Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

INFEKSI SUSUNAN SARAF PUSAT

Oleh:

Adeta Yuniza 2015730002

Larasati Adhya A 2015730077

Try Marzela P A 2014730092

Pembimbing :

dr. Wiwin Sundawiyani, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019

1|Page
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan referat ini dengan judul ”Infeksi
Susunan Saraf Pusat”. Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta
memenuhi persyaratan dalam penilaian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit
Islam Jakarta Cempaka Putih.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para
mahasiswa fakultas kedokteran, dokter, dan masyarakat Indonesia. Serta semoga dapat
menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran dan dapat menjadi bekal dalam profesi kami
kelak.

Kami menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan baik mengenai isi,
susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca referat ini. Atas perhatian yang
diberikan kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, Desember 2019

Penulis

2|Page
BAB 1

PENDAHULUAN

Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih


merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup
tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP)
termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis. Meningitis yang berarti adanya suatu infeksi
selaput otak yang melibatkan arachnoid dan piamater sedangkan ensefalitis adalah adanya
infeksi pada jaringan parenkim otak.

Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika
seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari lumpuh hingga
koma. Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling terlindungi atau yang paling
terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi akan sangat mungkin mempengaruhi organ
lainnya di tubuh dan fungsinya menjadi terganggu.

Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam dan
sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala lanjutan seperti kejang dan
sakit kepala yang semakin parah segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostic dini
memang tidak mudah, karenanya proses pencarian penyebabnya harus progresif agar bisa
ditangani dengan baik.

Untuk diagnosis pastinya dilakukan pemeriksaan cairan otak agar bisa diketahui
penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing pita. Jika
prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa mengurangi kecacatan yang timbul.

3|Page
BAB 2

ISI

2.1 Definisi

Infeksi susunan saraf pusat ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam
susunan saraf pusat.

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi infeksi susunan saraf menurut organ yang terkena peradangan, tidak memberikan
pegangan klinis yang berarti. Radang pada saraf tepi dinamakan neuritis, pada meningen disebut
meningitis, pada jaringan medulla spinalis dinamakan mielitis dan pada otak dikenal sebagai
ensefalitis. Sebaliknya pembagian menurut jenis kumkan mencakup sekaligus diagnosis kausal.
Maka dari itu, pembahasan mekanisme infeksi susunan saraf akan dilakukan menurut klasifikasi:

1) Infeksi viral
2) Infeksi bakteri
3) Infeksi spiroketa
4) Infeksi fungus
5) Infeksi protozoa
6) Infeksi metazoan

4|Page
2.3 Infeksi Virus
2.3.1 Meningitis Viral
Anatomi meningea
Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh homeostasis
seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak juga
bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi. ingatan, pembelajaran motorik dan
segala bentuk pembelajaran lainnya. Otak dilindungi oleh kranium, meningea/selaput otak dan
LCS (Liquor CerebroSpinal). Meningea terdiri atas 3 lapisan, yaitu:

1) Duramater
Luar : melapisi tengkorak

Gambar 1 Anatomi lapisan meningea kranium

Gambar 2 Anatomi lapisan meningea kranium

5|Page
Dalam : membentuk falk serebri, falk serebelli, tentorium serebellin. Membentuk sinus
sagitalis/longitudinalis superior dan inferior.
2) Arakhnoid : Terdapat granulasi arackhnoid, dilalui LCS
3) Piamater : Melekat pada otak / sumsum tulang.

Gambar 3 Anatomi lapisan meningea cranium

LCS (Liquor Cerebro Spinal) berada pada rongga-rongga otak (ventrikel) di dalam
ruang subarakhnoid, diproduksi oleh plexus khoroid. Pada sumsum tulang berada di kanalis
sentralis & ruang subarakhnoid. Sifat bening, alkali, tekanan 60 – 140 mm air. Berfungsi sebagai
buffer, bantalan fisik, nutrisi jaringan syaraf. Pemeriksaan LCS dilakukan dengan punksi Lumbal
(VL 1-2) dan punksi fontanel.
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah
leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat
dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-
minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang
tindih karena etiologinya sangat bervariasi
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya
menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan penyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus dan Herpes Simplex Virus (HSV).

6|Page
Meningitis viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai manifestasi dari
infeksi SSP. Istilah viral digunakan karena merupakan agen penyebab, dan penggunaan
meningitis saja mengimplikasikan tidak terlibatnya parenkim otak dan medula spinalis. Namun,
patogen virus dapat menyebabkan kombinasi dari infeksi yaitu meningoencephalitis atau
meningomielitis.
Pada meningitis viral, perjalanan klinis biasanya terbatas, dengan pemulihan komplit
pada 7-10 hari. Lebih dari 85% kasus disebabkan oleh enterovirus non polio; maka, karakteristik
penyakit, manifestasi klinis, dan epidemiologi menunjukkan infeksi enteroviral.

