontras
yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula ditemukan infark vena dan hidrosefalus
komunikans.

Meningitis dapat didiagnosis banding dengann penyakit dibawah ini:

1. Abses serebral

2. Ensefalitis

3. Neoplasma serebral

4. Perdarahan Subarachnoid

3.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif, komplikatif dan


suportif. Dimaksud dengan terapi suportif disini adalah, misalnya pemberian cairan untuk
mencegah gangguan elektrolit dan memastikan balans cairan berada pada level yang normal.
Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga output urin dan perfusi jaringan yang
memadai, serta menghindari dehidrasi.

Selain itu, perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat memempengaruhi
aktivitas bakterisidal dari antibiotik, saat di dalam liquor cerebrospinal.

Pada anak yang kejang, dapat diberikan terapi sesuai dengan tatalaksana kejang. Yaitu
pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang masih
berlanjut, kembali berikan diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Jika kejang masih belum
berhenti, berikan fenobarbital dengan dosis awal 10-20 mg/kg BB, secara intramuskular, 24 jam
kemudia, diberikan dosis maintenance 4-5 mg/kg BB/ hari.

Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan. Namun, pada
umumnya, lama pengobatan berkisar antara 10-21 hari. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan
lumbal pungsi ulangan untuk memverifikasi apakah terapi yang telah diberikan, berjalan sesuai
dengan harapan atau tidak.

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak pada tahun 2004, terapi empirik
untuk nenoatus dengan meningitis bakterial adalah sebagai berikut:

- Usia 0-7 hari

o Injeksi ampisilin 150 mg/kg BB/hari, setiap 8 jam + injeksi cefotaxim 100mg/ kg bb/
hari, setiap 12 jam; atau

o Injeksi ceftriaxon 50 mg/kg bb/hari, setiap 24 jam; atau


o Injeksi ampisilin 150 mg/kg bb/hari, setiap 8 jam + injeksi gentamycin 5 mg/kg bb/
hari, setiap 12 jam

- Usia > 7 hari

o Injeksi ampisilin 200 mg/kg bb/ hari, setiap 6 jam + injeksi gentamycin 7,5 mg/kg bb/
hari, setiap 12 jam; atau

o Injeksi ampisilin 200 mg/kg bb/hari, setiap 8 jam

o Injeksi ceftriaxone 100 mg/kg bb/hari, setiap 12 jam

Pemberian antibiotik pada pasien yang dicurigai meningitis, harus dilakukan dengan
cepat. Pemilihan antibiotic inisial, harus yang memiliki kemampuan melawan 3 patogen
tersering: Streptococcus pneumonia, Neisseria menigitidis, dan Haemophillus influenza.

Berdasarkan penelitian oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice


guidelines for bacterial meningitis, pada tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone
adalah yang paling dianjurkan. Kombinasi ini memberikan respon adekuat terhadap
Streptococcus pneumonia dan Haemophillus influenza tipe B. Perlu dicatat bahwa tidak
dianjurkan untuk mengganti ceftriaxone dengan ceftazidine, karena kemampuan
bakteriostatiknya terhadap Streptococcus pneumonia, kurang baik.

Terapi dengan karbapenem dapat dipertimbangkan sebagai pilihan, pada patogen yang
resisten sefalosporin. Sedangkan penggunaan fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien
yang tidak dapat menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal setelah diberikan terapi
sebelumnya.

Sedangkan pada meningitis tuberkulosis, pada dasarnya, terapi yang diberikan adalah
pemberian kombinasi obat anti-tuberkulosis, serta kortikosteroid. Tidak lupa juga diberikan
penambahan obat simtomatik (misalnya anti-kejang jika terdapat kejang dan koreksi dehidrasi
bila terjadi gangguan elektrolit. Terapi anti-tuberkulosis yang diberikan, sesuai dengan konsep
baku yang ada, yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4-5 OAT (isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol), dilanjutkan dengan 12 bulan selanjutnya diberikan 2 OAT
(isoniazid dan rifampisin).

Untuk durasi terapi antibiotik, belum ada durasi optimal yang secara jelas
direkomendasikan, bahkan untuk patogen yang insidensinya cukup tinggi. Secara tradisional,
jangka waktu 7 sampai 10 hari sudah cukup untuk mengobati meningitis akibat Streptococcus
pneumonia hingga tuntas. Sedangkan untuk patogen lainnya, direkomendasikan pemberian yang
lebih lama, 10 sampai 21 hari. Pada suatu percobaan acak, terapi dengan seftriakson pada anak
dengan meningitis Haemophillus influenza, terapi selama 7 hari ternyata memiliki efektivitas
yang sama dengan terapi selama 10 hari. Namun, pada praktek sehari-hari, durasi terapi tiap-tiap
pasien biasanya berbeda, karena kembali disesuaikan secara individual, berdasarkan gejala klinis
dan respons tubuh serta patogennya itu sendiri.
Virus

Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang diberikan cukup
terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak diindikasikan untuk rawat inap.
Pada pasien dengan defisiensi imunitas ataupun sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan
immunoglobulin intravena.

