Anda di halaman 1dari 12

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DIARE

KRONIK

2.1 Pendahuluan
Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak berbentuk atau
dalam konsistensi cair dengan frekuensi yang meningkat, umumnya frekuensi >3
kali perhari atau dengan perkiraan volume tinja >200gr perhari. Durasi diare
sangat menentukan diagnosis, diare akut jika durasi kurang dari 2 minggu, diare
persisen jika durasinya 2-4 minggu dan diare kronik jika durasi lebih dari 4
minggu. Diare merupaka permasalahan umum di seluruh dunia, dengan insiden
yang tinggi baik di negara industri maupun di negara berkembang. Biasanya
ringan sembuh sendiri tetapi diantaranya ada yng berkembang menjadi penyakit
yang mengancam jiwa. Diare juga dikatakan penyebab morbiditas, penurunan
produktifitas kerja serta pemakaian sarana kesehatan yang umum. Diseluruh dunia
lebih dari 1 milyar penduduk mengalami satu atau lebih episode diare akut
pertahun. Statistik populasi untuk kejadian diare kronik belum pasti, kemungkinan
berkaitan dengan variasi definisi dan sistem pelaporan, tetapi frekuensinya juga
cukup tinggi. Di USA prevalensinya berkisar antara 2-7%. Sedangkan di negara
Barat, frekuensinya berkisar 4-5%. Pada populasi usia tua, termasuk pasien
dengan gangguan motilitas, didapatkan prevalensi yang jauh lebih tinggi yaitu 7-
14%.7,8
Diare akut jelas masalahnya baik dari segi patofisiologi maupun terapi.
Hal ini berbeda dengan diare kronik yang diagnosis maupun terapinya lebih rumit
dari diare akut. Bahkan dilaporkan sekitar 20% diare kronik tetap tidak dapat
diketahui penyebabnya walaupun sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 2-
6 tahun. Diare kronik bukan suatu kesatuan penyakit, melainkan suatu sindrom
yang penyebab dan patogenesisnya multikompleks. Meningat banyaknya
kemungkinan penyakit yang dapat mengakibatkan diare kronik dan banyaknya
pemeriksaan yang harus dikerjakan maka dibuat referat ini untuk dapat melakukan
diagnosis dan tatalaksana yang tepat.8,9

1
2.2 Definisi
Diare yaitu buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau
setengah cair, kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya, lebih dari 200 gram
atau 200 ml/24 jam. Kriteria frekuensi yang digunakan adalah lebih dari 3 kali
perhari. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.1

2.3 Etiologi
Etiologi diare kronik berdasarkan patofisiologinya dapat diklasifikasinya
menjadi 7 macam diare yang berbeda seperti yang tertera pada Tabel 1. Selain itu
etiologi diare kronik juga dapat dibedakan berdasarkan lokasi atau kelainan organ
seperti kelainan pada pankreas (fibrosis kistik dan pankreatitis kronik), pada hati (
atresia bilier, sirosis hepatis, ikterus obstruktif dan hepatitis kronik), dan pada
usus.1

Tabel 1. Etiologi Diare Kronik Berdasarkan Patofisiologi


Jenis Diare Etiologi
1. Diare Osmotik a. Eksogen
 Makan cairan yang aktif osmotik dan sulit
diabsorpsi seperti: katartik sulfat dan
fosfat (MgSO4), laktasid, laktulosa dan
sorbitol
b. Endogen
 Penyakit malabsorpsi spesifik (kongenital)
: malabsorpsi glukosa-galaktosa dan
klorida kongenital
 Penyakit malabsorpsi umum (kongenital) :
defisiensi enterokinase, insufisiensi
pankreas
 Penyakit malabsorpsi umum (didapat) :
malabsoprsi karbohidrat dengan berbagai
penyebab
2. Diare Sekretorik a. Infeksi
 Toksigenik (Enterotoksin): Vibrio

2
Cholera, ETEC, Shigella dysenteriae,
Clostridium perfringens
 Invasif ke mukosa : Shigellosis,
Salmonellosis, EIEC, Entamoeba
histolytica, Candida albicans
b. Neoplasma: gastrinoma, ca meduler tiroid,
adenoma vilosa
c. Hormon & neurotransmiter: Secretine,
Kolinergik,
Serotonin, Calcitonine, Glukagon
d. Katartik: hidroksi asam empedu dan asam
lemak
e. Kolitis mikroskopis

