Anda di halaman 1dari 16

Karsinoma Nasofaring Diagnosis dan pengobatan dini meme gang peranan penting dalam menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring.

Untuk menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring di perlukan anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan THT yang seksama yang sebaiknya disertai pemeriksaan endoskopi, patologi anatomi, dan CT Scan Nasofaring. Gejala Dini Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor masih terbatas di nasofaring , yaitu: 1. Sumbatan tuba Eustachius Pasien seringkali mengeluh rasa penuh ditelinga (unilateral), dan kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini

2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelanjutan akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi semakin lama akan semakin banyak, sehingga terjadi kebocoran dari gendang telinga yang akan menyebabkan gangguan pendengaran.

Gejala Hidung 1. Mimisan Umumnya tumor di nasofaring rapuh sehingga rangsangan dan sentuhan dapat menyebabkan perdarahan dari hidung atau sering disebut mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulangulang, jumlahnya sedikit, dan seringkali bercampur dengan ingus.

2. Sumbatan Hidung Sumbatan hidung unilateral yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalai rongga hidung dan menutupi koana. Gejala yang timbul menyerupai hidung buntu terus menerus, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.

Gejala Lanjut 1. Limfadenopati servikal Yang khas bila benjolan timbul di daerah samping leher ( region II,III,IV), 3-5cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sel-sel tumor ke bagian tubuh lainnya. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien dating berobat ke dokter. 2. Gejala mata dan saraf Gangguan bebrapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke II,IV,VI dan saraf ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien berobat ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat kelainan lain yang berarti. Sebelum terjadi kelumpuhan saraf cranial, didahului oleh gejala subjektif dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia daerah pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer ke dalai kavum kraanii akan menyebabkan kelumpuhan nervus II,III,IV,V dan VI akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan sekitar atau juga secara hematogen. Gejala saraf cranial meliputi : o Kerusakan N1 bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah mendesak N1 melalui foramen olfaktorius pada lamina kribrosa. Penderita akan mengeluh anosmia o Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang terlibat secara berturut-turut adalah N. IV,III,VI dan yang paling akhir mengenai N II. Paresis N II, apabila perluasan kanker mengenai kiasma optikum maka N. optikus akan lesi sehingga penderita memberikan keluhan penurunan tajam

penglihatan. Paresis N III menimbulkan kelumpuhan mata, m levator palpebra dan m. tarsalis superior sehingga menyebabkan opthalmoplegia serta ptosis bulbi ( kelopak mata atas turun ), fissura palpebra menyempit dan kesulitan membuka mata. Paresis N. III,IV dan VI akan menimbulkan keluhan diplopia. o Parese N. V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan menimbulkan keluhan parestesi sampai hipestesi pada separuh wajah atau timbul neuralgia pada separuh wajah o Sindroma Parafaring. Proses penyembuhan dan perluasan lanjut karsinoma akan mengenai saraf otak N. kranialis IX,X,XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese N. IX menimbulkan gejala klinik : hilangnya reflex muntah, disfagia ringan, deviasi uvula ke sisi sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas tengkorak dan belakang lidah, salivasi meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi telinga tengah.

3. Gejala akibat metastase jauh Sel-sel kanker dapat mengenai organ yang lain dengan penyebaran melalui aliran limfe. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis buruk.

DIAGNOSIS Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, langkah-langkah dibawah ini dapat membantu menegakkan diagnosis pasti serta stadium dari tumor tersebut : 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ( pemeriksaan rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, telenasoendoskopi ) 2. Pemeriksaan penunjang (biopsi, radiologi, tomografi komputer, dan serologi)

Hal-hal yang perlu ditanyakan pada anamnesa Gejala awal yang dirasakan pasien ( rasa telinga tertutup unilateral, riwayat mimisan, riwayat pandangan double, riwayat sakit kepala ) Penyakit terdahulu (peradangan pada telinga, hidung dan tenggorokan) Riwayat penyakit kanker dalai keluarga Riwayat kontak dengan zat karsinogenik Lingkungan dan gaya hidup

Pemeriksaan fisik Inspeksi/palpasi : benjolan di leher (ukuran, konsitensi, warna, nyeri/tidak) Inspeksi massa di nasofaring melalui rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, dan telenasoendoskopi Otoskopi dan timpanometri untuk menilai ada atau tidak nya otitis media efusi pada telinga Pemeriksaan saraf kranial

Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan radiologi konvensional, foto kepala dengan potongan antero-posterolateral, foto sinus paranasal (posisi Waters). Dapat dinilai jaringan lunak di daerah nasofaring, serta ada tidaknya destruksi ataupun erosi tulang. 2. Tomografi komputer leher dan kepala Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan untuk menilai perluasan tumor. Pada stadium dini terlibat torus tubarius dan dinding nasofaring yang asimetri. 3. Tomografi komputer tulang dan foto torak untuk menilai ada tidaknya metastase jauh. 4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibody terhadap virus Eipstein-Barr (EBV) yaitu pemeriksaan IgA anti VCA dan IgA anti EA

5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB) dilakukan bila tumor nasofaring belum jelas dan didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening di leher yang diduga akibat metastase karsinoma nasofaring. 6. Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi nasofaring dapat dilakukan secara avoe, dengan menggunakan bantuan telenasoendoskopi, dapat dilihat jelas letak tumor pada daerah nasofaring sehingga dapat dilakukan biopsy nasofaring. Bila biopsy dilakukan secara blind maka dilakukan biopsy tanpa melihat langsung tumornya, dilakukan biopsy pada tiga tempat yaitu bagian superior, inferior dan lateral nasofaring. 7. Pemeriksaan darah tepi, tes fungsi hati maupun fungsi ginjal untuk mendeteksi adanya metastase.