Etiologi:
 Enteroviruses menyebabkan lebih dari 85% semua kasus meningitis virus. Mereka
merupakan keluarga dari Picornaviridae (“pico” untuk kecil, “rna” untuk asam
ribonukleat), dan termasuk echovirus, coxsackie virus A dan B, poliovirus, dan
sejumlah enterovirus. Nonpolio enterovirus merupakan virus yang sering, sama dekat
ya dengan prevalensi rhinoviruses (flu
 Arboviruses menyebabkan hanya 5% kasus di Amerika Utara
 Cacar: sejumlah keluarga dari Paramyxovirus, virus cacar merupakan agen pertama
dari meningitis dan meningoensefalitis.
 Virus keluarga herpes: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, dan herpes virus manusia 6
secara kolektif menyebabkan sekitar 4% kasus meningitis viral, dengan HSV-2
menjadi penyerang terbanyak.
 Lymphocytic choriomeningitis virus: LCMV masuk k edalam keluarga arenaviruses.
Saat ini adalah jarang penyebab meningitis, virus ditransmisikan ke manusia melalui
kontak dengan tikus atau ekskeresi mereka. Mereka berada pada resiko tinggi pada
pekerja laboratorium, pemilik binatang peliharaan, atau orang yang hidup dia area non
higienis.
 Adenovirus: Adenovirus merupakan penyebab jarang dari meningitis pada individu
immunocompeten tetapi merupakan penyebab utama pada pasien AIDS, Infeksi dapat
timbul secara simultan dengan infeksi saluran nafas atas.
 Campak: Morbili virus ini merupakan penyebab yang paling jarang saat ini.
Karakteristik ruam makulopapular membantu dalam diagnosis. Kebanyakan kasus

7|Page
timbul pada orang usia muda di sekolah dan perkuliahan. Campak tetap merupakan
ancaman kesehatan dunia dengan angka penyerangan tertinggi dari infeksi yang ada;
eradikasi dari campak merupakan tujuan kesehatan masyarakat yang penting dari
WHO.

Patofisiologi Meningitis Viral


Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada herpes viruses (HSV-1,
HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.
Pertahanan tubuh multiple mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi signifikan
secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan local, barier mukosa dan kulit, dan
blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada system organ awal (ie, respiratory atau
gastrointestinal mucosa) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer
memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus lymph) jika
replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana
dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam CNS. Replikasi viral cepat tampaknya memainkan
peranan dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam CNS tidak sepenuhnya dimengerti.
Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek natural
(area posttrauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat dalam bentuk
pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada
24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit
CSF telag dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke CNS dengan
transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui
akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan
lobus temporal anterior.

8|Page
Manifestasi Klinis
 Riwayat Penyakit
 Kebanyakan pasien melaporkan demam, sakit kepala, iritabilitasm nausea, muntah,
kaku leher, atau kelelahan dalam 18-36 jam sebelumnya.
 Nyeri kepala hampir selalu ada dan seringkali dilaporkan dengan intensitas yang berat.
Bagaimanapun, deskripsi klasik dari ‘sakit kepala terburuk dari hidup saya’, ditujukan
kepada perdarahan sub arachnoid aneurisma, adalah tidak biasa
 Gejala konstitusional lain adalah muntah, diare, batuk dan mialgia yang timbul pada
lebih 50% pasien.
 Riwayat kenaikan temperature timbul pada 76-100% pasien yang datang untuk
mendapatkan perjatian medis. Pola yang sering adalah demam dengan derajat rendah
pada tahap prodromal dan kenaikan temperature yang lebih tinggi pada saat terdapat
tanda neurologis.
 Beberapa virus menyebabkan onset cepat dari gejala diatas, sementara lainnya
bermanifest sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia, gejala seperti flu, dan
demam derajat rendah yang timbul selama gejala neurologis sekitar 48 jam. Dengan
onset kaku kuduk dan nyeri kepala, demam biasanya kembali.
 Pengambilan riwayat yang hati-hati dan harus termasuk evaluasi paparan kontak
kesakitan, gigitan nyamuk, debu, aktivitas outdoor pada daerah endemis penyakit lyme,
riwayat bepergian dengan kemungkinan terpapar terhadap tuberculosis, sama halnya
dengan penggunaan medikasi, penggunaan obat intravena, dan resiko penyebaran
penyakit menular seksual.
 Bagian yang penting dari riwayat adalah penggunaan antibiotic sebelumnya, dimana
dapat mempengaruhi gambaran klinis meningitis bakterial.
 Fisik
 Penemuan fisik umum pada meningitis viral adalah sering untuk semua agen penyebab,
tetapi beberapa virus mempinyai manifestasi klinis unik yang dapat membantu
pendekatan diagnostic yang terfokus. Pembelajaran klasik mengajarkan bahwa trias
meningitis meliputi demam, rigiditas nuchal, dan perubahan status mental,
meskipun tidak semua pasien mempunyai gejala ini, dan nyeri kepala hampir selalu

9|Page
timbul. Pemeriksaan menunjukkan tidak ada defiist neurologis fokal pada kebanyakan
kasus.
 Demam lebih sering (80-100% cases) dan biasanya bervariasi antara 38ºC and 40ºC.
 Rigiditas nuchal atau tanda lain dari iritasi meningea (tanda Brudzinski atau Kernig)
dapat terlihat lebih pada setengah pasien tetapi secara umum kurang berat dibandingkan
dengan meningitis bakterial.

