0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
48 tayangan4 halaman
1. Epidemiologi sinusitis jamur bervariasi di seluruh dunia dengan insiden tertinggi di Asia dan Eropa. 2. Sinusitis jamur diklasifikasikan menjadi non-invasif (AFRS, fungus ball, SFS) dan invasif (akut, kronis, kronis granulomatosa) berdasarkan tingkat invasi jamur. 3. Sinusitis jamur invasif akut sangat berbahaya dan bersifat fulminan, sementara bentuk kronis lebih lambat perkembangannya.
1. Epidemiologi sinusitis jamur bervariasi di seluruh dunia dengan insiden tertinggi di Asia dan Eropa. 2. Sinusitis jamur diklasifikasikan menjadi non-invasif (AFRS, fungus ball, SFS) dan invasif (akut, kronis, kronis granulomatosa) berdasarkan tingkat invasi jamur. 3. Sinusitis jamur invasif akut sangat berbahaya dan bersifat fulminan, sementara bentuk kronis lebih lambat perkembangannya.
1. Epidemiologi sinusitis jamur bervariasi di seluruh dunia dengan insiden tertinggi di Asia dan Eropa. 2. Sinusitis jamur diklasifikasikan menjadi non-invasif (AFRS, fungus ball, SFS) dan invasif (akut, kronis, kronis granulomatosa) berdasarkan tingkat invasi jamur. 3. Sinusitis jamur invasif akut sangat berbahaya dan bersifat fulminan, sementara bentuk kronis lebih lambat perkembangannya.
Insiden sinusitis jamur mempunyai angka yang bervariasi di seluruh dunia. Penelitian Grigoriu et al., di Eropa mendapatkan 81 kasus infeksi yang disebabkan jamur pada 600 kasus rinosinusitis kronis maksila. Penelitian lainnya oleh Chakrabarti et al., di Asia 50 kasus (42 % ) rinosinusitis disebabkan infeksi jamur. Penelitian See Goh et al. di Malaysia memaparkan 16 kasus infeksi jamur pada 30 penderita sinusitis kronis maksila. Infeksi jamur sinus sfenoid lebih jarang terjadi hanya sekitar 2,5% dari seluruh infeksi sinus, infeksi ini terjadi disebabkan oleh anatomi dan penurunan aliran udara daerah sinus sfenoid (Erkan, 2014; Prateek et al., 2013) B. Klasifikasi Sinusitis Jamur Telah dipaparkan sebelumnya bahwa sinusitis jamur secara umum diklasifikasikan menjadi sinusitis non-invasif dan invasif. Sinusitis jamur non- invasif didalamnya termasuk Saprophytic Fungal Sinusitis (SFS), Fungal Ball (FB), dan Allergic Fungal Rhinosinusitus (AFRS). Sedangkan bentuk invasif diantaranya yaitu akut invasif (fulminan), kronik invasif (indolen), dan kronik granulomatosa (Montone, 2016).
Gambar 2.1 Klasifikasi Sinusitis Jamur (Singh, 2019)
1. Sinusitis Jamur Non-Invasif a. Allergic Fungal Rhinosinusitis (AFRS) AFRS tidak dianggap mewakili infeksi jamur yang sebenarnya namun lebih terjadi akibat hasil dari reaksi terhadap antigen jamur di traktus sinonasal. Jamur mulai menginfeksi saluran sinonasal selama beberapa bulan pertama, namun hanya beberapa individu yang berkembang menjadi AFRS terjadi pada pasien imunokompeten, terutama pasien atopik yang datang dengan gejala rinosinusitis kronis yang tidak responsif terhadap terapi medis konservatif standar. AFRS lebih sering ditemukan pada pasien yang tinggal di iklim hangat dan lembab seperti di Amerika Serikat bagain selatan dan tenggara, India, dan Timur Tengah (Montone, 2016). b. Fungus Ball (FB) Fungus ball atau bola jamur merupakan massa jamur yang terjerat akibat peradangan mukosa yang minimal. Istilah Fungus Ball lebih tepat dibandingkan dengan istilah awalnya yang dikenal sebagai “mycetoma”, yaitu terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan infeksi jamur granulomatosa, dan “aspergilloma” yang menggambarkan infeksi jamur selain Aspergillus yang dapat menyebabkan fungus ball (Ramadan, 2020). Fungus ball sering ditemukan unilateral pada sinus maksilaris dan lebih sering mengenai pasien wanita paruh baya hingga lanjut usia. Secara histologis, fungus ball ditandai oleh massa jamur yang terjerat atau massa jamur yang tertanam dalam fibrin, eksudat nekrotik, dan inflamasi mukosa yang minimal. Tidak terdapat invasi jaringan atau reaksi granulomatosa di sekitarnya (Montone, 2016). Mekanisme patogenesis fungus ball tidak