Bukti anekdotla mendukung pemberian asiklovir untuk bagian dari terapi meningitis
Herpes Simplex virus, Epstein-barr virus, dan Varicella zoster virus. Terapi ini biasanya
diindikasikan untuk pasien dengan meningitis HSV primar dan pasien meningitis viral yang
memiliki gejala dan defisit neurologis yang berat. Selain asiklovir, dapat diberikan juga
famsiklovir, dan valasiklovir. Studi membuktikkan bahwa penggunaan ketiga golongan ini,
memiliki efektifitas yang sama-sama baik. Dosis asiklovir yang biasa digunakan adalah 10
mg/kg BB, diberikan setiap 8 jam. Hingga saat ini, belum ada rumusan pasti untuk penggunaan
famsiklovir, karena memang penggunaan obat ini masih jarang, tetapi, suatu studi menyimpulkan
bahwa dosis famsiklovir untuk anak-anak berkisar di 150-500 mg/hari. Untuk valaskilovir, dosis
yang direkomendasikan adalah 20mg / kg BB, 3x sehari, dengan dosis maximum adalah 1000mg
dalah 1 hari.

Jamur

Terapi tentunya disesuaikan dengan etiologi funginya. Untuk meningitis yang


diakibatkan oleh infeksi Candida albicans, terapi awal pilihannya adalah amfoterisin B (0,7
mg/kg bb/hari). Terapi lainnya yang juga dapat diberikan adalah golongan azole, namun
biasanya lebih sering digunakkan sebagai terapi lanjutan.

Etiologi tersering kedua, setelah Candida albicans, adalah Coccidioides immitis. Pada
infeksi oleh organisme ini, amtoferisin B merupakan drug of choice. Dosis inisial adalah 0,1 mg
untuk 3 kali suntikan pertama. Selanjutnya dosis dapat ditingkatkan menjadi 0,25-0,5mg, 3-4 kali
setiap minggu. Perlu diketahui akan efek samping dari amfoterisin B (nyeri punggung, nyeri
tungkai). Jika memang pasien tidak dapat menolerasi efek samping ini, terapi dapat diubah
menjadi Flukonazol oral (400mg / hari).

3.9 Komplikasi

Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status mental, edema
serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, empiema atau efusi subdural, parese nervus
kranialis, hidrosefalus, defisit sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan. Pada
onset lanjut dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual yang
menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik,
disseminated intravascular coagulaton (DIC), gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi
endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

3.10 Pencegahan
Pencegahan meningitis ini terdiri dari tiga pencegahan yaitu, sebagai berikut :

a. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya factor resiko meningitis bagi
individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat
membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type
b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine
(PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Mumps Measles Rubella).
Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat
digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksinasi Hib
dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian
imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3
dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu
bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan
pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibody.

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti
barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan
personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

b. Penegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa
gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini
juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala
awal meningitis.

Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan


cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen)
paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah
penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini. Penderita juga
diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab
meningitis.

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk
menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi
kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau
ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan
mengurangi cacat.
3.11 Prognosis

Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang


menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama
penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua
mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.

Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta,


tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh
persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara
dan 33 gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.

Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh umur
dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu
6-8 minggu.

Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh
lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat
penyembuhan total bisa terjadi.
BAB III

KESIMPULAN

Meningitis adalah peradangan pada selaput otak yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, atau jamur. Terdapat dua jenis meningitis berdasarkan etiologi, yaitu meningitis serosa
dan purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan hasil pemeriksaan CSF yang jernih, sedangkan
meningitis purulenta menghasilkan kekeruhan atau purulen pada CSF. Meningitis sering terjadi
pada kondisi sosioekonomi rendah, lingkungan yang padat, dan infeksi saluran pernapasan.
Meningitis merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara berkembang, terutama di
Afrika sub-Sahara. Indonesia juga menghadapi jumlah kasus meningitis yang signifikan.
Kesadaran akan tanda dan gejala meningitis serta upaya pencegahan yang tepat penting untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cantu RM, M Das J. Viral Meningitis. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; August 8, 2022.
2. Slane VH, Unakal CG. Tuberculous Meningitis. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; November 18, 2022.
3. Bundy LM, Rajnik M, Noor A. Neonatal Meningitis. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; March 19, 2023.
4. Zainel A, Mitchell H, Sadarangani M. Bacterial Meningitis in Children: Neurological
Complications, Associated Risk Factors, and Prevention. Microorganisms. 2021;9(3):535.
Published 2021 Mar 5. doi:10.3390/microorganisms9030535
5. Hersi K, Gonzalez FJ, Kondamudi NP. Meningitis. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; August 14, 2022.
6. Pusparisa Y. Persebaran Penyakit Meningitis di Asia Tenggara. Databooks. 2020.
Available from: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/04/09/meningitis-dan-
persebarannya-di-asean
7. Swaiman KF. Swaiman's pediatric neurology : principles and practice. Elsevier. 2018.
ISBN 9780323371018
8. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2009.

Anda mungkin juga menyukai