Gambar 4 Tanda Brudzinski Gambar 5 Tanda Kernig

 Iritabilitas, disorientasi, dan perubahan status mental dapat terlihat.


 Nyeri kepala lebih sering dan berat.
 Photophobia secara ralatif adalah sering namun dapat ringan, Fonofobia juga dapat
timbul.
 Kejang timbul pada keadaaan biasanya dari demam, meskipun keterlibatan dari
parenkim otak (encephalitis) juga dipertimbangkan, Encephalopathy global dan deficit
neurologis fokal adalah jarang tetapi dapat timbul. Refleks tendon dalam biasanya
normal tetapi dapat berat.
 Tanda lain dari infeksi viral spesifik dapat membantu dalam diagnosis. Hal ini meliputi
faringitis dan pleurodynia pada infeksi enteroviral, manifestasi kulit seperti erupsi
zoster pada VZV, ruam maculopapular dari campak dan enterovirus, erupsi vesicular
oleh herpes simpleks, dan herpangina pada infeksi coxsackie virus. Infeksi Epstein Bar
virus didukung oleh faringitis, limfadenopati, cytomegalovirus, atau HLV sebagai agent
penyebab. Parotitis dan orchitis dapat timbul dengan campak, sementara kebanyakan
infeksi enteroviral dikaitkan dengan gastroenteritis dan ruam.

10 | P a g e
Pemeriksaan Penunjang
 Studi Laboratorium
 Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
 Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda
neurologis abnormal untuk menyingkirkan lesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif
sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur CSF tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri
atau piogen dari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari
meningitis bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul
aseptic. Hal berikut ini merupakan karakteristik CSF yang digunakan untuk mendukung
diagnosis meningitis viral:
o Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000 x 109/L darah
telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan
aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung
sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF klasik meningitis
viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana
mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan
sel; hal ini merupakan bukan merupakan atran yang absolute bagaimanapun.
o Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.

Tabel 1. Gambaran LCS pasien dengan meningitis

11 | P a g e
 Studi Pencitraan
o Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat termasuk CT
Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan gadolinium.
o CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi intrakranial.
Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan sepanjang
mening dan untuk menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural,
ataulesi lain. Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan.
o MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan patologi
intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal frontal
dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
Penatalaksanaan
 Perawatan Medis
Terapi untuk meningitis viral kebanyakan suportif. Istirahat, hidrasi, antipiretik, dan
medikasi nyeri atau anti inflamasi dapat diberikan jika diperlukan, Keputusan yang paling
penting adalah baik memberikan terapi antimikroba awal untuk meningitis bakteri
sementara menunggu penyebabnya untuk bias diidentifikasi. Antibiotik intravena harus
diberikan lebih awal jika meningitis bakterial dicurigai. Pasien dengan tanda dan gejala dari
meningoensefalitis harus menerima asiklovir lebih awal untuk mencegah encephalitis HSV.
Terapi dapat dimodifikasi sebagai hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR ketika
telah tersedia. Pasien dalam kondisi yang tidak stabil membutuhkan perawatan di critical
care unit untuk menjaga saluran nafas, pemeriksaan neurologis, dan pencegahan dari
komplikasi sekunder.
Enterovirus dan HSV keduanya mampu menyebabkan septic shock viral pada bayi baru
lahir dan bayi. Pada pasien muda ini, broad spectrum antibiotic dan asikloviar harus
diberikan secepatnya ketika diagnosis dicurigai. Perhatian khusus harus diberikan terhadap
cairan dan keseimbangan elektrolit (terutama natrum(, semenjak SIADH telah dilaporkan.
Restriksi cairan, diuretic, dan secara jarang infuse salin dapat digunakan untuk mengatasi
hiponatremia. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dari traktus urinarius dan system
pulmoner juga penting untuk dilaksanakan

