Anda di halaman 1dari 23

Referat

ABSES LEHER DALAM

Oleh:
Muhammad Rizki Darmawan, S.Ked. 04054821820156
Rizka Febriana Fitrie, S.Ked. 04054821820058
Aswir Vembrinaldi, S.Ked. 04054821820080
Rani Anggraini, S.Ked. 04084821921037
Mita Innana Nurjannah, S.Ked. 04084821921076
Fildzah Hashifah Taufiq, S.Ked. 04011181520007

Pembimbing:
dr. Adelien, Sp T.H.T.K.L., FICS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

Abses Leher Dalam

Oleh:
1. Muhammad Rizki Darmawan, S.Ked. 04054821820156
2. Rizka Febriana Fitrie, S.Ked. 04054821820058
3. Aswir Vembrinaldi, S.Ked. 04054821820080
4. Rani Anggraini, S.Ked. 04084821921037
5. Mita Innana Nurjannah, S.Ked. 04084821921076
6. Fildzah Hashifah Taufiq, S.Ked. 04011181520007

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 11 Maret 2019 – 15 April 2019.

Palembang, April 2019


Pembimbing

dr. Adelien, Sp T.H.T.K.L., FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Abses Leher Dalam”
untuk memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran dan
penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas
Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Adelien,
Sp.T.H.T.K.L., FICS selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan
masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, April 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................ii

KATA PENGANTAR....................................................................................................iii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi......................................................................................................................3

2.2 Definisi.......................................................................................................................3

2.3 Klasifikasi..................................................................................................................5

2.4 Kekerapan..................................................................................................................7

2.5 Etiologi.......................................................................................................................7

2.6 Patogenesis ................................................................................................................9

2.7 Diagnosis....................................................................................................................11

2.8 Penatalaksanaan ........................................................................................................12

2.9 Komplikasi.................................................................................................................16

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abses leher adalah adalah terkumpulnya nanah (pus) yang
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Abses leher dalam dapat berupa
abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula,
dan angina Ludovici (Ludwig’s angina). Penyebab paling sering dari abses
leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan
(12%).1,2,5
Gejala dan tanda klinis abses leher dalam tergantung ruang leher
dalam yang terinfeksi dan secara umum sama dengan gejala infeksi pada
umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi
pernapasan. Nyeri tenggorokan dan demam yang disertai dengan
terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai
kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa. Abses leher dalam dapat
menjadi suatu komplikasi yang serius yang mengakibatkan obstruksi jalan
napas,kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur
arteri karotis interna yang berakhir pada kematian.1,2
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang
terjadi sejak diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi
lebih rendah. Disamping itu, higiene mulut yang meningkat juga berperan
dalam hal ini. Sebelum era antibiotik, 70% infeksi leher dalam berasal dari
penyebaran infeksi di faring dan tonsil ke parafaring. Saat ini infeksi leher
dalam lebih banyak berasal dari tonsil pada anak, dan infeksi gigi pada
orang dewasa. semakin meningkatnya jumlah pasien dengan status
immunosupresi berat, juga menjadi tantangan bagi para dokter untuk

1
2

memahami gambaran klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya


komplikasi yang mengancam jiwa.1,2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan
fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot plastima yang tipis dan
meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia
servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di
bagian inferior mandibula. Ruang leher dalam dapat dikelompokan menurut
modifikasi dari Hollingshead berdasarkan penampang panjang leher yaitu
ruang retrofaring, danger space, ruang prevertebral dan ruang viseral
vaskular. Berdasarkan lokasinya di atas atau di bawah tulang hyoid.
Ruangan yang berada di atas tulang Hyoid, dibagi menjadi ruang
submandibula, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang
parafaring dan ruang temporal. Sedangkan yang terdapat di bawah os hyoid
terdiri dari ruang pretrakea dan ruang suprasternal.2,4

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring.2

3
4

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Fasia superfisial


termasuk ke dalam sistem muskuloapenouretik yang meluas mulai dari
epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian dari
daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam terdiri
dari 3 lapisan, yaitu : lapisan superficial, lapisan tengah, dan lapisan
dalam.2,5

2.1.1 Ruang potensial leher dalam

Gambar 2. Potongan Sagital Leher.2

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan


daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang
melibatkan sepanjang leher terdiri dari: ruang retrofaring, ruang bahaya dan
ruang pervetebra. Ruang suprahioid terdiri dari: ruang submandibula, ruang
parafaring, ruang parotis, ruang mastikor, ruang peritonsil, ruang temporalis.
Sedangkan, ruang infrahioid hanya terdapat ruang pretrekeal.2,13
5