sepenuhnya diketahui, namun diduga paparan jamur terjadi melalui proses inhalasi spora (Deutsch et al., 2019). Tindakan operatif diperkirakan menjadi faktor risiko perkembangan fungus ball. Selain itu, fungus ball berkembang jika terdapat obstruksi pada aliran sinonasal, seperti terdapat neoplasma yang menyebabkan obstruksi.. Kultur jamur seringkali negatif, namun patogen yang paling umum terisolasi adalah Aspergillus sp. Tatalaksana yang dapat dilakukan yaitu meliputi tindakan operatif untuk mengagkat jamur tanpa perlu terapi anti-jamur (Montone, 2016).. c. Saprophytic Fungal Sinusitis (SFS) Pedoman Rinosinusitis Jamur baru-baru ini mengusulkan untuk menambahkan investasi jamur saprofit masuk ke dalam kategori sinusitis jamur non-invasif. Kategori ini diusulkan untuk mengklasifikasikan kolonisasi jamur pada sinonasal yang terjadi akibat prosedur pembedahan atau trauma yang menyebabkan mukosa sinonasal mengalami peradangan dan ulserasi dan berkrusta yang kemudian mengalamai infeksi jamur tanpa jaringan invasif. Meskipun jenis sinusitis jamur ini tidak banyak dijelaskan dalam beberapa literatur, diduga bahwa bentuk ini merupakan perkembangan dari jenis Fungal Ball (Montone, 2016). 2. Sinusitis Jamur Invasif a. Sinusitis Jamur Invasif Akut (Fulminan) Rinosinusitis invasif akut hanya terjadi pada pasien immunocompromised seperti diabetes, HIV/AIDS, neutropenia, keganasan hematologi, dan pasien dalam kemoterapi. Semakin besar sumber immunocompromise semakin bersifat fulminan. Istilah fulminan menjelasakan sifat destruktif yang cepat dan seringkali fatal jika penyakit jamur invasif pasien tidak diobati atau jika immunocompromise pasien parah dan ireversibel (Netjovski & Shirgoska, 2012). Sinusitis invasif akut merupakan kasus yang jarang terjadi, namun sangat penting akrena bersifat agresif dan memiliki mortalitas tinggi sekitar 50-80%. Berdasarkan istilah invasif, hal ini menunjukan bahwa infeksi jamur jenis ini menginvasi melebihi mukosa hingga ke pembuluh darah dan tulang (Craig, 2019). Istilah sinusitis invasif akut pada awalnya dikenal dengan Mucormyscoses. Dua organisme penyebab tersering dari jenis sinusitis ini adalah spesies Aspergillus dan ordo Zygomycetes (Deutsch et al., 2019). b. Sinusitis Jamur Kronik (indolen) Bentuk invasif kronis dapat terjadi pada pasien immunocompromised ringan atau pada pasien yang tampak imunokompeten. Secara patologis sinusitis jamur invasif kronik mirip dengan sinusitis invasif jamur akut namun dengan perjalanan penyakit yang kronik hingga berbulan-buan atau tahun karena lebih seirng mengenai populasi imunokompeten. Progresi penyakit cenderung lambat dan insidious. DeShazo dkk. kemudian membagi rinosinusitis jamur invasif kronis menjadi dua subtipe menurut: histopatologi: rinosinusitis jamur invasif granulomatosa dan bentuk nongranulomatous, tetapi tidak ada perbedaan dalam prognosis atau terapi yang jelas berdasarkan perbedaan ini (Deutsch et al., 2019). Kondisi ini dikarakteristikan dengan invasi dan nekrosis jaringan namun dengan reaksi inflamasi yang minimal. Mungkin terdapat akumulasi padat hifa jamur menyeripai mycetoma. Kondisi ini biasanya menegnai pasien diabetes mellitus dan terapi kortikosteroid . Patogen jamur yang paling seirng dilaporkan adalah Aspergillus fumigatus (Singh, 2019). c. Sinusitis Jamur Kronik Granulomatosa Sinusitis Jamur Kronik Granulomatosa jarang terjadi di dunia bagian barat. Namun, lebih umum di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia baik pada pasien imunicompromised maupun immunokompeten. Seperti pada sinusitis invasif lainnya yang mengalami invasi melewati submukosa, perbedaannya adalah pada gambaran histologis yang membentuk granuloma non-kaseosa (Deutsch et al., 2019). Varian ini secara tipikal tampak pada pasien dengan imunitas yang dimediasi oleh sel intak yang esensial bagi pembentukan granuloma. Aspergillus flavus merupakan patogen yang paling sering terisolasi, dan memiliki angka kekambuhan yang tinggi (Singh, 2019).