12 | P a g e
 Medikasi
Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic biasanya itu semua yang
dibutuhkan dalam management dari meningitis viral yang tidak komplikasi.
Keputusan untuk memulai terapi antibakterial untuk kemungkinan meningitis bakteri adalah
penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan patogen harus dipertimbangkan
dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus digunakan pada kasus dengan kecurigaan
HSV (pasien dengan lesi herpetic), dan biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang
lebih berat yang komplikasinya encephalitis atau sepsis.
 Agen Antiemetik: Agen ini digunakan dengan luas untuk mencegah mual dan muntah.
- Ondansetron (Zofran) Antagonis selektif 5-HT3-receptor yang menghentikan
serotonin di perifer dan sentral, Mempunyai efikasi pada pasien yang tidak
berespon baikterhadap anti emetik lain. Dewasa: 4-8 mg IV q8h/q12h. Pediatrik:
0.1 mg/kg IV lambat maximum 4 mg/dosis; dapat diulang q12h
- Droperidol (Inapsine): Agen neuroleptik yang mengurangi muntah dengan
menghentikan stimulasi dopamine dari zona pemicu kemoreseptor. Juga
mempunyai kandungan antipsikotik dan sedative. Dewasa: 2.5-5 mg IV/IM q4-6
prn. Pediatrik: 6 bulan: 0.05-0.06 mg/kg/dose IV/IM q4-6 prn
 Agen Antiviral: Terapi anti enteroviral masih dibawah investigasi untuk meningitis viral
dan dapat segera tersedia. Regimen anti HIV dan anti tuberculosis tidak dibicarakan
disini, tetapi sebaiknya digunakan jika infeksi ini dengan kuat mendukung secara klinis
atau telah dikonfirmasi dengan pengujian. Terapi empiris dapat dihentikan ketika
penyebab meningitis viral telah tegak dan meningitis bakterial telah disingkirkan
- Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika diagnosis herpetic
meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk kedua HSV-1 and
HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/d IV dibagi q8h for 10-14 hari. Pediatrik: 30 mg/kg/d
IV dibagi q8h untuk 10 hari.
Prognosis
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuele
atau risiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuele neurologis atau mortalitas.

13 | P a g e
2.3.2 Ensefalitis Viral

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikro-organisme.


Ensefalitis ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Dalam prakteknya di
klinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis dan temuan-
temuan epidemiologis, tanpa bahan histologis.
Adapun etiologi dari ensefalitis ini bermacam-macam, seperti disebutkan sebagai berikut
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan Sering, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero
Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela Jarang; sekuele jarang, kecuali pada rubela congenital
5. Kelompok Virus Herpes
a. Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sekuele sering ditemukan pada
neonatus menimbulkan kematian.
b. Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan.
c. Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele lambat
pada CMV congenital
d. Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang
e. Kelompok virus poks
Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
- Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk
- Caplak : epidemi musiman tergantung pada ekologi vektor serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
- Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
- Virus herpes Simiae (virus “B”) : saliva kera
- Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat

14 | P a g e
Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak.
Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik.
 Diagnosis ensefalitis virus:
1. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-gejala
kerusakan SSP.
2. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit peningkatan
protein (normal pada ESL).
3. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah)
4. Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3-4 minggu
secara terpisah.
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan :
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal serebral/serebelar,
adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap penyakit melalui kontak,
pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah endemik dan lain-lain
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan sebaliknya
anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
- Gangguan kesadaran
- Hemiparesis
- Tonus otot meninggi
- Reflek patologis positif
- Reflek fiisiologis meningkat
- Klonus
- Gangguan nervus kranialis
- Ataksia
c. Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan memberikan respons
terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya cairan serebro spinal jernih,
jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel
polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna. Kadar protein meningkat sedang atau normal,

15 | P a g e
kadar protein mencapai 360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek dan 55
mg% yang disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus 80% positif.
 Tata laksana pada ensefalitis virus:
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat.
Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur)
dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri
dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena dengan
dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga
dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari
jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama
5. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis bakterial), maka
harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi
virus herpes simplek diberikan Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari
selama 10 hari. Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga
ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian
penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simplek, maka
pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas
berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif.
6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi
kebutuhan pernapasan buatan
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat
dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem
kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap.

16 | P a g e
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus
maupun gangguan mental sering terjadi Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus,
epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat.
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan.
Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.

2.4 Infeksi Bakteri pada Susunan Saraf


2.4.1 Meningitis Bakterial Akut
Meningitis bakterial adalah infeksi purulen ruang subarakhnoid. Biasanya akut,
fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan kaku nukhal. Koma terjadi
pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus,
dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak hampir selalu fatal.
CSS secara klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir, peninggian protein, dan
penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan organisme penyebab pada 75
% kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu untuk melakukan tes
sensitifitas antibiotika terhadap mikroba. Penurunan kesadaran, terutama bila berhubungan
dengan edema papil atau defisit neurologis fokal, mengharuskan dilakukannya CT scan
sebelum melakukan pungsi lumbar untuk menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus.
Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi
pungsi lumbar, tentunya dengan pengetahuan yang baik tentang herniasi serta
penanggulangannya. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan teliti daerah inflamasi
berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis.
Kultur darah mungkin positif.
Terapi empiris harus diperbaiki bila organism penyebab sudah dikenal. Penisilin G dan
ampisilin diketahui mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan infeksi S.pneumoniae dan
N.meningitidis. Dengan meningkatnya H.influenzae yang membentuk beta-laktamase, saat ini
sekitar 25 %, menyebabkan pemakaian ampisilin dan kloramfenikol sebagai terapi empiris.
Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat dan sekarang dipakai sebagai terapi
terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalo-sporin generasi kedua, pernah
umum digunakan untuk H.influenzae, tidak lagi dianjurkan untuk infeksi SSP karena