3. Malabsorpsi asam empedu a. Maldigesti intraluminal: sirosis hepatis,


dan lemak obstruksi
saluran empedu, pertumbuhan bakteri yang
berlebih, fibrosis kistik
b. Malbsorpsi mukosa: Obat ( colchichine,
NSAID,
colestyramine, PAS), penyakit autoimun
(gastroenteritis eosinofilia, Systemic
mastocytosis),
penyakit infeksi (giardia, cryptosporidium,
isospora, strongyloides, mycobacterium avium)
4. Defek sistem pertukaran a. infeksi usus
anion b. diare klorida kongenital
c. diare karena kelainan transpor Na2+ usus
5. Motilitas dan waktu transit IBS, hipertiroid, skleroderma, amiloidosis,
usus yang abnormal sindrom karsinoid
6. Gangguan permeabilitas Penyakit Seliak, IBD
usus

3
7. Eksudasi cairan, elektrolit Kolitis ulseratif, Chron’s disease
dan mukus berlebihan

2.4 Diagnosis

Diagnosis pada diare kronik ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
A. Anamnesis
Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis etiologik. Hal-hal
yang perlu ditanyakan seperti:
a. Waktu dan frekuensi diare
Diare pada malam hari atau sepanjang hari, tidak intermiten, atau
diare timbul mendadak, selama kurang dari 3 bulan menunjukan penyakit
organik. Diare yang terjadi pada pagi hari lebih banyak berhubungan dengan
stress, biasanya mengarah ke sindrom usus iritabel (IBS). Perasaan ingin
buang air besar yang tidak bisa ditahan mengarah pada penyekit
inflamatorik. Diare akut yang terus berlanjut menjadi kronik dengan riwayat
berpergian, mengarah pada diare turis (traveller’s diarrhea) atau spru
tropikal.1,6
Keluhan diare yang lama ≥ 1 tahun mengarahkan pada diare
fungsional. Pada diare perlu ditentukan onsetnya, kontinyu atau intermiten.
Onset diare yang mendadak disebabkan oleh infeksi cyclospora atau
intoleransi lakosa (setelah enteritis viral). Diare setelah makan mnunjukan
adanya refleks gastrokolika yang meningkat, umumnya ditemukan pada
penderita IBS. Penderita IBS terjadi selang antara buang air besar normal
dan diare.1
b. Bentuk tinja
Tinja yang mengandung minyak, pucat (steatore) menunjukan
adanya insufisien pankreas dan kelainan proksimal ileosekal. Tinja yang
mengambang pada air toilet dan flatus berlebihan mengarahkan pada
malabsorbsi karbohidrat atau steatore. Tinja yang mengambang disebabkan
karena kandungan gas dalam tinja akibat malabsorbsi karbohidrat atau
minyak pada steatore.1

4
Diare seperti air dapat terjad pada semua tingkat sistem pencernaan,
terutama dari usus halus. Adanya makanan yang tidak tercerna menandakan
kontak yang terlalu cepat antara tinja dan dinding usus. Pada kolitis infektif
dan kolitis ulseratif perdarahan disertai diare. Diare yang diikuti perdarahan
dibelakang menunjukan adanya hemoroid.1
c. Keluhan lain yang menyertai diare1
 Nyeri abdomen : merupakan keluhan yang tidak khas, dapat terjadi pada
kelainan organik maupun fungsional. Diare karena penyakit organik,
lokasi nyeri menetap sedangkan diare fungsional (psikogenik) nyeri dapat
berubah-ubah. Nyeri abdomen akibat kelainan diusus halus, nyeri
dirasakan disekitar pusat sedangkan nyeri akibat masalah di usus besar
terletak di supra pubik.
 Demam : pada infeksi atau keganansan
 Mual dan muntah : terjadi pada infeksi
 Penurunan berat badan disertai riwayat dehidrasi atau hipokalemi
menunjukan adanya penyakit organik (terutama > 5 kg).
 Mengedan waktu defekasi : diare fungsional.
d. Obat-obatan1,5
 Laksan: menyebabkan diare factitious
 Antibiotik (neomisin, dll)
 Antidepresan
 Antihipertensi (beta blocker, ACE inhibitor, hidralazine)
 Antikonvulsan (asam valproat)
 Anti kanker
 Obat penurun kolestrol (cholestyramine, dll)
 Obat saluran cerna (antasida Mg2+, antagonis reseptor H2, prostaglandine
eksogen, 5-ASA)
 Diuretik, dan sebagainya.
e. Makanan dan minuman1
 Susu : diare dan mual setelah mengkonsumsi susu menunjukan adanya
intoleransi laktosa dan IBS
 Makanan osmotik tinggi : menyebabkan diare osmotik karena makanan