Gambar 3. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.
Ket : SMS: submandibularspace; SLS: sublingual space; PPS:parapharyngeal space; CS:
carotid space; MS:masticatory space. SMG: submandibulargland; GGM: genioglossus
muscle; MHM:mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;MPM: medial pterygoid
muscle; LPM: lateralpterygoid muscle; TM: temporal muscle.6
2.2 Definisi
Abses leher adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai
sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan
leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di
ruang leher dalam yang terlibat. Abses leher dalam dapat berupa abses
peritonsil, abses retrofaring, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina Ludovici (Ludwig’s angina).1,2,7

2.3 Klasifikasi
2.3.1 Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak


ditemukan, dan biasanya merupakan lanjutan dari infeksi tonsil.
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok,
nyeri menelan, hipersalivasi, nyeri telinga dan suara bergumam.
Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring.2,5,7

2.3.2 Abses retrofaring


6

Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang


jarang terjadi, terutama terjadi pada anak dan merupakan abses
leher dalam yang terbanyak pada anak. Pada anak biasanya abses
terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada
kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring.
Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4
tahun. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat
adanya trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari
struktur yang berdekatan.1,8,9

2.3.3 Abses Parafaring


Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring,
tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak
kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam
yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula,
abses retrofaring maupun mastikator. 1,10

2.3.4 Abses Submandibula


Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air
liur banyak, didapatkan pembengkakan di daerah submandibula,
fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang,
angulus mandibula dapat diraba. Ditemukannya pus pada saat
aspirasi. Sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.1,10

2.3.5 Angina ludovici


Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula
berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh
ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada
perabaan submandibula. Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi
atau dasar mulut yang disebabkan oleh kuman aerob dan anaerob.
Terdapat nyeri tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan di
7

daerah submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada


perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke
atas belakang, sehingga menimbulkan sesak nafas karena sumbatan
jalan nafas.1,2,5

2.4 Kekerapan
Penelitian Anggraini (2015) didapatkan abses leher dalam
berdasarkan ruang yang terlibat terbanyak adalah ruang submandibula yaitu
47,1% diikuti dengan ruang peritonsilar 27,5% , ruang parafaring dan
angina ludovici 9,8%, serta yang paling sedikit pada ruang retrofaring
sebanyak 5,9% penderita. Sedangkan pada penelitian Yang et al (2010) pada
100 kasus infeksi leher dalam didapatkan abses submandibula 35%, abses
parafaring 20%, abses mastikator 13 %, abses peritonsil 9%, abses
sublingual 7%, parotis 3%, infrahyoid 26%, retrofaring 13%, dan ruang
karotis 11%. Bila dilihat dari prevalensi umur dan jenis kelamin didapatkan
penderita abses leher terbanyak adalah pada kelompok umur di atas 40
tahun. Hal ini karena faktor-faktor adanya penyakit penyerta seperti diabetes
mellitus, penyakit jantung, hipertensi, gangguan sistem lainnya yang dapat
menjadi etiologi terjadinya abses leher dalam. Berdasarkan jenis kelamin,
penderita abses leher dalam lebih banyak dijumpai pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan, hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai
faktor.4,11,12,13

2.5 Etiologi
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut
atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilits, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob. Abses retrofaring sering terjadi pada
anak umur 4-5 tahun dengan penyebab yang paling sering terjadi ialah:
infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring,
trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti atau tindakan
medis, tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas. Keadaan abses ruang
8

parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara: langsung, yaitu akibat


tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia, kedua
akibat proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal dan mastoid. Vertebra servikal juga dapat menjadi
sumber infeksi untuk terjadinya abses, ketiga akibat penjalaran infeksi dari
ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.1,2,5
Infeksi yang terjadi pada abses submandibula disebabkan oleh
banyak mikroba, sebagai contoh mereka mengandung flora campuranflora
campuran. Abses submandibula dapat bersumber dari gigi, dasar mulut,
faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga
sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman penyebab
biasanya campuran kuman aerob dan anaerob. Abses leher dalam paling
sering disebabkan oleh infeksi campuran beberapa kuman. Baik kuman
aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza,
Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria
sp. Kuman anaerob yang sering adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium
dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman yang
jarang ditemukan.1,5,6,7,13
Genus stafilokokus yang memiliki kepentingan klinis adalah
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus
saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat patogen utama pada manusia
dan bersifat koagulase-positif. Dengan sifat koagulase ini memiliki potensi
menjadi patogen invasif. Beberapa strain dari S. aureus mempunyai kapsul
sehingga menyulitkan tubuh untuk melakukan fagositosis. Infeksi S. aureus
dapat bersifat hebat, terlokalisir, nyeri membentuk supurasi dan cepat
sembuh dengan drainase pus. Staphylococcus epidermidis bersifat
koagulase-negatif dan bersifat flora normal pada tubuh manusia seperti di
saluran nafas atas. Infeksi dapat terjadi akibat adanya trauma atau inflantasi
alat-alat, pada daya tahan tubuh yang rendah. Supurasi lokal merupakan ciri
khas infeksi stafilokokus baik koagulase-positif maupun koagulase negatif.
9

Dari fokus manapun, organisme dapat menyebar melalui vena maupun


limfatik ke bagian tubuh lain. Supurasi dalam vena yang menimbulkan
trombosis merupakan gambaran umum penyebaran tersebut.12,14
Streptokokus mempunyai berbagai group sesuai dengan sifat dari
kuman tersebut dan tidak ada satu sistem yang bisa mengklasifikasikannya
secara sempurna. Yang banyak berperan pada abses leher dalam adalah
Streptococcus viridan, Streptococcus α-haemolyticus, Streptococcus β-
haemolyticus, dan Streptococcus pneumonia. Sedangkan Pseudomonas
aeruginosa merupakan patogen oportunistik dalam tubuh manusia, bersifat
invasif dan patogen nasokomial yang penting. Menimbulkan penyakit jika
daya tahan tubuh penjamu lemah. Abses yang dibentuk akibat pseudomas
merupakan pus yang hijau kebiruan. Kuman anaerob yang sering ditemukan
pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti
Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium. Gejala klinis yang
menandakan adanya infeksi anaerob adalah: . sekret yang berbau busuk
akibat produk asam lemak rantai pendek dari metabolisme anaerob, infeksi
di proksimal permukaan mukosa, adanya gas dalam jaringan, dan hasil
biakan aerob negatif.12,14

2.6 Patogenesis
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora
normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah
steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi
atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian
tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi
berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif
anaerob.1,2,15
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi
anatomi.Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor
10

kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat


langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke
daerah potensial lainnya. Permulaan stadium ditandai dengan area infiltrat
yang bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi
sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil dan uvula kearah kontralateral. Bila proses peradangan
berlanjut ke area sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada muskulus
pterigoid interna sehingga timbul trismus. Abses peritonsil dapat pecah
spontan dan menimbulkan komplikasi aspirasi ke paru.1,7,12,15,16

Gambar 4. Jalur perluasan potensial abses leher dalam.7


2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Abses peritonsil terdapat odinofagia(nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga
(otalgia), mungkin juga terdapat muntah (regurgitasi), mulut
berbau(foetor exore), hipersalivasi, suara gumam (hot potato voice)
dan sukar membuka mulut(trismus). Gejala abses parafaring berupa
demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia. Gejala
klinis utama abses parafaring ialah trismus, indurasi atau
pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi,
pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah
medial.1,5,10
11

Gejala utama Abses retrofaring adalah nyeri dan sukar


menelan. Selain itu, juga terdapat demam, leher kaku, dan dapat
pula timbul sesak nafas karena sumbatan jalan nafas terutama di
hipofaring, adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau
trauma, bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring
dapat timbul stridor. Sumbatan ini dapat mengganggu resonansi
suara sehingga terjadi perubahan suara. Abses submandibula
terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah
mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus
sering ditemukan. Anamnesis yang didapatkan pada abses ludovici
diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau
cabut gigi, gejala dan tanda klinik berupa selulitis dengan tanda
khas yakni pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. 1,2,5