17 | P a g e
lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi
sistemik. L. monocytogenes tidak sensitive sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah
ampisilin atau penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim sulfa-metoksazol. Pasien dengan
meningitis S. aureus harus ditindak dengan nafsilin atau oksasilin, dengan vankomisin
dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis,
umumnya berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen meningeal utama, dan
21 hari untuk infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap meningitis basiler gram negative
mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan
seftriakson dapat menembus CSS dan mencapai konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan
terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara intratekal; 78-94 %
tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim terbukti
bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum dinilai
dengan baik. Dianjurkan seftazidim dicadangkan untuk pengobatan P.aeruginosa dalam
kombinasi dengan aminoglikosida. Kegagalan regimen ini mengharuskan pemberian
aminoglikosida intratekal atau intraventrikuler untuk memperkuat terapi.
Modifikasi inflamasi ruang subarachnoid dengan agen anti inflamatori mungkin
memperkecil akibat meningitis bakterial. Penelitian mutakhir terapi tambahan deksametason
pada bayi dan anak-anak dengan meningitis bakterial memperlihatkan bahwa sekuele
neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan pendengaran, menurun
pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama terapi, dan
tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan deksametason dianjurkan pada
pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan.

18 | P a g e
2.4.2 Meningitis Tuberkulosa

Gambar 8. Two case of TB mimicking brain tumors Gambar 9. MR scans shows TB granuloma with
(A,B) ring enhancing mass resembles GBM. (C,D) profoundly hypointense center with T2W1 (A,B,
Dural based mass resembles meningioma12 panah hitam), peripheral enhancement (C,D, panah
Putih)12
 Manifestasi klinis :
Penulis menemukan adanya panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah muntah, kejang dan
pemeriksaan neurologik menunjukkan adanya kaku tengkuk, kelumpuhan saraf kranial (terutama
N III, IV, VI, VII) (30%), edema papil dan kelumpuhan ekstremitas (20%) serta gangguan
kesadaran.
Diagnosis :
Diagnosis Meningitis tuberkulosis ditegakkan atas dasar :
1. Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku tengkuk, tanda Kernig dan Brudzinski.
2. Pemeriksaan CSS menunjukkan :
-- peningkatan sel darah putih terutama limfosit
-- peningkatan kadar protein
-- penurunan kadar glukosa
3. Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
-- ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan pembiakan CSS
-- kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis
-- pada anamnesis kontak dengan penderita tuberkulosis aktif

19 | P a g e
Stadium : Pembagian klinis ke dalam 3 stadium :
-- Stadium I : kesadaran penderita baik disertai rangsangan selaput otak tanpa tanda neurologik
fokal atau tanda hidrosefalus.
-- Stadium II : didapatkan kebingungan dengan atau tanpa disertai tanda neurologis fokal
misalnya kelumpuhan otot mata bagian luar atau adanya hemiparesis.
-- Stadium III : penderita dengan stupor atau delirium dengan hemiparesis/ paraparesis.

Pengobatan :
Sediaan OAT:
Rifampisin : 10 mg/kgBB/hari po.
Isoniazid : 5 mg/kgBB/hari po.
Pirazinamid : 25 mg/kgBB/hari po; max 2 g/hari.
Etambutol : 20 mg/kgBB/hari po; max 1,2 g/hari
Streptomisin : 20 mg/kgBB/hari im
Combipack : Rifampisin 150 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg.

2.4.3 Abses Serebri

Gambar 10. Sagital (A) dan Coronal (B) menunjukkan solitary ring-enhancing mass.
(C,D) menunjukkan restricted diffusion.12
Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak.
Perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi selama pembentukan abses pada anjing
dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik,

20 | P a g e
dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskularisasi periferal dan lambat
laun terbentuk cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir sebagai
kapsul berbentuk tegas. Apakah serebritis menjadi abses yang berkapsul tergantung pada
interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun baik,
proses sejak infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2 minggu. Daerah
terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah yang kurang vaskuler yang menghadap
ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur ventrikuler dan
kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala.
Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri kepala,
defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi pada 50 %
dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi pada
25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah umum terjadi;
karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang 10 % kasus.
Abses otak umumnya terjadi sekunder terhadap infeksi ditempat lain, dan
bakteriologi sering menunjukkan sumber primer. Seperti empiema subdural, perluasan
intrakranial langsung dari sinus paranasal atau infeksi telinga adalah etiologi tersering. Lesi
ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis frontoetmoid, dilobus
temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi otologis.
Abses otak multipel menunjukkan penyebaran hematogen dari sumber jauh dan infeksi
sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital sianotik,
pneumonia, dan divertikulitis harus dicari. Penyebaran hematogen, terutama dari
endokarditis, mungkin berhubungan dengan aneurisma intrakranial piogenik.
Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak penetrating adalah penyebab lain dari
abses. Fragmen tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum dijumpai pada pasien
dengan infeksi otak traumatika.
Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis bakterial, namun
merupakan faktor predisposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya berkaitan
dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai
pada pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan steroid, kelainan
limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung multipel.