5
f. Berat badan yang menurun: terjadi karena nafsu makan yang menurun.1
B. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis pada diare kronik biasanya berhubungan dengan
defisiensi vitamin dan elektrolit serta malabsorpsi nutrisi. Menurunnya berat
badan atau limfadenopati yang terjadi pada penderita diare kronis menandakan
adanya infeksi atau defisiensi lemak/protein/kalori. Episkleritis dapat merujuk
pada penyakit usus inflamatorik dan eksolftalmus dapat merujuk pada
hipertiroid.1,6
Tabel 2. Tanda klinis dan kondisi yang berhubungan dengan diare1,6

Tanda Klinis Kondisi


Berat badan turun Defisiensi Kalori/protein/lemak
Edema/berkurangnya massa otot Defisiensi Protein
Konjungtiva anemis Defisiensi Besi, asam folat, vit B 12
Glositis, dermatitis Defisiensi Asam nikotinat
Parestesia, neuropati perifer Defisiensi Vitamin B1 & B12
Mudah memmar, berdarah Defisiensi Vitamin K
Kelemahan Defisiensi Natrium, kalium,
magnesium
Tetanus, nyeri tulang Defisiensi Kalsium
Rambut mudah rontok Defisiensi zink, protein
Nyeri abdomen Pankreatitis, kanker pankreas
Dermatitis herpetiformis, tubuh Celiac disease
berukuran kecil, menarke terlambat,
ulkus mulut, erupsi dan gatal dikulit
Poliartritis dengan kulit pigmentasi Whipple's Disease
Kuning Sirosis biliar dan sclerosing
cholangitis
Skar abdomen Post gastrectomy
Abdominal angina, ulkus mulut, ulkus Iskemia mesenterium , Cronh
perianal/fistula, obstruksi intestinal disease
Subakut, massa abdomen, limpoma,

6
limfadenopati.
Diare perdarahan kronis, nyeri perut, Inflammatory bowel disease
massa intraabdomen (Crohn), fistula,
striktur usus, manifestasi ekstra-intestinal
(radang sendi, stomatitis, pioderma
gangren, episkleritis), komplikasi
megakolon toksik.

C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Tinja (Stool analysis)
a) Makroskopis
Hal yang diperhatikan adalah bentuk tinja air/cair, setengah
cair/lembek, berlemak/bercampur darah.1
b) Mikroskopis
Tabel 3. Hasil pemeriksaan mikroskopis feses1

Temuan Kondisi
Eritrosit Luka, Kolitis ulseratif, polip/keganasan usus, infeksi
Leukosit Infeksi /inflamasi usus
Parasit Amoebiasis, giardiasis, ascariasis, dan lainnya
(mikroorganisme,
telur)
Bakteri e. coli

c) Kimia Feses
Tabel 4. Hasil pemeriksaan kimia feses1

Temuan Kondisi
pH <5,5 (asam) Intoleransi karbohidrat
pH 6,0 - 7,5 Sindrom malabsorbi asam amino dan asam lemak
Tes reduksi (+) Intoleransi karbohidrat/glukosa

7
2. Pemeriksaan Darah
Idealnya pemeriksaan ini dilakukan setelah pemeriksaan tinja.
Tabel 5. Hasil pemeriksaan darah1

Temuan Kondisi
LED meningkat, Hb rendah, Penyakit organik
albumin rendah
Eosinofilia Neoplasma, alergi, penyakit
kolagen vascular, infeksi parasite,
gastroenteritis, colitis eosinofilik
Anemia Defisiensi B12, asam folat, besi

D. Pemeriksaan Lanjutan1
1. Pemeriksaan anatomi usus
a) Barium enema kontras ganda (colon in loop) dan BNO: dilakukan
untuk melihat adanya kalsifikasi pancreas dan dilatasi kolon.
b) Kolonoskopi dan ileoskop : untuk menentukan penyebab diare yakni
inflamasi atau keganasan.
c) Barium follow through dan/atau enteroclysis :dilakukan jika dicurigai
masalah di ileum atau jejunum
d) Gastroduodeno-jejunoskopi : jika mencurigai adanya kelinan digaster,
duodenum dan jejunum.
e) Endoscopi Retrograde Cholangi Pancreatography (ERCP) : untuk
melihat kelainan di pancreas.
f) USG abdomen : untuk melihat kelainan pankreas (pankreatitis kronis,
kanker pancreas, dan lainnya), hati (sirosis hepatis, hepatoma, dan
lainnya), curiga limfoma malignum, dan TBC usus. Memiliki
sensitivitas 50-60% pada pakreatitis kronik.
g) CT-Scan Abdomen: untuk melihat kemungkinan lainnya.
h) Arteriografi/angiografi mesenterika superior dan inferior: menentukan
sumbatan arteri mesenterika yang menimbulkan colitis iskemik.
i) Magnetic Retrograde Cholangi Pancreatography (MRCP): untuk
melihat kelainan di pancreas.