2.7.2 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan pada abses peritonsil, didapatkan arkus
faring tidak simetris, pembengkakan di daerah peritonsil, uvula
terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil hiperemis, kadang
terdapat detritus, palatum mole tampak membengkak dan menonjol
ke depan, dapat teraba fluktuasi. Abses retrofaring tampak benjolan
pada dinding belakang faring, biasanya unilateral, mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis. Pembengkakan di daerah parafaring
ditemukan pada abses parafaring, pendorongan dinding lateral
faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Abses
parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan memberikan
gejala trismus yang lebih jelas. Abses submandibula didapatkan
demam,pembengkakan kelenjar submandibula atau sublingual
dengan disertai nyeri tekan dan fluktuasi. Keadaan gigi dan
periordontal yang terinfeksi ditemukan pada Anguna Ludovici dan
tampak pembengkakan hiperemis dan keras pada palpasi di daerah
12

submandibula. Sedangkan pada Pseudo Angina Ludovici dapat


terjadi fluktuasi.1,2,5,10

2.7.3 Pemeriksaan penunjang


Abses retrofaring tampak pelebaran ruang retrofaring lebih
dari 7 mm pada dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14
mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa terlihat
dari gambaran foto rontgent. Untuk memastikan diagnosis abses
dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif.
1,7,10

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip utama adalah menjamin dan memelihara jalan nafas yang
adekuat. Jika diperlukan jalan nafas buatan, intubasi endotrakea sulit
dilakukan karena abses merubah atau menyumbat jalan nafas atas. Jika
intubasi tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan trakeostomi atau
krikotirotomi serta drainase abses yang baik selain dari dua hal di atas
antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral.1, 13,15
Pemberian antibiotik yang baik adalah berdasarkan hasil biakan
kuman dan tes kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi.
Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil
kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob
dan anaerob secara empiris. Penicillin merupakan obat terpilih untuk
infeksi kuman streptokokus dan stafilokokus yang tidak menghasilkan
enzim penicilinase. Gentamicin menunjukkan efek sinergis dengan
penicillin. clindamycin efektif terhadap streptokokus, pneumokokus dan
stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Lebih khusus pemakaian
clindamycin pada infeksi polimicrobial termasuk Bacteroides sp maupun
kuman anaerob lainnya pada daerah oral. Pada kultur yang didapatkan
kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, clindamycin, carbapenem,
13

sefoxitine, atau kombinasi penicillin dan β-lactam inhibitor merupakan


obat terpilih. 1, 13,15

2.8.1 Abses Peritonsil


2.8.1.1 Konservatif
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan
penicilin atau klindamisin, dan obat simptomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada
leher.1,2

2.8.1.2 Operatif
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan pus. Kemudian
pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
setelah drenase abses. Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan
abses peritonsil, yaitu aspirasi jarum, insisi dan drainase serta
tonsilektomi. Pada aspirasi jarum/ Pungsi, bila telah terbentuk
abses, dilakukan aspirasi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan pus. Aspirasi abses merupakan gold standard
untuk menegakkan abses peritonsil. Prosedur kedua yaitu inisi dan
drainase, dilakukan pada daerah yang menonjol (berfluktuasi),
biasanya pada bagian depan pilar anterior, batas antara 1/3 bagian
atas dan tengah tonsil atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada
sisi yang sakit. Prosedur terakhir adalah tonsilektomi, setelah
dilakukan insisi bersama tindakan drenase abses disebut
tonsilektomi “a’chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah
drenase abses, disebut tonsilektomi “a’ tiede” dan bila tonsilektomi 4-
6 minggu sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses.1,2,7
14

Gambar 5. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.3

2.8.2 Abses Retrofaring


Terapi abses retrofaring adalah dengan mempertahankan
jalan nafas yang adekuat, medikamentosa dan tindakan bedah. Pada
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi untuk kuman
aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Pada terapi bedah,
dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung
dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera
diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai
gejala dan tanda infeksi reda.1,2,4

2.8.3 Abses Parafaring


Sebagai terapi awal dapat diberi antibiotika dosis tinggi
secara parenteral untuk kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses
harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika
dalam kurang dari 48 jam. Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di
bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpu eksplorasi dilanjutkan
dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila
15

nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal


dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi intraoral dilakukan
pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi
dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam
ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat
inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.1,2,3

Gambar 6. Insisi Mosher.3


2.8.4 Abses Submandibula
Antibiotika dosis tiinggi terhadap kuman aerob dan anaerob
harus diberikan secara parenteral serta evakuasi abses dapat
dilakukan dalam aneste harus diberikan secara parenteral serta
evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses
yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila
letak abses dalam dan luas.1,15

2.8.5 Angina Ludovici


Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob
harus diberikan secara parenteral. Insisi abses dilakukan untuk
16

tujuan dekompresi dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Serta


perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi untuk
mencegah kekambuhan. Drainase dipertibangkan apabila terjadi
infeksi supuratif, adanya penemuan radiologis berupa akumulasi
cairan atau udara pada jaringan lunak, krepitus.1,2