Penentuan Stadium Karsinoma Nasofaring Menurut UICC edisi ke V tahun 1997 dengan klasifikasi TNM Stadium Karsinoma Nasofaring ditentukan sebagai berikut: T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya o T1 : tumor terbatas pada nasofaring o T2 : tumor meluas ke orofaring dan atau fosa nasal T2a : tanpa perluasan ke parafaring T2b : dengan perluasan ke parafaring

o T3 : invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal o T4 : tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf otak, fossa infratemporal, hipofaring atau orbita N menggambarkan kelenjar limfe regional o N0 : tidak ada pembesaran kelenjar o N1 : terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm o N2 : terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm o N3 : terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikular M menggambarkan metastasis jauh o M0 : tidak ada metastasis jauh o M1 : terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan sebagai berikut : Stadium I : T1N0M0 Stadium IIA : T2N0M0 Stadium IIB : T1N1M0 atau T2aN1M0 ataStadium T2bN0-1M0 Stadium III : T1-2N2M0 atau T3N0-2M0 Stadium IVA : T4N0M0 Stadium IVB : Tiap TN3M0 Stadium IVC : TiapT TiapN M1

Histopatologi Karsinoma Nasofaring Dengan melihat struktur histologis, maka karsinoma nasofaring dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan pembagian WHO, yaitu : WHO 1 : karsinoma sel-sel skuamosa, berkeratin di dalam maupun di luar sel, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang WHO 2 : termasuk adalah karsinoma non keratin sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang WHO 3 : karsinoma berdiferensiasi jelek, dengan gambaran sel kanker paling heterogen. Karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma dan variasi sel spindle

Kemoterapi Pada Karsinoma Nasofaring Definisi Kemoterapi Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat mengahambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents ), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitive terhadap obat lainnya.

Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel,

Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher. Cisplatin

Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk. Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus ( Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M). Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.

Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :10 1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin. 2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA. 3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.

Cara Pemberian Kemoterapi Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu : 1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi. 2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut. 3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi 4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi

utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata : kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi : 1. neoadjuvant atau induction chemotherapy 2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy 3. post definitive chemotherapy.

Efek Samping Kemoterapi Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal

yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker. Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi. Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya. Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ tersebut lebih minimal. Efek Samping secara spesifik untuk masing-masing obat dapat dilihat pada lampiran 2.
9

Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh : 1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu. 2. Dosis. 3. Jadwal pemberian. 4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus). 5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ tertentu.

Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb :9 1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan <= 2 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Jumlah lekosit >=3000/ml Jumlah trombosit>=120.0000/ul Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes Faal Ginjal ) Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar ). Elektrolit dalam batas normal. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.

Status Penampilan Penderita Ca ( Performance Status ) Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya.

Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sbb : 16 - Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari. - Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan. - Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain. - Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran. - Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus.

F. KEMORADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING

Definisi Kemoradioterapi Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang digunakan dalam kemoradioterapi ini sehingga sampai saat ini belum didapatkan standar kemoradioterapi yang definitif.

Manfaat Kemoradioterapi Manfaat Kemoradioterapi adalah : 1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. 2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. 3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi. Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. 12 Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan

kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.

Kelemahan Kemoradioterapi Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.12 Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%. 9

G. PENILAIAN HASIL TERAPI KANKER

Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang lazim dipakai yaitu :9,15 Sembuh ( cured ) Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua tumor menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu

Respons parsial ( partial response/ PR ) : semua tumor mengecil sedikitnya 50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4 minggu. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran dari 50 % atau membesar kurang dari 25 % Penyakit Progresif ( progresive disese/PD ) : tumor makin membesar 25 % atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya. Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya (disease free survival ). Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat dipantau

berdasarkan kadar tumor marker.

Pola Regresi Tumor Terdapat perbedaan pola regresi antara tumor perimer dan kelenjar getah bening leher. Terjadi Complete Respons pada akhir dari radioterapi (62%) dan meningkat menjadi 80 % pada 2 bulan pasca radioterapi, sedangkan pada kelenjar getah bening leher hanya CR 32 % pada akhir radioterapi dan meningkat menjadi 76 % pada 2 bulan setelah radioterapi. Jadi biopsi sebaiknya dilakukan 2 bulan setelah radioterapi. 7

KESIMPULAN 1. Karsinoma nasofaring walaupun merupakan salah satu jenis tumor yang prognosisnya cukup buruk , namun dikenal pula sebagai tumor yang radiosensitif serta kemosensitif. 2. Pada dekade terakhir ini terapi integrasi kemoradioterapi terhadap karsinoma nasofaring menunjukkan hasil yang memuaskan ditinjau dari angka rekurensi tumor. 3. a. Manfaat Kemoradioterapi : mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. b. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

c.

Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan ( radiosensitiser ).

4.

Kelemahan Kemoradioterapi adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat, untuk mengatasinya maka sebaiknya diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitize ) seperti Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX.

Anda mungkin juga menyukai