8
j) Endosonografi atau endoscopic ultrasonografi: untuk melihat kelainan
di pancreas.
2. Fungsi usus dan pankreas
a) Tes fungsi ileum dan jejenum
b) Tes fungsi pancreas
c) Tes napas (Breath test)
d) Tes Schilling (untuk defisisensi B12)
e) Tes bile acid malabsorption
f) Tes kehilanagn protein
g) Tes small and large bowel transit time

9
Gambar 1. Algoritma diagnosis diare kronis6

10
2.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk diare kronik tergantung etiologi spesifik, mungkin


bersifat kuratif, supresif atau empiris. Pada diare karena pertumbuhan bakteri
berlebih di usus halus, diterapi dengan antibiotika. Pilihan adalah tetrasiklin, dapat
pula diberikan metronidazole, ciprofloxacin, neomycin, doxysiklin atau
amoksisilin.2 Untuk berbagai kondisi klinis, diare dapat dikontrol dengan supresi
terhadap mekanisme yang mendasari meliputi eliminasi laktose dari diet pada
diare karena difisiensi laktase, eliminasi gluten pada celiac sprue, eliminasi
adsorvent agent seperti cholestiramin pada malabsorpsi garam empedu, pemberian
PPI seperti omeprazole pada hipersekresi lambung pada kasus gastrinoma dan
sunstitusi enzim pankreas pada kasus insufisiensi pankreas.2,3
Penatalaksanaan penderita IBD pasa prinsipnya bertujuan untuk
menurunkan atau menghilangkan gejala, untuk memperbaiki kualitas hidup
penderita.Terapi berupa 5ASA dan kortikosteroid. Khusus pada penyakit Chron’s
diberikan antibiotika berupa metronidazole, ciprofloksasin atau kombinasi
keduanya.2 Kolitis mikroskopis dan collagenous colitis yang ditandai dengan
penebalan lapisan subepitel kolon, pemberian sulfazalazin atau kortikosteroid
dapat memberikan perbaikan gejala, walaupun kadang-kadang masih
membutuhkan terapi simptomatis seperti loperamide.2
Jika penyebab spesifik maupun mekanisme yang mendasari tidak dapat
diketahui, terapi dilakukan secara empiris. Pada diare cair ringan-sedang dapat
diberikan golongan opiat seperti diphenoksilate atau loperamide. Agen motilitas
dihindarkan pada IBD untuk mencegah terjadinya megakolon toksik. Untuk
semua penderita diare kronik, penggantian cairan dan elektrolit merupakan
komponen penting dalam terapi. Untuk kasus dengan steatose kronus atau BAB
berlemak diperlukan penggantian vitamin larut dalam lemak.2,4

11
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Simadibrata, M. Edisi 6. Jakarta:


Interna Publishing. 2015. Hal 1911-1924.
2. Talley JN, Martin C J. Acute diarrhoe, chronic diarrhoe and fatty stool.
Clinical gastroenterology; a practical problem . based approach. Sydney-
Philadelphia-London: McGraw-Hill; 1996.p.204-58.
3. Ahmad H. Dignostic problem and treatment of chronic diarrhoea. In:
Proceding Update in Gastroentero-Hepatology SUDEMA I. Surabaya:
2005.p.70-7.
4. Thomas PD, Forbes A, Green J, Howdle P, et al. Guidelines for the
investigation of chronic diarrhoea. Gut 2003;52:1-15.
5. Juckett G, Trivedi R. Evaluation of chronic diarrhea. Am Fam Phys.
2011;84(10):1119-26.
6. Abdullah M, Firmansyah MA. Clinical approach and management of chronic
diarrhea. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. 2013;157-165.
7. Thomas PD, Forbes A, Green J, Howdle P, et al. Guidelines for the
investigation of chronic diarrhoea. Gut 2003; 52:1-15.
8. Lipsky MS. Chronic diarrhea: evaluation and treatment. American Family
Phsycian 1993; 43:18.
9. Mossoro C, Glaziou P, Simon Yassibanda, et al. Chonic diarrhea, hemoragic
colitis, and hemolytic-uremic syndrome ascociated with Hep2 adherent
eschericia coli in adult infected with human immunodeficiency Virusin
Bangui, Central African Republic. Jurnal of Clinical Microbiology 2002;
13:3086-8.

12

Anda mungkin juga menyukai