21 | P a g e
Organisme yang paling sering dijumpai pada abses otak adalah Streptokokus, Stafilokokus,
dan Bakteroides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi antibiotik empiris
berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun beratnya penyakit serta
sering terjadinya infeksi yang tidak terduga menyebabkan dianjurkannya antibiotik jangkauan
luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob sebagai terapi empiris pada semua kasus.
CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak abses otak. Karena memberikan
deteksi yang dini dan memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling bertanggungjawab
atas penurunan angka kematian dari 30-50 % kasus menjadi kurang dari 15 % dalam dua
decade terakhir.
Tujuan terapi adalah memastikan segera mikroba yang bertanggung-jawab serta
sensitifitas antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek massa segera,
dan mengurangi edema otak. Pemberian kortikosteroid kontroversial. Selama serebritis dan
tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan abses kecil dan
organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral mungkin cukup.
Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik dengan aspirasi
maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4 minggu. Operasi akan mengurangi efek
massa dan karenanya mengurangi aspek paling kritis dan berbahaya jenis infeksi ini. Operasi
juga akan menunjukan organisme penyebab pada 60-80 % kasus, memungkinkan biakan
dapat dilakukan dengan teliti baik untuk organisme aerob maupun anaerob. Dianjurkan
tidak memberikan antibiotik prabedah bila operasi dapat dilakukan segera karena kultur
steril bisa terjadi. Walau eksisi bedah memperlihatkan penurunan angka rekurensi,
sekarang banyak yang menganjurkan aspirasi abses otak stereotaktik yang dituntun
ultrasonografi atau CT scan, dan mencadangkan eksisi untuk lesi soliter dan superfisial, lesi
yang mengandung benda asing, atau gagal dengan aspirasi.

2.5 Infeksi Fungus pada Susunan Saraf


Fungi adalah organisme yang terdapat dimana-mana dengan virulensi rendah yang menjadi
patogenik pada lingkungan tertentu seperti depresi immunitas bermedia sel, neutropenia, dan
terapi antibiotika sistemik jangka lama. Tidak jarang menginvasi otak.
Infeksi fungal kini didiagnosis lebih sering karena bertambahnya kewaspadaan atas setiap
infeksi, biopsy dan tehnik diagnostik lebih baik, bertambahnya pasien yang mendapat

22 | P a g e
antibiotika jangka lama, dan bertambahnya perjalanan ke, dan immigrasi dari, daerah infeksi
endemic. Misdiagnosis dan terlambatnya diagnosis umum dilakukan. Masalah ini secara umum
berperan atas kegagalan mengejar diagnosis laboratori dan jaringan. Kompetensi sistema
immun adalah faktor yang penting dalam preseleksi patogen fungal spesifik: Cryptococcus,
Coccidioides, Histoplasma, dan Blastomyces dapat menginfeksi orang sehat, sedang infeksi
fungal lain terjadi hampir selalu pada pasien dengan immunitas seluler yang terganggu.
Terkenanya SSP mungkin disseminate, menyebabkan meningitis atau meningoensefalitis atau
fokal, menyebabkan abses granulomatosa.
Berbeda dengan infeksi bakterial, meningitis fungal cenderung dimulai ringan dengan
perburukan bertahap. Nyeri kepala, kaku kuduk, demam, letargi, status mental depresi, dan
palsi saraf kranial mungkin tampak. Cryptococcus, Coccidioides, Candida, dan Aspergillus
umum tampil sebagai meningitis atau meningoensefalitis. Tanda dan gejala klinis tak bias
dibedakan dari semua bentuk meningitis kronik lain. Pleositosis CSS adalah limfositik, protein
CSS sedikit meninggi, dan glukosa CSS biasanya berkurang. Umumnya fungi sulit dibiak
dari darah dan CSS, serta tes serologis kurang sensitif, sebagian karena terganggunya
immunitas seluler umum terjadi pada pasien ini. CT scan tidak selalu membantu pada
meningitis fungal, tapi mungkin memperlihatkan hidrosefalus, komplikasi dari meningitis
kronik. MRI dapat efektif memperlihatkan penguatan basiler dan inflamasi.
Abses otak tunggal atau multipel mungkin tampil dengan kejang, nyeri kepala, status
mental depresi, atau defisit neurologis fokal, sering bersamaan dengan pneumonia. Patogen
yang umum adalah Cryptococcus, Aspergillus, Nocardia, Blastomyces, Actinomyces, dan
Histoplasma.

2.6 Infeksi Protozoa pada Susunan Saraf


2.6.1 Tripanosomiasis
Penyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa berflagela yang
tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yang ditularkan kepada manusia melalui
lalat tsetse. Pada pasien yaang tidak diobati, tripanosoma tersebut pertama-tama menyebabkan
penyakit demam yangsetelah beberapa bulan atau tahun kemudian diikuti oleh gangguan
neurologi yang progresif dan kematian.