2.9 Komplikasi
Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan komplikasi yang
potensial terjadi pada abses leher dalam terutama Ludwig’s angina. Ruptur
abses, baik spontan atau akibat manipulasi, dapat mengakibatkan
terjadinya pneumonia, abses paru maupun empiema.1,13
Komplikasi vaskuler seperti trombosis vena jugularis dan ruptur
arteri karotis. Bakteremia maupun sepsis dapat terjadi pada abses leher
dalam. Kejadian emboli paru mencapai 5% pada kasus pasien dengan
trombosis vena jugularis. Ruptur arteri karotis merupakan komplikasi yang
jarang terjadi. Ini biasanya terjadi pada abses parafaring bagian poststiloid,
infeksi meluas ke bungkus karotis. Mediastinitis dapat terjadi akibat
perluasan infeksi melalui viseral anterior, vaskuler viseral, maupun daerah
retrofaring dan danger space.1,2,13
BAB III
KESIMPULAN

Abses leher adalah adalah terkumpulnya nanah (pus) yang terbentuk di


dalam ruang potensial di antara fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari
berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah
dan leher. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring,
abses parafaring, abses submandibula, dan angina Ludovici (Ludwig’s angina).
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Gejala dan tanda klinis abses leher dalam tergantung
ruang leher dalam yang terinfeksi dan secara umum sama dengan gejala infeksi
pada umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi
pernapasan.
Abses leher dalam dapat menjadi suatu komplikasi yang serius yang
mengakibatkan obstruksi jalan napas,kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan
kompresi hingga ruptur arteri karotis interna yang berakhir pada kematian.Pada
umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran kuman aerob,
anaerob maupun kuman fakultatif anaerob. Pada abses stadium permulaan
ditandai dengan area infiltrat yang bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut,
terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Prinsip utama tatalaksana abses leher dalam adalah menjamin dan
memelihara jalan nafas yang adekuat, drainase abses yang baik, dan antibiotik
dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Fachruddin,Damila. Abses Leher Dalam. Buku Ajar Ilmu kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta:Balai
Penerbit FKUI. 2014.
2. Gadre A.K., Gadre K.C. Infection of the deep Space of the neck. Dalam:
Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery.
Edisi ke-4. Philadelphia: JB.Lippincott Compan. 2014.
3. Schreiner ,C. Deep Neck Abscesses and Life Threating Infections of the
Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 2012.
4. Quinn ,F.B, Buyten, J. Deep neck Space and Infection. Presentation
UTMB, Dept. of Otolaryngology. 2013.
5. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H. Predisposing Factors for the
complications of Deep neck Infection. The Iranian Journal of
Otorhinolaryngology, 22(60), 2011.
6. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all.
Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging
assessment. International Journal Oral Maxillofaring. Surgery. 2011.
7. Ballenger ,J.J. Infection of the facial space of neck and floor of the mouth.
Dalam: Ballenger JJ editors. Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. Edisi ke-16. Philadelphia, London: Lea and Febiger. 2012
8. Al sahab, B.MD, Salleen ,H.MD, Hagr, A.MD, Rosen, J.N. MD,
Manoukian , J.J. MD, Tewfik, T.L. MD. Retropharyngeal abscess in
children: 10-year study. Journal otolaryngology. 2012.
9. Rao ,S.V.S.M., Adwani, M., Bharati, C.2011. Retropharyngeal candidal
abscess in a neonate: Case report and review of literature. Kuwait
medical journal. 2011.
10. McKellop ,J.A., Mukherji ,S.K. Emergency head and neck radiology:
Neck infection. Applied radiologi. 2011.
11. Anggraini,V. Gambaran kasus abses leher dalam di rsup haji adam malik
medan tahun 2012-2014. Skripsi. Fakultas kedokteran Universitas
sumatera utara Medan. 2015.
12. Yang S.W., Lee M.H., See L.C., Huang S.H., Chen T.M., Chen T.A. Deep
neck abscess: an analysis of microbial etiology and effectiveness of
antibiotics. Infection and Drug Resistance. International Microbiology
Journal. 2008.
13. Rosen, E.J. Deep neck spaces and infections. Grand rounds presentatio.,
UTMB, Departmen Of Otolaryngology. London. 2012.
14. Jawetz, Melnick & Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23. Alih
bahasa: Hartarto H dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007.
15. Chuang ,Y.C., Wang, H.W. A deep neck abscess presenting as a
hypopharyngeal carcinoma. International Journal of China. 2010.

Anda mungkin juga menyukai