23 | P a g e
Bentuk penyakit tidur di afrika timur (rhodesiense) dan afrika barat (gambiense) masing-
masing Disebabkan oleh dua subspesies tripanosoma, yaitu T. Brucei rhodesiense dan T. Brucei
gambiense. Kedua subspesies ini Secara morfotologis tidak dapat dibedakan tetapi menyebabkan
dua macam penyakit yang secara epidemiologis dan klinis berlainan. Parasit ditularkan oleh lalat
tse-tse penghisap darah dan genus Glossina. Serangga tersebut mendapatkan infeksi ketika
menghisap darah dari pejamu mamalia yang terinfeksi.setelah melalui sejumlah Siklus
multiplikasi di dalam usus tengah (midgut) vektor, parasit bermigrasi ke glandula salivarius dan
penularan terjadi ketika parasit tersebut diinokulasukan pada saat menghisap darah
berikutnya.tripanosoma yang terinjeksi akan Memperbanyak diri di dalam darah pejamu serta
rongga ekstrasel lainnya dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh mamalia untuk waktu yang
lama dengan menjalani variasi antigenik, yaitu suatu proses saat stuktur antigenik selubung
permukaan parasit yang berupa glikoprotein mengalami perubahan berkala.
Lesi inflamasi (panosomal) dapat terlihat 1 minggu atau lebih setelah gigitan lalat tse-tse
yang terinfeksi. Keadaan demam yang sistematik kemudian terjadi pada saat parasit menyebar
lewat sistem limfatik dan aliran darah. Tripanosomiasis sistemik afrika tanpa kelainan pada
sistem saraf pusat umumnya disebut sebagai penyakit stadium I. dalam stadium ini terjadi
limfadenopati yang menyebar luas dan splenomegali, yang mencerminkan adanya proliferasi
limfositik serta histiositik yang mencolok dan invasi sel-sel morula yang merupakan plasmasit
yang mungkin terlibat dalam produksi igM. Endarteritis dengan infiltrasi perivaskuler baik oleh
parasit maupun oleh limfosit dapat terjadi didalam kelenjar limfe dan lien. Miokarditis sering
dijumpai pada pasien yang menderita penyakit stadium I, khususnya pada infeksi T. Brucei
rhodesiense.
Manifestasi hematologi yang menyertai tripanomiasis stadium I mencakup leukositosis
sedang, trombositopenia, dan anemia. Kadar imunoglobulin yang tinggi dan terutama terdiri atas
igM poliklonal merupakan gambaran konstan, dan anti bodi heterofil, antibodi anti-DNA, serta
faktor rematoid sering ditemukan. Kadar komplek antigen-antibodi yang tinggi dapat memainkan
peranan dalam perusakan jaringan dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang mempercepat
penyebarluasan parasit.
Tripanosomiasis stadium II meliputi invasi ke sistem saraf pusat. Keberadaan tripanosoma
dalam daerah perivaskuler disertai dengan infiltrasi intensif sel mononuklear. Abnormalitas pada

24 | P a g e
cairan serebrospinal mencakup peningkatan tekanan, kenaikan konsentrasi total protein, dan
pleositositosis. Tripanosoma sering ditemukan pula dalam cairan serebrospinal.

2.6.2 Malaria
Malaria dalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung
akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang menurut WHO definisi malaria serebral
memenuhi 3 kriteria yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap >30
menit setelah kejang disertai adanya P. Falsiparum yang dapat ditunjukkan dan penyebab lain
dari akut ensefalopati telah disingkirkan.
Plasmodium falsiparum adalah infeksi yang paling serius dan yang sering memberi
komplikasi malaria berat antara lain malaria serebral dengan angka kematian tinggi. Penyebab
paling sering dari kematian khususnya pada anak-anak dan orang dewasa yang non-imun adalah
malaria serebral
Malaria serebral disebabkan oleh infeksi plasmodium falsiparum. Penularannya dilakukan
oleh nyamuk anopheles. Plasmodium falsiparum berbeda dengan jenis lain protozoa malaria
dalam hal – hal berikut :
a. Multiplikasi plasmodium falsiparum tidak dapat dihambat karena kebanyakan berada di
dalam eritrosit.
b. Eritrosit inang mempunyai kecenderungan untuk melekat pada intima pembuluh kapiler
sehingga menimbulkan penyumbatan aliran darah kapiler.
Simptom neurologik dari infeksi ini adalah efek sumbatan atau oklusi dari kapiler dan
venula karena adanya kumpulan eritrosit yang mengandung p. Falciparum. Hal ini menimbulkan
gejala anoxia. Tidak hanya sumbatan, simptom juga muncul akibat adanya pendarahan di
jaringan. Hal ini menimbulkan reaksi inflamasi dari limfosit, mononuclear perivascular cell, dan
mikroglia. Kalo otak inflamasi akibatnya permeabilitas BBB meningkat sehingga menimbulkan
cerebral edema. Akan tetapi dua hal tersebut (oklusi dan cerebral edema) jarang ditemui. Hal ini

25 | P a g e
dapat disimpulkan bahwa perubahan patologik pada sistem saraf akibat infeksi ini bersifat
reversible.
Patogenesis dari malaria serebral masih belum memuaskan dan belum dimengerti dengan
baik Patogenesis dari malaria serebral berdasar pada kelainan histologis. Eritrosit yang
mengandung parasit (EP) muda (bentuk cincin) bersirkulasi dalam darah perifer tetapi EP
matang menghilang dalam sirkulasi dan terlokalisasi pada pembuluh darah organ disebut
sekuester. Eritrosit matang lengket pada sel endotel vaskular melalui knob yang terdapat pada
permukaan eritrosit sehingga EP matang melekat pada endotel venula/ kapiler yang disebut
sitoadherens. Kira-kira sepuluh atau lebih eritrosit yang tidak terinfeksi menyelubungi 1 EP
matang membentuk roset. Adanya sitoadherens, roset, sekuester dalam organ otak dan
menurunnya deformabilitas EP menyebabkan obstruksi mikrosirkulasi akibatnya hipolsia
jaringan.
Penderita malaria falsiparum yang non imun bila diagnosa terlambat, penundaan terapi,
absorbsi gagal karena muntah-muntah, resisten OAM, dalam 3-7 hari setelah panas, dapat
menuntun cepat masuk dalam koma. Keadaan akan memburuk cepat dengan nyeri kepala yang
bertambah dan penurunan derajat kesadaran dari letargi, sopor sampai koma. Kesadaran
menurun dinilai dengan GCS yang dimodifikasi 8 senilai dengan sopor dan anak-anak dinilai
skor dari Balantere <>somnolen atau delir disertai disfungsi serebral.
Pada dewasa kesadaran menurun setelah beberapa hari klinis malaria dan anak-anak lebih
pendek dibawah 2 hari. Lama koma pada dewasa umumnya 2-3 hari sedangkan anak-anak pulih
kesadaran lebih cepat setelah mendapat pengobatan.
Pada kesadaran memburuk atau koma lebih dalam disertai dekortikasi, deserebrasi,
opistotonus, tekanan intrakranial meningkat, perdarahan retina, angka kematian tinggi. Pada
penurunan kesadaran penderita malaria serebral harus disingkirkan kemungkinan hipoglikemik
syok, asidosis metabolik berat, gagal ginjal, sepsis gram negatif atau radang otak yang dapat
terjadi bersamaan. Pada anak sering dijumpai tekanan intrakranial meningkat tetapi pada orang
dewasa jarang.
Gejala motorik seperti tremor, myoclonus, chorea, athetosis dapat dijumpai, tapi hemiparesa,
cortical blindness dan ataxia cerebelar jarang. Gejala rangsangan meningeal jarang. Kejang
biasanya kejang umum juga kejang fokal terutama pada anak. Hipoglikemi sering terjadi pada
anak, wanita hamil, hiperparasitemia, malaria sangat berat dan sementara dalam pengobatan

26 | P a g e
kina. Hipoglikemi dapat terjadi pada penderita mulai pulih walaupun sementara infus dxtrose 5
%. Hipoglikemi disebabkan konsumsi glukosa oleh parasit dalam jumlah besar untuk kebutuhan
metabolismenya dan sementara pengobatan kina. Kina menstimulasi sekresi insulin.
Malaria serebral sering sisertai dengan bentuk lain malaria berat. Pada anak sering terjadi
hipoglikemi, kejang, dan anemi berat. Pada orang dewasa sering terjadi gagal ginjal akut, ikterus,
dan udema paru. Biasanya suatu pertanda buruk, perdarahan kulit dan intestinal jarang. Sepsis
dapat terjadi akibat infeksi karena kateter, infeksi nosokomial atau kemungkinan bakteremia.
Bila terjadi hipotensi berat, kemungkinan disebabkan : sepsis gram negatif, udema paru,
metabolik asidosis, perdarahn gastrointestinal, hipovolemi dan ruptur limpa.

27 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjiono, Prof.dr. Mahar dan Sidharta, Prof.dr. Priguna, 2008, mekanisme infeksi
susunan saraf, hal 303-331, Dian Rakyat, Jakarta.
2. Duus Peter. Meningen, ventrikel dan cairan serebrospinalis. Dalam : Suwono Wita J,
editor. Diagnosis topic neurologi: anatomi, fisiologi, tanda dan gejala. Edisi keempat.
Jakarta: EGC: 2010. Hlm 246-251
3. Glickman J, Scott K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes medicine ,ed. 6 th, Info
Acces and Distribution Ltd, Singapore,1995, 53-55.
4. Japardi, Iskandar. 2002. Infeksi Parasit dan Jamur Pada Susunan Saraf Pusat. Sumatera
Utara: USU digital library
5. Ngoerah, Prof.dr.I Gst. Ng. Gd, 1990, penyakit infeksi susunan saraf, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf,
hal 259-274, Jakarta
6. Roos KL. Nonviral infections. Dalam:Goetz CG. Textbook of Clinical Neurology.
Philadelphia: Saunders: 2003. Hlm. 929-931
7. Moore, L, Keith. 2014. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: EGC
8. Brust, John C.M. 2019. Current medical diagnosis and Treatment (Neurology). Third
edition. Mc Graw Hill Medical Book.
9. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016. Acuan Panduan Praktik Klinis
Jakarta: PERDOSSI.
10. Departemen Neurologi FKUI. 2017. Buku Ajar Neurologi Jilid II. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.

28 | P a g e
29 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai